RAHASIA ISTRI PENJUAL JAMU part5~

Aku berjalan di samping Anita, merasakan langkah yang penuh semangat. Kami mendekati sebuah mobil sedan mewah yang terparkir di tepi jalan. Dua pria tampan dan elegan berdiri di samping mobil itu. Mereka mengenakan pakaian yang rapi. Pria pertama tampak percaya diri dengan jas hitam yang dipakai. Wajahnya menawan, dan senyumnya menarik perhatian. Pria kedua terlihat lebih santai, mengenakan kaos polo berwarna biru gelap, tetapi tetap memancarkan pesona. Tak lama, aku dan Anita sudah berhadap-hadapan dengan kedua pria tampan itu.

“Asti, kenalin ini Hendro dan Pras,” ujar Anita, sambil menunjuk kedua pria itu. “Hendro, Pras, ini sahabatku, Asti.”

“Senang berkenalan denganmu, Asti,” kata Hendro dengan suara yang dalam dan ramah.

“Kami baru saja selesai meeting dan memutuskan untuk mampir ke sini,” tambah Pras dengan senyuman yang menawan.

Hatiku berdebar, dan aku merasa senang bisa berkenalan dengan kedua pria tampan itu. “Aku juga senang bisa bertemu kalian!” jawabku dengan semangat, mencoba menunjukkan ketertarikan. Keduanya tertawa, dan suasana menjadi semakin hangat.

“Sudah mulai dingin, ayo kita segera menuju hotel,” kata Anita sambil tersenyum.

Pras tersenyum dan menjawab, “Ayo, semua! Masuk ke mobilku. Kita bisa lebih nyaman di dalam.”

Semua orang masuk ke dalam mobil. Aku duduk di jok belakang bersama Anita. Pras mengemudikan mobil, sedangkan Hendro duduk di sampingnya. Obrolan ringan mulai tercipta di antara kami. Tanpa kusadari, aku merasa nyaman dan lancar berbicara dengan Hendro dan Pras. Mereka mengajukan pertanyaan dan menceritakan pengalaman yang membuat suasana semakin akrab. Pengalaman ini membuat semangatku meningkat. Aku membayangkan kesenangan yang akan aku rasakan nanti. Tak ayal lagi, tubuhku terasa hangat oleh rangsangan birahi. Setengah jam kemudian, kami sampai di sebuah hotel bintang tiga. Kami menyewa dua kamar untuk menginap. Kami berempat berjalan menuju kamar hotel yang telah dipesan. Kebetulan, kamar hotel kami bersebelahan.

Anita menatap kami semua dengan senyum. “Oke, kita perlu menentukan siapa yang dengan siapa,” katanya sambil mengangguk.

“Aku dengan Asti,” ucap Hendro sambil melirikku.

“Maunya barang baru terus …” kelakar Pras.

Anita tidak mau kalah. “Hendro, kamu pasti sudah berencana dari awal, ya?” dia menambahkan dengan senyum nakal.

Hendro membalas dengan tawa, “Ya, siapa tahu ada keberuntungan malam ini!”

Kami semua tertawa mendengar candaan itu. Suasana menjadi semakin hangat dan akrab. Senyuman lebar terpancar di wajah masing-masing. Tawa kami saling menyatu, menciptakan momen yang penuh keceriaan. Dalam hati, aku merasa sangat senang. Kebersamaan ini membawa rasa nyaman yang sulit dijelaskan.

“Ayo, jangan buang waktu! Kita harus segera masuk,” ujar Anita, mencoba meredakan tawa yang terus mengalir.

Aku dan Hendro memasuki kamar hotel. Suasana di dalamnya tenang dan nyaman. Lampu remang-remang memberi nuansa hangat. Hendro bergerak dengan elegan, mengarahkan tangannya ke tepi ranjang dan mengajak aku duduk. Aku mengikuti gerakannya dan melangkah menuju ranjang. Hendro tersenyum, menciptakan suasana yang menyenangkan. Kami duduk berdampingan, dan aku merasakan rangsangan di tubuhku yang membuatku semakin bersemangat.

Hendro menatapku dengan serius. “Asti, apa yang kamu suka dalam bercinta?” tanyanya, suaranya tenang namun langsung mengena. Aku tertegun sejenak, tidak menyangka pertanyaan itu muncul dari mulutnya.

“Kenapa Mas Hendro bertanya seperti itu?” balasku, merasa sedikit kikuk.

Dia tersenyum, “Aku tidak ingin pasangan merasa tidak nyaman. Semua harus terasa menyenangkan bagi kita berdua,” katanya dengan tulus.

Aku terkikik mendengar penjelasannya. “Kalau begitu, aku akan ikut supir saja!” jawabku dengan nada bercanda.

Hendro tersenyum, “Nah … Kita bisa lebih menikmati suasana ini jika kita lebih bebas, kan?”

Aku mengangkat alis, terkejut. “Maksud Mas Hendro?”

“Ya, maksudku… melepaskan pakaian kita,” jawabnya pelan, berusaha terdengar santai.

Kami saling memandang dan merasakan getaran dalam suasana. Dengan rasa percaya diri, aku mulai melepas pakaianku satu per satu. Aku merasakan udara segar menyentuh kulitku. Hendro mengikutiku, dengan gerakan perlahan dan cermat. Kini kami berdua berdiri tanpa pakaian, merasakan kebebasan yang tidak biasa. Tanpa ragu, kami bergerak menuju ranjang yang ada di samping. Kain lembut menyambut kami saat kami berbaring, kemudian saling mendekat, menikmati kehangatan satu sama lain.

Hendro menatapku dengan mata yang penuh kekaguman. Dia tersenyum lebar, “Asti, kamu benar-benar cantik. Kamu punya kemolekan yang sulit dijelaskan. Tidak banyak perempuan seperti kamu.” Tangan Hendro dengan lembut mengelus pinggulku, menimbulkan rasa hangat dan menyengat birahiku.

“Ah, Mas Hendro, masih banyak perempuan lain yang lebih seksi dariku. Lihat saja di luar sana. Banyak yang jauh lebih menarik,” jawabku merendah.

Hendro menggelengkan kepala dengan tegas. “Tidak, Asti. Kamu tidak mengerti. Aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Kamu punya daya tarik yang khas. Gaya dan pesonamu itu unik. Tidak ada wanita lain yang bisa menandingi.”

Aku menunduk, berusaha menghindari tatapannya yang intens. “Mas Hendro berlebihan. Tidak ada yang istimewa dari diriku. Aku hanya perempuan biasa.”

“Asti … Ijinkan aku untuk memulai …” ucap Hendro sambil merapatkan tubuhnya padaku. Terasa sekali kejantanannya yang setengah tegang menyentuh perut bawahku.

Dengan genit aku berkata, “Aku sudah tidak sabar loh, Mas …”

Ternyata, Hendro memutuskan untuk bermain lembut kali ini. Aku merasakan tatapan matanya yang dalam saat ia menatapku, dan tanpa ada aba-aba, ia mendaratkan ciumannya di bibirku. Aku pun memejamkan mata, menikmati setiap lumatan bibirnya yang hangat. Kami berciuman mesra, bibir kami saling melumat penuh gairah. Tak lama, aku merasakan sentuhan tangannya yang lembut meraba payudara besarku, meremasnya dengan lembut, dan mempermainkan putingku yang sudah mengeras. Tak mau kalah, aku memberanikan diri untuk menyentuh penisnya. Di telapak tanganku, aku merasakan kehangatan dari penisnya yang tegang dan bisa merasakan ukuran yang cukup tebal. Jemariku menyusuri panjang penisnya, dan aku tahu betapa aku menginginkan kehadirannya di dalam diriku.

