Kisah Gadis Muda Pelayan Rumah Tangga

Bermula dari ditinggal istri kabur karena aku ketahuan mencari daun muda, akhirnya Terjadilah Cerita ini, antara gue dengan ningsih, pembantu baruku yang lugu.. Sebut saja namaku Paul. Aku bekerja di sebuah instansi pemerintahan di kota S, selain juga memiliki sebuah usaha wiraswasta.

Sebetulnya aku sudah menikah, bahkan rasanya istriku tahu akan hobiku mencari daun-daun muda untuk “obat awet muda”. Dan memang pekerjaanku menunjang untuk itu, baik dari segi koneksi maupun dari segi finansial. Namun semenjak istriku tahu aku memiliki banyak sekali simp*nan, suatu hari ia meninggalkanku tanpa pamit.

Biarlah, malah aku bisa lebih bebas menyalurkan h*srat. Karena pembantu yang lama keluar untuk k*win di desanya, aku terpaksa mencari penggantinya di agen. Bukan saja karena berbagai pekerjaan rumah terbengkalai, juga rasanya kehilangan “obat stress”.

Salah seorang calon yang menarik perhatianku bernama Ningsih, baru berusia (hampir) 16 tahun, berwajah cukup manis, dengan lesung pipit. Matanya sedikit sayu dan bib*rnya kecil seksi. Seandainya kulitnya tidak sawo matang (meskipun bersih dan mulus juga), dia sudah mirip-mirip artis sinetron.

Meskipun mungil, bodinya padat, dan yang terpenting, dari sikapnya, aku yakin pengalaman gadis itu tidak sepolos wajahnya. Tanpa banyak tanya, langsung dia kuterima. Dan setelah beberapa hari, terbukti Ningsih memang cukup cekatan mengurus rumah.

Namun beberapa kali pula aku memergokinya sedang sibuk di dapur dengan mengenakan kaos ketat dan rok yang sangat mini. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, aku mendekat dari belakang dan kucubit p*ha gadis itu. Ningsih terpekik kaget, namun setelah sadar majikannya yang berdiri di belakangnya, ia hanya merengut manja dan disinilah awal Cerita Kami Dimulai.

Sore ini sepulang kerja aku kembali dibuat melotot disuguhi pemandangan yang ‘menegangkan’ saat Ningsih yang hanya berdaster tipis men*ngging sedang mengepel lantai, pant*tnya yang montok bergoyang kiri-kanan. Tampak garis cel*na d*lamnya membayang di balik dasternya. Tidak tahan membiarkan pant*t ses*ksi itu, kutepuk pant*t Ningsih keras-keras.

“Ngepel atau nyanyi dangdut sih? Goyangnya kok mer*ngs*ng sekali!”
Ningsih terkikik geli mendengar komentarku, dan kembali meneruskan pekerjaannya. Dengan sengaja pant*tnya malah digoyang semakin keras.

Geli melihat tingkah Ningsih, kupegang pant*t gadis itu kuat-kuat untuk menahan goyangannya. Saat Ningsih tertawa cekikikan, jempolku sengaja mengelus sel*ngk*ngan gadis itu, menghentikan tawanya. Karena diam saja, perlahan kuelus p*ha Ningsih ke atas, menyingkapkan ujung dasternya.

”Eh… Ndoro… jangan..!” cegah Ningsih lirih.
“Nggak pa-pa, nggak usah takut, Nduk..!”
“Jangan, Ndoro… malu… jangan sekarang..!”

Dengan tergesa Ningsih bangkit membereskan ember dan kain pel, lalu bergegas menuju ke dapur. Malam harinya lewat intercom aku memanggil Ningsih untuk memijat punggungku yang pegal. Seharian penuh bersidang memang membutuhkan stamina yang prima. Agar tenagaku pulih untuk keperluan besok, tidak ada salahnya memberi pengalaman pada orang baru.

Gadis itu muncul masih dengan daster merah tipisnya sambil membawa minyak gosok. Ningsih duduk di atas ranjang di sebelah tubuhku. Sementara jemari lentik Ningsih memijati punggung, kutanya,
“Nduk, kamu sudah punya pacar belum..?”

“Disini belum Ndoro…” jawab gadis itu.
“Disini belum..? Berarti di luar sini sudah..?”
Sambil tertawa malu-malu gadis itu menjawab lagi,

“Dulu di desa saya pernah, tapi sudah saya putus.”
“Lho, kenapa..?”
“Habis mau enaknya saja dia.”

