Pagi itu, aku mulai mengolah jamu dengan cermat. Tangan bergerak lincah meracik bahan-bahan segar seperti kunyit, jahe, temulawak, dan bahan lainnya. Aku membersihkan setiap bahan dengan teliti, memastikan tidak ada kotoran yang tersisa. Setelah bersih, aku memotongnya kecil-kecil, lalu memasukkannya ke dalam panci besar. Aku menuangkan air secukupnya dan menyalakan api. Sambil menunggu air mendidih, aku menyiapkan botol-botol bersih sebagai wadah. Perlahan, aroma jamu mulai tercium, tanda ramuan mulai mendidih dan meresap. Aku terus mengaduk agar semua bahan tercampur merata. Sekitar pukul 10.00 pagi, jamu selesai dan siap dimasukkan ke dalam botol untuk dipajang di kedaiku.
Sebenarnya, keinginanku untuk berjualan jamu sudah mulai menipis. Rasa malas menyelimuti pikiran, namun aku tetap melanjutkan usaha ini. Ada tanggung jawab yang tak bisa aku abaikan. Bayu sangat menggantungkan hidupnya pada hasil penjualan jamu ini, dan aku sadar bahwa berhenti berarti mengecewakannya. Setiap bahan jamu aku siapkan tanpa semangat yang sama seperti dulu, tetapi aku tahu usaha ini penting untuknya. Meski hatiku tak sepenuhnya rela, aku terus mengolah jamu agar Bayu tetap bisa menjalani hidup dengan layak.
Saat mandi, tiba-tiba pikiranku tertuju pada Bayu. Tiga tahun kami saling mengenal, dan aku tak bisa menyangkal bahwa pesona dan ketulusannya membuatku jatuh hati. Namun, aku sadar bahwa aku tak ingin terlalu jauh melibatkan perasaan. Aku sudah memiliki suami, dan kehidupan tanpa komitmen dengan siapa pun justru memberiku kebebasan yang selama ini aku rindukan. Aku menikmati pilihan hidupku sekarang, tanpa ikatan yang membuatku merasa terbebani. Rasanya tenang, tak ada harapan yang perlu aku penuhi, tak ada beban yang harus aku pikul.
Aku keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk melilit tubuh. Segera aku melangkah ke kamar dan memilih pakaian terbaik. Blouse berwarna pink dan rok sebatas lutut berwarna senada aku kenakan, melekat pas di badan. Di depan cermin, aku mulai merias wajah sambil berusaha menghalau pikiran tentang Bayu. Aku alihkan pikiranku ke suasana klub yang kemarin baru saja aku dan Mas Sandy kunjungi. Mengingat ruangan-ruangan di gedung itu, aku merasakan adrenalin meningkat, dan tubuhku merespons dengan gairah yang kian menggelora.
Aku merasa telah menemukan surga dunia dalam Slut Wife Club. Menjadi bagian dari komunitas ini membuka pintu menuju kenikmatan yang tak terbayangkan sebelumnya. Di sini, gairah dan birahi mendapatkan tempat yang bebas, di mana aku bisa menjelajahi setiap sisi diriku dengan penuh kesenangan. Klub ini adalah ruang di mana aku bisa mengungkapkan sisi terdalam dari keinginanku tanpa batas, memberikan ruang untuk pengalaman yang memuaskan sekaligus mendebarkan. Aku tak sabar merasakan lebih banyak momen penuh hasrat ini, meyakini bahwa di sinilah tempat aku dapat merasakan puncak dari kenikmatan sejati dalam hidupku.
Lamunanku terhenti ketika suara bel pintu tiba-tiba terdengar. Aku tahu siapa yang datang. Tanpa ragu, aku beranjak dari kamar, melangkah cepat menuju pintu depan. Saat pintu terbuka, Mas Sandy berdiri di ambang pintu. Ia terlihat begitu elegan, dengan penampilan yang sempurna, seakan siap untuk acara besar di klub nanti.
“Asti, kamu terlihat sangat cantik hari ini. Penampilanmu begitu menarik, aku yakin semua orang di klub akan terpesona,” kata Mas Sandy sambil tersenyum, memperlihatkan rasa kagumnya.
“Terima kasih, Mas … Mas Sandy juga sangat tampan hari ini. Penampilanmu memang selalu menarik perhatian,” kataku sambil tersenyum dan melihat ke arahnya dengan penuh rasa kagum.
“Kita harus segera berangkat ke klub sebelum acara dimulai,” ajaknya dengan semangat, menunjukkan ketidaksabarannya untuk menikmati pengalaman di klub.
