Dari Kami untuk Bersama part~7

Part VII: Awal Mula (bag 2)

Flashback ± 2 Tahun Silam

PoV Catherine

“Kamu yakin kita begini, Ket,” Isal bertanya dalam keraguannya.

“Memang kamu sendiri gimana? Mukamu aja bingung gitu kok, Sal,” jawabku.

“Menurutmuuuu? Isal membaringkan badannya di tempat tidur. Ia menarik nafas panjang.
Merapikan kaos tak berlengannya. Lalu dia menoleh ke arahku.
Aku pun jadi ikut berbaring di sampingnya. Bedanya aku menelungkupkan badanku.

Aku dan Isal berdua saja di atas ranjang kamar vila yang sudah kami sewa untuk dua malam.
Akhirnya kami bersepakat mencoba variasi seks yang sudah beberapa bulan kami bicarakan.
Aku bicara dengan Ben. Aku bicara dengan Lina. Lina bicara dengan suaminya.
Bahkan kami berempat sudah beberapa kali bicara.

Semuanya berawal kehamilanku. Tiba-tiba hubungan seksku dengan Ben menguap begitu saja.
Bahkan di bulan-bulan awal kehamilanku, aku benci ada di dekat Ben.
Menghirup aroma tubuhnya saja membuatku mau muntah.

Sepanjang kehamilanku, aku dan Ben hanya sekali saja berhubungan seks.
Itu pun aku paksakan karena Ben akan pergi cukup lama dengan kliennya di luar kota.
Mungkin ini yang orang bilang bawaan bayi. Aku pun tak paham. Tapi itu kenyataannya.

Berbulan-bulan selepas melahirkan aku masih asing dengan seks.
Aku mengurus anakku sendiri. Walaupun beruntung masih ditemani Mamanya Ben.
Namun lelahnya mengurus bayi membuatku melupakan seks.

Ben sempat beberapa kali mengajak berhubungan seks. Tak jarang juga ia memancing-mancing untuk itu.
Namun tampangku, ekspresiku, bentukku seperti otomatis menolak Ben.
Aku sadar Ben sangat butuh seks seperti manusia pada umumnya. Sayangnya aku yang merasa tidak butuh.

Untungnya Ben tidak pernah menganggap ini serius. Dia tetap bersikap biasa.
Tidak ada beda dengan sebelum-sebelum ini.
Namun aku sadar, ini perlu diselesaikan. Harus segera!

Aku khawatir Ben malah keterusan tidak tertarik pada seks.
Sementara suatu hari aku bisa saja kembali menginginkan berhubungan seks.
Kan repot kalau aku nafsu, sementar Ben sudah tidak tertarik dengan seks.
Atau malah tidak tertarik lagi denganku. Jangan sampe deh!

Kalau sudah begini, tentu Lina jadi jawabannya.
Aku mulai mendiskusikan masalah ini ke Lina.
Sahabatku ini tentu pendengar yang baik. Apa lagi soal laki-laki. Terlebih soal seks.
Pengalamannya dengan seks memang jauh lebih banyak daripada aku.
Keberaniannya soal seks juga jangan diragukan.
Aku sering risih sendiri kalau dia sudah cerita pengalaman seksnya. Sssssttttt… Entah suaminya tahu atau tidak.

Lina bahkan sudah bicara dengan Ben. Dia memberi banyak saran kepada suamiku.
Touring motoran berdua, Quality time berdua atau liburan romantis berdua.
Nonton film bokep lah, ke konsultan seks lah, aromatherapy lah. Semuanya sudah kucoba. Hasilnya nihil.

Aku gak mau ikuti saran Lina pakai obat perangsang. Aku maunya alami saja.
Sampai pada saran dia yang ekstrem, pijat sensual!
Ternyata Ben setuju mencoba ide Lina. Semuanya diserahkan padaku. Ben menyesuaikan saja.

Ben sempat mengundang terapis. Waktu itu terapisnya memang ganteng, seksi, pijatannya juga enak.
Aku sudah sempat bugil dipijet.
Namun waktu itu aku sendiri yang minta berhenti karena ngerasa gak nyaman.
Bisa-bisanya tubuhku ini dijamah orang yang aku gak baru temui di hari itu juga.

“Lumayan, Ket. Ini udah kemajuan kok. Pelan-pelan ya kan. Besok-besok kita pikirkan yang bikin kamu nyaman,” kuingat saran Lina waktu itu.

Sampai suatu hari saat liburan aku mengajak Isal dan Lina berlibur bersama di vila dengan fasilitas kolam renang.
Aku, Ben, Lina, dan Isal berenang berempat. Aku sebenarnya tidak begitu ingat apa yang terjadi di kolam renang.
Namun malamnya aku sempat bercumbu dengan Ben. Hal yang sudah lama tidak aku lakukan.

