RAHASIA ISTRI PENJUAL JAMU part6~

Kedai jamuku tidak pernah sepi dari pembeli. Suasana ramai dan hangat selalu menghiasi setiap malam. Dari sore hingga malam, pelanggan datang silih berganti. Mereka menikmati berbagai jenis jamu yang aku sediakan. Waktu berlalu dengan cepat. Jam menunjukkan angka dua puluh dua saat aku menyadari kedai mulai sepi. Dengan ketiga karyawanku, aku mulai membereskan kedai. Meja dan kursi kami rapikan, semua peralatan kami simpan. Kami menutup semua jendela dan pintu. Setelah semua beres, kami bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing.

Aku melihat Sintia dan Anita naik ke lantai dua. Mereka hendak mengganti pakaian kerja. Sementara itu, aku memilih untuk bertahan di lantai satu. Bayu duduk di salah satu kursi pengunjung. Ia terlihat santai dan menikmati suasana. Aku menghampiri Bayu dan duduk di sebelahnya. Kehangatan di antara kami mulai terasa. Senyuman muncul di wajahku. Bayu memandangku dengan penuh perhatian.

“Apa yang terjadi, Bayu? Kenapa kamu tidak terlihat bahagia hari ini?” tanyaku.

Bayu menoleh, memberikan senyum tipis yang seakan ingin menutupi sesuatu. “Aku hanya tidak bisa tidak memikirkan Ibu. Aku ingin sekali membahagiakan Ibu,” jawabnya dengan nada yang lembut.

Ucapan itu menyentuh hatiku. Rasanya hangat dan membuatku tersenyum. Tanpa pikir panjang, aku berdiri dan menghampirinya. Dengan lembut, aku duduk di pangkuannya dan mengalungkan kedua lenganku di lehernya. “Aku sangat tersanjung dengan ucapanmu,” kataku. “Aku tidak menyangka kamu memperhatikanku sampai sedalam ini. Kalau saja kamu menjadi suamiku, aku pastikan aku sangat menyayangi dan mencintaimu.”

Senyum Bayu semakin lebar. “Ibu tahu, aku selalu berharap bisa membuat Ibu bahagia. Aku ingin menjadi seseorang yang berarti untuk Ibu,” ujarnya.

“Setiap kata yang kamu ucapkan membuatku merasa istimewa, Bayu. Aku merasa beruntung bisa mengenalmu,” kataku sambil memandang matanya. Ada kilau harapan di dalam tatapan itu.

Bayu mengangguk perlahan. “Jika ada kesempatan, aku ingin membuat Ibu merasakan semua kebahagiaan yang Ibu layak dapatkan.”

Wajahku perlahan mendekati wajah Bayu. Keberanian menyelimuti diriku saat bibirku menyatu dengan bibirnya, menciptakan ciuman mesra. Awalnya, ciuman itu lembut, tetapi seiring waktu, kehangatan di antara kami semakin meningkat. Ciuman kami semakin panas. Beberapa saat kemudian, tangannya meremas payudaraku. Tubuhku merinding, merasakan kenikmatan yang mengalir dari setiap sentuhannya. Rasa itu membuatku tenggelam dalam momen ini. Ciuman kami terus berlanjut, seolah menghapus semua kekhawatiran yang ada. Perasaan cinta dan gairah menyatu dalam setiap detik yang kami lalui bersama.

Setelah beberapa saat terlarut dalam ciuman, aku melepaskan bibirku dari bibir Bayu. Aku mendekatkan wajahku dan berbisik lembut, “Kita lanjutkan ini di atas setelah Sintia dan Anita turun.” Aku memandangnya dengan harapan. Bayu pun mengangguk tanda setuju.

Beberapa menit kemudian, Sintia dan Anita turun dari lantai dua. Mereka berpamitan padaku untuk langsung pulang. Aku mempersilakan keduanya pulang lebih dulu. Setelah memastikan mereka pergi, aku segera mengunci pintu kedai. Suasana sekeliling terasa sunyi dan tenang. Setelah itu, aku mengajak Bayu ke lantai dua. Sesampainya di sana, aku membawa Bayu masuk ke kamar ganti wanita. Ruangan itu sempit, dengan pencahayaan yang lembut. Kami berhadap-hadapan, dan dalam sekejap, kami berpelukan. Tanganku melingkari lehernya, sementara tangan Bayu memegang pinggangku. Sentuhannya memberikan rasa nyaman yang membuatku ingin lebih sekedar berpelukan. Saat itu, libidoku melonjak, membuatku sangat ingin merasakan kebersamaan ini. Hasrat yang membara mengalir dalam diriku, seakan-akan setiap detik terasa begitu berharga.