Tak lama kemudian, bibir Hendro mulai menjelajahi setiap lekuk tubuhku, dimulai dari leherku dan perlahan turun ke bawah, menuju putingku. Dia mengulum putingku yang telah mengeras, dan aku tidak bisa menahan desahan nikmatku. Aku menekan kepalanya ke dadaku, membuat wajahnya terbenam di dadaku. Hendro terus melanjutkan penjelajahan tubuhku, menjilati perlahan dari bawah dadaku hingga ke pusar. Suara desahanku semakin terdengar, terutama saat lidahnya menyentuh vaginaku yang ditumbuhi rambut tebal. Dia menjilati rambut kemaluanku hingga basah kuyup, kemudian perlahan-lahan melanjutkan perjalanan lidahnya ke bibir vaginaku, hingga akhirnya menyentuh klitorisku. Saat lidahnya menyentuh klitorisku, aku terlonjak, merasakan geli yang luar biasa.

Hendro menahan kakiku dan perlahan-lahan menguakkan pahaku, sehingga kepalanya berada tepat di antara kedua pahaku. Lidahnya menyusup ke dalam vaginaku, menjilati klitorisku yang semakin membengkak. Vaginaku berlendir, dan dia menjilati lendir yang keluar dengan penuh perhatian. Aku tak bisa menahan diri lagi; aku mengejan dengan suara serak, tanganku mencengkeram seprei, sementara kakiku menjepit kepalanya yang terjebak di selangkanganku. Aku merasa memuncak.

“Oh Mas … Nikmat banget, padahal belum dienjot ya,” desahku.

Hendro hanya diam sejenak, kemudian berbaring telentang. “Kamu di atas ya, Asti… Biar masuknya lebih dalam,” ajaknya.

Aku menggigit bibir, menahan hasrat yang semakin menggebu. Perlahan, aku menurunkan tubuhku, duduk tepat di atas perutnya yang keras. Aku bisa merasakan batang besar itu menekan pantatku. Dengan gerakan lembut, aku memundurkan bokongku, membiarkan vaginaku menikmati setiap sentuhan kulit perutnya yang hangat. Lalu aku duduk tepat di atas penisnya.

Tanganku menggenggam batangnya, dan dengan gerakan yang sudah aku kuasai, aku memasukkannya ke dalam diriku. Rasanya penis itu meluncur masuk dengan lancar, menembus hingga ke dalam tubuhku. Keintiman itu begitu intens, membuat tubuhku bergetar.

“Ahh…” desahku keluar saat aku menutup mataku, merasakan denyut hangat yang memenuhi vaginaku.

Pinggulku mulai bergerak maju-mundur di atas penis Hendro yang keras, memperlihatkan betapa basahnya aku. Aku bisa merasakan seluruh kekokohan ereksinya, terasa mengganjal di antara lipatan vaginaku. Kedua tanganku bertumpu di atas perutnya yang keras dan berotot, merasakan setiap garis otot tanpa ada sedikit pun lemak yang mengganggu. Klitorisku bergesekan dengan kulit penisnya yang tebal, menimbulkan kenikmatan tersendiri. Sesekali ujung penisnya menyentuh klitorisku yang membengkak, membuatku mendesah pelan.

Tangan Hendro menyentuh lipatan lututku, membantu menahan tubuhku agar tetap stabil di atasnya, sementara pinggulku terus bergerak, mencari kenikmatan sendiri.

“Shh… Hendro…” bisikku, mataku menunduk, menatap bagaimana kedua alat kelamin kami bergesekan di bawah sana. Aku melihat betapa panjang dan tebalnya penis Hendro ketika ia menyelinap masuk ke dalam bilik vaginaku yang basah. Perlahan, aku menurunkan tubuhku lebih dalam, membiarkan penisnya masuk sepenuhnya ke dalamku. Rasanya luar biasa ketika akhirnya seluruh panjangnya hilang di dalam diriku, tak ada jarak lagi di antara tubuh kami.

Aku memejamkan mata, meresapi denyutan hangat dari penis besar itu di dalam tubuhku. Vaginaku mengencang, menyelimuti setiap bagian kulit yang menebal itu dengan ketat. Sensasi itu membuatku gemetar.

Tangan Hendro yang kasar dan kekar merayap ke dadaku, meremas payudaraku yang besar. Aku bisa merasakan senyumnya saat dia menatap tubuhku yang menggoda di atasnya. “Bergerak, sayang…” katanya lembut namun tegas.

Aku mulai menggerakkan pinggulku lagi, perlahan, membiarkan penis besar itu bergesekan dengan dinding vaginaku yang basah. Setiap gerakan menghasilkan gesekan yang lebih dalam, lebih intens. Tubuhku menggeliat di atasnya, menikmati setiap sentuhan. Sementara itu, tangan Hendro terus bermain di payudaraku, meremasnya dengan liar. Kenikmatan mengalir di dua titik terpenting tubuhku, di payudara dan vaginaku, menggigilkan seluruh tubuhku dengan kepuasan yang sempurna.

“Ahh…” desahku keluar, mataku tertutup, merasakan seluruh kenikmatan yang menghanyutkan.

Aku meletakkan kedua tanganku di kanan dan kiri kepala Hendro, menahannya sambil sengaja memamerkan dadaku yang putih di depan wajahnya. Tanpa perlu banyak kata, dia langsung paham. Tangannya berpindah, meremas pantatku yang sintal, pantat yang sejak tadi menepuk-nepuk selangkangannya. Lalu, dia membawa mulutnya ke payudaraku, menyentuh putingku yang sudah sangat mengeras.

“Mmhh…” erangku pelan, menikmati sentuhan giginya yang menggigiti payudaraku dengan lembut. Setiap gigitan meninggalkan bekas merah di kulitku. Rasanya luar biasa, hingga gerakanku di atasnya mulai tak teratur. Pinggulku bergerak naik turun, kadang ke kanan dan ke kiri, mencoba menemukan irama yang hilang dalam gelombang kenikmatan. Pahaku mulai bergetar sesekali, dan vaginaku semakin kencang mengocok penis Hendro yang tertanam dalam di dalamku. Suara desah kami bercampur dengan bunyi basah dari tubuh kami yang saling bertemu, ditambah derit ranjang yang terus berbunyi.

“Hhmm.. ahh…” desahku keluar tak tertahan.

Saat gerakanku melambat, Hendro mengambil alih. Dia bangkit sedikit, membuat tubuhku terangkat dan memposisikanku duduk di atasnya. Kedua tangannya yang besar menahan pinggangku, menuntunku untuk kembali bergerak naik turun, mengikuti hentakan kuat yang dia berikan dari bawah. Aku mulai memutar pinggulku sambil terus bergerak, memberikan payudaraku lagi padanya untuk diisap. Sensasi itu membuatku semakin liar. Aku menggoyangkan pantatku, membiarkan penisnya terjepit dan tertekan dalam setiap gerakan.

Mulutnya terus bermain di payudaraku, mencucup putingku, sementara tangannya mengusap-usap seluruh bagian yang membuatku gila. Erangan dan desahanku tak pernah berhenti. Rasanya tubuhku melayang dalam gelombang kenikmatan yang begitu intens.

“AAAHHHH!” teriakku, tak mampu menahan ledakan kenikmatan yang memenuhi tubuhku.

Hentakan kuat dari Hendro berhasil menemukan titik manis di dalam diriku. Setiap gerakan menyentuh bagian terdalamku, membangkitkan gairah yang semakin memuncak. Tanpa bisa menahan diri, jeritan nikmatku semakin keras, mengisi ruangan dengan suara desahan yang penuh hasrat. Payudaraku terasa semakin kencang dan licin, putingku berdiri tegak, seolah merespons setiap sentuhan yang diterima. Kenikmatan ini luar biasa, membuatku gelisah. Pantatku bergerak meliuk, menggoyang, menciptakan gelombang birahi yang tak tertahankan.

