RAHASIA ISTRI PENJUAL JAMU

BAGIAN 1

Seringkali kita mendengar ungkapan kebanyakan orang, bahwa perjalanan hidup itu seperti roda berputar. Kadang kita di atas, kadang di tengah, dan bisa juga berada di bawah. Ungkapan itu tidak salah, karena banyak orang mengamini hal tersebut, dan hal itu memang terjadi di dalam hidup mereka. Namun, aku merasakan perjalanan hidupku tidak seperti roda yang selalu berputar. Bagiku, perjalanan hidupku lebih mirip permainan wahana Jet Coaster. Saat menanjak, terasa lambat dibandingkan saat menurun, tetapi tidak lama kemudian, menanjak lagi dan turun lagi. Dan yang aku rasakan adalah hidupku lebih sering menanjak, terasa berat dan melelahkan. Setiap kali aku merasa akan mencapai puncak, muncul lagi masalah baru yang menambah beban. Kebahagiaan terasa singkat, seolah hanya muncul sebagai jeda singkat di antara kesulitan yang panjang. Terkadang aku bertanya, kapan turunan itu tiba, kapan aku bisa merasakan waktu di mana segalanya berjalan lancar tanpa hambatan.

Aku sadar, sumber utama dari semua beban ini berasal dari suamiku. Dia bukanlah sosok yang romantis, jauh dari kata peduli. Hari demi hari berlalu dengan sikapnya yang dingin dan tak acuh. Ketika aku berharap ada dukungan atau sedikit perhatian, yang kutemukan hanyalah kehampaan. Lebih buruk lagi, sering kali dia bertindak kasar, baik dengan kata-kata maupun sikapnya. Sifat-sifat buruknya itu semakin diperparah oleh hal yang tak pernah kubicarakan pada siapa pun, ukuran kontolnya yang kecil dan ejakulasi dini yang sering terjadi. Lengkap sudah penderitaanku. Hubungan intim kami tak pernah terasa memuaskan, baik secara emosional maupun fisik. Semua ini menambah lapisan rasa kecewa dan kesepian yang sudah lama bersarang di hatiku.

Namaku Asti Purwadinata, usiaku 24 tahun. Tinggiku 165 cm dengan berat badan 70 kg. Tubuhku cukup berisi, tapi tidak gemuk. Aku sering mendengar orang bilang aku punya bentuk tubuh yang menarik perhatian. Wajahku tidak bisa dibilang cantik, tapi tetap saja sebagian laki-laki sering menunjukkan ketertarikan yang tidak sopan. Mereka melirikku dengan tatapan yang sebenarnya tidak sepantasnya, namun entah mengapa, ada rasa senang ketika menjadi pusat perhatian mereka. Lingkar dadaku 38D, dan ini sering menjadi alasan kenapa pandangan orang tertuju padaku, meskipun aku diam-diam menikmati perhatian itu. Aku sudah menikah selama empat tahun. Dalam pernikahan ini, aku sering merasa kurang bahagia. Suamiku tidak memberiku perasaan nyaman yang aku harapkan. Hidup bersamanya lebih banyak diisi kekosongan dan rasa kecewa. Setiap hari, aku menjalani rutinitas sebagai ibu rumah tangga tanpa anak. Meskipun aku sibuk dengan urusan rumah, aku juga mengelola kedai jamu yang cukup terkenal. Kedai itu dijalankan dengan bantuan beberapa karyawan, baik laki-laki maupun perempuan. Kedai ini adalah salah satu hal yang membuatku merasa sedikit lebih berarti dalam hidupku.

Pagi itu, aku sedang berdiri di depan kompor, merebus racikan jamu untuk persiapan kedai jamu milikku. Aroma herbal memenuhi dapur, mendidih dalam panci besar yang selalu kupakai setiap pagi. Pikiranku sibuk menghitung bahan-bahan yang harus kusiapkan hari ini, sementara tanganku terus mengaduk perlahan. Suamiku datang tanpa suara, mengenakan pakaian rapi seperti biasanya. Ia langsung duduk di kursi meja makan, tidak mengatakan apa-apa. Di hadapannya sudah tersaji sepiring nasi goreng yang telah kubuat lebih awal. Aku mendengar suara sendok yang berbenturan dengan piring, tanda dia mulai menyantap sarapannya. Seperti hari-hari sebelumnya, aku enggan menegurnya lebih dulu. Aku tetap fokus pada pekerjaanku, memunggunginya, berpura-pura sibuk dengan jamu yang sedang kusiapkan.

Tiba-tiba suamiku berkata yang sukses membuatku terkejut, “Kenapa kamu gak pernah dengar kata-kata aku? Aku udah bilang berkali-kali gak suka makanan pedas!” suaranya ketus, menusuk keheningan pagi.

Aku terkejut. Aku tahu pasti kalau nasi goreng yang kubuat tadi pagi tidak kuberi sambal atau cabai. Rasanya seharusnya tidak mungkin pedas. Aku mencoba mengingat langkah-langkahku saat memasak, dan aku yakin tidak menambahkan bahan pedas apa pun.

“Nasi goreng itu gak pedas,” jawabku pelan, menahan rasa tidak enak di dadaku. “Aku gak pakai sambal sama sekali.”

“Pedas, Asti! Kamu masak apa sih? Rasanya kayak kebakar lidahku,” suaranya semakin tajam.

Aku menoleh perlahan, melihat wajahnya yang berkerut dengan ekspresi tidak puas. “Aku beneran gak pakai sambal atau cabai. Aku tahu kamu gak suka pedas,” aku mencoba menjelaskan dengan nada yang lebih lembut, berharap ini hanya salah paham.

“Selalu aja begitu. Kamu gak pernah dengar kalau aku bilang sesuatu,” ia membentak lagi, nada marahnya makin keras. “Kamu selalu merasa paling benar. Aku udah bilang berkali-kali, tapi kamu keras kepala, Asti!”

Hatiku berdenyut perih mendengar kata-katanya. “Aku cuma mau bikin kamu sarapan… aku gak sengaja kalau itu memang pedas.” Suaraku mulai gemetar, perasaan sedih menguasai diriku.

“Kamu gak pernah dengerin aku. Susah dikasih tahu!” katanya tegas, tanpa sedikit pun nada lembut dalam suaranya. Setelah itu, tanpa memberikan kesempatan untukku menjelaskan, dia berdiri dan pergi begitu saja.

Aku terdiam sambil mengatur napas. Kata-katanya terasa menghujam dadaku, menyisakan rasa perih yang sulit dijelaskan. Selama ini, aku selalu berusaha sebaik mungkin untuk menyenangkan dia, melakukan segala sesuatu yang dia butuhkan, memenuhi keinginannya. Namun, apapun yang kulakukan, selalu saja ada yang salah di matanya. Tidak bisakah, setidaknya sekali saja, dia berkata lebih lembut? Bukankah lebih baik jika dia tidak berkata apa-apa, diam saja, daripada terus mengucapkan kata-kata yang menyakitkan? Di dalam hati, aku bertanya-tanya, kenapa setiap kesalahanku seolah jadi alasan baginya untuk menghakimi? Apakah sulit baginya menunjukkan sedikit pengertian, memberikan sedikit ruang untukku bernapas? Rasanya, setiap usaha yang kulakukan seolah tidak pernah cukup.

Aku meneruskan pekerjaanku meracik jamu. Aroma herbal yang kuat mengisi ruangan, menutupi rasa sakit hati yang menyengat. Setiap ramuan yang kuaduk seolah mengalirkan semangat baru ke dalam diriku. Kesedihan dan kekecewaan perlahan tersingkir saat tanganku bergerak lincah menyiapkan bahan-bahan. Jahe dan rempah lainnya menjadi teman setiaku di saat hati terasa hampa. Hanya melalui pekerjaan ini aku menemukan sedikit kebahagiaan. Proses meracik jamu menjadi pengalih perhatian dari segala masalah yang membebani pikiranku. Menjadi penjual jamu adalah cara yang ampuh menghalau kegelisahan dan kegundahan. Kesibukan di kedai membuatku merasa lebih hidup. Pelanggan yang datang membawa semangat baru. Dalam setiap senyuman yang kuperoleh, ada harapan dan energi positif yang mengalir ke dalam diriku.

Aku masih sibuk mengaduk panci besar di atas kompor, pikiranku melayang entah ke mana, terjebak dalam kebiasaan lamunan yang tak kunjung reda. Tiba-tiba, suara yang kukenal memecah keheningan, “Nduk…” Suara itu berasal dari belakangku. Aku tahu betul siapa pemilik suara itu, tetapi tetap saja, jantungku berdegup kencang karena terkejut. Lamunanku pecah seketika.

