RAHASIA ISTRI PENJUAL JAMU part2~

Rutinitasku setiap hari dimulai sebelum fajar. Setelah bangun, aku bergegas ke pasar. Di sana aku memilih bahan-bahan terbaik untuk jamu yang akan kuracik. Begitu pulang, aku langsung menyiapkan ramuan-ramuan itu hingga matahari naik tinggi. Biasanya, aku baru bisa beristirahat sebentar sekitar pukul 10.00, sebelum kembali bekerja di kedai jamu yang buka mulai pukul 16.00 hingga 22.00. Ini adalah keseharianku, yang aku jalani dengan penuh tanggung jawab.

Pagi ini, seperti biasa, aku sedang meracik jamu di dapur. Bahan-bahan seperti kunyit, jahe, dan temulawak tersusun rapi di meja. Bau harum ramuan mulai memenuhi ruangan. Ketika aku sedang asyik meracik, tiba-tiba terdengar suara salam dari depan rumah. Suara itu mengejutkanku, mengganggu konsentrasi, tetapi juga membangkitkan rasa ingin tahu.

Aku segera berhenti sejenak, lalu melangkah keluar dari dapur dan berjalan menuju pintu depan. Ada rasa penasaran dalam langkahku, siapa yang datang sepagi ini? Ketika aku membuka pintu, perasaanku campur aduk. Ternyata yang datang adalah Siska, sahabat lamaku. Aku terkejut, tetapi juga sangat gembira melihatnya berdiri di depan rumah.

“Siska! Lama sekali tak bertemu!” kataku sambil tersenyum lebar, merasa senang dengan kunjungan tak terduga ini.

Siska tersenyum hangat dan menjawab, “Iya, Asti! Aku juga kangen. Akhirnya bisa mampir ke sini. Kamu sibuk banget sih, susah ketemu,” katanya sambil melangkah masuk. “Gimana kabar kamu? Semua baik kan?”

Aku tersenyum sambil membuka pintu lebih lebar. “Alhamdulillah, baik, Sis. Aku lagi meracik jamu di dapur. Yuk, ikut ke belakang aja,” kataku, mempersilahkannya masuk sambil menuju dapur. “Kita bisa ngobrol sambil aku selesaikan racikannya.”

Siska mengangguk sambil mengikuti langkahku ke dapur. Kami berjalan melewati ruang tamu yang sederhana. Suasana dapur terasa hangat dengan aroma rempah yang memenuhi udara.

“Wah, rajin banget pagi-pagi udah di dapur,” ujar Siska sambil tersenyum. Aku hanya tersenyum kecil, mengambil beberapa kendi dan bahan-bahan yang tersisa di meja.

“Kebiasaan, Sis. Setelah dari pasar, langsung ngeracik,” jawabku sambil mengaduk campuran rempah yang sedang kusiapkan.

Siska menarik kursi dan duduk di dekat meja, memandangku seolah menanti percakapan yang lebih panjang. Aku melanjutkan pekerjaanku sambil sesekali melirik ke arahnya, menanti apa yang akan ia katakan selanjutnya.

Siska memperhatikan aku yang sibuk meracik jamu, lalu ia berkata, “Kamu masih aja sibuk dengan jamu, ya? Kayaknya nggak ada perubahan sejak terakhir kita ketemu.”

Aku tersenyum sambil tetap mengaduk racikan di tanganku. “Iya, begitulah. Rutinitasnya masih sama, tiap hari,” jawabku singkat.

Siska melanjutkan dengan nada lebih serius, “Tapi, Asti… apa kamu nggak capek? Maksudku, apa nggak ada keinginan buat coba sesuatu yang beda?”

Aku berhenti sejenak, menatap Siska, sedikit terkejut dengan pertanyaannya. “Capek pasti ada, Sis. Tapi ini kan yang harus aku jalani.” Aku menaruh sendok kayu di atas meja dan menoleh ke Siska, yang kini duduk di kursi dapur sambil melipat tangan di depan dada. “Rutinitas ini udah jadi bagian hidupku, Sis. Kadang memang capek, tapi aku sudah terbiasa.”

Siska tersenyum kecil, tapi matanya menunjukkan sesuatu yang lain. “Iya, aku ngerti. Tapi kadang aku kepikiran aja, Asti… hidup kok gitu-gitu terus. Kamu nggak pengen sesuatu yang lain? Coba aja pikirkan sejenak.”

Aku mengerutkan dahi. “Maksudmu, Sis? Sesuatu yang lain gimana?”

Siska menatapku, lalu menghela napas sebelum melanjutkan. “Aku nggak bilang rutinitas ini salah, tapi… apa kamu nggak merasa ada yang kurang? Kadang-kadang hidup itu harus ada perubahan biar nggak monoton, Asti. Kamu kan juga pantas untuk bahagia dengan cara yang lain.”

Aku terdiam sejenak, meresapi kata-kata Siska. Sesuatu yang lain? Apa memang ada yang kurang? Rasanya sudah lama aku tidak memikirkan hal itu. Rutinitas ini, meski melelahkan, adalah hal yang aku jalani setiap hari.