“Mau enaknya saja gimana..?” kejarku.
“Eh… itu, ya… maunya ngajak gituan terus, tapi kalau diajak k*win nggak mau.”
Aku membalikkan badan agar d*daku juga turut dipijat.

“Gituan gimana? Memangnya kamu nggak suka..?”
Wajah Ningsih memerah, “Ya… itu… ngajak kel*nan… tidur tel*nj*ng bareng…”
“Kamu mau aja..?”

“Ih, enggak! Kalau cuma disuruh ng*mut burungnya saja sih nggak pa-pa. Mau sampai selesai juga boleh. Tapi yang lain Ningsih nggak mau..!”
Aku tertawa, “Lha apa nggak belepotan..?”
“Ah, enggak. Yang penting Ningsih juga puas tapi tetep per*wan.”

Aku semakin terbahak, “Kalau kamu juga puas, terus kenapa diputus..?”
“Abis lama-lama Ningsih kesel! Ningsih kalau diajak macem-macem mau, tapi dia diajak k*win malah main mata sama cewek lain! Untung Ningsih cuma kasih *mut aja, jadi sampai sekarang Ningsih masih per*wan.”

“Main em*t terus gitu apa kamu nggak pengin nyoba yang beneran..?” godaku.
Wajah Ningsih kembali memerah, “Eh… katanya sakit ya Ndoro..? Terus bisa hamil..?”
Kini Ningsih berlutut meng*ngk*ngi tubuhku sambil menggosokkan minyak ke perutku.

Saat gadis itu sedikit membungkuk, dari balik dasternya yang longgar tampak belahan buah d*danya yang montok alami tanpa penopang apapun. Sambil tanganku meng*lus-el*s kedua p*ha Ningsih yang terk*ngk*ng, aku menggoda,
“Kalau sama Ndoro, Ningsih ngasih yang beneran atau cuma diem*t..?”

Pipi Ningsih kini merah padam, “Mmm… memangnya Ndoro mau sama Ningsih? Ningsih kan cuma pembantu? Cuma pelayan?”
“Nah ini namanya juga melayani. Iya nggak?”
Ningsih hanya tersenyum malu.

“Aaah! Itu kan cuma jabatan. Yang penting kan orangnya..!”
“Ehm.., kalau h*mil gimana..?”
“Jangan takut Nduk, kalau cuma sekali nggak bakalan h*mil. Nanti Ndoro yang tanggung jawab..”

Meskipun sedikit ragu dan malu, Ningsih menuruti dan menanggalkan dasternya. Sambil meletakkan pant*tnya di atas p*haku, gadis itu dengan tersipu menyilangkan tangannya untuk menutupi kemontokan kedua pay*daranya. Untuk beberapa saat aku memuaskan mata memandangi tubuh montok yang nyaris tel*nj*ng,

Sementara Ningsih dengan jengah membuang wajah. Dengan tidak sabaran kutarik pinggang Ningsih yang meliuk mulus agar ia berbaring di sisiku. Seumur hidup mungkin baru sekali ini Ningsih merasakan berbaring di atas kasur seempuk ini.

Langsung saja kusergap gadis itu, kuc*umi bib*rnya yang tersenyum malu, pipinya yang lesung pipit, mengger*yangi sekujur tubuhnya dan mer*mas-r*mas kedua pay*daranya yang kenyal menggiurkan. Put*ng sus*nya yang kemerahan terasa keras meng*cung. Kedua pay*dara gadis itu tidak terlalu besar, namun montok pas segenggaman tangan.

Dan kedua bukit itu berdiri tegak menantang, tidak menggantung. Gadis desa ini memang sedang ranum-ranumnya, siap untuk dipetik dan dinikmati.
“Mmmhh… Oh! Ahhh! Oh… Ndorooo… eh.. mmm… burungnya… mau Ningsih em*t dulu nggak..?” tanya gadis itu diantara nafasnya yang terengah-engah.

“Lepas dulu cel*na d*lam kamu Nduk, baru kamu boleh em*t.”
Tersipu Ningsih bangkit, lalu memelorotkan cel*na d*lamnya hingga kini gadis itu tel*nj*ng bulat. Perlahan Ningsih berlutut di sisiku, meraih kej*nt*nanku dan mendekatkan wajahnya ke sel*ngk*nganku.