Aku segera menoleh dengan wajah masam. “Mbah, kebiasaan ngagetin aja,” kataku dengan nada sedikit kesal. Mataku memandang Si Mbah, laki-laki tua yang sering datang ke rumahku tanpa aba-aba. “Kalau masuk, sebaiknya salam dulu,” protesku, suaraku terdengar sedikit sedih, lebih karena suasana hatiku yang sedang tidak baik.

Si Mbah hanya terkekeh pelan. “He he he…” tawanya khas, ringan, seperti tidak pernah terbebani oleh apa pun. Ia berjalan perlahan menuju meja dapur, sambil mengeluarkan sebuah bungkusan plastik. “Ini, jamu ginsengnya Nduk,” katanya sambil meletakkan bungkusan itu di atas meja.

Si Mbah sebenarnya adalah pamanku, adik dari ayahku. Usianya sudah 53 tahun, tetapi tubuhnya masih segar, terawat baik, dan selalu tampak bugar. Si Mbah inilah yang mengajariku meracik jamu sejak aku masih remaja. Dari dia, aku belajar memahami setiap bahan dan khasiatnya. Berkat didikannya, aku bisa membuka kedai jamu yang kini kujalankan. Tidak hanya soal meracik, Si Mbah juga mengajariku cara menjual jamu dengan cara yang baik dan benar. Bagaimana melayani pelanggan, menjaga kualitas, hingga menjaga hubungan baik dengan para pembeli, semua datang dari ajaran Si Mbah.

Si Mbah sudah aku anggap sebagai orangtuaku sendiri. Sejak kecil, aku diasuh olehnya dengan penuh perhatian dan kesabaran. Tidak hanya mengajarku soal hidup, Si Mbah memberikan arahan dalam banyak hal yang akhirnya membentukku hingga menjadi seperti sekarang. Bersama Bude, mereka merawatku dengan kasih sayang yang tak pernah kurang. Mereka memperlakukan aku seolah aku adalah anak kandung mereka sendiri. Si Mbah dan Bude memiliki seorang anak yang kini bekerja di Jakarta. Anak mereka telah menjadi seorang pengusaha yang berhasil. Kesuksesannya terlihat dari seringnya ia mengirim uang untuk membantu mereka, meskipun Si Mbah dan Bude tidak pernah meminta apa-apa.

“Nduk, kendi buat jamu ginseng Mbah kamu simpan di mana?” tanya si Mbah.

Aku masih sibuk dengan pekerjaanku, mengaduk racikan jamu yang hampir matang. “Di lemari, Mbah,” jawabku sambil tetap memerhatikan panci di depanku. “Itu di ujung. Kemarin baru aku cuci, jadi aku simpan dulu di situ.” Suaraku terdengar datar, pikiranku masih sibuk memikirkan berbagai hal yang tak kuungkapkan.

Si Mbah mengangguk pelan, lalu berkata sambil berjalan menuju lemari, “Wah, nggak perlu dicuci, Nduk. Tapi ya sudah, biar bersih juga nggak apa-apa.”

Aku mengangkat panci dari kompor, merapikan racikan jamu yang telah selesai. “Jamu ginseng Mbah laku keras, loh, Mbah …. Banyak pelanggan yang kehabisan. Kalau bisa, Mbah buat lebih banyak lagi, biar nggak ada yang kecewa,” kataku, mencoba menyelipkan sedikit candaan, walaupun hatiku terasa berat.

Si Mbah terkekeh pelan, membuka lemari dan mengambil kendinya. “Mbah nggak bisa janji, tenagaku sudah nggak sekuat dulu,” katanya sambil memandangi kendi. “Tapi nggak heran kalau laku keras, Nduk. Jamu ginseng Mbah ini bikin badan segar, juga kuat ‘begituan’, he he he.”

Aku tersenyum tipis, meski perasaan itu tak sepenuhnya tulus. “Sayang Mas Tio nggak suka minum jamu,” gumamku, suara yang keluar dari mulutku terdengar lelah.

Si Mbah menatapku sekilas, lalu menimpali, “Harusnya kamu paksa dia minum jamu ginseng ini. Biar lebih baik di ranjang, siapa tahu dia berubah.”

Aku menggeleng pelan, menahan rasa kecewa yang selalu menyertainya. “Kalau dipaksa, Mbah, dia malah marah-marah.”

Mas Tio adalah suamiku. Nama lengkapnya Tio Kusumajaya. Usianya 28 tahun, dengan tinggi badan 170 cm dan berat 80 kg. Pekerjaannya sebagai mandor di sebuah proyek perumahan. Dari luar, Mas Tio terlihat seperti pria yang bertanggung jawab, selalu sibuk mengawasi pekerjaannya. Namun, sifatnya sering membuatku sedih. Dia bukan tipe pria romantis yang aku harapkan. Selain itu, dia cenderung kasar, baik dalam kata-kata maupun sikapnya. Rasa cemburunya juga berlebihan, melebihi apa yang bisa aku toleransi. Mas Tio sangat posesif, selalu merasa harus mengendalikan hidupku, dan aku merasa semakin terjebak dalam hubungan yang membuatku lelah.

Si Mbah tahu semua sifat Mas Tio. Aku sering curhat kepadanya tentang pernikahanku yang tidak bahagia. Setiap kali aku bercerita tentang sikap Mas Tio yang kasar, tidak romantis, dan terlalu cemburu, Si Mbah selalu mendengarkan dengan tenang. Aku merasa lega setiap kali bisa berbicara dengan Si Mbah, meski tahu tidak ada banyak yang bisa dilakukan. Si Mbah paham betapa beratnya beban yang aku tanggung, tetapi dia selalu menyarankanku untuk terus bersabar. Dia bilang, kesabaran adalah kunci dalam menghadapi masalah perkawinan.

“Oh ya Mbah, nanti sore bisa antar aku ke kedai nggak? Hari ini aku mau bawa lebih banyak jamu. Stok di kedai sudah hampir habis,” tanyaku yang lebih terdengar sebagai permintaan.

Si Mbah menoleh, tersenyum sambil mengangguk pelan. “Bisa, Nduk. Mbah nggak ada acara hari ini. Nanti sore Mbah antar kamu.”

Aku merasa sedikit lega mendengar jawabannya. “Terima kasih, Mbah. Aku nggak tahu harus gimana kalau nggak ada Mbah.”

Si Mbah terkekeh kecil, lalu berdiri dan merapikan barang-barangnya. “Sudah, nggak usah mikir macam-macam. Mbah pamit pulang dulu. Nanti sore kita berangkat, ya.”

Aku mengangguk sambil tersenyum tipis, menyaksikan Si Mbah berjalan perlahan menuju pintu sebelum akhirnya menghilang di baliknya. Baru beberapa detik setelah Si Mbah menghilang di balik pintu, aku mendengar suara percakapan dari luar. Ada suara wanita yang sangat aku kenal. Suara itu adalah Mbak Yuli, tetanggaku yang rumahnya hanya berjarak dua rumah dari tempatku. Dia adalah pelanggan setia jamu yang sering datang untuk membeli racikanku. Suara ramahnya terdengar jelas saat dia berbincang-bincang dengan Si Mbah yang mungkin baru saja bertemu di teras rumah. Aku tetap di dapur, menunggu sampai Mbak Yuli datang mendekat. Aku yakin dia akan masuk untuk membeli jamu seperti biasa.

Mbak Yuli masuk ke dapur dengan senyum lebar. “Jeng Asti, stok jamu di rumah habis,” katanya sambil membuka tas kecil yang selalu dia bawa. “Aku mau beli jamu yang kemarin itu, lho.”

Aku tersenyum kecil mendengar permintaannya. “Kenapa mau yang itu lagi, Mbak?” tanyaku, menyiapkan racikan di meja.

Mbak Yuli mendekat, wajahnya sedikit genit. “Jamu yang kemarin bikin aku dan suami jadi… lebih semangat,” katanya sambil terkekeh, matanya berbinar. “Pokoknya, aku jadi terus-terusan pengen deh.”

Aku mengangguk, sambil tersenyum lebih lebar. “Tenang, Mbak. Jamu itu masih ada kok,” jawabku dengan nada ceria. “Aku siapin ya.”

Mbak Yuli tertawa kecil sambil bersandar di meja dapur. “Jamu itu, Jeng, bikin suamiku kewalahan di ranjang. Aku seneng banget ngeliat dia seperti itu, dia sampai minta ampun.”

Aku tersenyum, tapi cepat-cepat menimpali, “Hati-hati, Mbak. Kalau suami Mbak nggak bisa nahan keinginan Mbak, nanti Mbak nggak punya pelampiasan. Bisa berbahaya, lho.”

Dengan santai, Mbak Yuli mengangkat bahu. “Aku punya cadangan, kok,” katanya enteng, tanpa sedikit pun beban.