“Aku… nggak tahu, Sis,” kataku sambil menarik napas panjang. “Terkadang memang capek. Bukan cuma karena kerjaan, tapi… aku juga merasa makin jauh sama Mas Tio.”

Siska menatapku dengan penuh perhatian. “Maksudmu gimana, Asti? Kamu sama Mas Tio kenapa?”

Aku mengangkat bahu, merasa beban yang selama ini aku tahan mulai muncul ke permukaan. “Dia… akhir-akhir ini dingin banget. Kita jarang ngobrol, apalagi tertawa bareng kayak dulu. Pulang kerja juga langsung diam, fokus ke handphone atau tiduran. Aku capek, Sis. Nggak cuma fisik, tapi juga mental. Seolah-olah ada jarak yang makin jauh di antara kita.”

Siska mencondongkan tubuhnya ke arahku, wajahnya serius. “Terus, kamu udah pernah ngomongin hal ini sama dia?”

Aku terdiam, menunduk sambil mengaduk-aduk ramuan jamu di depanku. Kata-kata Siska terasa benar, tetapi aku bingung harus mulai dari mana. “Aku sudah coba ngomong, Sis. Tapi dia selalu mengabaikan. Rasanya percuma.”

“Kalau begitu, coba ajak dia bicara di tempat yang lebih santai. Mungkin suasananya bisa membuat dia lebih terbuka,” saran Siska.

“Aku khawatir, Sis. Mungkin dia tidak peduli,” jawabku, merasa sedikit putus asa.

“Kalau dia tetap cuek, kamu harus memikirkan apa yang terbaik untuk dirimu sendiri. Kamu tidak bisa terus berada di situasi yang bikin kamu menderita,” Siska menegaskan.

“Aku tahu. Tapi jika dia tetap seperti ini, apa yang harus aku lakukan?” tanyaku, merasa bingung.

“Fokus pada dirimu dulu. Jangan takut mencari kebahagiaan, entah itu di dalam atau di luar pernikahan. Kamu berhak untuk bahagia,” jawabnya, memberikan dorongan yang aku butuhkan.

“Aku tidak ingin terlihat egois, Sis. Mas Tio bukan orang jahat, tapi dia semakin jauh dariku. Rasanya berat untuk terus menunggu perubahan yang mungkin tidak akan datang,” kataku, jujur tentang perasaanku.

Siska mengangguk, tampak memahami. “Kadang, kita harus berani berpikir untuk diri sendiri. Kalau Mas Tio tidak bisa memberi kebahagiaan, kamu bisa mencari kebahagiaan itu di tempat lain.”

“Maksudmu…?” tanyaku, terkejut dengan arah pembicaraannya.

“Eh, bukan maksudku untuk menyuruhmu berselingkuh, tapi jika ada orang lain yang bisa membuatmu merasa lebih baik, kenapa tidak? Terkadang kita harus membuka mata dan hati kita. Ini bukan tentang meninggalkan Mas Tio, tetapi tentang mencari yang terbaik untuk dirimu.” Pernyataan Siska membuatku terdiam. Aku merasa terjebak antara kesetiaan dan keinginan untuk bahagia. Siska melanjutkan, “Ingat, kamu berhak mendapatkan apa yang terbaik. Jangan ragu untuk menjelajahi kemungkinan yang ada.”

Aku terdiam dan tak lama berkata, “Aku nggak tahu, Sis. Aku takut. Takut nggak bisa hidup sendiri. Takut nanti malah lebih buruk lagi kalau aku meninggalkannya.”

Siska tersenyum lembut, lalu meraih tanganku yang dingin di atas meja. “Asti, kamu adalah perempuan yang kuat. Jangan biarkan ketakutan itu menghentikanmu. Kamu sudah cukup lama bertahan, berkorban, dan berusaha untuk seseorang yang bahkan tidak mau berubah. Kamu harus mulai memikirkan dirimu sendiri.”

Aku menggeleng, mataku mulai berkaca-kaca. “Tapi… dia suamiku. Aku sudah berjanji untuk setia. Pernikahan itu bukan sesuatu yang bisa aku tinggalin begitu saja.”

Siska menarik napas panjang, memahami dilema yang aku hadapi. “Aku tahu kamu orang yang setia, dan aku kagum sama kamu karena itu. Tapi, Asti, setia pada pernikahan yang menghancurkanmu dari dalam itu bukan sesuatu yang bijak. Kamu setia pada seseorang yang bahkan nggak peduli sama kebahagiaanmu. Itu bukan kesetiaan, itu penyiksaan.”

Kata-kata itu membuatku tersentak, dan sesuatu dalam diriku terasa remuk. “Tapi, aku takut kalau aku keluar, aku nggak akan menemukan kebahagiaan. Aku nggak ingin hidup lebih buruk dari ini, Sis.”

“Asti, dengar aku. Hidup lebih buruk dari ini? Kamu bahkan sudah tidak bahagia sekarang. Apa yang lebih buruk dari itu? Lebih baik kamu mencoba mencari kebahagiaan yang sejati daripada terus bertahan di dalam hubungan yang hanya membuatmu menderita. Kamu pantas dapat cinta yang lebih dari sekadar kewajiban,” jelas Siska.