Sambil menyibakkan rambutnya, gadis itu sedikit terbelalak melihat besarnya kej*nt*nanku. Mungkin ia membayangkan bagaimana benda berotot sebesar itu dapat masuk di tubuhnya. Aku segera merasakan sensasi yang luar biasa ketika Ningsih mulai meng*lum kej*nt*nanku, memainkan l*dahnya dan mengh*sap dengan mulut mungilnya sampai pipinya ‘kempot’.

Gadis ini ternyata pintar membuat kej*nt*nanku cepat gagah.
“Ehm… srrrp… mmm… crup! Ahmm… mmm… mmmh..! Nggolo (ndoro)..! Hangang keyas-keyas (jangan keras-keras)..! Srrrp..!”
Gadis itu tergeliat dan memprotes ketika aku meraih pay*daranya yang montok dan mer*masinya.

Namun aku tak perduli, bahkan tangan kananku kini meng*lus belahan pant*t Ningsih yang bulat penuh, terus turun sampai ke bib*r kem*lu*nnya yang masih jarang-jarang rambutnya. Maklum, masih per*wan. Gadis itu tergelinjang tanpa berani bersuara ketika jemariku menyibakkan bib*r kem*lu*nnya dan menelusup dalam kem*lu*nnya yang masih per*wan.

Merasa kej*nt*nanku sudah cukup gagah, kusuruh Ningsih mengambil pisau cukur di atas meja, lalu kembali ke atas ranjang. Tersipu-sipu gadis perawan itu mengambil bantal berusaha untuk menutupi ketel*nj*ngannya. Malu-malu gadis itu menuruti perintah majikannya berbaring telentang menekuk lutut dan merenggangkan p*hanya, mempertontonkan rambut kem*lu*nnya yang hanya sedikit.

Tanpa menggunakan foam, langsung kucukur habis rambut di sel*ngk*ngan gadis itu, membuat Ningsih tergelinjang karena perih tanpa berani menolak. Kini bib*r kem*lu*n Ningsih mulus kemerah merahan seperti kem*lu*n seorang gadis yang belum cukup umur, namun dengan pay*dara yang kencang.

Dengan sigap aku menindih tubuh montok menggiurkan yang tel*nj*ng bulat tanpa sehelai benang pun itu. Tersipu-sipu Ningsih membuang wajah dan menutupi pay*daranya dengan telapak tangan. Namun segera kutarik kedua tangan Ningsih ke atas kepalanya, lalu menyibakkan p*ha gadis itu yang sudah meng*ngk*ng.

Pasrah Ningsih memejamkan mata menantikan saatnya mempersembahkan keper*wanannya. Gadis itu menahan nafas dan menggigit bib*r saat jemariku mempermainkan bib*r kem*lu*nnya yang basah ter*ngs*ng. Perlahan kedua p*ha mulus Ningsih terk*ngk*ng semakin lebar.

Aku menyapukan ujung kej*nt*nanku pada bib*r kem*lu*n gadis itu, membuat nafasnya semakin memburu. Perlahan tapi pasti, kej*nt*nanku menerobos masuk ke dalam kehangatan tubuh per*wan Ningsih. Ketika sel*put dara gadis manis itu sedikit menghalangi, dengan perkasa kudorong terus, sampai ujung kej*nt*nanku menyodok dasar l*ang kem*lu*n Ningsih.

Ternyata kem*lu*n gadis ini kecil dan sangat dangkal masih per*wan. Kej*ntan*nku hanya dapat masuk seluruhnya dalam kehangatan keper*wanannya bila didorong cukup kuat sampai menekan dasar kem*lu*nnya. Itu pun segera terdesak keluar lagi.

Ningsih terpekik sambil tergeliat merasakan pedih menyengat di sel*ngk*ngannya saat kurenggutkan keper*wanan yang selama ini telah dijaganya baik-baik. Tapi gadis itu hanya berani mer*mas-r*mas bantal di kepalanya sambil menggigit bib*r menahan sakit.

Air mata gadis itu tak terasa menitik dari sudut mata, mengaburkan pandangannya. Ningsih merintih kesakitan ketika aku mulai bergerak menikmati kehangatan kem*lu*nnya yang serasa ‘megap-megap’ dijejali benda sebesar itu. Namun rasa sakit dan pedih di sel*ngk*ngannya perlahan tertutup oleh sensasi geli-geli nikmat yang luar biasa.

