Pagi ini, aroma rempah sudah menguar dari dapur sempitku yang selalu menjadi saksi bisu kesibukanku. Jam menunjukkan pukul 08.00. Seperti biasa, aku mulai meracik jamu-jamu yang nanti akan kujajakan di kedai. Kunyit, jahe, dan daun sereh telah kutumpuk rapi di atas meja kayu yang warnanya sudah pudar. Aku mulai memarut kunyit yang menguningkan jari-jariku, sementara bapak mertua berdiri di sebelahku, menunggu perintah.
Aku sadar betul bahwa bapak mertuaku itu selalu mencuri-curi pandang ke arahku, tapi aku memilih untuk tidak menegur. Setiap gerakanku seolah menjadi pusat perhatiannya. Pakaian ketat ini jelas memperlihatkan lekuk tubuhku, dan aku tahu betul bahwa setiap langkahku sedang diamatinya. Setiap kali aku membungkuk atau berbalik, tatapan bapak mertua sering tertuju pada dadaku atau pantatku. Dia berusaha sembunyi-sembunyi, tapi aku tetap bisa menangkap caranya menatap. Pandangannya jelas, penuh hasrat, namun aku biarkan semua itu terjadi tanpa perlu mengomentarinya.
“Pak, tolong ambilin air di bak, ya. Jangan lama-lama,” ucapku sambil tersenyum kecil, mataku sengaja menatap bapak mertua sedikit lebih lama dari biasanya. Aku tahu dia tidak bisa mengabaikan cara aku memandangnya, dan aku bisa melihat dari raut wajahnya kalau dia agak gugup.
Bapak mertua tak bicara banyak, hanya mengangguk dan berlalu mengambil air. Aku memanfaatkan waktu itu untuk memposisikan tubuhku lebih dekat ke arah tempat dia akan kembali. Saat dia datang membawa ember air, aku sengaja membungkuk sedikit di depannya, menampilkan lekukan dadaku yang terbuka lewat kerah baju yang sedikit longgar. Aku bisa merasakan tatapan bapak mertua semakin tajam, tapi tetap diam, seolah tak terjadi apa-apa.
“Airnya dituang ke panci aja, Pak. Awas jangan tumpah, nanti sayang,” bisikku pelan, hampir seperti bernapas di telinganya. Aku menegakkan tubuhku dan melangkah ke sebelahnya, memastikan tanganku secara halus menyentuh lengannya. Aku bisa mendengar bapak mertua menelan ludah.
“I..iya, Nduk,” jawabnya dengan suara serak. Tangannya gemetar sedikit saat menuang air, mungkin karena terlalu terprovokasi oleh sikapku yang dari tadi seakan tak pernah berhenti menggoda.
Aku tersenyum, lalu mengambil kain untuk mengelap keringat di dahiku, sengaja melakukannya dengan gerakan perlahan. Dadaku yang besar naik turun, bergerak lembut setiap kali tanganku bergerak, membuat lekukannya semakin jelas. Bapak mertua menelan ludah, dan aku bisa melihat tatapannya yang terpaku pada gerakan dadaku, seakan tak mampu berpaling.
Melihat sikap bapak mertua seperti itu, tubuhku terasa hangat. Pandangannya membuat jantungku berdebar. Rasa percaya diri ini mengalir dalam diriku. Birahiku seperti terlecut oleh caranya memandangiku dengan penuh hasrat. Semakin aku memperlihatkan lekuk tubuhku, semakin tajam tatapannya. Hasratku semakin membara ketika terbayang kejantanan bapak mertua yang besar dan panjang. Tubuhku mulai bergetar, merespons dorongan rasa yang menggelora.
“Bapak kok liatin Asti seperti itu sih?” tanyaku dengan suara terangkat sedikit. Aku sengaja memberi kesan menantang, berharap dia berani melangkah lebih jauh. Mataku menyipit, menunggu respons dari bapak mertuaku itu.
Dengan perlahan, dia melangkah mendekat, mengurangi jarak di antara kami. Akhirnya, tubuh kami saling menempel, dan aku merasakan kedua tangannya berada di pinggulku. Keberaniannya membuat jantungku berdegup kencang. Pandanganku tak pernah lepas darinya, menunggu tindakannya selanjutnya.
“Kamu membuatku terangsang, Nduk. Bapak ingin sekali merasakan tubuhmu,” suaranya pelan dan mendesah.
Aku balas dengan semakin berani, “Aku tahu kalau bapak sudah ingin. Aku mau tapi ada syaratnya,” kataku sambil tanganku menangkap kejantanannya yang terbalut celana tidurnya. Ternyata memang kontol bapak mertuaku sudah sangat keras.
“Apa, Nduk … Apa? Katakan apa syaratnya!” Bapak mertua merespon dengan menggebu-gebu.
“Bapak harus membiarkan aku tetap tinggal di sini. Jangan ajak aku ke Yogyakarta,” jawabku tegas sambil mulai meremas lembut kejantanannya.
“I..iya Nduk … Bapak tidak akan mengajakmu ke Yogya …” ucapnya kemudian tangan bapak mertua berpindah dari pinggul ke pantatku. Tangannya meremas buah pantatku keras.
“Makasih, Pak … Tapi sebaiknya aku menyelesaikan dulu pekerjaanku. Setelah itu kita bisa ngentot sepuasnya,” bisikku di telinga kirinya.
