Part V: Perangkap Kenikmatan (bag 4)
PoV Orang Ketiga
“Oooooh. Ooooooh. Oooooohhh…. Dapeeet, Mas… Udaaah. Dapeeetttt,” Rintihan Eno terdengar memenuhi kamar di rumah Lina.
Ben menurunkan tempo sodokan kontolnya ke memek Eno. Gaya misionaris. Sepertinya ini baru gaya pertama.
“Udahan ini, Mba? Mba Eno katanya mau dapet sampai enam kali kayak Lina? Goda Ben dengan kalem.
Huuuuffff… Huuuuffff… terdengar nafas Eno memberat usai orgasme.
Matanya terpicing. Keringat-keringat halus terlihat di beberapa bagian tubuhnya.
Suasana betul-betul panas. Tapi kedua kakinya pun masih melingkar mesra di badan Ben.
Eno jelas belum takluk. Ia tak rela ditinggal sang pejantan yang baru saja menggagahinya.
“Masiiiih. Masiiih, Mas… Hayoooo. Mas Ben kan belum dapet,” ujarnya polos.
“Anunya Mas Ben itu lho nyodok-nyodok dalemnya tempikku. Geli banget, Mas.” sempat-sempatnya dia berkomentar lucu.
Ben melanjutkan dengan tempo sodokan pelan.
Sambil memompakan kontolnya di memek Eno, Ben menjilati toked Eno bergantian.
Ben ingat rencana Lina.
Orgasme pertama adalah petunjuk Isal untuk ikut bergabung dalam pengalaman threesome pertama perempuan di dalam pelukannya ini.
Ben pun memberi ciuman andalannya. Ia paham arti ciuman usai orgasme bagi kebanyakan perempuan.
Ben ingin lawan tenaga lawan mainnya pulih dan rileks kembali.
Di samping itu ia berniat menyamarkan bergabungnya Isal untuk memuaskan tetangga depan rumahnya sendiri.
Sesaat setelah bibirnya dilepas Ben, Eno terperangah melihat kontol Isal sudah ada di samping wajahnya.
Ini bukan pertama kali Eno melihat tubuh Isal seutuhnya.
Eno bahkan bermasturbasi menyaksikan keperkasaan Isal dulu.
Namun Ia tak menyangka momen itu datang juga. Kontol yang selama ini ia bayangkan gemuk, ternyata tak terbantahkan.
“Mas Isaaaaal,” ujarnya lirih. Eno memang terasa siap untuk malam ini.
Dengan instingnya, dia meraih kontol Isal dan mengocoknya.
Dengan agak sulit ia paksakan mengangkat leher dan menjilat kontol kedua malam ini.
Kontol-kontol baru yang bukan milik suaminya.
Aaaaah. Tebersit di benaknya bagaimana nasib suaminya di rumah.
Ia tidak menemukan Lina dan Katy di sini. Tak mendengar suara mereka juga di luar.
Membayangkan suaminya dikeroyok Lina dan Katy justru membangkitkan sisi liar perempuan berusia 38 tahun ini.
“Bentar Mas, Ben, Mas Isal. Aku mau dari belakang ya.
Eh. Tapi aku isepin dulu punya Mas Isal biar tegak. Kali saja Mas Isal mau gantiin Mas Ben,” pinta Eno polos.
Eno semakin terlihat berani inisiatif menggali keinginannya.
Tak butuh waktu lama membuat kontol Isal siap pakai. Eno bukan perempuan kemarin sore.
Kemampuan oral seksnya berkembang secara alami. Ben pun memberikan tempat pada Isal untuk menunggangi Eno.
Dia sendiri berbaring telentang siap menerima sepongan Eno.
“Mas Isal pake kondom ya?” Tanya Eno sembari menoleh kebelakang. Meninggalkan kontol Ben tegak menanti diservis.
“Pakai kok, Mba. Tenang aja,” ujar Isal santai.
Tangan kiri Isal tampak meremas-remas pantat Eno.
Tangan kanannya mengarahkan kontolnya menembus lubang memek tetangganya itu.
“Mba Eno gak suka main pakai kondom ya?” tanya Ben mencoba mengartikan wajah perempuan yang ada di depan kontolnya.
“Anu, Mas. Gak pernah pakai kondom.
Dulu banget pernah coba-coba sama suami. Tapi ya gitu. Lebih enak gak pakai kondom sih.
Cuma anu, Mas. Mba Katy sama Mba Lina bilang jangan lupa pakai kondom kalau seperti ini,” jelas Eno.