“Aku ingin kamu membahagiakanku sekarang juga, Bayu …” desahku menantang keberaniannya.

“Bagaimana caranya?” Bayu benar-benar membuatku ingin tertawa karena kepolosannya.

Aku mencubit hidupnya sambil berkata, “Aku ingin membuktikan ucapanmu, seberapa kuat kamu bisa bertahan. Aku ingin kamu menyetubuhi.”

“Oh…” matanya terbelalak, tetapi aku bisa melihat ada keraguan dan rasa ingin yang bersatu.

Birahi dan tidak sabar mengalir dalam diriku, mendorongku untuk melanjutkan tanpa mundur. Aku meraih bagian bawah celananya dan merasakan benjolan di dalamnya. Benjolan itu semakin keras dan besar. Mata Bayu memancarkan gairah. Tangan Bayu kemudian membuka kancing-kancing pakaianku dengan perlahan hingga pakaianku terlepas. Dia menatap payudaraku yang masih terbungkus bra hitam dengan tatapan penuh hasrat.

“Kamu menginginkannya bukan?” godaku.

“Indah sekali … Bolehkah …” ucap Bayu.

“Hi hi hi …” Aku hanya terkikik sambil sekali lagi mencubit hidungnya yang bangir.

Bayu pun langsung menarik tanganku, badanku pun ikut tertarik dan dirinya memelukku erat-erat sambil mencium rambutku hingga telingaku. Aku merinding, perlahan Bayu mulai mencium bibirku. Tanpa pikir panjang lagi, aku membalas ciumannya. Ciuman yang langsung penuh gairah sehingga membuatku begitu bernafsu. Aku pegang tangan kanannya dan aku arahkan ke buah dadaku yang masih terbalut oleh bra. Secara alami tangan Bayu mulai meremas-remas payudaraku dari luar bra. Aku semakin terangsang saat tangannya meremas payudaraku. Tangan kiriku mengusap-usap bagian luar celananya.

“Buka BH-ku, sayang…” pintaku sambil mendesah.

Tanpa diminta dua kali, tangan Bayu dengan cekatan membuka kaitan braku. Kini di depan wajahnya terpampang dua buah bukit kembar yang sangat ranum dan menggairahkan. Mungkin ini yang disebut dengan nafsu alami. Secara otomatis tangannya mulai meremas-remas payudaraku. Aku hanya bisa mendesah-desah tak karuan mendapatkan perlakuan seperti itu. Tak hanya meremas-remas, tiga menit kemudian Bayu secara naluriah mulai mengecup dan menjilati kedua gunung kembar yang ada di depannya.

“Aaahh… Enaak… Sayang… Teruuss… Emmpphh…” aku meracau tak karuan mendapat perlakuan seperti itu.

Dengan cekatan tangan kami meloloskan pakaian kami masing-masing. Kini hanya sehelai celana dalam yang melekat di tubuh kami. Tak sabar, aku menjauhkan kepala Bayu dari kedua gunung kembarku. Aku suruh Bayu untuk duduk di sebuah sofa panjang yang letaknya di ujung ruangan. Peluh membasahi tubuh kami berdua meskipun permainan baru saja di mulai. Aku berjongkok di antara kedua belah pahanya yang terbuka. Aku pandangi tonjolan besar yang berada dalam penjara yang disebut celana dalam. Aku usap-usap bagian luar celana Bayu. Bayu menggelinjang mendapat perlakuan seperti itu. Perlahan aku pegang pinggiran celana dalam Bayu dan aku berusaha untuk melepaskan celana dalam itu dari tubuhnya.

Sebuah pemandangan yang sangat indah bagiku terpampang begitu saja ketika celana dalam itu sudah lepas dari tubuhnya. Kini Bayu sudah telanjang bulat. Kontol yang sangat besar, dengan panjang sekitar 18 cm dan diameter yang cukup besar membuat diriku menelan ludah. Aku pegang kontol Bayu dengan tangan kananku. Aku elus-elus kontol itu pelan-pelan. Bayu hanya mendesah saja mendapatkan perlakuan itu. Aku dekatkan wajahku ke kontol Bayu. Aku ciumi ujung kontol yang merekah itu, lalu aku jilati kontol itu. Bayu semakin tidak karuan mendapat perlakuan yang semakin merangsang itu. Dua menit kemudian, aku masukkan kontol Bayu ke dalam mulutku dan aku oral kontol Bayu.