Mata bapak mertuaku membulat setelah mendengar kata-kataku, dan aku hanya tersenyum. Aku melepaskan diri dari pelukannya, lalu meneruskan pekerjaanku menyiapkan jamu. Kali ini, aku dibantu oleh bapak mertua yang sepertinya ingin segera menyelesaikan pekerjaan ini. Dia tampak lebih bersemangat, membantu meracik bahan-bahan dengan cepat. Saat kami sedang bekerja, tiba-tiba ibu mertua datang ke dapur dengan penampilan rapi dan aroma harum menyegarkan.
Dia berdiri di ambang pintu dengan senyuman hangat. “Pak, saya ingin jalan-jalan sebentar. Mungkin pulang siang,” katanya, suaranya penuh semangat.
Bapak mertua yang sedang mencampur ramuan berhenti sejenak, menatap ibu mertuaku dengan ekspresi serius. “Mau ke mana, Bu?” tanyanya.
“Ibu ingin ke mal dan mungkin mampir ke tempat teman. Sudah lama ibu tidak bersilaturahmi,” jawab ibu mertuaku, tetap dengan senyumnya yang menawan.
Bapak mertua mengangguk, seolah mempertimbangkan. “Baiklah. Tapi hati-hati di jalan. Jangan lupa kembali sebelum siang.”
Ibu mertua mengangguk penuh rasa syukur. “Terima kasih, Pak.” Dia tersenyum lagi sebelum melangkah pergi.
Aku menyaksikan interaksi mereka dengan rasa hangat di dalam hati. Sebenarnya, aku tahu bahwa ibu mertuaku akan dibawa Bayu. Itu adalah bagian dari rencana kami untuk menjalankan skenario yang sudah kami siapkan. Dengan kepergian ibu mertuaku, kini aku hanya berdua dengan bapak mertua. Keadaan ini memberi lebih banyak keleluasaan bagiku. Keleluasaan ini memberi peluang untukku menyalurkan hasratku dengan bapak mertua, tanpa harus khawatir akan kehadiran ibu mertua.
“Ibu cantik ya, Pak … Tapi … Kenapa Bapak malah tertarik padaku?” kataku dengan nada yang dibuat-buat genit.
“Ah, kamu juga cantik dan genit! Siapa yang bisa menolak pesona seorang wanita genit seperti kamu?” ucap bapak mertua lalu menghampiriku kemudian memelukku dari belakang.
“Ah… Bapak ini bisa saja. Bisa-bisanya bilang aku genit,” kataku sambil menggoda kejantanan bapak mertua dengan gerakan yang menggoda, menggesekkan bokongku sedikit hingga terasa ada tekanan yang menggelitik.
“Nduk… Kamu benar-benar menggairahkan,” desah Bapak mertua, sambil tangannya menangkup lembut kedua buah dadaku, memijatnya dengan penuh mesra.
“Pak… Daripada terus memijat-mijat tetek aku, lebih baik Bapak bantu aku dulu supaya cepat selesai,” ujarku sambil mengingatkannya, meskipun aku tidak bisa menampik bahwa aku menikmati sentuhan lembut tangannya di payudaraku.
“Oh iya…” Bapak mertua akhirnya melepaskan pelukannya dan kembali membantuku menyelesaikan pekerjaanku.
Aku dan Bapak mertua bekerja sama mengolah jamu untuk kedai. Aroma rempah menyebar di dapur, membawa semangat baru. Kami berdiskusi tentang takaran, memastikan setiap bahan tercampur dengan baik. Setelah memasak, jamu mulai berwarna cerah, siap untuk dituang ke botol. Aku menuangkan jamu ke dalam botol-botol, merasa puas melihat hasil kerja kami. Setelah itu, kami membersihkan dapur dengan cepat. Aku mencuci panci dan alat-alat yang digunakan, sementara Bapak menyapu dan mengelap meja. Dalam waktu singkat, dapur terlihat bersih dan rapi.
Setelah dapur bersih, aku merasakan tubuhku lengket dan berbau. Keringat bercampur debu, membuat tidak nyaman. Aku memutuskan untuk mandi, dan di sela-sela keputusanku itu, ada sedikit rencana menyenangkan yang muncul dalam pikiranku. Aku melangkah ringan menuju kamar mandi. Tanpa ragu, aku masuk dan membiarkan pintu tidak terkunci. Di dalam kamar mandi, aku mulai melepaskan pakaian satu per satu. Baju yang kotor aku masukkan ke ember yang sudah tersedia di sudut. Tubuhku terlihat jelas saat itu. Aku memandanginya dengan sedikit rasa bangga. Jemariku perlahan meremas buah dadaku, dan birahiku mulai terasa di dalam diriku.
Tidak lama di dalam kamar mandi, aku berseru memanggil bapak mertua untuk mengambilkan sabun, “Pak, tolong ambilin sabun ya … Sabunnya di lemari kaca, Pak …”
“Iya Nduk, sebentar…” kudengar suaranya berlari-lari. Tak lama diketuknya pintu kamar mandi yang sengaja aku tidak kunci dari dalam.
Aku berkata, “Masuk saja, Pak.”
Dibukanya sedikit pintu itu dan dijulurkannya tangannya sambil menggenggam sabun. Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Sebenarnya aku bermaksud agar bapak mertuaku itu masuk langsung ke kamar mandi menemuiku.