Aku memandangnya dengan air mata menggenang di sudut mataku. “Aku sudah tidak tahu apa itu cinta, Sis. Semua rasanya dingin. Hambar. Seolah-olah aku cuma benda yang harus ada di sana karena… karena kewajiban.”

Siska menggenggam tanganku lebih erat, menunjukkan bahwa dia benar-benar peduli. “Asti, kamu itu bukan benda. Kamu punya hati, perasaan, dan impian yang sah untuk diperjuangkan. Kamu berhak mendapatkan cinta yang membangun, bukan cinta yang merusak. Kamu nggak boleh biarkan dirimu terus diabaikan.”

Aku terdiam lama, memproses semua kata-kata itu. Mataku menunduk, tapi hatiku bergemuruh. Ada kebenaran dalam apa yang Siska katakan, kebenaran yang selama ini aku coba abaikan. “Lalu… apa yang harus aku lakukan?”

Siska menarik napas panjang, menatap mataku dengan tatapan penuh kasih sayang. “Aku tahu ini nggak mudah. Kamu nggak harus ambil keputusan besar sekarang juga. Tapi yang bisa kamu lakukan adalah mulai memperhatikan dirimu sendiri. Beri ruang untuk berpikir, untuk merasa apa yang sebenarnya kamu inginkan. Jangan tutupi lagi rasa sakitmu. Kamu harus jujur sama dirimu sendiri, Asti.”

Aku menggigit bibirku, berusaha menahan air mata yang mulai jatuh. “Aku takut, Sis. Aku takut buat memulai semuanya dari awal. Bagaimana kalau aku gagal?”

Siska menggeleng pelan, menyeka air mataku dengan lembut. “Aku akan selalu ada di sini buat kamu. Kamu nggak akan sendirian, Asti. Kamu bisa mulai pelan-pelan, dengan langkah kecil. Tapi ingat, ini hidupmu. Kamu yang berhak menentukan kebahagiaanmu. Aku nggak ingin kamu terus menderita seperti ini. Kamu layak bahagia, Asti. Jangan takut untuk mencari kebahagiaanmu.”

Aku mengangguk pelan, merasa sedikit lega. Kata-kata Siska mulai membuka pikiranku, membuatku menyadari bahwa selama ini aku terlalu terjebak dalam ketakutan dan harapan yang kosong. “Terima kasih, Sis. Aku… aku akan coba. Tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana.”

Siska tersenyum hangat, memberikan kekuatan lewat pandangan matanya. “Mulailah dengan jujur pada dirimu sendiri, Asti. Dari situ, langkah-langkah selanjutnya akan datang dengan sendirinya.”

Setelah berbicara tentang masalah pribadiku, percakapan kami beralih ke kehidupan Siska. Dia bercerita tentang pekerjaannya yang lancar, usahanya yang terus berkembang, dan keluarganya yang harmonis. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian. Siska memang selalu pandai mengelola hidupnya. Dia bercerita tentang tantangan yang harus dihadapinya sebelum mencapai titik ini. Pernah jatuh, bangun lagi, hingga akhirnya dia berhasil mengatasi semua rintangan itu. Sekarang, dia hidup dengan nyaman, sukses, dan puas dengan pencapaiannya.

Aku merasa bangga mendengar perjuangan Siska. Dia adalah bukti bahwa ketekunan bisa mengalahkan keadaan. Saat kami ngobrol, aku tak bisa mengabaikan rasa kagumku padanya. Meski dia pernah berada di titik rendah, Siska tidak menyerah. Dia bangkit, berjuang, dan sekarang hidupnya jauh lebih baik dari sebelumnya. Melihatnya sekarang, aku merasa ada harapan meski di tengah kebimbangan yang aku alami.

Sekitar satu jam berlalu, Siska melihat jam di pergelangan tangannya dan berdiri. “Aku pamit dulu, Asti. Lain kali aku ke sini lagi. Jangan ragu hubungi aku kalau kamu butuh apa-apa.”

Aku mengangguk dan bangkit, mengantarnya keluar. Di depan rumah, aku berdiri di sampingnya sambil melihat mobil sedannya terparkir di pinggir jalan. “Terima kasih, Sis. Jangan lupa sering-sering mampir, ya.”

Siska tersenyum dan masuk ke dalam mobil. Aku melambaikan tangan saat dia mulai melaju pelan, dan hanya berhenti saat mobilnya sudah menghilang di tikungan. Setelah itu, aku kembali masuk ke dalam rumah, menatap dapur sejenak yang masih penuh dengan sisa-sisa pekerjaan meracik jamu. Perlahan, aku mulai membereskannya, sambil merenungkan percakapan yang baru saja terjadi. Aku mulai dari wastafel, mencuci piring dan gelas yang menumpuk. Lalu, aku lap meja yang penuh sisa racikan jamu tadi pagi. Botol dan kendi jamu aku kembalikan ke rak, semuanya harus rapi. Lantai dapur pun tidak luput. Aku sapu, memastikan tidak ada serpihan kotoran tertinggal.