“Ohh… Enaakk Buu… Teruus..,” Bayu mendesah.

Aku memasukkan kontol Bayu ke dalam mulutku dan juga secara bergantian mengocok kontolnya dengan tangan kananku sambil menjilati buah pelirnya. Setelah itu aku masukkan lagi kontol Bayu ke dalam mulutku lalu aku memaju mundurkan mulutku sedangkan tanganku bekerja meremas-remas kedua pelirnya dengan lembut.

“Enaakk.. Bu.. Aaahh.. enaakk.. Teruss..”

Kata-kata semacam itu terus-menerus keluar dari mulut Bayu. Sekitar sepuluh menit kemudian Bayu memegang bagian belakang kepalaku seakan-akan tidak mau melepaskan hisapan mulutku dari kontolnya.

“Buu.. Mauu.. Ke.. Lu. Aar.. Ceepaat..” teriak Bayu.

Aku semakin mempercepat kocokan mulutku di kontolnya. Tidak lama kemudian aku merasakan adanya denyutan-denyutan yang menandakan kalau Bayu akan mencapai puncak.

“Keluarkaan sayang, keluarkan di mulutku,” kataku di antara desahan nafasku dan nafasnya dan di antara kesibukanku mengoral kontolnya.

Creet.. Croot.. Creet.. mungkin sebanyak lima atau enam semprotan sperma Bayu memenuhi rongga mulutku. Hampir saja mulutku tidak dapat menampung banyaknya semprotan sperma Bayu yang sangat banyak itu. Wangi dan gurih, itulah yang aku rasakan. Bayu duduk telentang dan bersandar di sandaran sofa dengan nafas yang terengah-engah seperti baru berlarian. Tapi, dia memang baru saja ‘berlarian’ mengejar nafsunya. Aku lalu duduk di sampingnya. Aku biarkan dia istirahat dulu, aku tidak ingin terburu-buru meskipun nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun.

“Pejumu tadi benar-benar lezat. Aku sangat menikmatinya,” sanjungku tentang spermanya yang aku telan tadi. Bayu hanya tersenyum saja mendengar sanjunganku.

Setelah aku melihat Bayu sudah mulai tenang, aku dekatkan wajahku ke wajahnya. Seperti sudah mengerti yang aku maksud, Bayu juga mendekatkan wajahnya ke wajahku. Mulut kami bersatu dan kami berciuman. Aku buka sedikit mulutku, bagitu juga Bayu. Lidahnya mulai masuk ke dalam mulutku dan menyapu seluruh rongga mulutku. Kedua lidah kami beradu, saling membelit dan saling menjilat. Aku dekap tubuhnya erat sedangkan Bayu memegang bagian belakang kepalaku. Aku rasakan kedua gunung kembarku bersentuhan dengan dada bidang milik Bayu. Bayu berusaha menidurkan aku di sofa sambil kedua tangannya bergerilya di seluruh tubuhku. Sekarang aku telentang di sofa dan Bayu berada di atas menindihku.

“Buka celana dalamku, Bayu …” aku meminta Bayu untuk membuka celana dalamku.

Bayu mendekatkan kedua tangannya ke pahaku lalu menarik celana dalamku ke bawah. Aku mengangkat pantatku sedikit untuk memudahkan dirinya menelanjangiku. Tak sampai hitungan menit, celana dalamku sudah lepas dari tubuhku. Kini kami berdua sudah dalam keadaan telanjang bulat. Sekarang Bayu benar-benar terpana melihat pemandangan paling indah. Di hadapannya, sebuah vagina yang bersih karena tidak ada bulu-bulunya terpampang jelas di depan matanya. Aku melihat keragu-raguan di matanya. Seperti seorang guru yang sedang mengajari muridnya, aku dekatkan kepala Bayu ke vaginaku.

“Jangan bengong aja … Cium memekku, jilat memekku,” aku menyuruh Bayu untuk melakukan aksinya.

Tak lama, Bayu mendekatkan kepalanya ke vaginaku dan mulai menciumi permukaan vaginaku. Aku mendesah pelan. Dua menit setelah puas menciumi seluruh permukaan vaginaku, Bayu mengeluarkan lidahnya dan mulai menjilati vaginaku. Aku merasakan permukaan yang kenyal dan basah yang menyentuh vaginaku. Perasaanku semakin tidak karuan saja. Tangan kananku berusaha membantu. Dengan dua jari aku berusaha membuka vaginaku sehingga sekarang tidak hanya permukaanya saja yang tersapu oleh lidah Bayu, tetapi lidah Bayu juga mulai masuk ke dalam vaginaku. Bayu bahkan bisa menggigit-gigit kecil.