Akhirnya aku tarik tangannya ke dalam kamar mandi sambil berkata, “Tolong sabuni aku. Pak … Aku gak bisa menyabuni bagian belakangku.”
Setelah di dalam, bapak mertua melihat tubuhku yang telanjang. Dia memperhatikan tubuhku dengan muka yang memerah.
“Heh … Koq malah ngeliat gitu sih?” ujarku sambil pura-pura menutupi buah dadaku yang besar bahkan tanganku pun tidak bisa menutupi payudaraku semua.
“Sini, buka baju bapak supaya nggak basah kena air,” kulucuti pakaiannya tanpa menunggu jawabannya. Setelah kubuka celana dalamnya, kulihat kontolnya yang tegang sempurna. “Tegangnya gak selesai-selesai, Pak …” godaku sambil menyentuh kejantanannya.
“Iya, Nduk … Sudah ingin masuk ke sarangnya …” ucap bapak mertua pelan.
“Hi hi hi… Ayo Pak … Mandi bareng,” ajakku dengan menarik kejantanannya yang besar dan panjang itu agar mendekat ke sisi bak mandi.
Aku mengambil gayung, lalu mengisinya dengan air dari bak. Saat gayung penuh, aku merasakan pelukan bapak mertua dari belakang. Tubuhnya rapat menempel, dan kejantanan bapak mertua terasa jelas di bokongku. Aku tetap fokus pada gayung di tanganku, lalu mengguyurkan air ke tubuhku dan tubuh bapak mertua. Air mengalir deras, membasahi kami berdua. Sambil terus mengguyur, aku merasakan tangan bapak mertua bergerak di tubuhku, tak berhenti membelai buah dadaku. Sentuhannya lembut tapi kuat. Setelah tubuh terasa cukup basah, aku meletakkan gayung, kemudian mengambil sabun dari rak di dekatku.
“Sabunin aku ya Pak … Jangan maenin tetekku aja,” ujarku sambil menyodorkan sabun kepadanya.
“Iya Nduk …” jawab bapak mertua seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Pardjo mulai menyabuni tubuh bagian belakangku, dengan gerakan perlahan yang terasa semakin merangsang. Gerakan menyabuni tubuhku seolah berfokus di bagian bawah, dengan sentuhan halus dan penuh kenikmatan, sering kali tangannya menyapu lembut vaginaku, membuat setiap gesekan terasa semakin membakar birahiku.
“Sudah, Pak … Sekarang depannya ya …” kataku sembari membalikkan badan.
Mata bapak mertua membulat sempurna saat aku membalikkan badan, sorotnya langsung tertuju pada buah dadaku yang bulat dan besar, seolah terpaku oleh bentuknya yang menggoda di hadapannya. Aku menggoda dengan menggerakkan payudaraku perlahan, seakan mengundang dirinya untuk lebih dekat, memintanya untuk segera menyentuh dan merasakannya. Tangannya kemudian terulur, langsung menyabuni payudaraku dengan gerakan yang lambat dan mantap. Setelah beberapa lama, aku membisikkan dengan lembut bahwa tubuhku bukan hanya dada. Mendengar itu, bapak mertua mulai menyabuni seluruh tubuhku dengan lebih teliti, menjelajahi setiap bagian dengan sentuhan yang semakin menaikan gairah bercintaku.
Beberapa saat kemudian, Bapak mertua mendorongku dan ia meletakkan tubuhku bersandar di tembok kamar mandi dengan tangan kanannya bertumpu di sebelah kepalaku. “Kenapa kamu begitu cantik, Nduk? Bolehkah bapak merasakanmu?”
Tanpa menunggu jawabanku, bapak mertua mendaratkan bibirnya di bibirku. Sebuah sentuhan lembut dan rasa bibir yang manis milik bapak mertua berhasil membuatku tak berkutik alias diam dan pasrah tentang apa yang selanjutnya bapak mertua akan lakukan padaku. Namun yang jelas, birahiku sudah membakar seluruh tubuhku. Aku sudah tak tahan lagi, rasa ingin segera merasakan kejantanannya yang besar dan panjang itu semakin menggelora di dalam diriku.
“Sssshhh…” aku mendesah perlahan, menikmati gerakan bibir bapak mertua yang semakin lama semakin tidak karuan, membuatku benar-benar terangsang. Gerakan kepala bapak mertua juga tak mau kalah. Ayah Mas Tio itu merotasi kepalanya. Terkadang ia bergerak ke kiri dan ke kanan secara bergantian. Aku pun tak kuasa menahan gejolak birahi yang sedang merasuk tubuhku saat ini.
“Pak, aaakkkhh… Mmmhhh…” tanpa sadar, desahanku tersebut malah membuat lidah bapak mertua semakin leluasa untuk masuk ke dalam mulutku. Hangat dan nikmat, begitulah yang kurasakan.
Bapak mertua semakin agresif dengan permainan lidahnya di dalam mulutku yang juga kubalas. Kami berdua sama-sama dijerat oleh nafsu. Kami pun saling bertukar saliva hingga aku tak sanggup untuk mengambil napas. Alhasil, aku hanya menggumam dan mendesah kecil supaya bapak mertua lebih terangsang. Lidahku diisapnya. Aku membalas isapannya. Lidahku dan lidahnya tumpang, tindih saling isap. Kedua tangan bapak mertuaku semakin nakal. Diraihnya payudaraku yang sudah tampak membesar dan kenyal. Ia meremas-remasnya dengan pelan namun sangat nikmat.