Setelah dapur bersih, aku lanjut ke ruangan lain. Ruang tamu, kamar tidur, semuanya aku periksa satu per satu. Karpet aku angkat, lalu aku kibaskan di luar. Perabot aku lap. Barang-barang kecil yang berceceran aku kembalikan ke tempatnya. Aku sapu seluruh lantai, memastikan setiap sudut rumah tidak ada debu tersisa. Lelah mulai terasa, tapi aku ingin semuanya terlihat rapi. Aku ingin tidur dengan perasaan tenang.

Begitu semua selesai, aku langsung menuju kamar mandi. Air dingin menyentuh kulitku, dan perlahan, rasa penat mulai mereda. Setelah mandi, aku mengenakan pakaian bersih dan nyaman. Aku merebahkan tubuh di atas tempat tidur, menutup mata, mencoba melepas lelah setelah seharian bekerja. Di kepalaku, percakapan dengan Siska terus terngiang, tapi aku berusaha untuk mengosongkan pikiran. Pagi sudah menjelang siang, dan aku tahu tubuhku perlu istirahat.


Bunyi alarm dari ponselku membangunkan siang itu. Suara berulang-ulang membuatku kesal. Dengan tangan lemas, aku meraba ponsel di meja kecil di samping tempat tidur, mematikannya. Mata masih berat, aku memilih tetap berbaring sebentar. Tubuhku terasa kaku, mungkin karena pekerjaan tadi pagi yang menguras tenaga. Aku menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan energi sebelum akhirnya bangkit.

Aku bangun dan mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu. Tanpa banyak pikir, aku berjalan menuju kamar mandi. Siraman air segar membuat tubuhku terasa lebih ringan. Sejenak, aku membiarkan air mengalir, berharap bisa menyegarkan pikiranku juga. Setelah selesai, aku keluar, mengenakan pakaian yang sudah kupersiapkan—blus putih sederhana dan rok krem selutut. Aku tidak berdandan berlebihan, hanya memoles wajah sedikit supaya tidak terlihat pucat.

Setelah itu, aku bergegas ke ruang tamu. Ponselku kugenggam lagi. Aku membuka aplikasi ojek online dan memesan kendaraan. Tak butuh waktu lama, motor datang di depan rumah. Aku naik, mengucapkan tujuan, lalu kami melaju. Sekitar setengah jam kemudian, aku sudah sampai di depan kedai jamu. Angin yang berhembus selama perjalanan cukup membuat pikiranku segar. Aku turun dari motor dan membayar ojek yang telah mengantarku.

Saat aku tiba di kedai, Bayu, Anita, dan Sintia sudah menunggu di depan. Mereka terlihat sibuk berbincang sambil sesekali melihat ke arahku. “Maaf agak terlambat,” kataku sambil tersenyum tipis. Mereka mengangguk, tampak sudah terbiasa dengan ritme harian ini.

Aku segera membuka pintu gerai. Udara di dalam ruangan terasa lebih hangat, namun tidak ada waktu untuk berdiam. Bayu langsung menuju rak-rak yang berisi botol-botol jamu, sementara Anita menyiapkan alat-alat untuk meracik pesanan. Sintia mulai merapikan kursi dan meja di area depan. Setiap orang tahu tugasnya masing-masing, sehingga semua berjalan cepat dan teratur.

Setelah persiapan selesai dan kami semua telah mengganti pakaian kerja, aku berdiri di balik meja kasir. Barang-barang sudah siap, dan pintu kedai mulai terbuka untuk para pelanggan. Beberapa orang langsung datang, membuat kami segera sibuk melayani pesanan. Aku melihat Bayu dengan cekatan meracik jamu, Anita mengemas, dan Sintia melayani pembeli dengan ramah. Kedai mulai bergerak dengan rutinitas seperti biasanya.

Hari ini, kedai jamuku dipenuhi pelanggan. Suasana ramai dan berisik, tapi aku merasa senang. Tiba-tiba, mataku menangkap sosok yang tak asing. Mas Sandy muncul di depan kedai. Hatiku berdegup kencang. Dia datang ke sini. Aku merasa terkejut sekaligus senang. Dalam sekejap, semua suara di sekeliling seakan memudar.

Mas Sandy melangkah masuk dengan senyum lebar. “Halo, Mbak Asti!” sapa Sandy dengan ramah. Dia langsung duduk di kursi depan meja kasir. Tubuhku bergetar melihatnya. “Aku senang bisa melihat Mbak Asti lagi,” tambahnya sambil melipat tangan di atas meja.

Aku tersenyum dan menjawab, “Aku juga senang melihat Mas Sandy lagi.” Aku berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang.

Sandy menatapku penuh perhatian. “Mbak terlihat lebih cantik sore ini. Aku merasa pangling,” godanya dan sontak saja jantungku berdegup lebih cepat.

“Ah, terima kasih. Mungkin hanya karena hari ini aku lebih bersemangat,” jawabku sambil mengalihkan pandanganku, berusaha menyembunyikan rasa malu. Rasanya menyenangkan mendapatkan pujian darinya.