Aku terkejut, mata langsung membelalak. “Cadangan? Maksudnya?” tanyaku, masih mencoba mencerna kata-katanya.

Mbak Yuli tersenyum genit, seolah tak ada yang salah. “Masa harus aku jelasin, sih?” katanya sambil terkekeh.

Aku mendekat setelah mengambil kendi berisi jamu ginseng dari lemari, rasa penasaran makin besar. “Cadangan ini… maksudnya selingkuhan, Mbak?”

Mbak Yuli mengangguk tanpa ragu. “Iya, bener,” jawabnya dengan tenang. “Punya cadangan bikin hidup lebih berwarna, nggak monoton.”

Aku tergugah mendengar pengakuannya. “Tapi… Mbak nggak takut ketahuan sama suami?” tanyaku, masih terkejut dengan kejujurannya.

Mbak Yuli tersenyum tipis, yakin dengan ucapannya. “Aku main aman, Jeng. Suamiku nggak bakal tahu.”

Aku masih tak habis pikir. “Mbak, kenapa sih Mbak sampai berselingkuh? Apa yang sebenarnya Mbak cari?”

Mbak Yuli tersenyum tipis, seperti pertanyaanku terlalu sederhana. “Jeng Asti, kamu belum paham, ya? Ini bukan soal suami atau keluarga. Ini soal aku, soal kebutuhan pribadiku yang selama ini nggak terpenuhi.”

Aku mendengarkannya dengan perasaan campur aduk. Mbak Yuli melanjutkan, “Dengan dia, aku merasa diinginkan. Aku bukan cuma ibu rumah tangga yang sibuk urusan rumah dan anak. Aku merasa dihargai, dipahami. Kami lebih cocok dalam banyak hal. Dia mengerti aku. Kami punya mimpi dan tujuan yang sama.”

Aku mengerutkan dahi, masih belum bisa mengerti sepenuhnya. “Jadi… selingkuh itu bukan cuma soal… seks?”

Mbak Yuli menggeleng perlahan, matanya menatapku tajam. “Nggak, Jeng. Ini lebih dari itu. Seks mungkin bagian kecilnya, tapi yang lebih penting adalah rasa dihargai, didengar. Aku merasa hidupku lebih bermakna. Bahagia. Itulah kenapa aku bisa merasa puas dalam hidup.”

Aku mulai merasakan sesuatu, seperti ada yang menarikku ke dalam pemikirannya. Tapi aku hanya diam, tidak ingin menampakkan kegelisahanku. Rasanya apa yang dikatakan Mbak Yuli seolah mencerminkan apa yang kurasakan selama ini. Mas Tio, suamiku, memang jarang memperhatikanku. Hubungan kami lebih banyak diisi oleh rutinitas, jauh dari kehangatan yang pernah ada. Dia tidak pernah benar-benar mendengarkan apa yang kurasakan, dan aku sering merasa sendirian meskipun dia ada di sampingku.

Penjelasan Mbak Yuli seperti membuka pintu yang selama ini kututup rapat. Apakah mungkin aku juga menginginkan hal yang sama? Kebutuhan untuk merasa diinginkan, dihargai, dan dipahami? Tapi di sisi lain, aku takut untuk mengakui hal itu, takut membiarkan diriku terperangkap dalam pikiran yang belum pernah kubayangkan sebelumnya. Aku hanya terdiam, mencoba menahan pikiran-pikiran itu agar tidak semakin menyeretku.

Setelah aku memberikan jamu pesanannya, Mbak Yuli langsung berpamitan untuk pulang. Dengan langkah pelan, aku mengantarnya sampai pintu depan. Gejolak batin di dalam diriku masih tak menentu. Ternyata banyak sekali seorang istri yang terlihat bahagia ternyata mempunyai “cadangan.” Mereka menjalani kehidupan dengan cara yang berbeda, mencari kebahagiaan di luar hubungan resmi mereka. Terbersit dalam hati kecilku ada ketertarikan untuk mencobanya. Namun, akalku belum bisa menerima hal tersebut.

Setelah Mbak Yuli keluar dari gerbang, aku kembali ke dapur untuk membereskan segala sesuatu yang berantakan. Meja dipenuhi peralatan yang baru saja digunakan, dan aroma jamu masih tercium. Tangan ini bekerja cepat untuk mengembalikan keadaan dapur seperti semula. Namun, entah kenapa pikiranku sulit untuk mengalihkan diri dari tema perselingkuhan yang diungkapkan Mbak Yuli. Gambaran itu terus menghantui, membuatku terperangkap dalam arus pemikiran yang baru. Tanpa aku kehendaki, tubuhku ikut merespon, menimbulkan rasa hangat yang menggeliat di dalam diriku. Hanya dengan membayangkan situasi itu, aku merasakan geli yang nikmat. Cepat-cepat aku menyelesaikan tugas di dapur, lalu menutup pintu depan dan menguncinya. Rasa tidak tenang membuatku beranjak menuju kamar. Ketika merebahkan diri di atas kasur, semua pikiran itu kembali. Aku membayangkan nikmatnya berselingkuh dan merasakan tubuhku yang semakin terangsang.

Sambil berbaring, aku menanggalkan rok yang aku kenakan. Hasratku kini semakin membara dan sulit untuk ditahan. Rasa ingin yang menggelora dalam diri membuatku tidak dapat menunda lagi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kedua tanganku mulai menjelajahi tubuh, meremas payudara besarku dengan penuh gairah. Putingku terasa sangat gatal, dan aku semakin horny saat aku mengelus belahan vaginaku yang lembab.

Slik slik slikkkk …

“Aaahhhh … Aaaahhh …”

Semakin panas tubuh ini, kedua jari kananku tidak bisa berhenti menyentuh vagina basahku, bergerak secara naluriah seolah tergerak oleh insting binatang yang ingin melakukan ritual perkawinan. Kedua buah dadaku bergetar dan berguncang hebat, naik turun dengan indah, disertai tetesan keringat yang membasahinya. Rasa menggairahkan itu mengalir melalui setiap pori kulitku, seakan memanggilku untuk lebih mendalami sensasi yang membara ini, menggapai puncak kenikmatan yang begitu mendesak.

Slik slik slikkkk …

“Aaahhhh … Aaaahhh …”

Akhirnya aku orgasme. Kaki bergetar hebat, dan kedua bola mataku seakan hilang, melayang sayu diterpa oleh gelombang kenikmatan birahi yang mengguncang seluruh tubuhku. Setiap serat dalam diriku bergetar, menyatu dalam simfoni ekstasi yang membebaskan, membuatku merasa seolah melayang jauh di atas dunia, terlepas dari semua beban dan kesedihan.

Meskipun hasrat masih menggelora, tubuhku tak bisa berbohong, rasanya sudah lemas setelah menikmati puncak kenikmatan yang begitu dahsyat. Mataku semakin berat, dan tanpa sadar aku terlelap begitu saja. Kasur tempat aku berbaring terasa lembab, basah oleh jejak cairan tubuh yang membawa aroma khas kewanitaan, mengisi udara kamar yang hening.

——-

Entah sudah berapa lama aku tertidur, akhirnya aku terbangun dan merasakan matahari sudah tinggi. Cahaya yang masuk lewat jendela cukup menerangi kamar ini, sehingga aku tidak perlu menyalakan lampu. Meski suasana di luar cerah, pikiranku terasa kacau. Masih terbaring telanjang, aku merasakan sprei kasur yang lembab dan basah karena cairan orgasmeku. Pusing di kepalaku sudah mulai mereda, dan rasa panas di dada pun perlahan-lahan menurun, meskipun gatal di vaginaku masih belum sepenuhnya hilang.

Aku terbaring di kasur, merasakan hangat tubuhku perlahan menghilang. Suasana di sekitar sunyi hingga tiba-tiba suara ponsel memecah keheningan. Dengan susah payah, aku meraih ponsel yang tergeletak di samping. Layar menyala, menunjukkan bahwa ada pesan baru masuk. Tangan ini bergetar saat membuka pesan itu. Ternyata, pesan dari salah satu karyawanku bernama Bayu.

Bayu: “Bu Asti. Izin kunci kedai mau aku ambil ke rumah Ibu.”

Aku: “Nggak perlu Bay. Nanti ibu sendiri aja yang ke sana langsung, kamu tunggu saja. Ibu mau siap-siap dulu.”

Bayu: “Siap Bu.”

Biasanya, aku meminta Bayu untuk datang ke rumah mengambil kunci kedai. Dengan begitu, ia bisa membuka kedai lebih awal dan menyiapkan semua perlengkapan yang diperlukan. Jika Bayu datang lebih awal, aku tidak perlu terburu-buru. Waktu yang tersedia menjadi lebih senggang untukku. Aku bisa mengecek stok jamu, merapikan tempat, dan memastikan semua alat bersih. Semua persiapan ini penting agar pelanggan merasa nyaman saat datang.