“Nih, dirasain aja dulu, Mba,”
Sleeeeeeeph. Suara kontol Isal terdengar lirih membelah memek Eno.
“Iyaaaaaaaaaaahhhhhhhh… Oooooohhh… Maaaasss. Kok sesaaaaaakhhhh?” Eno meracau merasakan memeknya ditembus kontol gemuk Isal.
Ploookhh… Plooookkhhh.. Plaaaaakhh… Plaaaaakkkh. Suara pertemuan paha Isal dan Eno masih dalam tempo sedang teratur.
Eno masih tertunduk di samping kontol Isal yang ia kocok pelan.
Rupanya dia masih menyesuaikan rasa nikmat yang diterima memeknya saat ini.
Sebentar saja menyesuaikan diri, Eno teringat ada kontol di hadapannya yang ingin dipuaskan juga.
Eno tak menyangka ada di momen harus memuaskan dua kontol sekaligus.
Seperti halnya ia tak terpikir akan sebinal ini.
Tidak terbayangkan seperti apa petualangan seksnya di waktu-waktu yang akan datang.
Pastinya saat ini dia mengejar kenikmatan yang maksimal.
Kenikmatan yang sering ia bayangkan sejak melihat ekspresi Lina beradu syahwat dengan dua lelaki sekaligus.
Ekspresi kepuasan Lina yang begitu menghanyutkan.
Kali ini ditambah dengan motivasi mengimbangi dua pejantannya malam ini.
Ini memang kesempatan pertama. Tapi gak boleh biasa-biasa saja.
Eno berharap memberikan kesan yang baik pada Isal dan Ben.
erlebih Isal yang tiap hari dia temui. Sudah masuk, basah sekalian.
Sebasah memek Eno menyambut genjotan Isal yang semakin meningkat.
HHooooofht,,, Hooffhfht..Hoohft. Erangan Eno tertahan kontol Ben yang ada di mulut mungilnya.
Punggung Eno naik turun tak menentu. Enak? Sudah pasti. Tinggal menunggu pertahanannya saja dijebol Isal.
“Bentar, Mas Ben… Hini lagih henaaaggg,” Eno meminta pengertian Ben demi menghayati nikmatnya entotan kontol Isal.
Ben pun berinisiatif duduk di hadapan Eno. Kedua tangan Ben meremas kedua toked Eno.
Dengan sedikit menunduk, Ben mendaratkan ciumannya di bibir Eno.
Istri Soni itu pun kalang kabut menerima kenikmatan di sekujur tubuhnya.
“Kok aku dikeroyok begini, thoooo?” Tanyanya tanpa berharap jawaban.
“Enaaaak bangeeet, Mas… Bentar lagi iniiii.” Tambah Eno.
Isal semakin mempercepat pompaannya. “Dapheeeeeet aku, Maaaaas. Hooooooooooh.” lolongan panjang Eno menandai orgasme keduanya malam itu.
Klimaks. Badan Eno melengkung ke bawah. Kepalanya terbaring pada ranjang. Matanya dipaksa menutup menahan kenikmatan.
“Aku mau di atas, Mas,” Eno mengangkat kepalanya menghadap Ben lalu bertanya: “Boleh ya, Mas Ben?
Ben merespons dengan duduk dan mengambil kondom. Ia menarik Eno mengangkangi selangkangannya.
Eno membantu mengarahkan kontol Ben ke dalam memeknya.
Sleeeeppphhh. Eno belum menyerah. Ia menggoyangkan pinggul sekenanya.
Entah lupa caranya atau memang masih lemas akibat orgasme.
Sementara Ben memegang kokoh kedua toked Eno lalu mencaplok puting kiri dengan mulutnya.
Lidah Ben menari-menari di atas puting Eno. Ooooooh. Ooooohh. Ooooohhh…. eno merespons dalam racauan kenikmatan.
Sementara Isal berdiri di atas tempat tidur. Kontol tanpa kondomnya ia arahkan ke mulut Eno minta diisap.
Gayung pun bersambut. Eno menggunakan paha kiri dan kanan Isal untuk berpegangan.
Dicaploknya kontol Isal lalu mulai memainkan dalam mulutnya. Sulit diperkirakan akhir dari permainan seks ini.
Eno yang pemula ternyata tak mudah dibuat kalah.
Tadinya Ben dan Isal tak berpikir untuk orgasme.
Kalau sudah sejauh ini tentu lebih baik dituntaskan sekalian.