Dia tersenyum, lalu berkata, “Entah kenapa, aku merasa sangat nyaman saat berbicara sama Mbak. Rasanya seperti kita sudah lama kenal. Kadang, aku berharap kita bisa lebih dekat.”

Hati ini berdebar mendengar kata-katanya, “Lebih dekat? Maksudnya bagaimana, Mas?”

Sandy mendekat, menatap mataku dengan serius. “Mbak … Saat melihat senyum Mbak, ada sesuatu yang menyentuh hatiku. Aku ingin lebih mengenal Mbak Asti.”

Aku merasa wajahku memanas, “Mas Sandy benar-benar berpikir seperti itu?”

“Ya … Aku tidak bisa berhenti memikirkan Mbak,” katanya dengan nada penuh harapan.

Aku tersenyum, merasakan perasaan bahagia. “Terima kasih, Mas.”

Dia terus melanjutkan, “Aku ingin kita bisa pergi ke tempat yang tenang, ngobrol tanpa gangguan. Bagaimana menurutmu?”

Kata-katanya membuatku terpesona. Dalam hati, ada rasa ingin tahu dan kegembiraan. “Sebenarnya, aku ingin sekali Mas … Tapi… aku masih harus menjaga kedai.”

Sandy menatapku dengan sedikit kecewa. “Sungguh disayangkan, Mbak. Aku berharap bisa menghabiskan waktu bersama Mbak. Tapi aku mengerti, kedai ini adalah tanggung jawab Mbak. Semoga lain kali kita bisa menemukan waktu yang tepat. Aku akan menunggu kesempatan itu.”

Saat aku masih terdiam, mencerna kata-kata Sandy yang begitu menggoda, tiba-tiba Anita muncul dari belakang meja kasir. Senyumnya terlihat ceria, tapi ada kilatan nakal di matanya.

“Bu,” katanya, nada bicaranya setengah menggoda. “Kenapa masih di sini? Pergi aja sana, jalan-jalan sama dia.”

Aku terkesiap, sedikit bingung. “Hah? Tapi, kedai… siapa yang jaga?”

Anita tertawa kecil sambil menepuk bahuku. “Saya yang urus. Tenang aja. Saya udah biasa kok handle semuanya di sini. Lagian, kelihatannya Mas ini udah nggak sabar nungguin Ibu.”

Aku melihat ke arah Sandy. Dia hanya tersenyum, seolah-olah menunggu apa yang akan aku putuskan. Senyumnya menenangkan, tapi membuatku merasa sedikit gelisah juga.

“Tapi, aku nggak enak, Nit,” kataku, mencoba menolak halus.

Anita mendesah. “Ibu butuh break. Ibu udah kerja keras terus-terusan. Nggak ada salahnya sekali-sekali Ibu pergi menikmati hidup. Lagi pula, nggak setiap hari ada yang ngajakin jalan kayak gini.”

Sandy tertawa mendengar itu, lalu berkata, “Aku cuma ingin ngajak Mbak Asti santai sedikit. Lagian, nggak jauh-jauh kok. Cuma sebentar aja.”

Aku masih ragu, tapi Anita kembali mendorongku dengan lembut. “Ayo, Bu … Udah pergi aja. Saya tanggung jawab di sini. Biarin saya yang jaga kedai.”

Aku menghela napas, merasa sedikit kalah dalam argumen ini. Lalu aku melihat ke arah Sandy yang masih tersenyum penuh harap. Di satu sisi, ajakan ini menggoda, tapi di sisi lain, aku tahu ada hal yang lebih besar yang sedang aku pertaruhkan. Aku masih terdiam, galau. Di satu sisi, ada dorongan untuk menerima ajakan ini, menikmati sedikit kebahagiaan yang selama ini terasa jauh. Di sisi lain, aku masih ragu. Apakah ini benar? Aku memandang Sandy yang tetap menatapku dengan penuh harap, dan Anita yang tersenyum memberi dukungan.

“Bu, ayolah. Ibu butuh waktu untuk diri ibu sendiri,” desak Anita lagi. “Jangan terus-terusan terjebak di sini. Saya tahu ibu butuh ini.”

Aku menghela napas panjang, masih mencoba menahan semua perasaan yang bercampur aduk. Tapi akhirnya, aku menyerah pada dorongan itu. Mungkin benar, aku memang butuh ini.

“Baiklah,” kataku pelan, sambil menatap Sandy. “Aku… akan pergi. Tapi, aku ganti pakaian dulu.”

Senyum Sandy semakin lebar, dia tampak lega. “Silahkan. Aku tunggu, Mbak.”

Aku mengangguk pelan, merasa ada sedikit beban yang terangkat. Meskipun ada rasa bersalah yang samar, tapi ada juga perasaan lega yang mulai muncul. Aku pun berjalan menuju lantai dua kedai untuk bersiap-siap. Aku segera mengganti pakaian kerja dengan blouse berwarna putih dan rok krem selutut. Setelah memastikan semuanya rapi, aku turun ke bawah dan mendapati Sandy sudah menunggu di dekat mobilnya. Tanpa banyak kata, dia membukakan pintu. Aku masuk ke dalam mobil, menarik napas dalam-dalam, lalu kami pun pergi.