“Ahh… ahh… Mas…” desahku penuh rasa.

Hendro terus memberikan hentakan kencang yang mendalam, dan aku merasa terhanyut dalam sensasi itu. Titik manisku terus diserang, membuatku benar-benar lepas, menunjukkan naluri birahiku. Aku memeluk lehernya, memberikan kecupan lembut dengan sedikit hisapan, tanda kepemilikanku atas tubuh kekar yang sangat nikmat ini. Desahan halusku mengalir di samping telinganya.

“Ohh Hendro! Kamu enak sekali…” bisikku, mencium pelipisnya yang penuh keringat.

“Mmhh… Hhm…” desah Hendro, suaranya tak kuasa menahan kenikmatan yang semakin memuncak.

Aku meremas rambutnya, kuat, lalu mengarahkan wajahnya agar bisa menatapku. Bibir kami bertemu dalam ciuman penuh gairah. Pelukanku semakin erat di bahunya yang lebar, menandakan aku akan segera mencapai puncak. Pinggulku bergerak membalas setiap hentakan Hendro dengan penuh semangat, sementara penisnya semakin menerobos, mendobrak pertahananku dengan kuat.

“Hmmph!!” desahku, merasakan ledakan kenikmatan yang mendekat.

Saat-saat menjelang orgasme semakin dekat, aku merasakan rangsangan gatal yang luar biasa, seolah ada dorongan ingin kencing di vaginaku akibat gesekan dari penis besar Hendro. Rasanya tak terlukiskan, begitu intens dan menggoda. Aku meningkatkan kecepatan gerakanku, pompa yang menguras tenaga ini semakin kuat. Dengan setiap hentakan, aku berusaha menekan penisnya lebih dalam, menginginkan ujungnya menyentuh mulut rahimku, sambil mengeluarkan teriakan nikmat yang histeris berulang-ulang hingga akhirnya…

Bendungan itu jebol. Orgasme itu datang seperti air bah yang tiba-tiba lepas. Ketegangan yang tadinya menggunung langsung runtuh, seolah beban berat terlepas dari pundakku. Tubuhku bergerak melambat, pelukanku melemas, dan kucuran keringatku membasahi tubuhku dan Hendro. Kepalaku bersandar di bahunya, merasa aman. Hendro, lelaki yang begitu memahami, membiarkan kelelahan menguasai diriku. Dia berhenti sejenak, memberi kesempatan untukku pulih. Dengan lembut, dia mengelus kepalaku dan menciumi leherku, membuatku merasa nyaman.

Sementara penisnya masih terbenam dalam vaginaku, “Oohh…” desahku sambil menggeser wajahku sedikit ke lehernya, menginginkan agar penis besar itu tetap di dalam. Keadaan menjadi hening, tanpa desahan atau rintihan, hanya ada napas panjang dan sesekali terengah-engah. Dunia sekeliling seakan berhenti sejenak, membiarkan kami menikmati momen ini.

“Bagaimana rasanya princess?” godanya padaku.

“Oh … Rasanya luar biasa, Mas …” jawabku sembari membuka mata dan menatapnya.

“Sekarang kamu nungging ya?” pintarnya sambil tersenyum.

Aku mengangguk tanda setuju. Dengan perlahan, aku mengubah posisi. Kaki-kakiku bergerak, menggeser badan ke belakang. Tangan Hendro merangkul pinggangku, membantuku menyeimbangkan tubuh. Aku menundukkan kepala dan aku terus bergerak, hingga akhirnya kedua lututku menempel di permukaan tempat tidur. Badanku bersandar ke depan, membentuk sudut yang pas. Saat aku sudah dalam posisi menungging, aku merasakan Hendro bergerak di belakangku. Dari sudut mataku, aku melihat dia menyesuaikan posisinya. Badannya bergerak perlahan, mengarahkan dirinya agar tepat berada di belakangku.

“Aku masuk ya sayang …” ujarnya.

Hendro mulai mendorong tubuhnya ke arahku. Aku merasakan tekanan lembut saat dia memasukkan penisnya ke dalam vaginaku dari belakang. Sensasi itu mengguncang seluruh tubuhku. Rasa hangat dan penuh mengalir di dalam diriku. Gerakannya lambat namun pasti, dan setiap dorongannya mengisi kekosongan yang ada. Aku menyesuaikan diri dengan ritme tubuhnya, merasakan setiap detil saat dia semakin dalam.

Hendro mulai melakukan gerakan maju mundur, memperdalam setiap dorongannya. Penisnya yang besar dan panjang merogoh masuk ke dalam vaginaku dengan penuh keyakinan. Setiap dorongan terasa begitu mendalam, menghujam dengan kekuatan yang membuatku terengah. Kenikmatan itu mengalir ke seluruh tubuhku. Aku dapat merasakan setiap sentuhan, setiap gesekan yang memicu gelombang rasa yang tak tertahankan.

Saat Hendro semakin menekan, aku tidak bisa menahan desahan yang keluar dari bibirku. Gerakannya semakin cepat, mengisi setiap inci dengan kepuasan. Setiap kali dia maju, aku merasakan sensasi baru yang menggetarkan, dan saat dia mundur, ada rasa hampa yang membuatku ingin dia kembali.

“Ooohh Maasss … Teruuss Maaasss … Yang daleemm …” erangku tak lagi bisa aku tahan.

Setiap dorongan Hendro semakin dalam dan cepat, menghujam vaginaku dengan kekuatan yang penuh gairah. Rasa nikmat itu semakin meningkat seiring dengan gerakan tubuhnya. Aku merasakan setiap gesekan, setiap penetrasi membuatku terombang-ambing dalam lautan kenikmatan. Suara napas kami bergemuruh, bersatu dalam ritme yang semakin menggairahkan. Hendro melanjutkan serangannya, dan aku merasakan setiap dorongannya memicu gelombang hasrat yang luar biasa. Vaginaku beradaptasi, menikmati setiap inci yang memasuki ruangku. Semakin dalam dia menghujam, semakin banyak cairan cinta yang mengalir, membuatku merasa basah dan penuh. Perasaan itu begitu memabukkan, membuatku merindukan setiap dorongan berikutnya.

Setelah rangkaian dorongan yang menggairahkan, aku merasakan gelombang kenikmatan yang tidak tertahankan mulai memuncak. Tubuhku bergetar, dan aku tidak dapat menahan desahan yang keluar dari bibirku. Setiap penetrasi Hendro semakin dalam, menambah rasa euforia yang mengalir dalam diriku. Aku merasakan setiap serabut sarafku terpicu, dan detak jantungku semakin cepat. Saat gerakan Hendro mencapai puncaknya, aku merasakan klimaks yang tak terhindarkan.

“Oh, Mas… rasanya luar biasa!” desahku, sebelum akhirnya semua perasaan bercampur menjadi satu, mengalir deras dalam tubuhku. Aku terhanyut dalam kenikmatan, seolah semua rasa sakit dan kerinduan terbayar lunas dalam saat itu.

Di saat yang bersamaan, aku melihat Hendro semakin mendesak, dan napasnya mulai terengah-engah. “Asti… aku tidak bisa menahannya lagi!” suaranya pecah, mengekspresikan keinginan yang mendalam. Ketegangan di dalam dirinya semakin terasa saat dia bergerak lebih cepat. Semakin banyak cairan cinta yang mengalir, dan akhirnya, saat aku mencapai puncak kenikmatan, aku melihat Hendro juga terhanyut dalam keadaan itu.

“Sekarang!” teriaknya, dan dorongannya semakin kuat. Kami berdua terjebak dalam orgasme yang hampir bersamaan, merasakan kepuasan yang penuh dalam pelukan satu sama lain.