Nafasku semakin tidak beraturan. Tanpa diperintah, Bayu memasukkan dua jari tangan kanannya ke vaginaku. Aku semakin tidak karuan saja. Dia mengocok-ngocok vaginaku sambil tetap menjilatinya. Pantatku bergoyang-goyang tidak karuan. Tidak puas hanya menjilati vaginaku saja, saat pantatku terangkat Bayu juga menjilati lubang pantatku. Aku sebenarnya ingin melarangnya karena itu menjijikkan tetapi aku tidak sanggup karena nafsu sudah menguasaiku. Tidak sampai sepuluh menit kemudian aku merasakan ada dorongan kuat dalam diriku.

“Aaahh… Akuu mauu keluuaar… Yuu…” teriakku mendekati orgasmeku yang pertama.

Serr… Serr… Serr … Air cintaku muncrat keluar. Seakan tidak ingin mengecewakan aku, Bayu menyeruput semua air cintaku ditelannya habis.

“Aaaahh … Bayu …” Aku menggelinjang, tapi tanganku justru semakin menekan kepalanya agar lebih kuat lagi menghisap memekku. Vaginaku pun basah dibuatnya, cairan hangat berlendir mengalir deras sekali saat lidahnya mengusap lembut vaginaku.

“Sudah Yu …” kataku sambil menarik bahunya, dan Bayu pun kini berposisi jongkok semi berdiri di depanku. “Kamu pertama kali ya beginian?” tanyaku lembut sembari menangkup wajahnya.

“I..iya …” jawabnya malu-malu.

“Sekarang giliranmu … Duduklah!” pintarku pada Bayu.

Pemuda tampan itu lalu duduk di sofa sebelahku. Tak berlama-lama, aku turun ke bagian selangkangannya. Aku pegang kontolnya yang masih tegang seperti tiang bendera. Aku pegang kontol Bayu dengan tangan kananku. Tidak menunggu lama, aku oral lagi kontol Bayu. Bayu kembali mendesah-desah mendapat perlakuan itu lagi. Aku memajumundurkan mulutku yang sedang menghisap kontol Bayu. Lima menit kemudian, aku minta Bayu untuk berdiri dari sofa. Aku tidur telentang di sofa menggantikan dirinya.

“Masukkan kontolmu sayang. Memekku sudah pengen ngerasain kontol gedemu,” pintaku kepada Bayu sambil menyibakkan lubang vaginaku untuk memudahkan penetrasi yang akan dilakukan Bayu.

Bayu memegang kontolnya dan bersiap-siap untuk mencobloskan ke vaginaku. Diusap-usapkannya ujung kontolnya di pintu masuk vaginaku dan.. Breess..

“Aahh..,” teriakku ketika kontol gede itu menembus vaginaku.

‘Sleep… Plok… Sleep… Plok…’ suara kocokan kontol Bayu di vaginaku.

“Enaakk… Yaangg… Teruss… Kontolmu gede sekali… Yu…” aku meracau tidak karuan.

Bayu tidak berkata apa-apa. Hanya desahan-desahan yang semakin keras yang keluar dari mulutnya. Keringat deras membasahi tubuhnya. Aku pandangi wajahnya. Betapa tampannya pacar gelapku ini, dalam hati aku berpikir. Aku menggoyangkan pantatku untuk mengimbangi permainan Bayu. Aku mengusap keringat yang membasahi wajahnya dengan kedua tanganku.

Lima belas menit kemudian, aku meminta Bayu untuk mencabut kontolnya dari vaginaku. Bayu melakukannya walaupun dengan keraguan. Lalu aku memintanya untuk tidur telentang di sofa. Setelah Bayu tiduran, aku mengangkangi selangkangannya. Aku pegang kontol Bayu, lalu aku mencoba untuk mengepaskan ke lobang vaginaku. Setelah aku rasa tepat, aku turunkan pantatku dan… Bleess…

Kontol Bayu kembali memasuki sarangnya. Aku menaikturunkan tubuhku untuk mengocok kontol Bayu. Kedua gunung kembarku bergoyang naik turun seperti mau lepas. Aku pegang tangan Bayu dan aku arahkan ke payudaraku. Bayu sudah mengerti apa yang aku mau. Sambil menggerakkan pantatnya naik turun menyambut vaginaku, kedua tangan Bayu bergerak aktif meremas-remas payudaraku. Hal ini semakin menambah rangsangan buatku dan…

‘Seerr.. Seer.. Seerr…’ aku mengalami orgasme yang kedua. Tetapi Bayu tampaknya tidak peduli dengan itu. Dia tetap saja menaikturunkan pantatnya. Aku biarkan saja dia meski sebenarnya aku ingin istirahat.