Setelah beberapa menit berkendara, Sandy membuka percakapan. “Mbak Asti kelihatan tegang. Santai aja, nggak usah mikir berat-berat,” katanya sambil melirikku sekilas.

Aku tersenyum tipis, mencoba mengikuti sarannya. “Iya, mungkin aku masih mikirin kedai. Tanggung jawabnya banyak.”

Sandy menggeleng pelan. “Hari ini, lupakan dulu soal tanggung jawab. Mbak butuh waktu buat diri sendiri. Nggak apa-apa kok sesekali menikmati hidup tanpa terlalu banyak beban.”

Aku menghela napas, merasa sedikit lega dengan ucapannya. “Mungkin Mas benar. Aku terlalu sering mikirin hal-hal yang bikin kepala pusing.”

Di dalam mobil, suasana awalnya terasa canggung. Aku duduk dengan tegak, sesekali melirik keluar jendela sambil bermain dengan ujung rokku. Sandy tampak santai di belakang kemudi, tetapi aku masih belum tahu harus bersikap bagaimana. Kami tidak banyak berbicara selain beberapa kata basa-basi. Namun, perlahan, kecanggungan itu mulai mencair. Sandy mulai menyelipkan candaan ringan tentang jalanan yang macet, tentang aku yang katanya “terlalu sempurna,” dan tanpa sadar, aku mulai tersenyum. Aku menahan tawa di beberapa kesempatan, tapi akhirnya aku melepaskannya. Ada rasa lega yang menyelinap saat aku mulai merasa lebih nyaman. Sesekali aku bahkan berani membalas candaan Sandy, dan tawa kecil kami memenuhi ruang mobil. Perasaan tegang yang semula menguasai pikiranku perlahan tergantikan oleh kehangatan dan keakraban. Aku mulai merasa rileks, dan entah bagaimana, suasana ini membuatku melupakan segala beban yang sempat mengganggu.

Sandy akhirnya membawa mobilnya berbelok ke sebuah jalan kecil yang aku tidak begitu kenal. Aku memperhatikan dengan seksama, sedikit penasaran ke mana dia akan membawaku. Tak lama kemudian, mobilnya berhenti di depan sebuah kafe kecil dengan suasana yang tenang. Kafe itu tampak berbeda dari tempat-tempat yang biasa aku kunjungi, lebih sunyi, tanpa keramaian dan kebisingan.

“Ini dia,” kata Sandy sambil tersenyum. “Tempat favoritku buat ngobrol santai.”

Aku memandang kafe itu sejenak, mencoba menyesuaikan diri dengan suasana yang terasa begitu damai. Ada beberapa meja di luar yang ditempatkan di bawah pohon rindang, dan di dalam tampak jendela besar dengan pemandangan taman kecil di belakangnya. Tempat ini memberikan perasaan nyaman yang aneh. Sandy membukakan pintu untukku, dan aku keluar dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam kafe.

Suasana kafe terasa hangat saat Sandy dan aku duduk berhadapan. Percakapan kami semakin lancar, dan aku mulai merasa nyaman. Tiba-tiba, perhatian kami teralihkan saat Siska muncul di pintu kafe. Dia melambai ceria, wajahnya memancarkan semangat. Aku sangat terkejut dengan kehadiran Siska yang sama sekali tidak aku harapkan. Tanpa bisa kucegah, tubuhku membeku. Mataku melebar, dan aku menahan napas.

Keterkejutanku bertambah ketika melihat Sandy berdiri dan menyambut Siska dengan pelukan hangat. Rasanya seperti ada batu besar yang menghimpit dadaku. Malu dan bingung bercampur aduk dalam pikiranku. Aku berharap bisa menyusut dan menghilang dari situ. Aku merasakan pipiku memanas. Dengan cepat, aku menundukkan kepala dan mencoba menetralkan perasaanku, tetapi rasa malu itu sulit untuk kuatasi. Kenyataan bahwa mereka berdua tampak akrab membuatku merasa terasing di tengah situasi yang seharusnya menyenangkan ini.

“Aku tidak tahu Mama akan datang ke sini.” Aku mendengar ucapan Sandy itu, dan rasanya dunia seakan berhenti sejenak.

Tubuhku mendadak dingin. Semua terasa kabur saat kata “Mama” menggema di telingaku. Pikiranku melayang, berusaha mencerna apa yang baru saja kudengar. Kesadaran akan kenyataan itu sungguh menamparku. Aku menatap Sandy, lalu beralih ke Siska yang tertawa, seolah semuanya biasa saja. Rasa malu menghimpitku. Kenyataan bahwa Siska adalah istri Sandy dan aku berada di situ, di kafe ini, bersama mereka, membuatku merasa sangat tidak pada tempatnya.

Siska melangkah mendekat dengan senyuman lebar. “Asti, jangan kaget. Semua ini sudah direncanakan,” katanya sambil menepuk bahuku dengan lembut. “Aku ingin kamu merasa bahagia, dan aku tahu Sandy bisa membantumu menemukan kebahagiaan itu.”

Ucapan Siska sedikit meringankan beban di dadaku, tetapi rasa bingung masih menghantuiku, “A..apa maksudmu, Siska?”