Kami berdua merasakan kelegaan yang datang setelah orgasme, tubuh kami masih bergetar dalam kenikmatan. Napas kami terengah-engah, namun ada senyuman di wajah kami, seolah mengingat semua yang baru saja kami alami. Akhirnya kami terbaring dalam pelukan, merasakan kehangatan satu sama lain, menikmati momen indah yang baru saja terukir dalam ingatan.

“Mas, tadi itu luar biasa. Aku gak pernah merasakan kenikmatan seperti itu sebelumnya. Enjotan Mas Hendro benar-benar membuatku terbang,” ucapku tanpa malu lagi. Aku bisa melihat senyum puas di wajahnya. Dia tampak senang mendengarnya.

“Aku senang mendengarnya. Melihat ekspresi wajahmu membuatku semakin bersemangat,” katanya.

“Aku sampe nggak bisa berhenti mikirin itu, Mas. Rasanya pengen lagi,” tambahku sambil tersenyum nakal.

Mataku berbinar penuh harapan saat dia menjawab, “Pengen lagi? Kamu beneran? Kita baru aja selesai, loh.”

“Iya, Mas! Rasanya masih pengen ngerasain semua itu lagi. Boleh gak, sih?” pintaku.

Hendro menatapku dengan serius, kemudian tersenyum. “Kalau kamu pengen, aku juga pengen. Tapi kita harus santai, ya.”

“Enggak masalah, Mas. Aku mau merasakannya lagi, tapi kali ini aku pengen lebih banyak gaya,” kataku dengan semangat.

Dia mengangguk, merasakan gairah yang sama. “Oke, kita bisa coba gaya baru. Kamu mau aku mulai lagi?” tanyanya.

Aku mengangguk mantap. “Iya, ayo kita mulai lagi. Aku udah siap!”

Hendro kembali mendekat, merasakan semangat yang membara di antara kami. Kali ini, aku berada di atas, mengendalikan ritme dengan gerakan menggoda. Setiap dorongan yang mendalam dan kuat membuatku terhanyut dalam lautan kenikmatan. Kami berpindah-pindah posisi, dari gaya klasik hingga doggy style, menciptakan variasi yang membuat kami semakin terhanyut dalam keasyikan. Aku merasakan setiap sentuhan, setiap gesekan, dan setiap momen penuh gairah yang membawa kami lebih dekat ke puncak. Suara desahan dan tawa kami bergema dalam ruangan, menambah keintiman saat kami saling berbagi rasa nikmat.

Setelah berulang kali mencapai puncak kenikmatan, tenaga kami mulai terkuras. Hendro dan aku terbaring di ranjang, saling berpelukan dengan napas terengah-engah. Senyum puas terlukis di wajahku, merasakan kehangatan yang menyelimuti tubuh kami. Kelelahan membawa kami ke dalam tidur yang nyenyak, membiarkan kenangan manis tentang malam yang penuh gairah ini mengalir dalam mimpi kami.


Aku berdiri di dapur, sibuk meracik jamu tradisional dengan teliti. Aroma rempah-rempah yang segar memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat dan menenangkan. Sambil menggiling bahan-bahan, pikiranku melayang jauh, mengingat kembali momen-momen indah yang telah kulalui. Hidupku kini terasa lebih berwarna, dipenuhi dengan kebebasan dan gairah yang sebelumnya tidak pernah kurasakan. Setiap detik yang berlalu membuatku menyadari betapa berartinya kebahagiaan dan kepuasan yang kutemukan. Dalam kesunyian dapur, senyum kecil tak tertahan menghiasi wajahku, menandakan betapa bahagianya aku menjalani hidupku saat ini.

Aku merenung, menyadari bahwa hidupku tidak bisa terus terjebak dalam rutinitas yang menyakitkan. Dalam pikiranku, aku mulai merumuskan pembenaran untuk keputusan baruku. Mengapa aku tidak berhak atas kebahagiaan dan kepuasan yang seharusnya menjadi bagian dari hidupku? Mas Tio, dengan sifatnya yang egois dan mengekang, telah menciptakan jarak yang tak tertahankan di antara kami. Setiap hinaan dan penolakan yang kuterima membuat hatiku semakin terikat pada kenyataan bahwa aku tidak bisa terus berkompromi.

Aku merasakan semangat baru dalam hidupku. Kini, aku menyadari bahwa aku tidak perlu membatasi diri pada satu hubungan yang membuatku tersiksa. Keberanian untuk menjalin hubungan dengan siapa saja yang aku sukai memberiku rasa bebas yang selama ini kuinginkan. Dalam setiap tatapan dan tawa yang kuterima, aku merasakan kehangatan yang tidak pernah kudapatkan dari Mas Tio.

Aku mulai membayangkan kemungkinan-kemungkinan baru, bagaimana cinta bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan dan penuh gairah tanpa rasa takut. Aku ingin menikmati setiap detik, tidak lagi terjebak dalam ketidakpastian. Setiap interaksi dengan Mas Sandy, Mas Hendro, Bayu, dan bahkan orang lain yang menarik perhatianku memberiku kesempatan untuk menemukan kembali siapa diriku. Aku ingin mengenal banyak orang, merasakan banyak cinta, dan mengeksplorasi keinginan yang selama ini terpendam.

Dengan pemikiran bulat, aku bertekad untuk menjalani hidup sesuai dengan keinginanku sendiri. Mengapa aku harus terjebak dalam satu hubungan yang monoton? Kini, aku bebas untuk menjelajahi dunia dengan penuh semangat, mencari cinta dan kenikmatan di mana pun aku menemukannya.

Setiap kali aku memikirkan semua yang telah kulalui, rasa sakit itu berubah menjadi energi baru. Semua tindakan yang kuambil adalah bentuk balas dendam terhadap Mas Tio yang telah menyia-nyiakanku. Dia tidak hanya mengabaikan kebutuhanku, tetapi juga menghinaku dengan cara yang tidak pernah bisa kuampuni. Untuk setiap malam yang kulewati sendirian, untuk setiap ejekan yang kudengar, aku merasa berhak untuk mencari kebahagiaan di luar hubungan yang menyakitkan itu.

Aku tidak lagi merasa bersalah atau malu dengan apa yang kulakukan. Setiap pertemuan dan interaksi yang aku jalani adalah cara untuk membuktikan bahwa aku bisa merasakan cinta dan keinginan yang tulus, sesuatu yang tidak pernah diberikannya padaku. Jika Mas Tio menganggap pernikahan ini sekadar kewajiban, maka aku pun berhak untuk menjalani hidupku dengan cara yang kuinginkan. Aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa menemukan kebahagiaan tanpa dirinya. Keberanianku untuk menjalin hubungan dengan banyak orang memberiku kekuatan yang selama ini hilang. Ini adalah caraku untuk mengambil kembali kendali atas hidupku, untuk tidak lagi menjadi korban dari ketidakpeduliannya. Aku berhak bahagia, berhak merasakan cinta dan gairah yang layak kudapatkan.

Lamunanku buyar ketika tiba-tiba suara wanita memanggilku, “Nduk…” Suara itu membuatku terlonjak kaget, hampir saja mangkuk jamu yang kupegang terjatuh. Aku langsung menoleh, dan jantungku berdegup kencang saat melihat ibu mertuaku, ibu Mas Tio, berdiri di ambang pintu dapur. Kenapa dia datang tanpa memberi kabar sebelumnya?

“Bu! Kapan datang?” suaraku terdengar gemetar, tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut yang melanda. Aku segera menghampirinya dan mencium tangannya dengan gugup, mencoba menenangkan diri meski jantungku masih berdegup kencang.

“Baru sampai,” jawabnya dengan tenang, sambil melangkah masuk ke dapur. “Kemarin ibu coba hubungi kamu dan Tio, tapi tidak ada jawaban.”