“Mmmmppphhh…” desahku keenakan.
Setelah bibir, perlahan bapak mertua turun ke leherku menciuminya dengan sangat ganas. Tak heran aku pun mengerang dan mendesah hebat. “Ouuuhhh… Mmmhh… Nggghhh…” alasanku mendesah hebat begini adalah agar nantinya bapak mertua semakin ganas dalam mengambil alih tubuhku ini.
“Mmmmpppphhh….” aku selalu mendesah dengan desahan yang sama namun bapak mertua tak pernah bosan dan terus memainkan payudaraku.
Nafsu terus menjalar, akhirnya bapak mertua memasukkan tangannya ke vaginaku dan telunjuknya mengocok vaginaku dengan kencang. Aku keenakan dan mendesah. “Awwwhhhh ssshhhh ooohhhh mmmmmhhhh kocok terus pak mmmmhhh aahhhh ssshhhh … Aaaaaaahhh …”
“AKU TAK TAHAN LAGI!” seru bapak mertua sambil bangkit melepaskan tangannya dari vaginaku.
Bapak mertua membalikkan badanku dengan agak tergesa-gesa, sehingga aku mendapati diriku membelakangi dirinya. Sejurus kemudian, tangannya menarik pinggulku sedikit, membuatku agak menungging. Bapak mertua langsung memasukkan penisnya perlahan ke dalam vaginaku. Tak tanggung-tanggung, aku merasakan rasa sakit pada awalnya. Namun kemudian setelah bapak mertua memompanya, rasa nikmat itu terasa sangat.
“Ini begitu sempit tapi nikmat Nduk… Aaaakkkhhh…” desah bapak mertua untukku sambil memompa penisnya keluar masuk vaginaku yang katanya sempit tersebut.
Dia menggoyangkan penisnya di dalam memekku, kemudian dia goyangkan hingga seluruh tubuhku meremang. Aku mengangkat pantatku sedikit ke atas dan nikmatnya sampai ke ubun-ubun. Aku melayang jauh dan tidak sanggup lagi bergerak, yang bisa hanya pasrah menikmatinya. Tiba-tiba kakiku sebelah diangkatnya sehingga penisnya semakin mudah menusuk-nusuk vaginaku, seperti sebatang besi panas menusuk gundukan mentega.
“Mmmmpppphhh… Ssshhhh… Lebih keras, pak… Hmmmppptthhhh… Aaaakkkhhhh aku sudah tidak tahan, pak … Ayo pompa terus yang keras pak!” pintaku.
Bapak mertua semakin memompa penisnya namun aku masih ingin menikmatinya dan menahan cairan itu untuk keluar. Aku ingin merasakan kenikmatan yang lebih lama. Otot vaginaku seperti tersedot-sedot. Rasanya aku ingin menjerit-jerit dan berteriak untuk melampiaskan nikmatnya.
Aku menggigit bibirku sambil mendesah pelan kenikmatan. Aku menyingkirkan tangan bapak mertua yang tadinya memilin-milin putingku dan aku langsung meremas kedua payudaraku sambil menggoda bapak mertua.
“Mmmppphhh.. Nikmati memekku pak… Ouuuhhh…” kataku dengan nada menggoda. Bapak mertua tergoda dan langsung semakin memompa cepat gerakannya.
Kenikmatan ini membuai diriku. Tanpa aku sadari, kali ini, setiap kali bapak mertua menekan tubuhnya ke depan, aku mendorong tubuhku ke belakang. Penisnya terasa menghujam-hujam ke dalam tubuhku tanpa ampun yang mana semakin menyebabkan aku lupa diri. Dan tak lama aku keluar untuk pertama kalinya, dan rasanya tidak terkira. Tetapi aku tidak memiliki maksud sedikit pun untuk menghentikan permainan. Aku masih ingin menggali kenikmatan demi kenikmatan yang dapat diberikan olehnya kepadaku. Bapak mertua juga mengerti akan hal itu. Dia mengatur irama permainan agar bisa berlangsung lama tampaknya.
“Ooohh, paakk! Enak, pak! Genjot terus memekku, pak …” kataku setengah mendesah.
“Memekmu enak sekali. Nduk …” balas bapak mertua tanpa menghentikan hujamannya.
Terasa tangannya kini meraih payudaraku dari belakang dan salah satu tangannya melingkar pada perutku, Saat aku menoleh ke belakang, bibirnya sudah siap menunggu. Tanpa basa-basi bibirku dilumat oleh dirinya. Kami pun berciuman tanpa menghentikan gerakan kami. Bibir bersatu dan kelamin kami pun terus bersatu. Tak lama berselang, aku melepaskan ciuman lalu mengigit bibirku karena terasa ada sesuatu yang mendesak ingin keluar dari vaginaku.
“Paak … Akuu mau kelluuuaarrr lagiii …” ucapku bergetar.
Ketika aku akan mencapai orgasme keduaku, tiba-tiba penisnya dicabut dari lobangku. Tentu saja aku protes keras, “Loh kok dicabut sih, pak?!”