Aku ingat komentar Ben setelah kami berciuman dengan mesra.
Oh iya. Malam itu pun kami tidak sampai berhubungan seks.
“Maaaah. Tadi di kolam kayaknya kamu nyaman banget dengan Isal.
Rezeki banget si Isal gendong-gendong kamu tuh. Hehehehe,” ujarnya sambil tertawa.

“Hah! Apa iya, Ben? Duh. Maaf donk. Kamu cemburu ya? Aku gak ada maksud apa-apa lho, Ben.
Ya memang nyaman dengan Isal. Kan udah lama kenal. Wajar kaliiii,” aku coba menjelaskan.

Obrolanku dengan Ben soal kejadian di kolam renang ini kuceritakan pada Lina.
Respons dia yang membuatku kaget.
“Hehehehehe. Ya udah, besok pijet sensualnya sama Isal aja, Ket.
Kan kamu kemaren kurang nyaman. Ini sudah dapet nyamannya,” kata Lina. Entah serius atau bercanda.

“Lin, aneh-aneh aja kamu tuh.
Ntar kalau Isal beneran pijet terus kebablasan, kamu yang nangis-nangis.
Aku dibilang pelakor. Diviralkan di medsos. Terus kamu wawancara di podcast Deni Sugarmo deh,” balasku bercanda.

“Kalau Ben setuju, gimana? Mau gak, Ket? Kali ini nadanya tegas dan serius.

“Apa sih, Lin? Jawabku singkat.

“Ntar aku yang atur deh. Kita berdua ngomong sama Isal.
Kita berdua juga ngomong sama Ben.
Yang penting kamu mau dulu.
Kalau Ben izinin kamu pijet sama terapis, aku yakin kamu boleh dipijet Isal. Oke oke oke?” tanya Lina waktu itu.

“Terus kamu gimana?” Tanyaku balik.

“Aku itu sayang kamu, Ket… Ini kan demi masalahmu juga. Masalah serius lho ini.
Amit-amit deh sahabatku pisah sama lakinya cuma gara-gara gak ngentot doank
Urusan aku nanti gampang deh. Kita usaha dulu aja,” ujarnya berupaya bijak tapi mesum.

Setelah melewati berbagai obrolan dan pertimbangan. Sampailah di malam ini.
Kesepakatan kami akhirnya jauh dari sekadar pijet sensual.
Lina berhasil meyakinkan kami semua masuk gaya hidup yang sebelumnya tidak kami bayangkan.

Kami berempat sampai pada rencana untuk tukar pasangan.
Obrolannya tentu tak sesederhana ini.
Ada sejumlah konsekuensi yang kami antisipasi.
Ada banyak batasan yang kami rundingkan.
Yang jelas persahabatan kami di atas segalanya.

Aku sebenarnya terkejut Ben tertarik dengan ide ini. Namun reaksi Ben seperti sudah pernah diperkirakan Lina.
Begitu juga Isal senang-senang saja dengan variasi ini. Toh kami berempat sudah sangat saling mengenal.
“Kamu sama Katy pasti sering cerita-cerita soal hubungan seks masing-masing kan.”
Aku teringat komentar Isal yang membuatku geli sendiri

Hari itu kami berempat sudah tiba di vila sejak siang.
Setelah cukup rehat, kami melanjutkan dengan renang bersama untuk mencairkan suasana.
Ice breaking kalau di seminar-seminar.
Sebelumnya aku sempat ditemani Lina membeli bikini paling seksi yang pernah kumiliki.

Ben dan Isal sontak terperangah melihatku dalam balutan bikini seksi baru.
Dua bongkah pantatku kompak menjepit kain segaris bikiniku.
Bagian tokedku menantang siapa pun yang melihat.
Jangan tanya penampilan Lina. Modelnya udah jualan banget deh.

Suasana di antara kami berempat pun menjadi cair.
Lebih cair daripada suasana di kolam renang sebelumnya.
Lina berinisiatif mengajak kami bermain. Permainan sensual.
Aku tahu dia menyontek permainan ini dari TV Series Swing di Playboy TV. Lina mengoleksi lengkap semua season.

Aku bahkan sempat dipijet Isal di kursi santai kolam renang.
Suasana nyaman membuatku berani menantang Isal memijatku.
Cuek saja. Hanya kami berempat di kolam renang. Aku bahkan mencopot bra-ku saat dipijet.

Sementara di tepi kolam Lina tiduran di paha Ben dengan dada terbuka.
Ben terlihat santai menanggapi obrolan Lina sambil memamerkan toked andalannya.
Berulang kali Lina terlihat berbisik di telinga Ben. Entah apa yang diutarakan Lina.
Ben setia menanggapinya sambil tertawa. Mereka saling berbalas cubit juga.