Aku tersentak, panik mulai menjalar. “Oh, maaf, Bu. Mungkin … Saya nggak dengar,” ucapku terbata-bata, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang. “Saya bereskan dapur dulu, Bu. Tadi lagi meracik jamu, tapi biar saya hentikan dulu.”

“Tidak usah, Nduk. Lanjutkan saja apa yang sedang kamu kerjakan,” kata ibu mertuaku dengan nada tenang, namun tegas. “Ibu mau langsung ke rumah Si Mbah. Nanti kita bicara lagi setelah kamu selesai bekerja.” Lanjutnya dan aku memaklumi karena rumah Si Mbah letaknya persis di samping rumahku.

“Baik, Bu. Kalau pekerjaan saya sudah selesai, nanti saya jemput ibu di rumah Si Mbah,” jawabku, berusaha tetap tenang.

Setelah mendengar jawabanku, ibu mertuaku berbalik dan melangkah keluar. Aku mengikutinya dari belakang, mengantarnya sampai ke pintu gerbang. Rumah Si Mbah yang persis di samping rumahku terlihat jelas, dan ibu mertuaku melangkah ke arahnya. Setelah memastikan dia menuju pintu rumah Si Mbah, aku segera berbalik, berjalan cepat kembali ke dalam rumah. Begitu sampai di dapur, tanpa membuang waktu, aku melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Meski perasaan panik masih menyelimuti, aku berusaha fokus untuk menyelesaikan racikan jamu secepat mungkin.

Sambil bekerja, pikiranku melayang kembali. Kali ini, aku teringat ibu mertuaku, Susi. Sebenarnya, aku kurang suka pada sosoknya yang terkesan sok ningrat dan sombong. Setiap kali bertemu, sikapnya seolah selalu ingin menunjukkan bahwa dia lebih tinggi derajatnya. Begitu pula dengan ayah mertuaku, Pardjo, yang tak jauh berbeda. Sifatnya pun sama, selalu menganggap diri mereka lebih baik dari yang lain. Mungkin gen dari kedua orangtua Mas Tio itu menurun padanya, sehingga sifat-sifat serupa tertanam dalam diri suamiku. Aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif tersebut. Namun, tidak bisa dipungkiri, keduanya selalu berhasil membuatku merasa tidak nyaman.

Aku melanjutkan meracik jamu yang sempat tertunda. Bahan-bahan yang tersisa aku satukan, lalu mencampurnya dengan teliti. Setiap langkah aku lakukan dengan cepat dan efisien. Aku tidak mau berlama-lama di dapur karena ada banyak hal lain yang perlu dibereskan. Selesai dengan racikan jamu, aku membersihkan alat-alat yang digunakan. Sisa-sisa bahan aku buang, lalu aku lap meja dapur agar tetap bersih. Setelah itu, aku pindah ke ruang tengah. Aku menyapu lantai, merapikan bantal di sofa, dan memastikan semuanya tampak rapi. Aku terus bergerak, membereskan setiap sudut rumah. Fokusku hanya satu: menyelesaikan semua pekerjaan tanpa menunda lagi.

Setelah menyelesaikan pekerjaan di rumah, aku menuju kamar mandi. Aku membuka keran air dan membasahi tubuh. Aku membersihkan diri dengan sabun, memastikan seluruh tubuhku bersih. Air yang mengalir di kulitku terasa segar, membuat pikiranku lebih tenang. Setelah mandi, aku mengeringkan tubuh dengan handuk. Aku mengenakan pakaian bersih yang sudah kusiapkan di kamar. Aku duduk di depan cermin, menyisir rambut dengan hati-hati. Setelah itu, aku merapikan penampilan. Aku memilih riasan sederhana, memastikan wajahku terlihat segar dan rapi.

Setelah merasa siap, aku keluar dari rumah dan berjalan menuju rumah Si Mbah. Jaraknya tidak jauh, hanya beberapa langkah dari halaman. Aku berjalan lurus ke arahnya. Udara terasa hangat, dan aku bisa melihat pintu rumah Si Mbah terbuka. Aku terus melangkah tanpa ragu. Begitu sampai di depan pintu, aku berhenti sejenak, mengambil napas, lalu melangkah masuk.

Aku melangkah melewati pintu rumah Si Mbah. Saat masuk, pandanganku langsung tertuju pada ruang tamu. Aku terkejut melihat bapak mertuaku ada di sana. Ibu mertuaku duduk di sebelahnya, berbicara dengan Si Mbah dan Budeku. Mereka tampak asyik mengobrol, belum menyadari kehadiranku. Aku berdiri sejenak, bingung harus melakukan apa. Perlahan, aku mendekati bapak mertuaku. Rasanya canggung, tapi aku tahu harus menghormatinya. Aku meraih tangannya dan menciumnya, meski ada keraguan dalam hati. Bapak mertuaku pernah menunjukkan ketertarikan yang jelas padaku. Tatapannya selalu membuatku tidak nyaman, dan aku sadar dia punya hati padaku, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi.

“Kamu kelihatan lebih kurus dari terakhir kali bapak lihat,” kata bapak mertuaku.

“Iya, Pak. Mungkin karena akhir-akhir ini agak sibuk di rumah,” jawabku, mencoba menjelaskan situasi.

“Jangan terlalu capek. Bapak tidak mau lihat kamu sakit. Jaga kesehatan, ya,” nasihat bapak mertuaku dengan perhatian.

“Terima kasih, Pak. Saya akan ingat pesan bapak,” ucapku, merasa sedikit canggung.

“Benar, Asti. Kamu memang terlalu capek,” kata Si Mbah, menyela percakapan. “Kamu bangun sekitar jam empat subuh, pergi ke pasar, lalu pulang sekitar jam tujuh pagi. Setelah itu, kamu meracik jamu sampai jam sepuluh. Berjualan sampai jam sepuluh malam. Tidak heran kalau tubuhmu jadi lelah.”

“Saya sudah terbiasa, Mbah,” jawabku, mencoba meyakinkan mereka. “Ini semua untuk membantu keluarga.”

Asti pun duduk di salah satu sofa yang kosong. Ia ikut terlibat dalam perbincangan para orangtua, meski lebih banyak diam. Meskipun suara mereka ramai, pikirannya melayang, terjebak dalam rasa canggung. Dari sudut matanya, ia bisa merasakan tatapan bapak mertuanya yang tajam, penuh hasrat. Tatapan itu selalu mengarah kepadanya, seperti ada sesuatu yang mengganggu. Asti merasa risih ditatap seperti itu. Setiap kali ia melirik ke arah bapak mertuanya, hatinya berdegup kencang. Ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu dan berusaha fokus pada pembicaraan di sekitarnya, meski ketidaknyamanan terus menggelayuti pikirannya.

Setelah sekitar setengah jam berlalu, akhirnya mertuaku berpamitan kepada Si Mbah. Mereka berpindah dari ruang tamu ke halaman. Aku langsung memimpin mereka ke rumahku. Begitu sampai di rumah, aku mengantar mertuaku ke kamar yang sudah rapi dan bersih. Untungnya, kedua mertuaku sudah diberi makan oleh Si Mbah dan Bude. Hal itu membuatku bisa langsung istirahat di kamarku. Setelah memastikan semuanya aman, aku berbaring di tempat tidur. Rasa lelah langsung menyerang, dan tak lama kemudian, aku terlelap.

Suara alarm membangunkan aku sekitar pukul 14.30 siang. Aku segera bangkit dari tempat tidur, menyambar handuk yang tergantung di dekat pintu, lalu keluar kamar dengan niat menuju kamar mandi. Saat melangkah melewati dapur, langkahku terhenti. Ibu mertua sedang berbicara dengan bapak mertua di meja dapur, dan mereka langsung memandang ke arahku.