“Bapak gak ingin cepat selesai, Nduk … Gimana kalau kita pindah ke kamarmu …” kata Bapak mertua.
“Oh …” gumamku walau agak sedikit kesal.
Kami pun segera mengeringkan tubuh masing-masing. Keringat di dahi dan kulit yang basah membuat suasana sedikit dingin. Dengan manja, aku meminta bapak mertua menggendong tubuhku. Ia tersenyum, lalu mengangkatku dengan gaya pengantin. Kedua lenganku menggelayut mesra di lehernya. Bapak mertua berjalan agak cepat, langkahnya mantap dan penuh semangat, hingga kami sampai di kamarku. Setibanya di kamar, bapak mertua meletakkan tubuhku di kasur perlahan.
Sesaat kemudian bapak mertua menunggangiku lalu aku merasakan bapak mertua membuka pahaku lebar-lebar dan tanpa menunggu lama-lama kurasakan penisnya mulai melakukan penetrasi. ‘BLESSSSSS ……’ kurasakan penis bapak mertua meluncur dengan mulus memasuki liang senggamaku yang sudah becek sampai hampir menyentuh leher rahimku.
“Uhhhhhhmmmm ….” Aku mengeluarkan suara lenguhan menikmati penetrasi kejantanannya.
CROK …
CROK …
CROK …
CROK ….
CROK …
Ayunan penis bapak mertua langsung menimbulkan bunyi-bunyian dari cairan vaginaku. Bapak mertua mengait kedua kakiku dengan tanganya sehingga mengangkang dengan sangat lebar untuk membuatnya lebih leluasa menggerakkan pinggulnya dalam melakukan penetrasi selanjutnya.
“Paakk…..ohhhh…ahhhhh….. nikmat sekali …paaakkk….” Aku mulai meracau lagi kenikmatan.
Kedua kakiku kemudian dipindah ke atas bahu bapak mertua sehingga pinggulku lebih terangkat, sedangkan Bapak mertua sendiri badannya sekarang menjadi setengah berlutut. Posisi ini membuat sodokan penis bapak mertua lebih banyak mengenai bagian atas dinding liang senggamaku yang ternyata mendatangkan kenikmatan luar biasa.
“Adduuhhh …. enak sekali … ooohhh…. … kontolnya ….Paakk…..kontolmu enak sekaliii …” aku mulai meracau dengan pilihan bahasa yang sudah tidak terkontrol lagi.
Aku lihat posisi bapak mertua kemudian berubah lagi dari berlutut menjadi berjongkok sehingga dia bisa mengayun penisnya lebih panjang dan lebih bertenaga. Badanku mulai terguncang-guncang dengan cukup keras oleh ayunan pinggul bapak mertua. Ayunan penisnya yang panjang dan dalam seolah-olah menembus sampai ke dalam rahimku secara terus menerus sampai akhirnya aku mencapai orgasmeku lagi.
“Paaaakkk ….. aaaak …kkk…kuu…udd…da…aahh…mmaau… dddaaapaaat …” kata-kataku jadi terputus-putus karena guncangan badanku. Bapak mertua merespon dengan mengurangi kecepatan ayunan penisnya sambil menurunkan kakiku dari bahunya. “Aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhh …….” Akhirnya gelombang orgasmeku datang bergulung-gulung, bola mataku terangkat sesaat ke arah atas sehingga tinggal putih matanya saja dan kedua tanganku meremas-remas buah dadaku sendiri.
Bapak mertua memberikan kecupan-kecupan kecil saat nafasku masih terengah-engah sambil tetap memaju mundurkan dengan pelan penisnya yang masih keras menunggu aku siap kembali karena dia sendiri belum sampai ejakulasi. Setelah nafasku mulai teratur, aku peluk bapak mertua lalu kami berciuman dengan penuh gairah dan kepuasan untuk babak ke kedua ini.
“Ternyata bapak tidak mengecewakan. Aku tidak menyesal memberikan tubuhku pada bapak,” pujiku sambil tersenyum.
“Terima kasih, Nduk. Bapak juga sangat beruntung bisa begini sama kamu,” jawabnya.
“Hi hi hi … Ngentot … Gitu aja kok susah …” godaku sambil merasakan kejantanannya yang masih bermain-main di rongga nikmatku.
“Iya … Ngentot …” bapak mertuaku pun tersenyum.
“Pak … Aku gak ingin pindah ke Yogyakarta,” aku mulai mengungkapkan keinginanku.
“Loh … Kenapa Nduk?” tanyanya kemudian menghentikan gerakannya.
“Aku ingin tetap di sini, Pak. Usahaku sudah berkembang dengan baik di sini, dan sayang jika harus ditinggalkan. Lagipula, belum tentu aku bisa mencapai kesuksesan yang sama jika membuka usaha di sana,” kataku sambil menangkup wajahnya.
“Bapak sangat ingin kamu pindah bersamaku ke Yogyakarta, Nduk,” kata Bapak mertuaku dengan nada lembut. “Di sana, kamu bisa menikmati hidup dengan lebih tenang. Kamu tidak perlu khawatir tentang pekerjaan lagi. Tidak perlu menjual jamu. Semua kebutuhanmu akan bapak tanggung sepenuhnya.” Ia menatapku dengan penuh harap, seolah ingin meyakinkanku bahwa hidup di Yogyakarta akan memberikan kebahagiaan yang lebih baik. “Kamu bisa fokus pada hal-hal yang kamu sukai. Ini kesempatan baik untuk memulai babak baru dalam hidupmu.”