Bayu adalah karyawan pertamaku di kedai jamu. Dia sudah bekerja selama hampir dua tahun, tepatnya 1,9 tahun. Usianya masih 21 tahun, dengan tinggi badan 175 cm dan berat sekitar 60 kg. Meskipun pendidikannya hanya sampai SMP karena keterbatasan ekonomi keluarga, Bayu punya kecerdasan yang bisa diandalkan. Dia memahami setiap detail operasional kedai, dari mengurus stok bahan hingga melayani pelanggan. Loyalitasnya tidak pernah diragukan, dan aku bisa mempercayakan banyak hal kepadanya. Setiap kali aku membutuhkan bantuan, Bayu selalu ada, siap membantu tanpa banyak bicara.

Aku memainkan ponsel yang sudah ada di tanganku. Jari-jariku bergerak pelan di atas layar. Kali ini, aku mengetik pesan untuk si Mbah. Meskipun masih ada perasaan canggung, aku harus segera memintanya untuk mengantar barang ke kedai. “Mbah, antar aku ke kedai bawa barang sekarang ya?” Pesan itu singkat, tapi cukup untuk menyampaikan maksudku. Setelah menekan tombol kirim, aku menatap layar beberapa detik, berharap balasan segera datang. Dan tak lama balasan pun datang.

Mbah: “Sebentar lagi Mbah ke sana?”

Aku: “Maaf ya mbah, aku ngerepotin aja.”

Mbah: “Gak apa-apa Nduk. Santai saja.”

Aku: “Iya Mbah. Terima kasih sebelumnya. Aku mau siap-siap dulu ya.”

Mbah: “Sama-sama, Nduk. Mbah langsung berangkat.”

Aku segera berlari ke kamar mandi tanpa mengenakan pakaian. Air dingin segera mengalir membasahi tubuhku, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi, aku melilitkan handuk di tubuhku dan bergegas kembali ke kamar, masih setengah basah. Belum sempat selesai bersiap, aku mendengar suara si Mbah di dapur. Dia sudah datang dan mulai memindahkan stok jualan yang sudah aku siapkan ke dalam mobilnya.

Di dalam kamar, aku mengambil rok satin hitam panjang, lalu mengenakan kemeja dengan garis-garis putih dan pink. Riasan minimalis segera kugunakan. Bedak tipis, sedikit blush on, dan alisku kubentuk rapi. Ketika aku mulai mengoleskan lipstik merah ke bibirku yang tipis, detak jantungku kembali tak karuan. Aku berhenti sebentar, memandangi diriku di cermin. Ada perasaan aneh yang datang lagi, entah karena kejadian tadi atau sesuatu lain yang sulit kujelaskan.

Imajinasiku ini mengganggu ketenanganku. Aku berusaha menghalau bayangan mesum yang terus berputar dalam pikiran. Dengan cepat, aku melangkah keluar dari kamar. Ketika aku sampai di luar, kulihat si Mbah sudah berada di dalam mobilnya. Dia duduk di kursi pengemudi, menunggu.

“Mbah!” seruku. “Maaf ya, aku bikin Mbah nunggu.”

“Tidak apa-apa, Nduk. Santai saja,” jawabnya sambil tersenyum.

Mobil Si Mbah mulai bergerak meninggalkan rumah. Suara mesin yang halus memberi rasa nyaman saat kami melaju di jalanan. Pemandangan di luar jendela berganti cepat, rumah-rumah, pepohonan, dan kendaraan lain melintas dalam sekejap. Kami berdua terlibat dalam obrolan ringan. Topik yang kami bahas beragam, mulai dari cuaca hingga rencana ke depan. Tawa kami sesekali mengisi ruang di dalam mobil. Si Mbah sesekali menyenandungkan lagu-lagu lama, dan aku ikut bernyanyi meski dengan suara pelan. Perjalanan ini terasa begitu menyenangkan.

Sekitar setengah jam kemudian, mobil Si Mbah berhenti di depan kedaiku. Kedai ini terletak di pojok terminal, berukuran 4×6 meter dengan dua lantai. Lantai pertama berfungsi sebagai tempat berjualan, sementara lantai kedua digunakan untuk beristirahat dan menyimpan stok dagangan. Sebelum mendapatkan kedai ini, banyak orang yang mengincarnya. Aku sangat berterima kasih kepada seorang preman yang menguasai terminal ini. Berkat bantuan dan dukungannya, aku bisa menempati kedai ini.

Bayu datang dengan sigap menyambut kedatanganku. Senyumannya membawa sedikit kelegaan. ak lama kemudian, aku berdiri di depan pintu folding gate. Ketika aku mulai membuka pintu itu, semua stok barang segera diturunkan dengan cekatan. Tiga karyawanku terlihat bersemangat. Mereka bekerja sama, mengangkat kardus dan botol-botol jamu dengan penuh energi. Suara kardus yang bergesekan dan suara botol yang saling bergetar memenuhi ruangan.

Saat Si Mbah melangkah masuk, ketiga karyawanku menghentikan sejenak aktivitasnya. Mereka mengenal Si Mbah dengan baik dan segera salim tangan satu per satu dengan senyuman hormat. Aku melihat Mbah tersenyum, dan senyumnya menunjukkan rasa bangga. Kami semua bekerja dengan penuh semangat, menyiapkan kedai untuk pelanggan yang akan datang. Suasana di dalam kedai mulai terasa hidup. Semua tampak sibuk menata barang, memastikan semuanya siap untuk menyambut hari yang penuh harapan.

“Ambil bahan-bahan yang perlu!” seruku kepada salah satu karyawan. Dia segera bergerak ke rak, memilih bahan-bahan yang diperlukan. Suara gelas dan sendok berdenting saat mereka menyusun peralatan. Semua terlihat berfokus, meski kedai masih sepi dari pengunjung.

Beberapa saat kemudian, Mbah berdiri. Wajahnya menunjukkan rasa bangga dan haru. “Nduk, Mbah pamit pulang,” katanya. Suaranya lembut, tetapi tegas,

Aku pun menghampiri Mbah dan salim, mencium punggung tangannya. Tangannya terasa hangat. “Hat-hati ya Mbah,” ujarku. Mbah tersenyum. Dia mengangguk pelan. “Iya … Jaga kedai ini baik-baik, ya.”

Aku langsung masuk ke dalam kedai lagi lalu memerintahkan karyawanku, “Ayo pada salin seragamnya sana,” seruku. “Biar ibu yang menuangkan jamunya ke kendi-kendi dan botol kaca. Bayu, Anita, Sintia!”

“Siap, Bu!” Sintia menjawab dengan semangat. Dia dan yang lainnya segera bergerak untuk mengganti seragam. Walaupun umurku masih 24 tahun, panggilan “Bu Asti” adalah tanda penghormatan dari mereka. Rasa hormat itu membuatku merasa lebih bertanggung jawab.

Ketiga karyawanku bergerak cepat ke lantai dua untuk mengganti pakaian mereka dengan seragam kerja. Suara langkah kaki mereka terdengar jelas saat mereka bergegas menuju ruang ganti. Sementara itu, aku terus mempersiapkan barang daganganku di bawah. Aku menyusun rapi semua barang agar mudah dijangkau saat pelanggan datang. Beberapa botol jamu dan makanan ringan terletak di etalase, siap untuk dijual. Pembeli mulai ada yang datang, dan aku melayaninya dengan penuh perhatian. Aku menanyakan apa yang mereka butuhkan, menyajikan pilihan terbaik dari daganganku. Senyumku tak lepas saat melihat mereka berinteraksi dengan ramah. Tak lama, ketiga karyawanku datang kembali ke tempat jualan. Mereka mengenakan seragam kerja yang bersih dan rapi.

Saat mereka sibuk, aku memeriksa stok jamu. “Sintia, pastikan semua botol terisi penuh,” kataku.

“Baik, Bu!” Sintia menjawab sambil mengisi kendi. Dia tampak cekatan.

Bayu datang membawa wadah besar. “Bu, ini bahan jamu yang baru datang. Harus segera diolah,” katanya.

“Bagus, Bayu. Segera siapkan. Kita butuh banyak untuk hari ini,” jawabku. Aku melihat sekeliling. Semua terlihat bersemangat.