Sayangnya Ben tak begitu menikmati Women on Top seperti yang sedang dilakukannya.
Gaya WoT biasanya hanya dia lakukan demi memberi kesempatan lawan main meraih orgasme cepat.
Namun Ben juga paham tak lama lagi Eno akan kembali orgasme.
Ekspresi nikmat Eno tak bisa dusta.
Goyangan maju mundur istri Soni ini semakin konstan.
Isapannya pada kontol Isal juga tak lagi teratur.
Eno jelas mengejar puncak kenikmatan ketiganya.
PoV Catherine
“Mas Soni. Rasain memek aku dulu ya. Memek Lina nanti gampang, Mas.
Tinggal ke rumah depan doank. Bisa sering-sering tuh. Eh tapi kalau mau ke rumah aku, boleh lho. Kabarin aja,”
Aku menyudahi isapanku pada kontol Soni.
Sementara Lina masih sibuk menjilati puting kiri suami Mba Eno itu. Mas Soni menang banyak deh kali ini.
Aku pun memamerkan keterampilan mulutku memasangkan kondom ke kontol Soni.
Trik ini kupelajari dari Lina. Mas Soni masih merintih tak berdaya diservis dari dua arah.
Kukangkangi kontolnya. Tampak memek berhias rambut tipis berbentuk segitigaku siap menelan kontol Mas Soni.
“Lin minggir dulu sih. Aku mau tokedku diisepin Mas Soni ini. Please ya Lin,” pintaku pada Lina.
“Aaaaaarrggghhh. Anjiiiing. Akhirnya kontol baru nih, Lin. Rasanya…. Rasanya… Rasa kontol, Lin,” racauku.
“Bawel nih tuan puteri,” komentar Lina.
Lina bangun. Bibirnya sempat mencaplok bibir Mas Soni sebelum diizinkan memainkan tokedku.
Sahabatku ini bergeser pindah di belakang Mas Soni.
Dua tangannya merangkul dari belakang, lali memainkan puting Mas Soni dengan jari-jarinya.
Aku mengangkat kepala Soni. Mencium bibirnya.
Ingin kupastikan sejauh mana teknik ciuman Mas Soni.
Mmmmmmpphhhhpmm.. Muaccch… Muacccchhh… Mmmmpppphh.
“Aaarrggghhhhhh. Uuuurgggh. Enak nih, dientot Mas Soni. “Ooooorggghh,” desahku.
Slluuuurpphhh… Sluuurrpphh… Sluuurrpphh… Ternyata suara Lina menjilat dan mengisap daun telinga Mas Soni.
“Memeknya Katy enak gak, Mas?” Tanya Lina setengah berbisik di telinga Mas Soni.
“Ooooooohhh…. Juara ini, Mba… Becek-becek sempiiiitt,” jawab Mas Soni sekenanya.
“Mas Soni kan belum rasain memekku, kok bisa tahu memek Katy yang juara? Habissss ini rasain memekku, Masss,” Goda Lina di telinga Mas Soni.
Aku hampir kehilangan konsentrasiku mengejar orgasme mendengar obrolan Lina.
Dasar Lina. Ada aja bahan obrolannya pas lagi begini. “Minggir, Liiiiin,” perintahku pada Lina.
Kudorong Mas Soni berbaring. Kupercepat goyanganku. Tak hanya maju mundur. Sekarang agak naik turun juga.
Klimaksku sudah di ujung. Biar cepat juga Mas Soni membandingkan memek mana yang lebih enak.
Tubuhku menegang. Kepalaku menunduk.
“Sssshhhhhhh… Ooooh. Mas Soniiii. Aku keluar duluan ya, Maaassshhh… Aaaarrrrghhh… Enaaaaaakkkhhh…
Mmmmuuaaccccch… Mmuuuuaachhhhhh… Kukecup bibir Mas Soni tanpa ampuuun.
Meski terkaget, dia mencoba mengimbangi ciumanku.
Ciuman orgasme yang memang biasa kulakukan. Bukan hanya pada Ben dan Isal.
Juga pada semua laki-laki yang pernah memberiku orgasme.
Perlahan aku turun dari atas Mas Soni. Kucabut kondom bekas memekku di kontolnya.
Kulemparkan bungkus kondom baru di antara Lina dan Mas Soni.
“Lemeeeesssshh, Liiin, lanjut dulu ya,” ujarku lirih tanpa peduli Lina mendengar atau tidak.
Kulihat Mas Soni bangun dan berlutut.
Aku paham dia ingin mengambil kendali.