Setelah mendengarkan ajakan Mas Sandy, aku segera meraih tas dan bersiap untuk pergi. Kami melangkah keluar rumah, berjalan berdampingan menuju mobilnya yang terparkir di depan. Perjalanan berlangsung menyenangkan, obrolan ringan mengalir di antara kami, menambah suasana yang semakin ceria. Tak lama kemudian, kami tiba di klub. Suara musik yang berdentum keras dan keramaian yang terlihat di depan pintu menyambut kedatangan kami. Dengan semangat, kami melangkah masuk, siap menyelami kesenangan yang ditawarkan di dalam.
Di dalam rumah megah ini, aku memperhatikan banyak sekali orang. Mereka berpasangan, berbincang, dan tertawa, dan suasana menjadi hangat dan meriah. Aku dan Mas Sandy memilih tempat yang agak tidak ramai di sudut ruangan. Setelah duduk, kami memesan minuman di bar. Ketika minuman kami datang, aku menikmati apa yang Mas Sandy berikan. Rasa minuman itu asing di lidahku, namun aku merasa menyukainya.
“Kamu harus aktif mencari pasangan, Asti. Di klub ini, para istri lebih berkuasa daripada suami,” katanya dengan serius, menekankan pentingnya memahami dinamika klub ini.
“Eh, aku… tidak begitu yakin,” kataku dengan sedikit gugup sambil mengalihkan pandangan ke arah kerumunan orang di sekitar kami.
“Kamu tidak perlu merasa ragu, Asti. Ingatlah bahwa klub ini adalah tempat di mana kamu bisa menjadi dirimu sendiri dan mengeksplorasi berbagai kemungkinan. Banyak orang di sini saling mendukung dan menghargai satu sama lain. Ini adalah kesempatanmu untuk merasakan kebebasan yang sebenarnya, jadi jangan takut untuk mengambil langkah pertama,” kata Mas Sandy dengan penuh keyakinan, ingin melihatku lebih percaya diri dan berani mengambil tindakan.
Aku mengedarkan pandangan di dalam ruangan yang ramai itu dan tidak lama kemudian, mataku tertuju pada seorang pria tampan yang berdiri sendirian di sudut. Ia memegang sebuah gelas dan terlihat tenang di tengah kerumunan. Aku menoleh ke Mas Sandy sejenak sambil mengangguk, memberi tanda bahwa aku akan mulai bergerak. Mas Sandy membalas anggukan kepalaku sambil tersenyum, memberikan dukungan. Dengan perasaan tidak menentu, aku bangkit dari tempat duduk dan berjalan menghampiri pria di sudut ruangan itu. Jantungku berdebar kencang. Pikiran berkecamuk dalam benakku, melahirkan rasa cemas dan bersemangat sekaligus. Tak lama kemudian, aku sampai di dekatnya dan merasa lega ketika pria itu langsung memberikan senyuman padaku.
Dengan hati tak karuan, aku menyapanya. “Hai, apakah kamu sendirian?” tanyaku sambil tersenyum, berusaha terlihat santai meskipun rasa gugup menggelayuti pikiranku.
Pria itu tersenyum ramah sambil berkata, “Ya, aku memang sendirian di sini. Aku sedang menunggu wanita yang ingin mengajakku bersenang-senang.”
“Aku bisa membantumu dengan itu,” kataku sambil tersenyum, merasa lebih percaya diri. “Aku di sini juga untuk bersenang-senang, jadi mungkin kita bisa menikmati waktu bersama.”
“Aku sangat senang diajak wanita cantik sepertimu,” ujar pria itu dengan senyum lebar. “Namaku Andre,” katanya sambil menatapku dengan antusias, menunjukkan ketertarikan yang jelas.
Sambil berjabat tangan, aku mengucapkan namaku, “Asti.” Aku tersenyum, merasa lebih nyaman dengan perkenalan ini. Jabat tangan itu terasa hangat dan menambah rasa percaya diri dalam interaksi kami.
“Senang berkenalan denganmu, Asti,” kata Andre dengan tulus, matanya bersinar ceria. “Aku merasa kita akan memiliki waktu yang menyenangkan bersama.”
“Senang berkenalan denganmu juga, Andre,” balasku sambil tersenyum. “Aku juga berharap kita bisa bersenang-senang di sini.”
Hanya beberapa menit saja, kedekatanku dengan Andre semakin erat. Kami tertawa dan berbagi cerita, menjadikan suasana semakin hangat. Andre mengajakku berbincang tentang berbagai hal, dari hobi hingga pengalaman hidup. Ketertarikan kami satu sama lain semakin jelas, dan aku merasakan kenyamanan saat bersamanya. Kami pun saling bertukar pandangan dan senyuman, membuat momen ini terasa istimewa.