Ketika semua sedang sibuk, pintu kedai terbuka lebar. Seorang pria memasuki kedai. Dia adalah Bolang, pelanggan tetap yang sudah sangat aku kenal. Bolang adalah sosok yang menggetarkan. Semua orang di terminal mengenalnya sebagai preman. Tidak ada satu orang pun yang berani menyenggol dia. Dia terkenal sering keluar masuk penjara setelah kasus pembunuhan. Melihat Bolang, rasa was-was muncul dalam diriku. Jaket jeans kebanggaannya penuh lubang dan kotor. Rambutnya keriting panjang hampir menutupi matanya. Kulitnya hitam legam, dihiasi tato di sekujur lengan. Aku mengamati setiap detail penampilannya. Aroma alkohol menyengat, tercium jelas dari jarak dua meter. Dia datang dengan langkah lambat, menggaruk-garuk kejantanannya dari luar celana, seolah membenarkan posisi batang tersebut. Sebuah bayangan tampak jelas, cetakan yang cukup besar untuk telapak tanganku.

“Permisi, gw kecepetan nggak yaa datangnya? He he he,” katanya.

“Yaa ampun bang, baru aja saya buka kedainya,” jawabku sambil menyusun beberapa gelas di atas meja.

“Biarin aja sih, orang gw kemari bukan buat minum jamu,” dia menjawab, mengacungkan jari telunjuknya ke arahku, seolah itu adalah hal yang paling jelas di dunia ini.

“Terus mau ngapain?” tanyaku, penasaran dengan maksud kedatangannya.

“Biasa … Masa perlu gw sebutin lagi,” dia menjawab sambil tersenyum lebar.

Aku tidak langsung menjawab, hanya menatapnya dari balik meja kasir. Dia tahu untuk apa dia ke sini, dan aku juga tahu apa yang dia inginkan. Aku menarik napas panjang, lalu mengambil uang yang sudah kusiapkan dari laci meja. Empat lembar Rp.50.000, total Rp.200.000, iuran bulanan untuk “keamanan” di kawasan ruko ini.

“Nih, Bang,” kataku sambil menyerahkan uang itu kepadanya.

Bang Bolang mengambil uangnya dengan cepat, senyum puas terlukis di wajahnya. Namun, seperti biasa, dia mencoba berbasa-basi.

“Jadi nggak enak nih, He he he,” katanya, menatapku dengan senyum sinis.

Aku mendengus pelan, sedikit kesal dengan sikapnya yang pura-pura itu. “Kalau nggak enak, sini balikin aja buat karyawan,” balasku, setengah bercanda, meski nada bicaraku terdengar serius.

Bolang tertawa kecil, memperlihatkan gigi kuningnya. “Ha ha ha! Kalau gw balikin, nanti pemilik ruko yang lain jadi ikut-ikutan nggak bayar juga dong,” katanya sambil mengangkat alis. “Gimana nanti? Bisa repot, kan?”

Aku menatapnya tajam, lalu memalingkan wajah. Bau alkohol dari napasnya benar-benar mengganggu. “Yaa udah, sana pergi. Mulutmu bau banget alkohol, padahal masih sore,” ucapku dengan kesal.

Dia tertawa lagi, tapi kali ini lebih singkat. “Iya, bawel ah!” katanya sambil memasukkan uang itu ke dalam kantong celananya.

Aku memperhatikannya keluar dari kedai, langkahnya sedikit goyah. Setelah dia pergi, suasana kembali sepi. Aku duduk di belakang meja kasir, sambil menatap sang preman yang sedang menjauh. Aku memperhatikannya keluar dari kedai, langkahnya sedikit goyah. Bang Bolan, sang penguasa terminal, memiliki sikap yang kadang menakutkan. Namun, di balik semua itu, dia banyak membantuku. Dia menjagaku dari gangguan dan memberikan dukungan saat aku membutuhkan bantuan.

Aku pun segera bergerak ke lantai dua untuk mengganti pakaian dengan seragam. Di lantai dua, aku memasuki ruangan berukuran 2×3 meter, yaitu ruang ganti khusus wanita. Ruangan ini tertata rapi, dengan loker-loker kecil di sepanjang dinding dan sebuah cermin besar di tengah. Cermin itu memantulkan bayanganku saat aku mengenakan seragam adat Jawa yang selalu menjadi ciri khas kedai jamu modern kami.

Setelah berpakaian, aku langsung turun dan ikut membantu para karyawanku melayani pembeli. Aku, Anita, dan Sintia sudah terlihat cantik dan modis dengan seragam adat Jawa yang kami kenakan, selalu ada perasaan bangga setiap melihat mereka dalam seragam yang kupilih dan desain sendiri. Postur tubuh mereka terlihat jelas, menawan dan anggun dengan make-up minimalis. Tidak kalah juga dengan diriku yang montok, terutama di bagian dada yang terasa sesak oleh stagen yang kukenakan. Seragam ini bukan hanya pakaian, tapi cerminan kedai jamu kami, tradisi yang dipadukan dengan sentuhan modern, memberikan kesan kuat pada setiap pelanggan yang datang.

Anita, dengan usia 20 tahun, tinggi 165 cm, berat 55 kg, dan lingkar dada 36B, menjadi salah satu karyawan unggulan di kedai jamu. Rambut hitam panjangnya yang tergerai rapi dan kulit kuning langsatnya selalu tampak segar berkat kepandaiannya dalam menggunakan make-up. Selain rupanya yang cantik, watak cerianya menjadi daya tarik tersendiri. Anita selalu pandai berkomunikasi dengan pelanggan, membuat mereka merasa nyaman dan betah berlama-lama di kedai. Kehadirannya sering kali membuat pelanggan datang bukan hanya untuk menikmati jamu, tetapi juga karena keramahan dan senyum hangat yang selalu dia berikan.

Sintia, karyawan lain di kedai, usianya sama dengan Anita, 20 tahun. Tingginya 160 cm, beratnya 60 kg, dan lingkar dadanya 38B. Kulitnya sedikit lebih gelap, memberikan kesan eksotis yang sering menarik perhatian pelanggan pria. Meski wajahnya manis dengan pipi chubby, lesung pipit di kedua pipinya selalu muncul ketika ia tersenyum. Senyum itu tidak pernah gagal mencuri perhatian para pelanggan setia kedai kami. Sintia memang pendiam, tidak banyak bicara seperti Anita, tapi keahliannya dalam menyeduh jamu sudah dikenal banyak orang. Dia tidak perlu berkata apa-apa, hanya dengan kehadirannya, para pelanggan bisa terpesona oleh auranya. Kehandalannya meracik ramuan membuatnya menjadi karyawan yang dapat diandalkan, memberikan keseimbangan di tengah keramahan Anita yang lebih ceria.

Suasana kedai terasa hidup dengan berbagai suara, mulai dari percakapan pelanggan hingga suara gelas yang beradu. Bisa dibilang, kedai jamu kami cukup laris. Kadang, beberapa food blogger datang untuk mereview tempat ini. Desain modern yang kami tawarkan menarik minat orang-orang yang biasanya tidak terpikirkan untuk minum jamu. Mereka tertarik karena kedai ini menjaga kelestarian budaya Indonesia, tetapi dengan kemasan modern dan kekinian.

Namun, di balik semua itu, ada menu khusus yang selalu menjadi daya tarik bagi sebagian besar pelanggan pria dewasa. Di terminal ini, banyak sopir dan pelancong yang membutuhkan tenaga ekstra untuk perjalanan jauh. Beberapa dari mereka mencari jamu untuk alasan yang lebih pribadi. Jamu ginseng yang diolah dari resep si Mbah menjadi salah satu menu best seller kami. Banyak pria yang ingin menjaga stamina mereka, baik untuk perjalanan panjang maupun urusan di ranjang.

Aku menatap Sintia yang sedang berdiri di dekat meja kerja. Dia terlihat fokus pada tugasnya. “Sintia, bawakan hasil rebusan ginseng yang baru. Itu bisa dijual dengan harga tinggi karena stok terbatas. Minta tolong ditulis di blackboard untuk special menu hari ini.”

“Ya, Bu …” jawab Sintia.

Lalu, aku beralih ke Anita yang sedang menyusun gelas di meja. “Anita, jangan lupa tawarkan menu baru ke pelanggan yang biasa memesan jamu stamina kita,” lanjutku. Anita tersenyum dan mengangguk, menandakan dia siap untuk melakukannya.

Anita dan Sintia pamit padaku sebelum mereka memulai tugas masing-masing. Mereka bergerak dengan semangat, siap melayani pelanggan yang datang. Aku merasa bangga melihat antusiasme mereka. Setelah mereka pergi, aku duduk sejenak di belakang meja, merenungkan kedai ini. Minuman ginseng yang baru kami siapkan pasti akan membuat kedai ini semakin laris dalam beberapa hari ke depan. Khasiatnya diharapkan berhasil menarik perhatian pelanggan. Sisa-sisa efek dari ramuan itu masih terasa di tubuhku. Selain rasa segar, aku bisa merasakan hasrat seksual yang membara di dalam diri.