Siska menatapku dengan penuh pengertian. “Maksudku, Asti, hidup ini terlalu singkat untuk kita habiskan dalam kebosanan. Aku tahu kamu butuh sesuatu yang baru, sesuatu yang membuatmu merasa hidup lagi.” Dia melanjutkan dengan lembut, “Sandy adalah sosok yang tepat. Dia bisa membuatmu bahagia seperti yang seharusnya.”

Kata-kata itu membuatku terdiam sejenak. Sandy, yang duduk di depan kami dengan senyuman hangat, tampak bersinar dalam pandanganku. Namun, rasa bingung dan keraguan tetap membayangi pikiranku. “Tapi… ini semua terasa sangat aneh,” kataku perlahan.

Siska mengangguk, “Aku mengerti. Tapi, percayalah, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Kami hanya ingin kamu bersenang-senang dan menemukan kebahagiaan yang selama ini kamu cari.”

“Ta..tapi … Mas..mas Sandy adalah suamimu …” kataku yang masih belum bisa menerima ini seutuhnya.

Siska menatapku dengan penuh keyakinan. “Asti, sebenarnya Sandy suka padamu. Dan aku tidak merasa keberatan dengan itu. Itu haknya untuk menyukai orang lain, termasuk kamu.”

“Be..benarkah?” tanyaku, merasa bingung.

“Iya, benar. Kita tidak bisa melarang perasaan orang lain. Cinta itu bebas. Yang penting, kamu tidak perlu merasa tertekan,” jelas Siska, masih dengan senyuman di wajahnya.

Sandy mengangguk, menambahkan, “Asti, aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Ta..tapi … Ke..kenapa kamu tidak marah?” tanyaku sambil menatap wajah sahabatku ini.

Siska menggelengkan kepala, wajahnya tetap cerah. “Tidak, Asti. Marah tidak akan menyelesaikan apa-apa. Aku percaya hubungan yang sehat itu saling mendukung satu sama lain. Jika Sandy merasa tertarik padamu, itu bukan hal yang buruk.”

Siska berbicara dengan keyakinan yang membuatku merasa sedikit tenang. Kata-katanya membuatku merenung. Mungkin, selama ini aku terjebak dalam pemikiran yang sempit tentang cinta dan hubungan. “Mungkin Siska benar,” pikirku. “Mengapa aku harus merasa tertekan dengan apa yang tidak bisa aku kontrol? Jika Sandy memang tertarik padaku, itu bisa menjadi awal yang baru.”

Rasa bingung di dadaku mulai mereda. Aku mulai membuka pikiran untuk melihat situasi ini dari sudut pandang yang berbeda. “Cinta seharusnya bebas,” aku mengingat kembali kalimat Siska. Dalam sekejap, perasaan cemas mulai bergeser menjadi rasa penasaran. Mungkin ini adalah kesempatan untuk menemukan kebahagiaan yang selama ini kucari.

Ketika aku menatap Sandy, melihat senyumnya yang tulus, hatiku bergetar. Ada sesuatu dalam diri Sandy yang membuatku ingin mengenalnya lebih dalam. Dan Siska, sahabatku, memberi dukungan yang aku butuhkan. Aku bisa merasakan pintu-pintu baru mulai terbuka, menunggu untuk dijelajahi.

Suasana di kafe terasa semakin hangat dan santai. Sandy, Siska, dan aku duduk bersama, menikmati saat-saat penuh tawa. Di sekitar kami, suara gelas beradu dan aroma kopi menggoda menambah kenyamanan suasana. Meskipun awalnya terasa aneh, aku mulai merasakan semangat baru dalam diri ini. Sandy sesekali melirikku dengan senyuman yang penuh arti, sementara Siska terlihat bahagia dan santai. Dalam hati, aku bertanya-tanya tentang batasan hubungan ini. Namun, seiring waktu, keraguan itu menghilang. Kebersamaan kami memberi suasana yang menyenangkan, seperti sebuah aliran segar yang mengalir di dalam diriku.

Aku mulai menikmati hal-hal kecil, seperti saat Sandy menjelaskan sesuatu dengan antusias, membuatku tertawa. Siska yang duduk di sampingku tampak puas melihat kami saling berbagi keceriaan. Hubungan kami yang tidak biasa ini memberikan rasa kebebasan yang selama ini tidak kutemui. Perasaanku pun beralih dari rasa bingung menjadi gairah. Meski masih ada secercah kekhawatiran, aku berusaha mengesampingkannya. Dengan sikap terbuka, aku mulai merangkul situasi ini. Saat ini menjadi kesempatan untuk mengeksplorasi diriku sendiri dan menikmati kebahagiaan baru. Entah ke mana jalan ini akan membawaku, tapi saat ini, aku siap untuk menjalaninya.

Sandy perlahan menggenggam jemari tanganku di hadapan Siska. Aku terkejut, tetapi dalam sekejap, rasa hangat menyebar di sekujur tubuhku. Sentuhan lembutnya mengalir melalui setiap serat kulitku, memberi sensasi yang tak pernah kuharapkan. Siska duduk di sampingku, tersenyum lebar, seolah tak menganggap apa yang terjadi sebagai hal yang aneh.