“Bu, ganti posisi ya, Ibu turun dulu,” kali ini Bayu yang meminta untuk berganti posisi.

Aku lepaskan jepitan vaginaku yang basah karena sudah orgasme. Bayu berdiri dari sofa.

“Sekarang Ibu berdiri menghadap sofa, lalu berpegangan ke sofa,” pinta Bayu.

Aku sangat mengerti apa maksudnya jelas aku turuti apa maunya. Setelah aku berposisi menungging sambil berpegangan ke sofa, Bayu memasukkan kontolnya ke vaginaku dari belakang.

“Aahhggh… Hebatt… Kamu Yuu…” aku menjerit lagi.

Kali ini dengan posisi yang belakangan aku ketahui bernama “Doggy Style” kami berdua melanjutkan ‘olahraga’ seks kami. Dari belakang Bayu meremas-remas dan mengusap-usap pantatku. Ruangan ini dipenuhi dengan suara-suara erotis yang menandakan dua insan sedang beradu kenikmatan. Tak hanya meremas pantatku, dari belakang Bayu juga meremas-remas kedua payudaraku. Aku pun tidak mau kalah. Vaginaku meremas-remas kontolnya yang sedang berada di dalamnya. Pantatku pun tidak mau tinggal diam. Aku memutar-mutar pantatku untuk menambah sensasi yang dirasakan oleh Bayu. Rupanya apa yang aku lakukan itu membuat pertahanannya runtuh juga. Aku pun tidak bisa lagi menahan orgasmeku yang ketiga.

“Sayaangghh aku mau keluaarr laggii…” aku menjerit keras ketika aku merasakan akan orgasme untuk yang ketiga kalinya. ‘Seerr… Seerr… Seerrr…’ Aku merasakan vaginaku basah oleh lendir birahiku sendiri.

“Buu.. Aku juugaa mauu keluaarr…” teriak Bayu.

Bersamaan dengan itu, tanda-tanda klimaksnya mulai terasa di lobangku. Tak lama kocokannya semakin cepat, penisnya semakin berkedut. Bayu semakin mempercepat gerakannya dan akhirnya ia mencabut penisnya dari vaginaku, menyemburlah spermanya membasahi bokong dan pingganggu. “Aaahhhkkk …!” Kudengar erangannya.

Aku dan Bayu terdiam sejenak sambil menikmati sisa-sisa orgasme kami. Nafas kami masih terengah-engah, menyatu dengan keheningan malam yang hanya dipecah oleh suara angin lembut dari jendela yang sedikit terbuka. Sesekali aku melirik ke arahnya, dan melihat senyum kecil yang tersungging di wajahnya. Dia terlihat tenang, puas, dan mungkin sedikit lelah.

Tak lama berselang, Bayu mencabut kejantanannya dari dalam tubuhku dengan gerakan perlahan, membuatku merasa kosong dan sedikit tersentak oleh perubahan itu. Sensasi kehangatan yang tadi memenuhi tubuhku perlahan memudar, digantikan oleh udara dingin malam yang merambat ke kulitku. Aku beringsut bangkit, tubuhku masih terasa lelah dan berat. Tanpa banyak bicara, aku langsung duduk sofa membiarkan tubuhku tenggelam dalam bantalan sofa yang empuk, sementara sisa-sisa keletihan masih merayapi otot-ototku.

Kepala Bayu tiba-tiba bersandar di pangkuanku, membuatku sedikit terkejut. Tanpa berkata apa-apa, dia melingkarkan tangannya di pinggangku, seolah mencari kehangatan atau mungkin ketenangan. Gerakan itu terasa begitu alami, seakan-akan ia sedang mencari perlindungan di tengah kebingungannya sendiri. Perlahan, aku mengusap rambutnya dengan lembut, membelainya dengan penuh perasaan.

Entah kenapa, aku merasa begitu sayang pada pemuda ini. Ada sesuatu tentang Bayu yang membuatku selalu ingin berada di dekatnya, sebuah rasa keterikatan yang dalam, yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Meski hubungan kami seringkali dipenuhi kebingungan, aku tetap merasakan kehangatan dan rasa kasih yang tak terbantahkan setiap kali berada di sisinya.

“Ibu saya antar pulang ya …” ucap Bayu setelah mengangkat wajahnya.