“Isti, duduk sini sebentar,” panggil ibu mertua sambil melirik ke arahku.

Aku menuruti permintaannya dan duduk di dekatnya, merasa ada sesuatu yang akan dibicarakan.

“Kamu tahu, ibu sudah lama memikirkan hal ini,” ucapnya pelan, “Ibu mau kamu dan Tio pindah ke Yogyakarta. Kalian sudah terlalu lama di sini.”

Aku terkejut, tidak menyangka akan mendengar hal seperti itu. “Pindah ke Yogyakarta, Bu? Saya rasa, saya harus bicarakan dulu dengan Mas Tio.”

Ibu mertua menghela napas panjang. “Tio pasti akan setuju, dia selalu mengikuti apa kata ibu. Kamu lihat sendiri, kehidupan kalian di sini seperti tidak berkembang. Di Yogyakarta, kalian bisa mulai lagi, lebih baik. Ibu yakin itu.”

Aku terdiam, mencoba menata pikiranku. Di hatiku, aku sangat menolak ide itu. Tapi aku tidak ingin menunjukkan perasaan ini di hadapan mereka. “Saya tetap harus bicarakan dulu dengan Mas Tio, Bu. Saya tidak bisa memutuskan sendiri.”

“Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kalian. Hidup di sini stagnan. Di Yogyakarta, kalian bisa membangun kehidupan yang lebih baik. Ibu benar-benar berharap kamu mau pindah.”

Aku tersenyum kecil, walau hatiku bergejolak. “Itu juga yang saya harapkan, Bu. Kehidupan yang lebih baik. Tapi tetap, keputusannya nanti setelah saya bicara dengan Mas Tio.”

Ibu mertua menatapku dengan penuh harap. Aku pun segera pamit, berdiri, dan melangkah ke kamar mandi, mencoba menghilangkan pikiran yang berkecamuk.

Aku masuk ke kamar mandi dan mulai membasahi tubuhku. Pikiran tentang ucapan ibu mertuaku terus berputar di kepalaku. Aku tidak setuju pindah ke Yogyakarta, tapi rasanya sulit untuk menolak keinginannya. Rasa tidak nyaman menyelimuti setiap sudut hati. Sementara air mengalir, aku mencoba menenangkan diri, namun perasaan itu tetap membebani. Setelah selesai mandi, aku mengenakan pakaian dengan cepat dan melangkah menuju kamar, berharap bisa segera mengusir kerisauan yang menggantung di benakku.

Aku mengambil pakaian yang lebih bagus dan rapi, lalu mengganti pakaian yang sedang aku kenakan. Meski tubuhku sudah bersih, pikiranku tetap tidak bisa lepas dari permintaan ibu mertua. Ada dorongan kuat dalam diriku untuk menolak, tapi aku tahu ini bisa jadi masalah besar jika aku melakukannya. Kegalauan itu terus mengganggu, membuatku sulit berkonsentrasi. Setelah selesai berdandan, aku berdiri di depan cermin dengan pikiran yang masih kacau, mencoba mencari ketenangan yang sulit ditemukan.

Aku menghela napas saat keluar dari kamar, dan berjalan menuju ruang tamu. Namun, langkahku terhenti sejenak. Ada sesuatu yang membuatku mematung di tempat. Di teras rumah, aku melihat ibu mertuaku sedang berbicara dengan Bayu. Aku sebenarnya terkejut melihat Bayu di rumahku. Aku tidak pernah meminta Bayu datang. Mataku tertuju pada ibu mertuaku yang tampak genit di hadapan Bayu. Cara berdirinya, ekspresinya, serta nada suaranya memberi kesan bahwa dia tertarik pada karyawanku itu. Aku semakin yakin akan ketertarikan ibu mertuaku itu pada Bayu. Dan tiba-tiba saja sebuah senyum tersungging di wajahku karena sebuah ide cemerlang muncul di kepalaku.

Aku mulai melangkah dengan santai, memastikan wajahku tetap tenang seolah tak ada hal aneh yang terjadi. Langkahku teratur menuju teras. Setibanya di sana, aku melihat ibu mertuaku dan Bayu terhenti sejenak dari percakapan mereka. Aku melemparkan senyum ramah kepada mereka berdua, seakan-akan pertemuan ini hanyalah hal biasa tanpa ada sesuatu yang perlu dipertanyakan.

“Bayu, ada apa kamu datang ke sini?” tanyaku, mencoba membuat suaraku tetap terdengar biasa.

Bayu langsung menjawab, “Ada beberapa stok jamu di kedai yang habis, Bu … Saya lupa bilang semalam, jadi saya ke sini sekarang untuk menyampaikannya sama Ibu.”

Aku mengangguk pelan, lalu menoleh ke ibu mertuaku. “Oh, iya. Bu, kenalkan ini Bayu. Dia yang membantu saya di kedai.” Aku memperkenalkan Bayu dengan senyum sopan, melanjutkan, “Bayu, ini ibu mertuaku, Bu Susi.”

Bayu mengulurkan tangan, dan aku bisa melihat wajah ibu mertuaku seketika berubah cerah. Senyumnya lebar ketika mereka berjabat tangan. Aku menyadari dengan jelas betapa senangnya ibu mertuaku dengan kehadiran Bayu.

“Bayu, kamu di sini saja dulu dengan Ibuku. Biar aku ambil jamunya,” kataku, menyudahi perkenalan sambil bersiap meninggalkan mereka. Aku berjalan menuju belakang, membiarkan ibu mertuaku menikmati kebersamaan dengan Bayu.

Aku berjalan pelan menuju dapur, sengaja memperlambat langkahku. Aku ingin Bayu dan ibu mertua lebih lama bersama. Setibanya di dapur, mataku langsung tertuju pada bapak mertua yang sedang mengamati tanaman di halaman belakang. Aku segera membuka lemari dan mengambil beberapa botol jamu yang dibutuhkan Bayu. Satu per satu botol kumasukkan ke dalam tas keranjang yang biasa kupakai untuk membawa jamu. Setelah selesai, aku tidak langsung kembali ke depan. Perhatianku justru beralih pada bapak mertua yang masih sibuk mengamati tanaman. Pandangannya fokus, seolah sedang menikmati suasana di halaman. Aku berdiri diam sejenak, memikirkan rencana agar aku tidak pindah ke Yogyakarta.

Aku menarik napas panjang, berdiri mematung di dapur sambil melihat bapak mertua di halaman belakang. Dalam hatiku, sebuah pikiran mulai tumbuh dan merajai isi kepalaku. “Ibu mertua urusannya Bayu, bapak mertua urusanku.” Aku tersenyum kecil, seolah ada permainan yang mulai kubuat dalam benakku sendiri.

Aku percaya, jika ibu mertuaku tertarik pada Bayu, dia akan lebih mudah dipengaruhi olehnya. Aku berencana mengatur agar Bayu dapat memengaruhi ibu mertuaku, sehingga keinginannya agar aku pindah ke Yogyakarta bisa hilang. Sementara itu, aku juga akan menggoda bapak mertuaku agar tidak keberatan dengan keputusanku untuk tetap tinggal di kota ini. Aku ingin menciptakan suasana yang menyenangkan bagi mereka, sehingga tidak ada alasan untuk menentang pilihanku. Aku berharap skenario ini dapat menciptakan keadaan di mana kedua mertuaku itu tidak marah pada keputusanku untuk tidak pindah. Semua ini adalah caraku untuk mempertahankan kebebasan dan kesenangan yang baru saja aku nikmati di sini.

Aku melangkah kembali ke teras dengan hati yang penuh rencana. Di tanganku, terisi tas keranjang berisi jamu yang siap dijual. Aku merasa percaya diri saat menuju teras, meyakinkan diriku bahwa semua akan berjalan sesuai harapan. Sesampainya di teras, aku meletakkan tas keranjang di dekat Bayu. Keceriaan di wajahnya tampak saat melihatku kembali. Aku memperhatikan keduanya sejenak sebelum mengambil posisi di sebelah mereka.