Andre mendekatkan diri padaku sedikit lagi dan berkata dengan suara pelan, “Asti, di lantai dua ada ruangan khusus yang disediakan untuk pasangan yang ingin menikmati suasana lebih intim. Mauah kamu ikut ke sana bersamaku?”
Aku menatap Andre dan tersenyum kecil, lalu menjawab pelan, “Ayo!” Perasaan antusias bercampur rasa penasaran memenuhi benakku.
Aku dan Andre mulai melangkah bersama, meninggalkan ruangan padat yang penuh dengan suara musik dan percakapan. Kami menuju ke bagian belakang, di mana sebuah pintu menuju tangga mengarah ke atas. Setiap langkah menaiki anak tangga membawa ingatanku pada kunjunganku sebelumnya bersama Mas Sandy, saat kami hanya berhenti sejenak di depan ruangan ini tanpa memasukinya. Di puncak tangga, kami tiba di hadapan seorang security wanita yang berdiri tegas di depan pintu. Ia memeriksa kartu member kami dengan cermat sebelum akhirnya memberi anggukan persetujuan. Dengan gerakan tangan, ia mempersilakan kami masuk, membuka akses menuju ruang yang sebelumnya hanya menjadi bagian dari rasa penasaran.
Saat memasuki ruangan, aku langsung dikejutkan oleh suara-suara desahan dan erangan yang menggema, begitu jelas dan kuat, membawa suasana penuh gairah. Di sela-sela itu, terdengar pula suara jeritan wanita yang penuh kenikmatan, membuat ruangan ini terasa semakin memikat dan menggoda. Tubuhku bereaksi spontan; bulu kudukku meremang, dan detak jantungku semakin cepat. Suara-suara itu seolah menyelimuti setiap sudut, menghadirkan sensasi yang tak terhindarkan dan membuatku tersadar bahwa aku telah melangkah ke dunia yang benar-benar berbeda.
Aku dan Andre melangkah perlahan menyusuri lorong yang semakin sunyi. Langkah kami beriringan, suasana di sekeliling terasa aneh. Tiba-tiba, lorong itu berujung pada sebuah ruangan besar dengan cahaya redup. Begitu memasuki ruangan itu, mataku langsung terbelalak, napasku tersentak. Di hadapanku, beberapa pasangan sedang bersetubuh dengan bebas, pemandangan yang mengejutkanku hingga membuatku terpaku sejenak. Aku berdiri terpaku, mataku tidak bisa beralih dari pemandangan di depan. Beberapa pasangan di ruangan itu tidak memperdulikan keberadaan kami. Mereka begitu asik menikmati persetubuhan mereka. Suara napas yang terengah-engah dan desahan yang lembut memenuhi udara. Mereka bergerak tanpa rasa malu, terlarut dalam kebahagiaan masing-masing.
Tanganku langsung dipegang Andre dan ditarik melewati pasangan-pasangan yang asik di hadapan kami. Sensasi canggung menjalar di sekujur tubuhku, tetapi aku tidak bisa menolak. Saat kami melangkah ke ruangan selanjutnya, pandanganku langsung tertuju pada pemandangan yang lebih mengejutkan. Di ruangan itu, lebih banyak orang terlibat dalam persetubuhan, tidak ada rasa malu di antara mereka. Suasana semakin mendebarkan, dan aku merasa sulit bernapas. Kebisingan desahan dan gerakan tubuh memenuhi ruang ini.
Akhirnya, aku dan Andre duduk di sebuah sofa yang terletak di sudut ruangan. Di sampingku, terdapat sepasang orang yang sedang bersetubuh, terlarut dalam kebahagiaan mereka. Suasana di sekitar terasa semakin menggugah rasa ingin tahuku. Meskipun aku merasa canggung, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku. Fokusku terbelah antara Andre di sampingku dan pemandangan di sebelahku. Tubuhku bergetar saat melihat keintiman yang ditunjukkan pasangan itu. Aku bisa melihat bagaimana pria itu bergerak naik turun di atas tubuh wanita pasangannya yang mengerang-erang senang. Tubuh wanita itu melengkung indah, menanggapi setiap gerakan pasangannya.
Tubuhku benar-benar terbakar birahi dengan semua yang aku lihat. Aku merasakan ketegangan di tubuhku, seolah ada sesuatu yang mendorongku untuk tenggelam dalam situasi ini. Kurasakan vaginaku gatal, menandakan birahiku semakin membara. Pemandangan di hadapanku membangkitkan berbagai emosi dalam diriku.