“Aku tidak ingin merepotkan Bapak,” kataku sambil mengusap wajahnya dengan lembut. “Menjual jamu sudah menjadi bagian penting dalam hidupku, Pak … Kegiatan ini memberiku kepuasan tersendiri. Jika aku berhenti, aku merasa separuh jiwaku hilang.”
Bapak mertuaku menatapku dengan penuh pengertian. “Nduk, bapak menghargai apa yang kamu lakukan. Tapi, bapak tetap ingin kamu pindah ke Yogyakarta. Bapak yakin kamu bisa menemukan kebahagiaan baru di sana.”
Dengan sepenuh jiwa, aku memohon, “Bapak, tolong beri aku kesempatan untuk tetap di sini. Ini bukan hanya tentang pekerjaan, tetapi juga tentang hidupku. Aku ingin terus menjalani apa yang aku cintai. Mungkin ada cara lain untuk membuat ini semua berhasil tanpa harus meninggalkan apa yang sudah kujalani.”
Setelah beberapa saat terdiam, Bapak mertuaku menghela napas, kemudian mengangguk pelan. “Baiklah, Asti. Jika itu yang kamu inginkan, aku akan menghormati keputusanmu. Semoga kamu bisa menemukan kebahagiaan dalam pilihanmu.”
“Terima kasih, Pak … Hi hi hi …” Aku mencium bibirnya sekilas. “Sekarang lanjutkan entotan bapak yang enak,” lanjutku sambil menggoyang pinggulku.
“Tentu, Nduk …” jawab bapak mertua. Aku tunggu sesaat ternyata bapak mertua belum bergerak juga, tak lama dia berkata, “Nduk … Bapak boleh minta masuk dari belakang?” ucapnya pelan.
“Tentu saja pak … Bapak boleh minta apa saja dari aku …” Aku menjawab sambil tersenyum manis padanya.
Bapak mertua dengan hati-hati bangun dari atas tubuhku sampai berlutut, kemudian dengan pelan-pelan dia cabut penisnya dari vaginaku. “Uhhhhhhhh ….” Aku medesah karena merasa geli bercampur nikmat saat penisnya dicabut. Aku lihat penis bapak mertua masih mengacung keras dan sedikit melengkung ke atas, batang penisnya yang penuh dililit urat-urat terlihat sangat basah oleh cairan vaginaku.
“Ayo Nduk, balikkan tubuh kamu,” pinta bapak mertua padaku.
Setelah berhasil mengankat tubuhku sediri, aku lalu membalikkan badan untuk mengambil posisi menungging sebagai persiapan melakukan persetubuhan doggy style sesuai permintaannya tadi. Aku rasakan bapak mertua medekat karena penisnya sudah terasa menempel di belahan pantatku dekat liang anus. Posisi kedua kakiku dia betulkan sedikit untuk mempermudahnya melakukan penetrasi.
‘BLESSSSS …’ penisnya masuk ke dalam liang senggamaku dengan mulus.
“Ooooohhh …” Aku melenguh dengan kerasnya mengikuti masuknya penis tersebut.
Kurasakan penis bapak mertua mulai bergerak maju mundur, bukan hanya karena gerakan pinggulnya saja tapi juga karena dengan tangannya bapak mertua juga menarik dan mendorong pinggulku sesuai dengan arah gerakan penisnya dia sehingga aku seperti ditabrak-tabrak oleh penisnya.
“Aaaarkkkhhh….aaaarrrrrkkkkkhhhh ….aaarrrkkkhhh …“ Aku terus-terusan mengerang kenikmatan
‘PLEK … PLEK … PLEK … PLEK …’ terdengar suara pantatku yang beradu dengan paha bapak mertua.
“Addduuuuhh….duhhh…terussss….terrruussss …..arrrrkkkkhhhh …“ Aku kembali menjerit-jerit dan bahkan mungkin lebih keras lagi dari sebelumnya
‘CROK … CROK …CROK … CROK….CROK …’ cairan vaginaku mulai membanjir lagi, sebagian ada mengalir turun lewat kedua pahaku sebagian lagi ada yang naik melalui belahan pantatku karena terpompa oleh penis bapak mertua.
Selama sekitar 30 menit, aku merasakan setiap genjotan yang membangkitkan ledakan nikmat, menyapu seluruh tubuhku. Irama yang tercipta membuatku kehilangan kendali. Sensasi itu terasa begitu nyata dan memabukkan, hingga aku tidak bisa berpikir selain tenggelam lebih dalam pada kenikmatan yang aku terima.
Tiba-tiba kurasakan gerakan bapak mertua menjadi tidak teratur lagi, penisnya seperti berdenyut-denyut di dalam liang senggamaku sedangkan nafasnya seperti ditahan-tahan. Mungkin bapak mertua akan ejakulasi? Memikirkan hal itu, aku menjadi tambah bergairah menuju orgasmeku yang ketiga.
“Nduk…sepertinya bapak sudah akan keluarrrr …. “ Kata bapak mertua dengan sedikit tertahan
“Tu…ttung…ggguu sebentar lagi Pak …. Aku juga sss … sudah …hhhaampir dapppatt lagi …” Aku berharap bisa orgasme barengan pada saat bapak mertua ejakulasi. Saat itu tangan kananku sudah kupakai menggesek-gesek klitorisku sendiri.