Aku penasaran apa yang mereka bicarakan.
Aku juga sempat terpikir Ben dan Lina terlihat sangat menikmati.
Sementara aku dan Isal yang masih perlu lebih terbuka lagi.

Sore itu memang belum terjadi apa-apa.
Namun kami sudah sama-sama merasa pertukaran ini bisa lanjut ke tingkat berikutnya.
Aku kemudian mengajak Lina mandi bareng meminta tips. Mungkin juga memintanya meyakinkanku.

Kembali ke malam hari.
“Apa aku kurang seksi, Sal?
Aku bukan tipemu ya?
Kamu gak nafsu, gak tergiur gitu sama aku?
Kamu gak enak sama Ben atau gak enak sama Lina?” Tanyaku bertubi-tubi pada suami Lina.

“Ket. Gak ada masalah dengan bodymu atau semua-semuanya di kamu.
Laki-laki straight sih jelas gak bakal nolak kalo begini.
Ya ini sebenarnya bingung aja. Kita ini siapa ya kan? Terus nanti bagaimana? Tanya Isal padaku.

“Iya. Maaf ya, Sal kalau masih gugup. Hehehehe. Pelan-pelan gapapa kan? Aku coba mencairkan suasana.

“Iya, Ket. Santai. Pelan-pelan aja.
Tapi kamu beneran seksi kok pake baju begini. Cakep bangeet,” Kali ini giliran Isal yang mencoba membuatku rileks.

Aku dan Isal berdua di kamar tidur sisi kanan vila.
Sementara Ben dan Lina di kamar sebelah. Kamar ini memang lebih kecil daripada yang ditempati Ben dan Lina.
Tak apalah. Toh Lina berpesan gabung saja ke sebelah kalau aku berminat.

Aku akhirnya mengambil inisiatif.
Dia yang berbaring kurangkul dari samping.
Kusingkapkan kaosnya. Kujilat langsung puting susunya sebelah kanan.
Dia mengerang. Puting kirinya juga kumainkan dengan jari.
Ini harus berhasil. Tadi kami sempat berciuman tapi rasanya masih ganjil.

Kupertaruhkan reputasiku sekarang.
Dia harus menikmati ini. Kuharap aku juga menyusulnya menikmati upaya tukar pasangan ini.
Demi aku dan Ben ke depan. Demi semuanya. Tanggung! Kubuka kaosnya sekalian melewati kepalanya.

Kucium bibirnya. Kupaksakan bisa menikmati.
Toh Isal secara fisik juga di atas rata-rata.
Aku yakin pengalaman seksnya juga lebih dari cukup.
Yeeaaaaaay. Kali ini terasa jelas Isal merespons ciumanku.
Lebih dari sebelumnya. Mmmmmmuuuaacccch… Mmmmuuuaccchh…

Isal membalikkanku.
Kini aku yang di bawahnya. Ruangan ini mulai dipenuhi dengan aroma birahi.
Akhirnya kami terbawa suasana. Sayangnya masih hanya beradu bibir dan lidah saja.
Camisole-ku pun belum berani disentuh Isal. Padahal busana seksi ini dengan mudah dilucuti.

Tiba-tiba terpikir betapa seronoknya Lina di sebelah hanya mengenakan chemise hitam.
“Sal… Sal… Bentaaar… Sini deh, ikut.” Kudorong tubuh telanjang Isal ke samping.
Aku bangun dari tempat tidur. Kutarik tangan kiri Isal.

“Mau ke mana, Ket? Kamu gapapa main di luar? Tanya Isal bingung. Ia berpikir aku mengajaknya ena-ena di ruang tamu vila.

Di depan pintu kamar, kupegang kedua tangannya.
“Kita ikut ke kamar sebelah saja yuk? Liat Ben sama Lisa.
Kayaknya aku bakal cemburu deh kalau liat Lina servis si Ben.
Biar aku bisa lebih kepancing sama kamunya. Mau ya?” Aku memastikan persetujuan Isal.

Mulutnya bergeming tak bersuara.
Namun kepalanya mengangguk-angguk tanda setuju.
Kuberanikan diri meraba kontol di balik celana pendeknya.
“Sabar ya, Isal Kecil. Ntar Katy puasin kok,” kataku. Isal jelas terkejut.

Dua kali kukecup bibirnya pelan. Mmmmuuaccchh. Mmuuaach.
“Ternyata Kontolmu beneran gemuk.” Ujarku menggodanya.

Dari luar kamar terdengar desahan perempuan yang suaranya tidak asing. |
Tidak lain dan tidak bukan tentu Lina sahabatku, Istri Isal.
Pasti memeknya lagi dijilat si Ben. Darah perempuanku semakin memanas. Harusnya itu memekku yang dijilat Ben.

Perlahan kubuka pintu kamar tempat Ben dan Lina bergelut mesra. Cekleeeeeek.
Gilaaak posisinyaaaaa!

bersambung…..