Dari tadi dia hanya pasrah dipermainkan kami berdua. Kulihat Lina pun mengerti.
“Aku di bawah nih ya, Mas,” tutur Lina sambil membaringkan tubuh dan mengangkangkan kedua pahanya.
“Mas. Basahin dulu donk. Ini agak kering deh. Biar masuknya enak,” rayu Lina.
Kulihat Mas Soni menurut saja mengoral Lina.
Aku gak bisa melihat permainan lidah Mas Soni. Kenikmatan jilatan Mas Soni terkonfirmasi dari desahan Lina.
“Sssshhhhhh. Iya, Mas. Di situuuuu. Sssshhhhh, Jilatannya gitu enak, Mas…
Masukin jarimu juga donk. Biar kerasa sempitnya memek akuuuu,” pinta Lina.
Clooooookkkkhhh… clooookhhh… sluuurrphh… Sluuurpph.
Terdengar juga suara permainan jari dan lidah Mas Soni di memek Lina.
Kalau nanti kontol Mas Soni gak takluk di memek Lina, aku juga mau ngerasain servis Mas Soni.
“Siniiihhhh, Mhassssshhhh. Masukin aja kontolnya.
Memeknya udah basah bangeeet. Aku berbaring menyamping.
Kulihat tangan kiri Mas Soni menumpu pada lutut kanan Lina.
Sementara tangan kanannya dipakainya menuntun rudalnya menembus lubang memek Lina.
Aaaaaaarrrggghhh… Ooorrrgghhh. Desah sepasang tetangga ini kompak meresapi pertemuan kelamin mereka.
Ploooook… Plaaaaaak… Plooooookhhh. Plloooookh.
Suara paha bertemu paha bercampur bunyi kecipak memek becek Lina.
Selanjutnya rintihan Lina bersahut-sahutan dengan desahan Mas Soni memadu nafsu.
Aku dan Lina sejujurnya belum tahu kemampuan seks Mas Soni.
Ini pertama kalinya kami bersilaturahmi kelamin. Kami hanya mendengar cerita reputasi seksual Mas Soni ya dari Mba Eno.
Dugaanku dan juga Lina. Setidaknya Mas Soni masih bisa mengantar aku dan Lina meraih orgasme lewat penetrasi kontolnya.
Sebelum aku dientot Mas Soni, Lina sudah sempat orgasme lewat permainan lidah dan jarinya.
Aku berinisiatif turun tangan membantu Mas Soni menaklukkan Lina.
Tak peduli tenagaku yang belum pulih seutuhnya. Aku bangun duduk di samping Mas Soni yang sedang menggenjot Lina.
“Berasa kayak film Jepang kan, Mas?” Tanyaku padanya.
“Kata Mba Eno, di suka diajak nonton film Jepang tuuh,” godaku.
Kujilat puting kiri Mas Soni. Sedangkan jari tangan kananku memainkan puting lainnya.
“Iyaaaaaahhhh, Mbaaaaa… Rasa enaaaaaakh semuaaaaa. Gapapa ya, Mba kalo saya keluar cepet?” Tanya dia.
“Justru harus dikeluarin donk, Mas. Biar sama-sama enaaaak,” balasku.
Tangan kananku kuturunkan memainkan klitoris Lina. Ini anak harus dibantu juga biar cepetan ngecrot. Kasian dia kalau ditinggal Mas Soni.
“Aduuuuh, Keeeeet. Henaaaaaagggkkkhhh. Aduuuuuuh…
Kencengin, Mas Soniiii. Memek enaaaaakhhh,” racau Lina menahan nikmat.
Ploooookkhhh… Plooooookkhhh… Ploooookkhh…
“Iya, Mas. Gituuu.
Aduuuuuhhh. Ssssshhhh. Aaaarrgghhhh… Aaarrghhh… Bentar lagi,” Erangan khas Lina mendekati orgasmenya.
“Aaarrrrgghhhhhhh… Iya.. Iyaa…. Aduuuuuh. Tuh kan keluaaaaarr…. Hoooooooooooooohhhhh….
Aduh enaaaaaakh….. Haaaaah… Haaaaah.
Cium aku donk, Mas. Kayak tadi sama Katy lhooo,” sempat-sempatnya Lina menggoda Mas Soni di momen seperti ini.
Mmmuuuaaccchhh. Mmmuuuaaccchhh.
Sambil mencium Lina. Pompaan kontol Mas Soni tampak dipercepat.
Sudah sepantasnya dia mengejar orgasmenya.