Meskipun suasana tampak santai, hatiku berdebar kencang. Keanehan mulai merayap dalam pikiranku. Rasanya aneh bisa merasa nyaman dan cemas sekaligus. Dalam diam, aku merasakan ketegangan yang meningkat di antara kami. Setiap detik berlalu, Sandy semakin erat menggenggam tanganku, dan aku semakin menikmati kehadirannya.

Tubuhku memberikan reaksi yang tak terduga. Rasa hangat itu meliputi diriku, dan aku terkejut menyadari adanya rangsangan yang timbul dari sentuhannya. Puting susu mulai mengeras, menginginkan lebih dari sekadar sentuhan. Organ intimku pun berdenyut, memunculkan sensasi yang menggugah. Hal ini membuatku terjaga, merespons setiap gerakan Sandy dengan lebih dalam. Kesadaran akan situasi ini membuatku bingung, tetapi aku tidak bisa menolak kenyataan bahwa aku menikmati setiap detik yang kami bagi.

Kombinasi antara kebahagiaan, ketegangan, dan rasa terlarang ini memberi sensasi yang menggugah. Perasaan ini membawa nuansa yang belum pernah kutemui sebelumnya. Meskipun ada rasa bersalah yang samar, keinginan untuk merasakan lebih banyak dari Sandy semakin membara di dalam diri. Tanpa kusadari, aku mulai terperangkap dalam perasaan yang menggelora.

Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 21.20. Kafe yang awalnya hangat kini mulai semakin sepi, menandakan malam sudah larut. Rasanya sulit bagiku untuk mengucapkan kata perpisahan, tetapi tanggung jawab terhadap kedai jamu yang kujalani tidak bisa diabaikan.

Dengan berat hati, aku mengeluarkan kata-kata yang terhalang rasa enggan, “Aku harus kembali ke kedai.”

Mendengar ucapanku, Siska hanya mengangguk. “Oh ya … Ini sudah malam,” katanya dengan suara lembut, sementara Sandy pun tersenyum.

Sandy memutuskan untuk mengantarkanku kembali ke kedai jamu. Saat kami melangkah keluar dari kafe, aku merasakan kedekatan di antara kami. Mobilnya terasa hangat dan nyaman, seolah menciptakan ruang khusus untuk kami berdua.

Selama perjalanan, suasana menjadi hening sejenak. Namun akhirnya Sandy memecah keheningan. “Asti, aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu. Kamu luar biasa,” katanya, suaranya lembut namun penuh keyakinan. Ucapannya membuat jantungku berdebar kencang, dan senyum tak bisa kuhindari.

Dengan perasaanku yang campur aduk, aku merasa ada dorongan untuk lebih dekat dengan Sandy. Sandy lah yang pertama kali merangkul bahuku, menciptakan rasa nyaman di antara kami. Tanpa berpikir panjang, aku bersandar pada bahunya. Rasanya hangat, seolah dunia luar lenyap begitu saja. Dalam pelukan itu, rasa nyaman semakin mendalam, dan aku menikmati setiap detiknya, berharap waktu berhenti sejenak.

Setelah sampai di kedai, Sandy memberi salam selamat tinggal dan segera pergi meninggalkan lokasi. Begitu aku memasuki kedai, semua karyawan tampak sibuk, tetapi aku tahu apa yang harus dilakukan.

“Aku akan menutup kedai sekarang!” ucapku, membuat semua orang berhenti sejenak.

Mereka segera bersiap-siap menutup kedai. Bayu terlihat berbicara dengan beberapa pembeli yang masih ada, menjelaskan bahwa kedai akan segera tutup. Dengan sigap, aku membantu karyawan lain merapikan meja dan menata barang-barang. Meskipun baru saja menikmati waktu bersama Sandy, tugas di kedai ini tetap menjadi prioritas. Ketika semua karyawan selesai menutup, aku merasakan kelegaan sekaligus kepuasan dari kerjasama tim.

Pintu kedai kututup setelah ketiga karyawanku berada di luar kedai. Tak lama, Mas Tio, suamiku, datang menjemput dengan menggunakan motornya. Tanpa berkata-kata, aku langsung naik ke atas motor di belakangnya. Motor bergerak meninggalkan kedai. Sepanjang perjalanan, suasana terasa hening. Hanya suara mesin motor yang mengisi keheningan malam. Aku menundukkan kepala, memikirkan pengalaman menarik yang baru saja kualami. Senyuman Sandy, candaannya, dan rasa nyaman saat bersandar di bahunya seolah terus mengisi pikiranku. Meskipun ada perasaan bersalah, ada pula rasa bahagia yang sulit kutinggalkan. Setelah tiba di rumah, aku segera masuk ke kamarku. Aku mengganti pakaian dan berbaring di tempat tidur. Meskipun letih, pikiranku masih penuh dengan kenangan indah bersama Sandy. Dalam keheningan malam, akhirnya aku terlelap dengan membawa pengalaman yang sungguh menyenangkan, sebuah kisah baru yang mulai mengubah hidupku.

Bersambung​….