Bapak mertua sekarang memakai kedua tangannya itu untuk menahan pinggulku sambil menekan-nekankan penisnya yang berdenyut makin kencang.
“NDUK!!! … Ga bisa bapak tahan lagi …. Aaaaarrkkkkhhhhhhhhhhhhhhhh…” Bapak mertua mengerang tertahan saat ejakulasi.
‘SSSSSRRRRTTT….SSSSRRRTTTT….SSSSRRRRT…cccrrtt…cccrrr…cccrrtt…’
Aku merasakan ada tiga kali semburan kuat dalam liang senggamaku diikuti belasan semburan kecil. Semburan air mani yang hangat akhirnya membuat aku juga segera mendapatkan orgasmeku yang ketiga.
“Paaakkk…. Nikmat sekali ….aaaakkkkhhhhh ……duuuuhhh …. benar benar bapak nikmat …” Aku mulai meracau dengan suara pelan karena sudah sangat lemas.
Walaupun penis bapak mertua masih terasa keras setelah ejakulasi, badanku sudah terlalu lemas untuk bisa menahan tubuhku sendiri dalam posisi menungging. Aku pasrah saja ketika bapak mertua membalikkan badanku tanpa melepaskan penisnya dari tubuhku. Kami kemudian berciuman dan berpelukan lagi dengan mesra.
Bapak mertua melepaskan ciumannya lalu berkata, “Nduk, kamu bisa menikmatinya kan sayang ?” Bapak mertua berbisik di telingaku
“Enak sekali Pak … Seandainya bapak yang menjadi suamiku, aku pasti sangat bahagia,” Jawabku dengan lembut “Terima kasih ya pak …”
Bapak mertuaku membalasnya dengan kembali memangut bibirku dengan lembut di sisi lain aku merasakan bapak mertua mulai menggerakkan penisnya maju mundur lagi walaupun masih dengan perlahan. Saat itu aku sudah sangat kelelahan dengan persetubuhan tiga babak tadi sehingga tidak siap untuk melanjutkan ke babak berikutnya.
“Pak, aku udah kecapean sekarang … kalau bapak masih mau lagi, kita lanjutkan setelah aku tidur sebentar. Boleh kan ya Pak?” Aku coba menolak bapak mertua melanjutkan niatnya dengan sehalus mungkin.
“Oh ya, Nduk … Bapak lupa kalau kamu kurang tidur … Tidurlah …” ucap bapak mertua penuh pengertian.
Bapak mertua akhirnya turun dari ranjangku dan keluar kamar tanpa mengenakan sehelai pakaian pun. Aku tersenyum mengingat betapa gagahnya dia, sampai-sampai mampu membuatku tiga kali orgasme. Kenangan itu terasa menyenangkan dan berbeda sekali dengan Mas Tio, yang hanya bisa bertahan kurang dari lima menit. Perlahan, rasa kantukku semakin mendera. Tubuhku mulai terasa berat dan nyaman. Pada akhirnya, aku tertidur tanpa sehelai benang pun yang melekat pada tubuhku.
Aku turun dari mobil bapak mertua yang mengantarkanku ke kedai. Bapak mertua memutuskan untuk langsung kembali ke rumah karena ada urusan dengan Si Mbah. Aku berdiri sejenak di tempatku hingga mobilnya menghilang dari pandangan. Setelah itu, aku membuka pintu kedai dan mulai merapikan barang daganganku di lemari. Suasana kedai yang tenang menambah fokusku saat menata setiap barang. Saat aku asyik membereskan dagangan, tiba-tiba Bang Bolang memasuki kedai.
“Tiii … Buatin gw jamu yang kayak kemarin! Enak tuh ke badan …” kata Bang Bolang keras lalu dia duduk di kursi dekat pintu.
“Baik, Bang … Tunggu bentar,” jawabku dan langsung membuat pesanannya.
Dengan cepat aku membuatkan pesanannya dan setelah selesai aku menghampirinya, “Nih bang …” kataku sambil menyimpan pesanan jamunya di meja.
“Ti … Tadi itu siapa?” tanya Bang Bolang sambil mengangkat gelas jamunya lalu menegak sampai habis.
“Tadi yang nganter aku?” tanyaku ingin pasti.
“Ya …” jawabnya singkat.
“Itu bapak mertuaku … Ayahnya Mas Tio …” jawabku lagi. “Emangnya ada apa Bang?” tanyaku kemudian.
“Kagak … Gw nanya doang …” jawan Bang Bolang sambil mengambil uang lecek dari saku celananya. “Nih …” dia melempar uangnya ke atas meja.
“Bang … Bisa benerin komporku gak? Susah dinyalain …” kataku meminta bantuannya.
Bang Bolang menatapku sejenak dengan ekspresi berpikir. “Bisa aja. Kapan lu mau benerinnya?”
“Kalau bisa sekarang, Bang,” jawabku penuh harap.
“Mana kompor lu?” tanya Bang Bolang dengan gaya premannya.
“Sini bang …” kataku sambil bergerak duluan. Bang Bolang mengikutiku ke belakang kedai. Di sudut dapur, aku menunjukkan kompor gas yang sudah lama bermasalah. “Ini, Bang. Kadang nyala, kadang enggak.”