“Hai, Dre … ke mana saja kau?” tiba-tiba segerombolan pria datang menghampiri kami. Aku terkejut dan merasa canggung karena para pria itu datang tanpa sehelai kain pun yang menutupi tubuh mereka.
“Hai, Luck … Biasa dinas luar dulu …” jawab Andre santai sambil tersenyum.
“Hai, Nyonya. Baru ya di sini?” salah satu dari mereka menyapaku ramah sambil sedikit menganggukkan kepala.
“Iya, benar. Saya baru di sini,” jawabku sambil tersenyum canggung, merasa agak kikuk dengan sapaannya.
Orang tersebut tersenyum hangat dan berkata, “Semoga Nyonya menikmati suasana di sini. Jangan canggung dan jangan ragu, karena Nyonya adalah tuan rumah di sini.”
Pria yang lain menimpali dengan nada bercanda, “Karena Nyonya baru di sini, berarti Andre yang harus memulainya.”
Aku menoleh pada Andre yang sedang menatapku. Sesaat kemudian, Andre menggeser duduknya hingga tubuhnya bersentuhan dengan tubuhku, lalu melingkarkan tangannya di pinggangku. Andre mulai menciumi leherku sambil meremas buah dadaku di hadapan teman-temannya. Pada awalnya, aku merasa risih melakukannya di depan begitu banyak pria yang hanya bisa melihat dengan penuh perhatian. Namun, rasa risih itu perlahan memudar, tergantikan oleh sensasi yang tiba-tiba muncul dan sulit kujelaskan dari mana datangnya. Semakin berani Andre menyentuhku, semakin aku larut dalam suasana, hingga seakan tak ada lagi orang lain di ruangan besar itu.
Tangan Andre sudah menyelinap dibalik gaunku, diremasnya dengan penuh gemas, tak lama kemudian terlepaslah bra hitam yang aku pakai dan dilemparkan ke teman-temannya, mereka bersorak riuh seperti melihat pertandingan bola. Sempat kudengar celoteh pujian dari “penonton” ketika gaunku disingkap memperlihatkan buah dadaku. Aku tak bisa menahan gairah lagi saat dia mulai mengulum putingku bergantian, kuremas-remas rambutnya sambil mendesah nikmat. Dari gerakannya aku sangat yakin kalau ini bukan pertama kali baginya, dia sepertinya sudah berpengalaman dan tahu bagaimana memperlakukan wanita di tengah keramaian.
Hanya bertahan tiga menit gaunku menempel sebelum akhirnya meninggalkanku dan berpindah ke para “penonton” diiringi tepuk tangan nyaring, aku benar-benar di tengah-tengah serigala-serigala lapar yang siap menerkam, meskipun tak mungkin terjadi, paling tidak untuk saat ini. Andre semakin bergairah menggumuli bukit dan putingku, seperti ingin membuktikan sesuatu pada teman-temannya. Giliran selanjutnya adalah rok yang masih kukenakan, Andre sudah melepas kancing dan resliting hingga tampak celana dalam mini berwarna hitam.
Pasangan di sampingku sempat menghentikan aktivitas mereka, sekadar untuk melihatku saat Andre melepaskan pakaianku. Mereka tersenyum sebentar, lalu melanjutkan aktivitas mereka, seolah tak terganggu oleh keramaian di sekitar.
“Lepas.. lepas.. lepas..” para pria itu memberi dukungan, dan tak perlu lama-lama mereka menahan napas untuk melihat kemolekan dan keseksian tubuhku. Kembali sorak kemenangan menggema mengiringi lepasnya rokku, tinggallah aku yang hampir telanjang mengenakan celana dalam mini diantara serigala-serigala lapar itu.
Mendengar sorakan yang riuh rendah, aku semakin bergairah, dengan gerakan yang demonstratif aku berlutut di depan kaki Andre yang sudah berdiri bersiap menerima kenikmatan, kubuka dan kutarik turun celananya hingga menampakkan celana dalamnya. Kuremas-remas benjolan dibalik celana dalam itu, sambil menciumi perutnya yang agak buncit. Kembali terdengar teriakan ketika aku merosot turun penutup kejantanannya, tersembullah kejantanan yang sudah keras menegang mengenai wajahku.
Sambil tersenyum dan melirik ke arah pria-pria yang menontonku, kukocok dan kujilati sekujur penis itu tanpa sisa dari ujung hingga pangkal, Andre mulai mendesah nikmat, para penonton terdiam, keadaan semakin sunyi saat kumasukkan penis itu ke mulutku, hanya desahan napas Andre dan erangan pasangan di sampingku yang terdengar mengiringi kuluman permainan oralku. Aku sangat menikmati kesunyian yang berbalut birahi, mereka seakan terlongo melihat permainan oralku. Penis Andre yang tidak terlalu besar dengan mudahnya keluar masuk mulutku, semua bisa memasukinya hingga hidungku menyentuh rambut rambut halus di pangkal penisnya.