Tiap kali kej*nt*nanku menekan dasar kem*lu*nnya, gadis itu tergelinjang oleh ngilu bercampur nikmat yang belum pernah dirasakannya. Kej*ntan*nku bagai dir*mas-r*mas dalam liang kem*lu*n Ningsih yang begitu ‘peret’ dan legit. Dengan perkasa kudorong kej*nt*nanku sampai masuk seluruhnya dalam sel*ngk*ngan gadis itu, membuat Ningsih tergelinjang-gelinjang sambil mer*ntih nikmat tiap kali dasar kem*lu*nnya disodok.

“Ahh… Ndoro..! Aa… ah..! Aaa… ahk..! Oooh..! Ndorooo… Ningsih pengen… pih… pipiiis..! Aaa… aahh..!”
Sensasi nikmat luar biasa membuat Ningsih dengan cepat terorg*sme.
“Tahan Nduk! Kamu nggak boleh p*pis dulu..! Tunggu Ndoro p*pisin kamu, baru kamu boleh p*pis..!”

Dengan patuh Ningsih mengencangkan otot sel*ngk*ngannya sekuat tenaga berusaha menahan p*pis, kepalanya menggeleng-geleng dengan mata terpejam, membuat rambutnya berantakan, namun beberapa saat kemudian…
“Nggak tahan Ndorooo..! Ngh…! Ngh…! Ngggh! Aaaiii… iik..! Aaa… aaahk..!”

Tanpa dapat ditahan-tahan, Ningsih tergelinjang-gelinjang di bawah tindihanku sambil memekik dengan nafas tersengal-sengal. Pay*daranya yang bulat dan kenyal berguncang menekan d*daku saat gadis itu memeluk erat tubuh majikannya, dan kem*lu*nnya yang begitu rapat bergerak mencucup-cucup.

Berpura-pura marah, aku menghentikan genjotannya dan menarik kej*nt*nanku keluar dari tubuh Ningsih.
“Dibilang jangan p*pis dulu kok bandel..! Awas kalau berani p*pis lagi..!”
Tampak kej*nt*nanku bersimbah cairan bening bercampur kemerahan, tanda gadis itu betul-betul masih per*wan.

Gadis itu mengira majikannya sudah selesai, memejamkan mata sambil tersenyum puas dan mengatur nafasnya yang ‘senen-kamis’. Di pangkal p*ha gadis itu tampak juga d*rah per*wan menitik dari bib*r kem*lu*nnya yang perlahan menutup.

Aku menarik pinggang Ningsih ke atas, lalu mendorong sebuah bantal empuk ke bawah pant*t Ningsih, membuat tubuh tel*nj*ng gadis itu agak melengkung karena pant*tnya diganjal bantal. Tanpa basa-basi kembali kutindih tubuh montok Ningsih, dan kembali kut*nc*pkan kej*nt*nanku dalam liang kem*lu*n gadis itu.

Dengan posisi pant*t terganjal, kl*nt*t Ningsih yang peka menjadi sedikit mendongak. Sehingga ketika aku kembali melanjutkan tus*kanku, gadis itu tergelinjang dan terpekik merasakan sensasi yang bahkan lebih nikmat lagi dari yang barusan.
“Mau terus apa brenti, Nduk..?” godaku.

“Aii… iih..! He.. eh..! Terus Ndorooo..! Enak..! Enak..! Aahh… Aiii… iik..!”
Tubuh Ningsih yang montok menggiurkan tergel*njang-gel*njang dengan nikmat dengan nafas tersengal-sengal diantara pekikan-pekikan manjanya.
“Ooo… ohh..! Ndoroo.., Ningsih pengen p*pis.. lagiii… iih..!”

“Yang ini ditahan dulu..! Tahan Nduk..!”
“Aa.. aak..! Ampuuu… unnhh..! Ningsih nggak kuat… Ndorooo..!”
Seiring pekikan manjanya, tubuh gadis itu tergeliat-geliat di atas ranjang empuk.

Pekikan manja Ningsih semakin keras setiap kali tubuh tel*nj*ngnya tergerinjal saat kusodok dasar l*ang kegad*sannya, membuat kedua p*hanya tersentak meng*ngk*ng semakin lebar, semakin mempermudah aku menikmati tubuh per*wannya.

Dengan gemas sekuat tenaga kur*mas-r*mas kedua pay*dara Ningsih hingga tampak berbekas kemerah-merahan. Begitu kuatnya r*masanku hingga cairan putih sus* menitik keluar dari put*ngnya yang kecoklatan.
“Ahhhk..! Aaa.. aah! Aduu.. uhh! Sakit Ndorooo..! Ningsih mau pipiiiiss..!”