Dia sudah berhasil menaklukkan dua perempuan yang mungkin sebelumnya hanya dapat diimpikan.
Aku sekali orgasme. Lina malah dua kali.
Plooookkhhh.. Plooookkkhhh. Plooookkhh..
“Saya bentar lagi nih, Mba Lina,” Mas Soni memberi informasi yang tak perlu.
“Keluarin, Massshhh.. Kan pake kondom,” balas Lina.
“Atau mau keluar di mukaku sama Katy? Keluar di mulutku juga boleh, Mas,” tawar Lina lagi.
“Oooooooohhh. Gak sempet, Mba.
Ini saya keluuuuaaaaarrrhhhh, Oooorrrgghhhhh.
Badan Mas Soni membungkuk mengisap puting Lina.
“Memekh Mba Lina juarah jugaaaaaahhh ternyataaaah,” ungkapnya terbata-bata.
Aku dan Lina spontan tertawa kecil mendengar komentar Mas Soni soal memek.
Dasar laki-laki kalo kena memek omongan sulit dipegang.
Namun di balik itu, tanpa sadar tertawa kami sebenarnya lebih pada kelegaan bahwa rencana kami bisa berjalan baik.
Ini bukan soal seberapa besar dan kuatnya kontol Mas Soni.
Bukan seberapa enak jilatan dia di memek kami.
Jelas bukan mengukur kemampuan seksnya.
Ini soal keterbukaan dan kepercayaan. Menghilangkan kecanggungan. Memulai sesuatu yang baru.
Setelah terbuka begini. Obrolan kami ke depan pasti lebih cair dan terbuka.
Soal tahan lama bisa diulang nanti. Soal jilatan bisa dicoba lagi.
Apa yang bisa membatasi fantasi? Masih banyak waktu untuk realisasi.
Mas Soni mencabut kontol dari memek Lina.
Ia berdiri, keluar kamar. Entah dia sadar atau tidak masih polos tanpa sehelai kain pun.
Atau mungkin saja dia biasa berkeliaran telanjang. Toh ini di rumahnya sendiri.
Tak lama ia masuk membawa dua gelas air dingin. “Minum, Mba,” ujarnya. Masing-masing diberikan padaku dan Lina.
“Iya, Mas. Mba Eno masih di rumahku.
Mau nyusul ke sana atau nunggu di sini aja bertiga?
Boleh lho entotin aku atau Katy lagi. Masih available nih, Mas,” goda Lina ke Mas Soni.
“Oh iya, Mba. Anu… Gimana ya? Takut nganggu kalau ke depan,” kata dia.
Kalau nunggu di sini aja ya kita temenin.
Tapi kalau mau nyusul ke depan, kita temenin juga,” ujarku mencoba menenangkannya.
“Gimana ya, Mba. Saya itu puas banget malam ini.
Ngebayangin Mba Lina. Eh malah ada Mba Katy juga.
Kok ya rezeki banget. Tadinya cuma kepikiran karena nonton film.
Ngobrolin fantasi begini sama Eno saja saya gak berani,” ungkap dia polos.
“Teruuuus. Perasaan Mas Soni sekarang bagaimana? Kepikiran Mba Eno gak?” Tanyaku.
“Ya kepikiran banget, Mba. Gitu-gitu kan istri saya.
Cuma ya saya tau diri juga. Ini udah mikir lama juga kok.
Kalau saya bisa sama Mba Lina sama Mba Katy, ya berarti Eno sama suaminya Mba Lina sama Mas Katy kan,”
“Mas Soni ngebayangin Mba Eno sama Isal sama Ben itu gimana rasanya?
Marah, cemburu, atau jengkel gak? Atau malah suka terus terangsang? Ganti Katy bertanya.
“Saya penasaran, Mba. Ada cemburunya.
Tapi kok ya pengen lihat gimana istriku begitu sama orang lain tuh, Mba,” Mas Soni mencoba menjelaskan.
Aku dan Lina saling melirik dan tersenyum.
Laki-laki ini memang punya fantasi tukar pasangan. Bahkan melihat pasangannya dipuaskan orang lain juga.
Dia hanya butuh momen dan lingkungan yang tepat seperti sekarang ini. Beruntung dia bertetangga dengan Lina.
“Mas Soni pakai baju dulu gih. Yang santai aja. Abis kita pakai baju, kita susulin ke depan yuk,” ajakku.
Lina berdiri mengambil celana pendek dan tanktopnya. Ia mencolekku sambil berkata, “Malam masih panjang, Ket,”
bersambung….