“Ya Bayu, kamu harus mengantarkan aku pulang karena Mas Tio tidak bisa menjemputku,” ucapku lembut.

“Kalau begitu kita harus segera berangkat karena sudah malam,” ajak Bayu dan kujawab dengan anggukan.

Aku dan Bayu segera mengenakan pakaian. Aku mengambil bajuku di dalam lemari, sementara Bayu merapikan dirinya dengan cepat. Kami sama-sama tidak banyak bicara, hanya fokus pada apa yang perlu dilakukan. Aku merapikan rambutku di depan cermin kecil yang ada di sudut ruangan, memastikan penampilanku tidak terlihat berantakan. Setelah merasa cukup rapi, aku menghela napas dalam-dalam, siap untuk melanjutkan. Kami lalu turun dari lantai dua kedai menuju lantai satu. Sesampainya di bawah, aku membuka pintu kedai dan menunggu Bayu keluar lebih dulu. Setelah memastikan semua sudah beres, aku mengunci pintu kedai. Bayu sudah siap dengan motornya. Tanpa banyak basa-basi, aku naik ke atas motor, bersiap untuk diantar pulang.

Bayu mengendarai motor dengan kecepatan sedang, membuat hembusan angin malam terasa lembut di wajahku. Lampu-lampu jalan berganti-ganti, menciptakan suasana yang tenang. Aku memulai pembicaraan dengan nada santai.

“Bayu, kamu sadar nggak, hari ini di kedai tuh banyak pelanggan yang genit?” Aku membuka topik dengan sedikit tawa.

Bayu menoleh sekilas, lalu kembali fokus. “Iya, aku tahu. Kadang sampai ganggu juga, ya.”

Aku tertawa pelan. “Iya, tapi kalau genitnya sopan, malah kadang bikin seru sih.”

Bayu tidak langsung menjawab, hanya mengangguk sedikit. Aku bisa merasakan dari nada bicaranya, dia mungkin tidak terlalu tertarik membahas hal ini. Tapi aku lanjut berbicara, “Sintia sama Anita juga sering digodain. Mereka juga keliatan menikmati.”

Bayu menghela napas ringan. “Iya, kayaknya mereka biasa aja.”

Aku tersenyum, lalu diam-diam merasakan dorongan aneh. Entah kenapa, dalam suasana yang tenang ini, aku merasa ingin menggoda Bayu. Aku duduk lebih dekat, tubuhku sedikit maju, dan buah dadaku mulai menyentuh punggungnya. Awalnya, gerakanku halus, tapi begitu merasakan hangatnya tubuh Bayu, aku merasa… nyaman.

Sensasi itu langsung menyebar ke seluruh tubuhku, membuat jantungku berdebar lebih cepat. Rasanya lembut, hangat, dan aku merasa… enak. Buah dadaku terus menempel pada punggungnya, dan aku tak bisa menahan diri untuk menekan sedikit lebih erat, merasakan sensasi yang semakin kuat.

Bayu, sepertinya merasakan hal itu, langsung bertanya, “Bu … Ibu nggak apa-apa?”

Aku menahan senyum dan berusaha terdengar santai. “Nggak kok, nggak apa-apa. Nyaman aja.”

Namun, dalam hatiku, aku tahu lebih dari itu. Ada semacam kenikmatan aneh yang kurasakan saat aku membiarkan tubuhku lebih dekat padanya. Rasanya begitu menyenangkan, dan aku ingin tetap seperti ini lebih lama. Setiap kali motornya bergerak, tubuh kami semakin menyatu, dan aku bisa merasakan hangatnya yang menjalar ke seluruh tubuhku. Ada sensasi nikmat yang membuatku tersenyum sendiri di balik helm. Bayu terdiam, tapi dia juga tidak menegur atau menjauh. Momen itu terasa semakin intim, meski hanya aku yang merasakan sepenuhnya. Aku semakin menekan dadaku ke punggungnya, mencoba merasakan sensasi yang terus meningkat. Rasanya sangat enak, hingga aku tak ingin momen ini cepat berlalu.

Perjalanan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan di atas motor. Aku tenggelam dalam perasaan yang membuatku ingin terus berada di posisi ini, menikmati setiap detik di balik punggung Bayu, dengan sensasi yang membuatku merasa begitu nyaman dan puas. Kami melaju di sepanjang jalan yang dikelilingi pepohonan. Angin berhembus lembut, membawa aroma segar dari alam. Setiap guncangan motor membawa detak jantungku berirama dengan kehadiran Bayu. Di setiap belokan, aku merasa semakin dekat dengannya. Senyumnya yang lebar saat kami berbicara membuatku merasa hangat di dalam hati. Kami berbagi cerita, tawa, dan impian, semua terasa lebih berarti saat kami berbagi momen ini.