Hari ini seperti biasa, kedai jamu kami ramai pengunjung. Pelanggan yang datang beragam, mulai dari usia 20 tahun hingga 50 tahun, dengan sekitar 80% di antaranya adalah laki-laki. Suasana kedai terasa hidup, dan aku berusaha menjaga profesionalisme. Aku mengatur orderan yang masuk, baik online maupun offline, memastikan semua stok tersedia saat orderan online tiba. Aku hafal wajah pelanggan tetap dan berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan cepat.

Anita sibuk menyeduh jamu berdasarkan beberapa lembar menu yang masuk, tangannya lincah dalam meracik ramuan. Sementara itu, Sintia mondar-mandir, mengantarkan pesanan kepada pelanggan yang datang langsung dan para driver motor yang menunggu di luar. Bayu berfungsi sebagai asistanku, memastikan semua operasional berjalan lancar dan tidak ada orderan yang melebihi batas waktu pengiriman. Semua orang menjalankan perannya dengan baik, dan aku merasa optimis hari ini akan berjalan sukses.

Jam demi jam berlalu dengan hiruk-pikuk kegiatan di kedai. Tanpa sadar, keringat mulai menetes, membasahi kebaya yang aku kenakan. Kain kebaya yang ketat ini membuat cetakan payudara jumbo semakin terlihat jelas. Keringat membuatnya mengkilap, menciptakan garis belahan yang tampak mencolok. Semakin aku dan dua karyawan wanitaku berkeringat, penampilan kami terlihat semakin seksi dan anggun. Aura itu menarik perhatian para pria yang datang silih berganti. Mereka tidak segan-segan melirik, dan aku bisa merasakan tatapan mereka ketika kami bergerak. Suasana semakin hidup dengan kehadiran mereka. Aku menyadari bahwa kehadiran kami dalam pakaian tradisional ini, meski dengan keringat yang mengucur, justru menambah daya tarik kedai ini.

Sebagai penjual, penampilan menjadi salah satu daya tarik bagi pembeli. Penampilan ******* dan kedua karyawan wanitaku ternyata berhasil menarik perhatian banyak pelanggan laki-laki yang datang ke kedai. Kami menyadari bahwa tampilan kami dapat mempengaruhi jumlah pengunjung. Namun, penampilan seperti ini tidak tanpa risiko. Ada sebagian pembeli yang bertindak kurang sopan, melakukan sentuhan-sentuhan nakal yang membuat kami merasa tidak nyaman. Meskipun demikian, selama tindakan tersebut masih dalam ambang kesopanan, kami berusaha untuk tidak mempermasalahkannya. Kami tetap fokus pada pelayanan, menjaga suasana agar tetap positif, dan memastikan setiap pelanggan merasa dihargai. Kami menjalankan tugas dengan profesionalisme, meskipun tantangan semacam ini muncul dalam keseharian kami.

Jika ada pembeli yang melewati batas, Bayu biasanya yang akan menegur. Aku bisa mengandalkannya dalam situasi seperti ini karena keberaniannya. Bayu selalu berhasil menangani masalah tanpa keributan dan tanpa membuat pembeli merasa kecewa. Ia memiliki cara yang tenang dalam berbicara, membuat orang lain mengerti posisi kami. Ketika situasi menjadi tidak nyaman, ia berdiri di sampingku, siap mengambil alih. Aku merasa tenang karena mengetahui bahwa Bayu tidak hanya bekerja sebagai asistenku, tetapi juga sebagai pelindung bagi kami. Keberaniannya membuat kami dapat fokus pada pelayanan tanpa merasa terganggu oleh tindakan yang tidak pantas.

Malam ini kedai jamu ramai oleh pembeli. Suasana seperti ini sudah biasa terjadi di kedai saat malam tiba. Saat aku duduk di kursi kasir, aku memperhatikan keramaian di sekeliling. Suara percakapan, tawa, dan desiran gelas menyatu dalam suasana yang menyenangkan. Tiba-tiba, seorang laki-laki yang lumayan tampan menghampiriku. Ia tersenyum ramah sambil sedikit membungkukkan badan, menunjukkan sikap sopan. Aku membalas senyuman itu dengan senyuman terbaikku, merasakan semangat ketika berhadapan langsung dengan pelanggan.

“Wah, kedai ini sangat ramai malam ini. Selain jamunya yang enak, para pekerjanya juga cantik-cantik,” ucapnya sambil mengamati sekeliling.

“Terima kasih. Kami memang berusaha memberikan yang terbaik,” balasku dengan senyum.

Dia melanjutkan, “Saya dengar jamu di sini punya banyak khasiat. Apalagi dengan semua pemandangan menarik ini, rasanya betah sekali.”

Aku merasakan kedekatan dalam percakapan ini. “Ya, Mas … Kami ingin setiap pelanggan merasa puas.”

“Jujur saja, Mbak juga sangat menarik. Apa Mbak selalu terlihat secantik ini saat bekerja?” dia sedikit merayu.

Aku tertawa kecil, merasa sedikit tersipu. “Ah Mas ini bisa aja ngegombal. Lebih baik Mas coba salah satu jamu stamina kami? Sangat direkomendasikan.”

Dia terlihat semakin tertarik dan duduk di kursi depan meja kasir yang kutempati. “Baiklah, saya akan coba. Apa yang membuat jamu ini spesial?”

“Jamu ginseng kami diolah dari resep tradisional yang sudah teruji khasiatnya. Banyak pelanggan yang merasakan manfaatnya, terutama untuk menjaga stamina,” jelasku dengan penuh semangat.

Dia mengangguk. “Menarik sekali. Saya ingin mencobanya. Boleh, tolong buatkan satu.”

“Dengan senang hati,” jawabku begitu bersemangat.

Aku bangkit dari tempat duduk dan menuju bagian belakang kedai untuk membuat jamu ginseng untuk pelanggan baruku. Dengan terampil, aku mengambil akar ginseng segar, membersihkannya, dan memotongnya. Setelah itu, aku menyiapkan bahan tambahan seperti gula merah dan rempah-rempah. Potongan ginseng dimasukkan ke dalam panci dengan air, lalu aku menyalakan api hingga mendidih. Aroma harum memenuhi dapur saat jamu siap. Setelah matang, aku menyaringnya ke dalam gelas bersih dan membawanya kembali ke meja kasir.

“Silahkan dicoba,” kataku sembari meneletakkan gelas berisi racikanku pada pria tampan itu.

Dia pun mencicipinya, dan wajahnya menunjukkan kepuasan, “Wah, ini enak sekali. Rasanya segar,” ujarnya.

Setelah pria itu mencicipi jamu ginseng buatanku, senyumnya semakin lebar. Dia menatapku dengan tatapan yang menggoda. “Mbak, tidak hanya jamunya yang enak. Mbak juga sangat menarik,” ujarnya dengan nada penuh perhatian.

Aku merasa sedikit tersipu mendengar pujiannya. “Terima kasih, Mas. Senang sekali mendengar Mas suka jamunya,” balasku sambil berusaha menjaga nada suara tetap santai.

“Oh … Kenalin … Nama saya Sandy …” katanya sambil menyodorkan tangan.

Aku terkejut, tidak menyangka pria tampan ini ingin berkenalan denganku. Dengan cepat, aku meraih tangannya dan merasakan kehangatan dari sentuhannya. Hatiku berdebar, dan senyumku mengembang tanpa bisa aku bendung. “Asti,” balasku, merasa senang bisa berbincang lebih dekat dengannya.

Pikiran tentang kehadiran Sandy membuat jantungku berdegup kencang. Rasanya seperti sebuah kejutan manis, di mana aku tidak hanya menemukan pelanggan baru, tetapi juga seseorang yang mungkin bisa menjadi “teman” baru dalam hidupku. Saat aku menggenggam tangan Sandy, bayangan tentang cerita Mbak Yuli tadi pagi tiba-tiba terlintas dalam pikiranku. Mbak Yuli bercerita tentang betapa menyenangkannya merasakan kedekatan dengan pria yang menarik, meskipun dia sudah bersuami. Hatiku pun bertanya-tanya, inikah rasanya berselingkuh? Pikiran itu menggugah rasa ingin tahuku. Senyuman Sandy membuatku merasa hangat dan bersemangat. Ternyata, ada sesuatu yang sangat menyenangkan dalam pertemuan ini. Rasa ketertarikan dan kegembiraan meluap dalam diriku, membuatku merindukan pengalaman yang lebih intim dengan pria ini.

Dia tidak berhenti di situ. “Sebenarnya, aku penasaran. Apa kamu selalu membuat jamu dengan penuh cinta seperti ini?” Dia mengedipkan matanya, membuatku semakin merasa malu.