Dengan maksud menggoda gadis itu, aku menghentikan sodokannya dan mencabut kej*nt*nannya justru disaat Ningsih mulai org*sme.
“Mau p*pis Nduk..?” tanyaku pura-pura kesal.
“Oohh… Ndorooo… terusin dong..! Cuma ‘dikit, nggak pa-pa kok..!” rengek gadis itu manja.

“Kamu itu nggak boleh p*pis sebelum Ndoro p*pisin kamu, tahu..?” aku terus berpura-pura marah.
Tampak bib*r kem*lu*n Ningsih yang gundul kini kemerah-merahan dan bergerak berd*nyut.
“Enggak! Enggak kok! Ningsih enggak berani Ndoro..!”

Ningsih memeluk dan berusaha menarik tubuhku agar kembali menindih tubuhnya. Rasanya sebentar lagi gadis itu mau p*pis untuk ketiga kalinya.
“Kalau sampai p*pis lagi, Ndoro bakal marah, lho Nduk..?” kur*mas kedua buah d*da montok Ningsih.

“Engh… Enggak. Nggak berani.” Wajah gadis itu berkerut menahan p*pis.
“Awas kalau berani..!” kukeraskan cengkeraman tangannya hingga pay*dara gadis itu seperti balon melotot dan cairan putih sus* kembali menetes dari put*ngnya.
“Ahk! Aah..! Nggak berani, Ndoro..!”

Ningsih mengg*git bib*r menahan sakitnya r*masan-r*masanku yang bukannya dilepas malah semakin kuat dan cepat. Namun gadis itu segera merasakan ganjarannya saat kej*nt*nanku kembali menghajar kem*lu*nnya. Tak ayal lagi, Ningsih kembali tergiur tanpa ampun begitu dasar liang kem*lu*nnya ditekan kuat.

“Ngh..! Ngh..! Nggghhh..! Ahk… Aaa… aahhh..! Ndorooo… ampuuu… uun..!”
Tubuh montok gadis itu tergerinjal seiring pekikan manjanya. Begitu cepatnya Ningsih mencapai puncak membuat aku semakin gemas menggeluti tubuh per*wannya.

Tanpa ampun kucengkeram kedua bukit montok yang berdiri menantang di hadapanku dan mer*masinya dengan kuat, meninggalkan bekas kemerahan di kulit pay*dara Ningsih. Sementara genj*tan demi genj*tan kej*nt*nanku menyodok kem*lu*n gadis itu yang hangat mencucup-cucup menggiurkan, bagai memohon semburan puncak.

Gadis itu sendiri sudah tak tahu lagi mana atas mana bawah, kenikmatan luar biasa tidak henti-hentinya memancar dari sel*ngk*ngannya. Rasanya seperti ingin p*pis tapi nikmat luar biasa membuat Ningsih tidak sadar memekik-mekik manja.

Kedua p*hanya yang sehari-hari biasanya disilangkan rapat-rapat, kini terk*ngk*ng lebar, sementara liang kem*lu*nnya tanpa dapat ditahan-tahan berdenyut mencucup kej*nt*nanku yang begitu perkasa mengg*gahinya. Sekujur tubuh gadis itu basah bersimbah keringat.

“Hih! Rasain! Dibilang jangan p*pis! Mau ngelawan ya..!” Gemas kucengkeram kedua buah d*da Ningsih erat-erat sambil menghentakkan kej*nt*nanku sejauh mungkin dalam kem*lu*n dangkal gadis itu. Ningsih terg*linjang-gel*njang tidak berdaya tiap kali dasar kem*lu*nnya disodok.

Pant*t gadis itu yang terganjal bantal empuk berulangkali tersentak naik menahan nikmat.
“Oooh… Ndorooo..! Ahk..! Ampun..! Ampun Ndoroo..! Sudah..! Ampuuu.. unn..!” Ningsih merintih memohon ampun tidak sanggup lagi merasakan kegiuran yang tidak kunjung reda.

Begitu lama majikannya mengg*gahinya, seolah tidak akan pernah selesai. Tidak terasa air matanya kembali berlinang membasahi pipinya. Kedua tangan gadis itu menggapai-gapai tanpa daya, p*ha mulusnya tersentak terkangkang tiap kali kem*lu*nnya dijejali kej*nt*nanku, nafasnya tersengal dan terputus-putus.