Bayu sangat spesial dibanding pria-pria lain yang pernah dekat denganku. Ada sesuatu yang berbeda dalam caraku merasakannya. Dengan pria-pria sebelumnya, aku hanya merasa tertarik secara fisik, sesaat, atau bahkan sekadar ingin mengisi kekosongan. Hubungan-hubungan itu terasa hambar, seperti berjalan di tempat. Meskipun mereka perhatian, selalu ada jarak yang tak bisa kujelaskan. Tak ada yang membuatku benar-benar merasa utuh, tak ada yang memantik perasaan yang mendalam.

Tapi dengan Bayu, semuanya berubah. Bersamanya, aku tak sekadar merasa diinginkan, tetapi dihargai. Rasanya seperti menemukan bagian yang hilang dari diriku. Setiap sentuhan, setiap detik kebersamaan, menyadarkanku betapa besar arti perasaan ini. Bukan hanya soal ketertarikan, melainkan rasa tenang, nyaman, dan penuh kepastian. Tak ada keraguan, tak ada kecanggungan. Bersama pria-pria lain, aku sering bertanya-tanya tentang hubungan kami, tapi dengan Bayu, semuanya terasa jelas.

Aku dan Bayu akhirnya tiba di depan rumahku. Motor berhenti dengan lembut di pinggir jalan, dan aku segera turun. Setelah mengucapkan salam perpisahan dan Bayu pergi tanpa banyak bicara. Aku melihatnya pergi sejenak sebelum melangkah menuju pintu depan. Pintu rumah belum terkunci. Aku masuk tanpa ragu, langsung mengunci pintu setelahnya. Suasana rumah sunyi, hanya ada suara samar dari kipas angin di kamar tidur.

Aku berjalan ke kamar dan membuka pintu dengan hati-hati. Mas Tio tertidur sangat lelap di atas kasur. Tubuhnya hanya mengenakan celana basket favoritnya, dengan dada terbuka tanpa selimut yang menutupi. Napasnya terdengar teratur, menunjukkan betapa dalam tidurnya. Aku berdiri sebentar di dekat pintu, melihatnya beristirahat tanpa gangguan, wajahnya tenang dalam keheningan malam.

Setelah memastikan Mas Tio masih tertidur lelap, aku berjalan ke lemari pakaian dan mengambil handuk bersih. Setelah mengumpulkan handuk, aku keluar kamar menuju dapur, tempat kamar mandi berada. Lorong menuju dapur terasa sunyi, hanya suara langkah kakiku yang terdengar. Sesampainya di dapur, aku membuka pintu kamar mandi dan masuk. Aku menutup pintunya dengan perlahan, lalu mempersiapkan diri untuk mandi, berharap air dingin bisa meredakan kelelahan yang masih menggelayut di tubuhku.

Aku pun selesai mandi. Setelah mengeringkan tubuh dengan handuk, aku melilitkan handuk itu di sekujur tubuhku, hanya sebatas dada hingga atas paha. Dengan langkah hati-hati, aku menuju pintu kamar mandi. Ketika aku membuka pintu, mataku terbelalak. Di kursi meja makan, Bapak Mertuaku duduk dengan tatapan yang lapar. Pandangannya tertuju padaku, membuatku tertegun sejenak. Rasa canggung menyergap diriku. Tatapannya bukan sekadar melihat, melainkan meneliti setiap lekuk tubuhku. Jantungku berdegup kencang. Aku merasa seolah dirinya sedang mengamati hidangan lezat yang sedang dipersiapkan. Pandangan itu membakar rasa malu dan ketidaknyamanan. Rasa was-was mulai menyelimuti pikiranku.

Tatapan Bapak Mertuaku masih melekat padaku. Ia menggeleng pelan sebelum berkata, “Asti, tidak baik mandi malam-malam seperti sekarang ini. Sebaiknya kamu cukup mengelap tubuhmu dengan air hangat.”

Aku merasakan grogi menguasai diriku. Dengan suara yang sedikit bergetar, aku menjawab, “Tapi, Pak, aku sudah biasa mandi malam. Kalau tidak mandi, aku tidak bisa tidur.”