Aku menatap ibu mertuaku, “Bu, apakah Ibu ingin melihat kedai jamuku?” tanyaku.

Dengan wajah bersemangat, ibu mertuaku menjawab, “Ya … Ibu sangat ingin melihat-lihat kedai jamu kamu, Asti.”

Mendengar itu, aku segera beralih ke Bayu. “Bayu, bisakah kamu mengantarkan Ibu ke kedai jamu kita?”

Bayu tampak terkejut. Dia menggeleng pelan dan berkata, “Tapi, Bu, bagaimana dengan tas keranjang berisi jamu ini? Jika Ibu Susi ikut, bagaimana aku bisa membawanya?”

Aku tersenyum dan menjawab dengan tenang, “Tidak perlu khawatir, Bayu. Jamu ini akan aku bawa sendiri. Ibu Susi akan pergi bersamamu.”

Meskipun Bayu masih terlihat cemas, dia akhirnya mengangguk dan menjawab, “Baiklah …”

Bayu melangkah menuju motornya dengan cepat. Ibu mertuaku menatapku sejenak, dan tatapan matanya mengandung arti yang aku pahami. Tanpa ragu, aku menyuruh ibu mertuaku untuk ikut bersama Bayu. Tak lama setelah itu, ibu mertuaku sudah duduk dengan nyaman di belakang Bayu. Motor Bayu pun meluncur pergi meninggalkan rumah. Aku mengawasi mereka dari halaman. Dalam hati, aku sangat yakin ibu mertuaku menyukai Bayu. Bayu adalah pemuda yang sangat tampan dengan tubuh atletis. Ketampanan Bayu membuat siapa pun wanita pasti tertarik padanya.

Asti segera melangkah masuk kembali ke dalam rumah. Ia bergerak cepat menuju kamarnya. Di dalam kamar, ia mencari rok sebatas lutut. Dengan cepat, ia mengganti celana panjang yang dipakainya dengan rok tersebut. Setelah memastikan penampilannya sudah sesuai, Asti keluar dari kamar dan menuju dapur. Asti melangkah menuju teras belakang rumah. Ia berdiri di sana, mengamati bapak mertuanya yang masih asik dengan tanaman yang ada di halaman belakang rumahnya itu.

Aku memanggil bapak mertuaku. Pria paruh baya itu menengok ke arahku sambil berkata, “Ada apa, Nduk?”

Aku segera menjelaskan rencanaku. “Pak, ayo ikut aku ke kedai jamu. Ibu sudah berangkat duluan.”

Bapak mertuaku tampak bersemangat. Ia segera berdiri dan menelisik penampilanku. Sorot matanya penuh perhatian. Aku merasa senang melihat reaksinya. “Ayo, Pak. Kita harus cepat, kedai jamu harus segera dibuka,” kataku sambil tersenyum genit.

Dengan antusias, bapak mertuaku menjawab, “Dengan senang hati, Nduk …”

Dia melangkah mendekat dan bersiap untuk pergi bersamaku. Aku merasa puas dengan suasana ini. Dalam hatiku, aku berharap semua rencanaku akan berjalan sesuai harapan. Kami berdua berjalan menuju pintu keluar. Rasanya seperti ada energi positif yang mengalir di dalam tubuhku. Aku merasa yakin jika bapak mertuaku takluk di bawah lututku, rencanaku untuk tetap tinggal di kota ini akan lebih mudah dijalankan.

Bapak mertuaku membukakan pintu mobil untukku. Aku segera memasukkan tas keranjang berisi jamu jualanku di jok belakang. Dalam posisi menungging, aku sedikit mengangkat rok belakangku agar bapak mertuaku dapat melihat celana dalamku. Aku berharap bapak mertuaku menikmati bokongku yang terbalut celana dalam berwarna putih yang kukenakan.

Setelah meletakkan tas keranjang, aku duduk di kursi depan mobil. Tak lama kemudian, bapak mertuaku menutup pintu mobil dengan hati-hati. Sesaat kemudian, ia duduk di belakang kemudi. Mobil pun melaju pelan keluar dari halaman rumah. Suasana di dalam mobil terasa nyaman. Mesin mobil berdengung lembut. Saat mobil bergerak menuju kedai, aku merasakan antisipasi untuk apa yang akan terjadi, dan aku memutuskan bahwa ini adalah saat yang tepat untuk memulai rencanaku.

“Pak … Apa aku boleh curhat sebentar?” tanyaku dengan suara lembut, berusaha menunjukkan ekspresi penuh rasa ketidakberdayaan.

“Silakan, Asti. Tidak ada salahnya kamu curhat masalah pribadi. Lebih baik unek-unek dikeluarkan, supaya tidak menjadi penyakit,” jawab bapak mertuaku dengan nada yang hangat. Sembari mengatakan itu, aku menangkap lirikan matanya yang sejenak mengarah ke pahaku, yang sengaja aku pamerkan dengan sedikit mengangkat rok.

Aku pun berpura-pura sedih, “Sebenarnya, ini masalah yang cukup memalukan untuk dibicarakan, apalagi dengan Bapak. Tapi, semakin aku tahan, semakin menyiksa batin.” Aku sedikit membuka pahaku lebih lebar, sehingga paha mulusku semakin terekspos, berharap reaksi dari bapak mertuaku.

“Jangan ragu, Nduk … Siapa tahu ada solusi dari apa yang kamu sampaikan,” katanya, matanya lagi-lagi melirik ke arah pahaku.

Mendengar itu, aku bergerak sedikit menyamping, menumpukan kaki kananku di jok, dengan posisi duduk yang semakin membuat pahaku terbuka lebar. “Sebenarnya, aku punya masalah dengan Mas Tio,” kataku, mencoba terdengar seakurat mungkin, tetapi tetap mengundang rasa ingin tahunya.

“Masalah apa?” tanya bapak mertuaku, suaranya terdengar semakin serius.

“Masalah ranjang,” jawabku tanpa ragu.

Mobil sedikit ngerem, mungkin bapak mertuaku kaget dengan pengakuanku. “Bisa kamu jelaskan lebih rinci?” tanyanya, penuh perhatian.

Aku menggerakkan tubuhku sedikit, membuka pahaku semakin lebar. “Pak,” kataku sambil memandangi wajahnya, “Mas Tio itu tidak pernah memuaskanku di atas ranjang. Hal itu sangat menyiksa batin. Dia paling lama bertahan tiga menit, sudah keluar.” Suara ini kutekankan seolah-olah aku benar-benar merasa kesal.

Aku melihat lagi, dan matanya melirik ke pangkal pahaku yang terbuka lebar. “Apakah kalian sudah berkonsultasi dengan dokter?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.

“Mas Tio selalu marah-marah bila membicarakan kelemahannya itu,” jawabku, berpura-pura menunjukkan rasa putus asa. “Aku tidak berani lagi mengungkit masalah itu. Rasanya semua usahaku sia-sia.”

Tiba-tiba, aku merasakan tangan bapak mertuaku yang lembut menyentuh lututku. “Kita bisa membicarakannya lagi. Jangan pernah menyerah untuk menyelesaikan masalah itu,” katanya, suaranya penuh perhatian.

Aku tersenyum dalam hati melihat tangannya yang sedikit gemetar di lututku. “Pak, percuma kalau aku bicara lagi dengan Mas Tio,” kataku dengan nada yang menggoda. “Dia itu kasar, tidak seperti Bapak yang lembut.” Ucapanku seolah menjadi pancingan, dan aku menunggu respon lebih berani dari bapak mertuaku.