Bagian dalam tubuhnya terasa ngilu disodok tanpa henti. Putus asa Ningsih merengek memohon ampun, majikannya bagai tak kenal lelah terus mengg*gahi keg*disannya. Bagi gadis itu seperti bertahun-tahun ia telah melayani majikannya dengan pasrah.

Menyadari kini Ningsih sedang terorg*sme berkepanjangan, aku tarik p*ha Ningsih ke atas hingga menyentuh pay*daranya dan merapatkannya. Akibatnya kem*lu*n gadis itu menjadi semakin sempit menjepit kej*nt*nanku yang terus menghentak keluar masuk.

Ningsih berusaha kembali meng*ngk*ng, namun dengan perkasa semakin kurapatkan kedua p*ha mulusnya. Mata Ningsih yang bulat terbeliak dan berputar-putar, sedangkan bib*rnya merah merekah membentuk huruf ‘O’ tanpa ada suara yang keluar. Sensasi antara pedih dan nikmat yang luar biasa di sel*ngk*ngannya kini semakin menjadi-jadi.

Aku semakin bersemangat mengg*njotkan kej*nt*nanku dalam hangatnya cengkeraman pangkal p*ha Ningsih, membuat gadis itu terpekik-pekik nikmat dengan tubuh terdorong menyentak ke atas tiap kali kem*lu*nnya disodok keras.
“Hih! Rasain! Rasain! Nih! Nih! Nihh..!” aku semakin geram merasakan kem*lu*n Ningsih yang begitu sempit dan dangkal seperti mencucup-cucup kej*nt*nanku.

“Ahh..! Ampuuu…uun… ampun… Ndoro! Aduh… sakiit… ampuuu… un..!”
Begitu merasakan kenikmatan mulai memuncak, dengan gemas kur*mas kedua pay*dara Ningsih yang kemerah-merahan berkilat bersimbah keringat dan cairan putih dari put*ngnya, menumpukan seluruh berat tubuhku pada tubuh gadis itu dengan kedua p*ha gadis itu terjepit di antara tubuh kami, membuat tubuh Ningsih melesak dalam empuknya ranjang.

Pekikan tertahan gadis itu, gel*njangan tubuhnya yang padat tel*nj*ng dan ‘peret’-nya kem*lu*nnya yang masih per*wan membuatku semakin hebat menggeluti gadis itu.
“Aduh! Aduu… uuhh… sakit Ndoro! Aaah… aaamm… aaammpuuun… ampuuu… uun Ndoro.. Ningsih… pipiiii… iiis! Aaammm… puuun..!”

Dan akhirnya kuh*jamkan kej*nt*nanku sedalam-dalamnya memenuhi kem*lu*n Ningsih, membuat tubuh tel*nj*ng gadis itu terlonjak dalam tindihanku, namun tertahan oleh cengkeraman tanganku pada kedua buah d*da Ningsih yang halus mulus.

Tanpa dapat kutahan, kusemburkan sp*rma dalam cucupan kem*lu*n Ningsih yang hangat menggiurkan sambil dengan sekuat tenaga mer*mas-r*mas kedua buah d*da gadis itu, membuat Ningsih tergerinjal antara sakit dan nikmat.
“Ahk! Auh..! Aaa… aauuhh! Oh… ampuuu…uun Ndoro! Terus Ndoro..! Ampuuun! Amm… mmh..! Aaa… aaakh..!”

Dengan puas aku menjatuhkan tubuh di sisi tubuh Ningsih yang sintal, membuat gadis itu turut terguling ke samping, namun kemudian gadis itu memeluk tubuhku. Sambil terisak-isak bahagia, Ningsih memeluk tubuhku dan mengelus-elus punggungku.

Sambil mengatur nafas, aku berpikir untuk menaikkan gaji Ningsih beberapa kali lipat, agar gadis itu betah bekerja di sini, dan dapat melayaniku setiap saat. Dengan tubuh yang masih gemetar dan lemas, Ningsih perlahan turun dari ranjang dan mulai melompat-lompat di samping ranjang.

Keheranan aku bertanya, “Ngapain kamu, Nduk..?”
“Katanya… biar nggak h*mil harus lompat.. lompat, Ndoro..” jawab gadis itu polos.
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya, melihat cairan kental meleleh dari p*ngkal p*ha gadis itu yang mulus tanpa sehelai rambut pun.