“Ah, Mas ini memang bisa saja. Jamu adalah pekerjaan saya, jadi saya berusaha memberikan yang terbaik,” jawabku sambil tersenyum.

“Kalau begitu, aku ingin memesan jamu ini setiap kali datang ke kedai. Dengan siapa lagi bisa aku berbincang seasyik ini?” Dia bersandar di kursinya, menunjukkan ketertarikan yang lebih dalam.

Aku merasakan debar di dadaku. “Tentu saja, saya akan senang sekali jika Mas kembali,” kataku, berusaha tetap profesional meski hatiku bergetar.

“Kalau begitu, aku harap kamu tidak keberatan jika aku datang lebih sering. Tidak hanya untuk jamu, tetapi juga untuk bertemu kamu,” lanjutnya.

Senyumku melebar, dan aku merasa semakin nyaman dalam perbincangan ini. “Silakan saja, Mas. Kedai ini selalu terbuka untukmu.”

Dia tertawa pelan, dan suasana semakin hangat. “Aku berharap bisa lebih mengenalmu. Mungkin kita bisa bicara lebih banyak di luar kedai?”

Hatiku berdebar lagi. “Mungkin kita bisa atur waktu. Tapi aku sibuk dengan kedai ini.”

Dia mengangguk sambil tetap menatapku. “Aku mengerti. Tapi, kapan pun kamu ada waktu, beri tahu saja. Aku akan menunggu.”

Aku benar-benar tergoda dengan pengalaman baruku ini. Rasa ingin tahuku semakin membara, seolah menarikku lebih dekat ke Sandy, membuatku berharap untuk berbagi lebih banyak cerita dan tawa bersamanya. Namun, akal sehatku seperti menjadi rem yang kuat. Di tengah rasa euforia itu, aku sadar bahwa aku belum siap melangkah lebih jauh. Dalam benakku, ada suara yang mengingatkan tentang batasan dan komitmen. Perasaan manis ini sangat menyenangkan, tetapi aku tahu bahwa langkah selanjutnya harus dipikirkan dengan matang. Percakapan kami terus berlanjut, membahas berbagai topik, mulai dari jamu hingga pengalaman hidup. Laki-laki itu sangat menyenangkan, dan aku merasa nyaman berbicara dengannya.

Sandy melihat jam di ponselnya dan menghela napas. “Sepertinya saya harus segera pulang. Sudah terlalu malam,” katanya sambil tersenyum.

“Mas Sandy, terima kasih sudah datang. Saya harap Mas Sandy akan sering mendatangi kedai kami,” balasku, berusaha menjaga semangat.

Sandy tertawa kecil. “Oh, saya akan sering mendatangi Mbak Asti, bukan kedainya,” jawabnya sambil menggoda.

Aku tersenyum manis mendengar ucapannya. Hatiku berbunga-bunga, merasakan getaran bahagia. “Kalau begitu, saya akan selalu menanti kedatangan Mas Sandy,” kataku, merasa senang bisa berbagi momen ini.

Sandy memberi senyuman penuh arti, lalu berdiri dari kursi. Saat dia melangkah pergi, aku berharap pertemuan ini bukan yang terakhir. Aku berdiri di depan meja kasir, mengamati kepergian Sandy dengan perasaan bahagia dan penuh ragu. Senyumnya masih terbayang di benakku. Perasaan hangat itu menyelimuti hatiku, tetapi ada keraguan yang terus menghantuiku. Apakah ini hanya perasaan sesaat? Apakah aku terlalu cepat merasa nyaman dengannya? Tanggal di kalender menunjukkan bahwa hidupku telah berjalan dengan rutinitas yang sama. Namun, kehadiran Sandy memberikan warna baru yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Di satu sisi, aku ingin mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Di sisi lain, akal sehatku mengingatkan bahwa semua ini bisa berakhir tanpa kepastian.

Aku menenangkan diri, membiarkan perasaan bahagia dan ragu itu perlahan memudar. Pikiranku kembali pada rutinitas yang ada di hadapanku. Sembari menatap ruang kedai yang mulai sepi, aku menyadari bahwa meski ada percikan baru dari pertemuan dengan Sandy, hidupku tetap harus berjalan seperti biasa. Anita, Sintia dan Bayu masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Tidak ada yang berubah di sini, kecuali mungkin caraku melihat semuanya. Sandy, dengan caranya yang sederhana, telah mengusik pikiranku, memberikan angan-angan yang belum pernah kubayangkan sebelumnya.

Aku berdiri di belakang meja, menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 22.00. Pelanggan terakhir baru saja pergi, meninggalkan kedai dalam keadaan sepi. Aku merasa lega, meski lelah mulai merambat. Aku melirik ke arah Anita, yang duduk di salah satu kursi pelanggan sambil sibuk memainkan ponselnya. Di sudut ruangan, Sintia sedang merapikan botol-botol jamu di rak, sementara Bayu sudah selesai menyapu lantai teras kedai dan kini berdiri bersandar di dekat pintu belakang.

Aku memberi isyarat kepada Anita untuk mulai menutup kasir. “Sudah jam sepuluh,” kataku singkat. Anita mendongak sebentar, lalu mulai membereskan barang-barang dengan gerakan yang lemas. Sintia dan Bayu tampak sudah siap untuk pulang, meski mereka tidak banyak bicara.

Aku berjalan ke pintu depan, menguncinya dengan cepat agar tidak ada lagi pembeli yang masuk. Lampu-lampu di area pelanggan satu per satu mulai kumatikan, menyisakan redupnya lampu kecil di sudut ruangan. Suasana menjadi semakin tenang. Hanya ada suara detak jam dan percakapan singkat yang terdengar di antara kami. Anita sesekali menggumam sambil membereskan barang-barangnya.

Sintia, Anita, dan Bayu mulai membersihkan ruangan kedai. Mereka bergerak cepat, merapikan peralatan jamu yang tersisa di atas meja. Suara sendok dan gelas beradu terdengar saat mereka memasukkan barang-barang ke dalam tempatnya. Obrolan ringan di antara mereka menambah kesan akrab. Sesekali, tawa kecil muncul di antara lelah setelah seharian bekerja. Sintia mengecek stok jamu di dapur kecil. Ia memastikan semua bahan tersimpan dengan baik. Anita membereskan kursi dan meja di ruangan kedai. Ia mengatur ulang posisi kursi agar rapi. Bayu bertugas menyapu lantai. Ia bergerak cekatan, memastikan tidak ada serpihan yang tersisa. Mereka bekerja sama, saling membantu, menyelesaikan tugas dengan cepat.

Setelah selesai beres-beres, Sintia dan Bayu naik ke lantai dua kedai, tempat ruang ganti berada. Tak lama, keduanya telah turun dengan pakaian sehari-hari. Giliran aku dan Anita yang naik ke lantai dua. Kami memasuki ruang ganti wanita bersama-sama. Suasana semakin tenang di dalam. Pencahayaan redup dari lampu lorong memberikan kenyamanan. Ruang ganti itu sederhana. Terdapat tiga lemari kecil dan beberapa gantungan baju di dinding.

Aku membuka lemari dan mulai berganti pakaian. Anita berdiri di sampingku, mengeluarkan baju dari tasnya. “Hari ini ramai sekali, ya. Banyak pembeli datang,” kataku.

Anita mengangguk. “Iya Bu, ada yang membeli jamu racikan baru,” balasnya.

Kami tertawa pelan, mengenang kekacauan saat melayani pelanggan. Kami saling bertukar cerita tentang momen lucu yang terjadi di kedai. Dengan cepat, kami berganti pakaian dari seragam kerja ke busana yang lebih nyaman.

Di tengah mengganti baju, Anita mulai berbicara lebih santai. Ia melepaskan sedikit kekakuan setelah seharian bekerja. “Ya, saya lihat hari ini banyak pembeli. Ibu tidak terlalu capek, kan?” tanyanya.

Aku tersenyum, merasakan ketenangan saat mendengar suaranya, “Tidak terlalu, tapi senang bisa melayani mereka,” jawabku.

Anita tertawa pelan. “Ibu, saya rasa Ibu harus lebih menikmati hidup. Jangan hanya bekerja terus.” Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, menatapku dengan serius. “Apa Ibu pernah berpikir untuk bersenang-senang? Seperti pergi ke tempat yang ramai atau hangout?” tanyanya dengan nada provokatif. Aku menggeleng pelan, merasa sedikit tersentuh oleh ucapannya.

“Kadang aku ingin, tapi…,” ucapku ragu. Anita segera memotong.