Tangan Bapak mertua Asti yang sedikit gemetar itu, perlahan-lahan mulai menunjukkan keberanian. Dengan jemari yang lebih tegas, ia meraih lututku, menciptakan rasa hangat yang seolah menyiratkan keinginan untuk lebih mendekat. Kulitnya yang berkerut karena usia, kini seakan berbicara dengan suara yang lebih dalam. “Asti,” katanya, suaranya penuh keyakinan meski ada getaran di dalamnya. “Kadang kita perlu tegas, apalagi untuk melindungi orang yang kita cintai.”

Asti tersenyum tipis, tatapannya penuh arti saat tangannya perlahan menangkup jemari Bapak mertuanya di lututnya. “Pak,” katanya, suaranya dibuat lembut dan mengalir, “percuma kalau aku bicara lagi dengan Mas Tio. Dia keras kepala, tidak seperti Bapak… yang jauh lebih lembut.” Kalimatnya terasa manis, hampir seperti bisikan yang sengaja dibuat untuk membangkitkan sesuatu di dalam diri pria di sampingnya.

Dengan perlahan, Asti menarik tangan Bapak mertuanya, memindahkannya ke pahanya. Sentuhannya hangat dan sengaja dibuat penuh arti. “Aku butuh kehangatan seorang pria, Pak,” ucapnya, suaranya mendayu-dayu, penuh dengan maksud yang tak terucap. “Kehangatan yang bisa membuatku merasa nyaman, terlindungi… Bukan seperti Mas Tio yang selalu kasar.” Ia menatap dalam ke arah mata Bapak mertuanya, sengaja memberikan sedikit jeda, seolah menunggu respon lebih berani.

“Bapak selalu lembut, selalu membuatku merasa dihargai,” lanjutnya, kali ini dengan nada yang lebih rendah, lebih dalam, seolah mendesak pria itu untuk menyadari godaannya.

“Asti,” katanya, suaranya lebih lembut dari biasanya, membuatku sedikit bergetar. “Kenapa kamu tiba-tiba bicara seperti itu?” Dia berusaha menyeimbangkan fokusnya antara jalan raya dan perasaan yang tampaknya baru menghujaninya.

“Kadang, aku hanya butuh seseorang yang bisa memberikan kehangatan dan perhatian, terutama saat Mas Tio tidak ada di sini,” kataku, bersikap semakin menantang, mencoba menggoda suasana.

Aku bisa merasakan ketegangan di udara. Bapak mertua merasakan darahnya berdesir, dan aku tahu dia berjuang melawan rasa tidak nyaman yang menggelitik di perutnya. Ia menegakkan punggung, berusaha tetap berkonsentrasi pada jalan. “Aku… aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untukmu, Asti. Tapi ini…” suaranya terhenti, tampak ragu.

“Tapi apa, Pak? Apakah aku tidak menarik?” godaku semakin menjadi-jadi, merasa lebih percaya diri dalam permainan ini.

Dia menatapku dengan mata penuh keraguan. “Asti… kamu sangat cantik dan jujur saja, Bapak menyukaimu… tapi…”

Asti segera memperbaiki duduknya dan merapikan rok yang berantakan. Setelah merasa cukup nyaman, ia berpura-pura kesal dan memalingkan wajahnya ke jendela kaca mobil. Dalam hati, Asti merasa puas dengan strategi yang ia pilih. Ini baru awal dari permainan yang ia rencanakan. Ia yakin Bapak mertuanya akan bertekuk lutut padanya.

Beberapa menit kemudian, Asti sampai di kedai. Ia langsung turun dari mobil dan bergerak ke pintu kedai. Asti merasa aneh karena tidak melihat Bayu dan ibu mertuanya, padahal Asti menyangka mereka seharusnya datang terlebih dahulu. Asti membuka pintu kedai dan mengajak Bapak mertuanya masuk ke dalam kedai. Aku dan Bapak mertuaku mulai beres-beres kedai. Kami mengambil beberapa kursi dan meja, menyusunnya dengan rapi di sudut ruangan. Aku membersihkan debu yang menempel di permukaan meja dengan kain lap. Setiap sudut kedai harus bersih dan terlihat rapi. Bapak mertuaku mengatur barang-barang yang akan dipajang, memastikan semuanya menarik perhatian. Selama kami bekerja, kami berbincang hangat. Kami saling bercanda tentang hal-hal sepele yang membuat suasana semakin ceria. Kadang-kadang, kami berhenti sejenak untuk tertawa, menikmati kebersamaan di antara kami.

Setelah beberapa saat bekerja di kedai, Bayu dan ibu mertuaku masuk. Mereka terlihat segar dan ceria. Ibu mertuaku membawa beberapa tas belanja. Bayu tersenyum lebar saat melihat kami. Ibu mertuaku langsung menghampiri kami, memeriksa hasil kerja. Ia tersenyum melihat kedai yang bersih dan rapi.

Aku, Bapak mertuaku, dan ibu mertuaku duduk bersama di kedai. Sementara Bayu mulai menyiapkan jamu daganganku di belakang, suasana terasa hangat. Aku melihat ada progres yang sangat baik dalam hubungan kami. Bapak mertuaku dan ibu mertuaku sekarang terasa lebih santai dan tidak kaku. Senyum puas menghiasi wajahku saat menyadari kemajuan ini.

Tak berselang lama, Bapak dan ibu mertuaku pamit untuk pulang ke rumah. Aku mengantarkan mereka ke mobil dan melihat mereka masuk ke dalam kendaraan. Setelah mobil melaju, aku berdiri sejenak, menatap kepergian mereka hingga menghilang dari pandangan. Segera saja, aku masuk ke dalam kedai dan menghampiri Bayu yang sedang mempersiapkan jamu daganganku.

Aku berdiri di dekat Bayu dan langsung berkata, “Bayu, aku ingin meminta bantuan darimu.”

Bayu menatapku dengan heran. “Bantuan apa yang Ibu harapkan dariku?” tanyanya, masih bingung dengan pernyataanku.

Tanpa basa-basi, aku langsung menjelaskan. “Aku ingin kamu menggoda ibu mertuaku dan mempengaruhinya agar dia tidak jadi menyuruhku pindah ke Yogyakarta.”

Bayu terkejut. “Apakah ibu mertuamu menyuruh Ibu pindah ke Yogyakarta?”

“Ya,” jawabku singkat. Lalu, aku bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang keinginan ibu mertuaku itu?”

“Aku sangat tidak ingin Ibu pergi jauh dariku,” kata Bayu, sambil mendekat. Tiba-tiba, tangannya memegang kedua pinggulku. Dadanya menghimpit payudaraku dengan ketat.

“Kalau memang kamu ingin aku tetap di sini, maka kamu harus membantuku untuk membuat ibu mertuaku tidak jadi menyuruhku pindah ke Yogyakarta,” kataku dengan tegas.

Bayu mengangguk dan menyetujui permintaanku. “Aku akan membantu Ibu.”

“Terima kasih atas kesediaanmu membantuku,” responku sangat senang lalu aku mencium bibirnya sekilas.

Setelah berbincang dengan Bayu, kami kembali fokus pada pekerjaan. Kami mempersiapkan semua kebutuhan kedai. Tak lama kemudian, Anita dan Sintia datang dengan senyum lebar. Mereka langsung bergabung membantu kami. Kami mulai membuka kedai dan menyambut kedatangan pembeli. Begitu pintu kedai dibuka, banyak pembeli langsung berdatangan. Suasana kedai menjadi ramai dan penuh keceriaan. Kami semua bekerja dengan cepat. Bayu melayani pembeli yang antre, sementara aku bersama Anita dan Sintia menyiapkan jamu dan barang dagangan. Kami semua berusaha memberikan yang terbaik untuk pelanggan.

Bersambung​….