Bang Bolang mulai memeriksa kompor itu. “Kayaknya sih ada yang kendor di sini,” ujarnya sambil membuka tutup kompor.
“Bang, kamu beneran bisa?” tanyaku, sedikit cemas.
“Tenang aja, Ti. Gw udah biasa benerin yang beginian,” jawabnya dengan percaya diri. Dia mulai mengutak-atik bagian dalam kompor, dan aku hanya bisa memperhatikan dengan penuh harap. “Nih, gua cek selangnya dulu,” katanya. Beberapa saat kemudian, dia mencabut selang dan melihat lebih dekat. “Lu udah coba bersihin selang ini?” tanyanya.
“Belum, Bang. Aku kira selangnya baik-baik saja,” jawabku jujur.
“Coba deh, bersihin. Kadang ada kotoran yang nyangkut. Itu bisa bikin masalah,” saran Bang Bolang.
Aku segera mengambil kain dan mulai membersihkan selang itu. “Udah, Bang. Gimana?”
Bang Bolang memasang kembali selang itu dan mulai merakit bagian kompor yang lainnya. “Sekarang lu coba nyalain,” katanya sambil menekan tombol kompor.
Brrr, bunyi percikan api muncul dan kompor menyala sempurna. “Lihat, kan? Berhasil!” serunya, sambil tersenyum lebar.
“Wah, makasih banget, Bang! Aku nggak nyangka kamu bisa secepat ini,” kataku penuh rasa syukur.
“Lu jangan remehin gw, Ti …” katanya masih dengan gayanya.
“Maaf Bang … Bercanda,” kataku sambil tersenyum.
Setelah selesai, kami kembali ke kedai. Bang Bolang kembali duduk di kursi dekat pintu. “Eh, jamu lagi, Ti!” serunya, memanggilku.
“Ihk … Doyan apa haus?” aku semakin melebarkan senyumku.
“Jamu lu enak, Ti … Pantesan banyak kali yang datang,” ucap Bang Bolang dengan pandangan tertuju ke terminal.
“Dih … Baru sadar … Kemana aja Bang?” kataku sembari membuatkan jamunya lagi.
“Gw sebenarnya kagak suka jamu. Tapi waktu gw minta jamu lu kemarin, gw baru tau kalau jamu lu enak di badan dan enak di lidah,” katanya dan aku pun agak terpuji.
“Nih Bang … Yang ini gratis, itung-itung upah benerin kompor,” kataku sambil meletakan gelas di mejanya.
Aku menatap Bang Bolang yang sedang meneguk jamuku. Pria ini sebenarnya tampan juga, meski penampilannya yang kucel dan kotor mengaburkan pesonanya. Rambutnya yang acak-acakan dan pakaiannya yang tidak terawat membuatnya terlihat kurang menarik. Perangainya yang kasar terkadang membuatku merasa tidak nyaman. Namun, di tengah semua itu, aku merasa aman dan tenang berada di terminal ini. Kehadiran Bang Bolang memberikan rasa perlindungan yang membuatku tidak merasa sendirian.
Bang Bolang bangkit dan meninggalkan kedai begitu saja. Aku mengambil gelas bekas minumnya dan segera membawanya untuk dicuci. Setelah itu, aku kembali bersiap-siap membuka kedai. Aku merapikan meja dan menata barang dagangan. Tak lama kemudian, ketiga anak buahku datang. Mereka langsung membantu mempersiapkan kedai, bekerja dengan cepat untuk menata barang dan memastikan semuanya siap.
“Anita … Sintia … Sana ganti pakaian dulu!” perintahku pada kedua karyawan wanitaku.
“Baik, Bu …” Jawab mereka serempak.
Anita dan Sintia terlihat menaiki tangga menuju lantai dua. Aku memperhatikan mereka sampai benar-benar menghilang dari pandangan. Setelah itu, aku segera melangkah mendekati Bayu yang sedang menyapu lantai teras kedai. Langkahku mantap, mengarahkan diri ke arahnya yang tampak fokus pada pekerjaannya.
“Gimana hasilnya?” tanyaku langsung, tak ingin membuang waktu.
Bayu menoleh dan tersenyum lebar. “Semuanya lancar,” jawabnya, dengan nada yang membuatku merasa sedikit lega.
Namun, aku masih butuh penegasan. “Jadi, ibu mertuaku setuju aku gak pindah ke Yogya?”
Bayu berhenti menyapu dan menatapku. “Iya. Aku jelasin ke beliau kalau aku bakal susah cari kerjaan kalau kedai ini tutup. Aku bilang kalau kamu pindah, harapan hidupku juga ikut hilang.” Bayu berkata dengan nada yakin, seolah kata-katanya telah mengubah situasi.
Aku tersenyum lebar, mengangkat jempol dan berkata, “Bagus!”
Aku melangkah masuk ke dalam kedai dengan perasaan penuh suka cita. Rencanaku berjalan sesuai harapan, dan aku merasa beban yang selama ini menghantui akhirnya terangkat. Bayu telah membantu meyakinkan ibu mertuaku agar aku tidak perlu pindah, dan sekarang kedai ini tetap menjadi tempatku. Dengan senyum di wajah, aku melihat sekeliling kedai, merasakan kepuasan yang begitu dalam.
Bersambung….