“Jangan ragu, Bu. Hidup ini terlalu singkat. Kita harus memanfaatkan waktu,” kata Anita sambil tersenyum. “Saya merasa hidup harus dijalani dengan bebas,” katanya dengan nada santai. Ia memandangku dengan lembut. “Di luar pekerjaan, saya sering mencoba hal-hal baru. Hidup itu terlalu singkat untuk terjebak dalam rutinitas.” Aku sedikit terkejut mendengar pernyataan itu. Anita melanjutkan, “Saya suka pergi ke konser, atau kadang hanya nongkrong di kafe dengan teman-teman. Tidak ada komitmen yang membebani saya.” Aku bisa merasakan ada kelegaan dalam suaranya. “Kebebasan itu menyenangkan. Kita tidak perlu selalu memikirkan orang lain.”

“Aku tidak pernah berpikir tentang hal itu, Anita …” kataku pelan. “Sepertinya menarik juga. Tapi bagaimana dengan hubungan yang serius?” tanyaku, ingin memahami lebih jauh.

Anita tersenyum. “Kadang hubungan serius bisa membatasi. Saya rasa kita bisa menikmati hidup tanpa harus terikat pada satu orang.” Ia terlihat percaya diri saat bercerita. “Kadang saya bertemu dengan orang-orang baru dan menjalin hubungan yang tidak selalu serius. Saya rasa itu bagian dari pengalaman hidup.” Kata-katanya membuatku merenung.

Anita mulai membuka pikiran lebih dalam. “Bu, saya tidak percaya pada hubungan yang mengikat,” ujarnya dengan nada serius. “Bagi saya, hubungan itu bisa menyenangkan tanpa harus terikat.” Aku menatapnya, mencoba mencerna pernyataannya. “Kita tidak perlu mengorbankan kebebasan demi sebuah komitmen.”

“Jadi, bagaimana dengan cinta?” tanyaku. “Apakah itu tidak penting?”

“Menurut saya, cinta bisa datang dalam banyak bentuk,” jawab Anita. “Seks adalah kebutuhan dasar. Kita bisa memenuhinya tanpa komitmen jangka panjang.” Ia tersenyum lebar, seolah meyakinkan diriku. “Kita bisa menjalin hubungan yang menyenangkan tanpa harus terikat pada satu orang.”

Aku merasa bingung. “Tapi bukankah itu membuat segalanya jadi rumit?” tanyaku. “Bagaimana jika salah satu merasa lebih dari sekadar hubungan fisik?”

Anita menggelengkan kepala. “Itu risiko yang harus diambil. Jika kedua belah pihak sepakat, semuanya akan baik-baik saja.” Ia berbicara dengan keyakinan. Aku mendengarkan dengan seksama, meski tidak terbiasa dengan pandangan seperti itu.

“Kadang, kita perlu mengubah cara pandang kita,” lanjut Anita. “Hidup ini tentang bagaimana kita memilih untuk menjalaninya.” Aku merenungkan setiap kata yang diucapkannya.

Meski merasa tidak nyaman, aku merasa penasaran. “Anita, bisa kau jelaskan lebih lanjut tentang pandanganmu ini?” tanyaku. Aku ingin memahami pola pikir bebas yang ia terapkan dalam hidupnya.

Anita tersenyum, seolah senang dengan pertanyaanku. “Baik, Bu. Konsep free sex bagi saya adalah pemisahan antara seks dan cinta. Seks adalah kebutuhan fisik. Cinta adalah hal yang berbeda.”

“Apa maksudmu, tidak ada hubungan antara keduanya?” tanyaku, merasa bingung.

“Iya,” jawab Anita. “Seks tidak harus melibatkan komitmen pernikahan. Kita bisa menikmati kebersamaan tanpa ikatan. Setiap orang berhak menentukan bagaimana mereka ingin menjalani hidup.” Ia berbicara dengan bersemangat. “Kadang, seks bisa menjadi cara untuk mengekspresikan diri. Itu bukan sesuatu yang tabu.”

“Bagaimana dengan perasaan setelahnya? Apakah tidak ada rasa sakit jika salah satu mulai merasa lebih?” tanyaku, berusaha menggali lebih dalam.

“Rasa sakit bisa saja muncul, tapi itu bagian dari risiko. Kita harus jujur pada diri sendiri dan pasangan. Jika kita sama-sama sepakat untuk tidak terikat, maka semuanya akan lebih mudah,” Anita menjelaskan dengan tenang.

Aku mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami sudut pandangnya. Meski merasa tidak sepenuhnya setuju, ada daya tarik dalam cara pandangnya yang terbuka dan jujur. Setelah itu, aku merasa terguncang setelah mendengar penjelasan Anita. Pikiran dan perasaanku bertabrakan. Ada rasa bingung, namun juga sedikit rasa ingin tahu yang menggerakkan hatiku. Konsep yang ditawarkan Anita terlalu jauh dari apa yang aku kenal. Aku tidak ingin menolak sepenuhnya. Ada bagian dalam diriku yang merindukan kebahagiaan dan kepuasan, terutama mengingat masalah yang selama ini menghantuiku dalam pernikahan.

Anita melanjutkan, “Bu, tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru. Hidup terlalu singkat untuk hanya terjebak dalam rutinitas. Kita berhak untuk bahagia.”

Mendengar kalimat itu, pikiranku kembali melayang pada kehidupan rumah tanggaku yang dingin dan tanpa cinta. Anita melihat keraguanku. “Cobalah untuk berpikir di luar batas. Terkadang, bahagia tidak datang dari apa yang dianggap benar oleh masyarakat.”

Aku terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan. Ada keinginan dalam diriku untuk merasakan kebahagiaan yang belum pernah kutemui. Namun, keputusan itu tidaklah mudah. Aku merasa terbelah, antara keyakinan yang sudah lama aku anut dan kemungkinan baru yang ditawarkan.

Setelah pembicaraan berakhir, kami berdua selesai berganti baju. Suasana ruang ganti semakin sepi. Aku tersenyum kecil saat melihat Anita yang santai, seperti tidak memiliki beban dalam hidupnya. Di sisi lain, aku terdiam lebih lama dari biasanya. Kata-kata Anita terus berputar di benakku. Pemikiranku tentang kebebasan dan kebahagiaan mulai memenuhi ruang pikir.

“Bu, sudah siap? Ayo, kita turun!” katanya dengan nada ceria.

Dalam diam, aku turun bersama Anita ke lantai satu. Anita tampak seperti tidak memiliki keraguan. Dia siap pulang dan melanjutkan kehidupannya yang penuh warna. Namun, di dalam hatiku, terdapat pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Aku merasakan beban yang semakin berat, meskipun Anita tidak menyadarinya. Suasana itu menyisakan tanda tanya yang besar dalam pikiranku.

Aku pun melangkah keluar dari kedai jamu. Setelah memastikan semua karyawanku keluar dari kedai, aku mengunci pintu kedai lalu mendekati Mas Tio yang sudah menunggu di luar dengan wajah datar. Ketika aku menaiki motor, tidak ada sapaan hangat yang biasa kuterima. Suara mesin motor yang menyala adalah satu-satunya suara di antara kami. Mas Tio fokus mengemudikan motor, meninggalkan kedai yang telah menampung banyak cerita hari ini.

Perjalanan pulang terasa panjang. Dalam hati, aku mulai menimbang-nimbang ucapan Anita. Apakah benar bahwa kehidupan bisa dijalani tanpa ikatan? Ucapan Anita terus berputar di pikiranku. Di satu sisi, aku merindukan kebahagiaan, tetapi di sisi lain, aku juga merasa terikat dengan Mas Tio. Namun, saat memikirkan Mbak Yuli, tetanggaku yang berani mengakui punya selingkuhan, hatiku bergetar. Dia berbicara tentang kebahagiaan yang didapat dari hubungan tanpa komitmen. Mbak Yuli seolah menunjukkan bahwa kebahagiaan bisa dicapai dengan cara lain, jauh dari apa yang selama ini aku jalani.

“Apa yang kau pikirkan?” Mas Tio bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Suaranya dingin, tanpa rasa ingin tahu.

“Tidak ada,” jawabku singkat, berusaha menutupi keraguan yang menggelayut di pikiranku.

Di tengah deru mesin motor dan suara angin malam, pikiran tentang pilihan-pilihan dalam hidupku terus berputar. Jika Mbak Yuli bisa begitu berani, mengapa aku tidak? Namun, gambaran hidup seperti itu juga menakutkan. Apa yang terjadi pada keluarga dan komitmen yang sudah dibangun?

Akhirnya, perjalanan pulang berakhir dalam keheningan. Mas Tio tidak berbicara lagi. Aku merasa tidak ada tempat untuk berbagi perasaanku saat ini. Semua yang baru saja kupertimbangkan terasa berat. Aku belum bisa mengambil kesimpulan, tetapi setiap detik yang berlalu membuatku semakin bingung. Semakin jauh aku melaju, semakin dalam keraguan melilit hatiku.

Bersambung….