Bapak Mertuaku tersenyum, lalu bergerak mendekatiku. Tiba-tiba, kedua tangannya berada di bahuku. Suaranya terdengar lembut, “Asti, aku merasa kasihan padamu. Kamu harus bekerja sampai larut malam. Dan yang paling menyedihkannya adalah, kamu tidak bahagia hidup dengan Tio.”

Aku menatap mata Bapak Mertuaku dengan perasaan was-was. Tatapannya yang tajam menembus diriku, seolah berusaha membaca setiap pikiran dan perasaanku. Namun, seiring waktu berlalu, perasaan itu hilang begitu saja. Keteganganku berangsur memudar, tergantikan oleh rasa ingin mengerjainya. Pikiran ini mengalir dengan cepat. Aku mulai merencanakan langkah-langkah kecil untuk memanfaatkan situasi ini. Dengan hati-hati, aku mengubah ekspresi wajahku menjadi lebih ceria, seolah tidak ada yang salah.

“Apa benar Bapak merasa kasihan padaku?” tanyaku sambil tersenyum tipis.

Ia menatapku sejenak. “Bapak benar-benar kasihan padamu. Ingin rasanya Bapak menggantikan Tio untuk dirimu.”

Aku langsung menyambar ucapannya. “Percuma saja Bapak menggantikan Tio kalau ‘anu’ Bapak kecil,” kataku, berusaha mengungkapkan pikiran itu dengan nada menggoda.

Bapak Mertuaku terbelalak mendengar ucapanku. Matanya melebar, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Namun, tak lama kemudian, dia berkata sambil tersenyum, “Kalau mau, kamu boleh memeriksanya.”

Sambil tersenyum, aku mengulurkan tangan ke arah selangkangan bapak mertuaku. Tak butuh waktu lama, telapak tanganku sudah merasakan tonjolan di sana. Aku telusuri benjolan itu dan terkejut karena panjangnya. Aku semakin penasaran, dan keberanianku muncul tiba-tiba. Tanganku masuk ke dalam celana tidurnya, melewati karet celananya, dan langsung menggenggam kejantanannya yang sudah keras. Aku menahan napas ketika merasakan tebalnya kejantanan bapak mertuaku yang tidak bisa digenggam oleh telapak tanganku.

Besar dan panjang penis bapak mertuaku membuat birahiku tiba-tiba menyeruak, menghantam pikiranku seperti gelombang yang tak terduga. Sensasi hangat merambat dari dadaku hingga ke seluruh tubuhku. Jantungku berdetak lebih kencang, seolah ingin keluar dari dada. Birahiku ini memicu keinginan untuk menjelajahi dan mengekspresikan semua yang tersembunyi di dalam hatiku.

Aku pijit-pijit kejantanan besar itu, merasakan tekstur yang hangat dan kokoh di bawah telapak tanganku. Aku kemudian mengurut batang hangat itu dari ujung ke pangkal. Batang kemaluannya begitu kokoh, tegang dan terasa padat saat aku menyentuhnya. Aku menatap wajah bapak mertuaku yang ekspresi wajahnya mencerminkan kenikmatan yang sulit ia sembunyikan, ia berusaha menahan rasa yang menyerang. Senyumku merekah melihat bapak mertuaku merasakan kenikmatan atas rabaanku di kejantanannya.

“Enak ya, Pak …” Godaku sambil terus mempermainkan kejantanannya.

“Enak sekali … Nduk …” jawab bapak mertua setengah mendesah.

Tiba-tiba, tanpa ragu, aku menarik tanganku keluar dari dalam celana tidur yang ia kenakan. Dalam momen itu, aku melirik ke arah bapak mertuaku. Dengan genit, aku mencubit hidungnya yang bangir.

“Besok kita teruskan ya, Pak … Sekarang aku capek sekali,” kataku sambil berlalu begitu saja meninggalkannya.

“Nduk … Asti …” Bapak mertua memanggilku tapi aku tidak menghiraukannya.

Aku cepat memasuki kamar. Dengan sigap, aku mengenakan baju tidur. Rasanya nyaman dan hangat. Setelah itu, aku perlahan naik ke tempat tidur. Posisi bantal terasa empuk di belakangku. Aku berbaring di samping Mas Tio. Suasana tenang mengelilingiku. Aku tersenyum membayangkan ekspresi bapak mertuaku yang konak setelah aku mempermainkan kejantanannya. Namun, aku pun harus mengakui ketertarikan yang muncul dalam diriku. Penis besar dan panjangnya membuatku penasaran. Tak lama kemudian, rasa kantuk datang menyerang. Aku tidak bisa menahan mata ini. Dalam sekejap, aku tertidur lelap.

Bersambung​…