Desahan Andre benar-benar menguasai ruangan, semua terdiam melihat penis temannya yang tidak disunat itu keluar masuk membelah bibir manisku. Aku semakin bersemangat saat tahu bahwa aku berhasil membetot perhatian para serigala lapar tanpa mereka bisa berbuat apa-apa, semakin demonstratif pula kupermainkan bibir dan lidahku pada penisnya.
Entah karena sensasinya terlalu tinggi mendapatkan oral di depan teman-temannya atau memang dia tidak bisa bertahan lama, tak lebih lima menit setelah jilatan pertama, Andre berteriak kencang sambil menyemprotkan spermanya ke mulut dan wajahku, sebagian tertelan dan sebagian lagi membasahi wajah dan rambutku. Kusapukan penisnya pada wajah dan buah dadaku, sambil tersenyum aku menatap para penonton satu persatu seakan hendak melongok apa yang ada di benak mereka. Kebanyakan menghindar tatapanku, mungkin takut terbaca apa yang ada dalam pikirannya, sebagian lagi menatapku dengan penuh nafsu dan sorot mata kekaguman.
“Ada yang mau mencicipi punyaku?” aku menggoda para penonton dengan suara sensual.
“Aku ingin sekali memakan memekmu, Nyonya!” Seru salah seorang dari mereka lalu bangkit menghampiriku.
Sorak sorai dan tepuk tangan bergema ketika pria itu menarikku dan mendudukanku di sofa di samping Andre. Dia jongkok di antara kakiku yang dinaikkan tinggi, liang vagina yang bersih tanpa dihiasi bulu-bulu halus begitu jelas terhampar dihadapannya, juga dihadapan teman temannya. Dipandangi sejenak sebelum mendaratkan lidahnya, seperti dia baru tersadar kalau selangkanganku tidak berambut sehabis dicukur. Diawali dengan ciuman pada paha dan remasan di dada, lidahnya menjelajahi daerah selangkanganku, menari-nari sebentar pada klitoris lalu mulai melakukan hisapan hisapan kuat di vagina, aku pun mendesah lepas tanpa peduli penonton yang mulai menahan napas.
Beberapa menit kemudian kudorong kepalanya menjauh, aku berdiri menuntunnya menuju sofa panjang, kuusir mereka yang sedang mendudukinya untuk berpindah ke tempat lain. Dengan halus kurebahkan tubuh telanjang pria itu di sofa panjang, kami pun melakukan 69 di atasnya, saling menjilat, saling mendesah, saling berbagi kenikmatan.
Kulirik beberapa penonton mulai mendekat, melihat lebih dekat bagaimana aku mengulum dan menjilat, sebagian lagi melototi vaginaku yang sudah mendapat jilatan nikmat, mereka berdiri mengelilingi kami, aku tak peduli, justru semakin bergairah, namun tidak demikian dengan pria lawan mainku itu, dia merasa terganggu dengan jarak yang terlalu dekat, diberinya aba-aba supaya temannya kembali menjauh.
“Ayolah Ricky …!” Protes salah satu dari mereka.
“Tidak! Jangan terlalu dekat! Mengganggu konsentrasiku!” ucap Ricky tidak senang.
Kini aku tahu bahwa lawan mainku bernama Ricky. Aku pun tersenyum kecil, terutama ketika melihat para penonton perlahan bergerak menjauh, memberi kami ruang. Setelah kulihat semua sudah duduk pada tempatnya, aku berdiri mengatur posisiku di atas penisnya, sengaja kupilih posisi di atas supaya penonton bisa menikmati tubuhku sepenuhnya, berikut buah dadaku yang akan berguncang saat aku turun naik mengocok Ricky.
Entah kenapa, aku sangat menyukai kebinalanku ini. Ada rasa bebas yang membuncah di dalam diriku setiap kali aku melepas sisi liarku tanpa ragu. Kebinalanku ini memberikan warna dalam hidupku, membuat segalanya terasa lebih hidup dan berani. Aku menikmati setiap detiknya, merasakan adrenalin yang mengalir dan senyum yang muncul tanpa bisa kutahan.
Dugaanku benar, mereka mulai menggeser sofa tempat duduknya ke arah depanku, sehingga terlihat dengan jelas bagaimana expresi wajahku saat menerima kenikmatan dan bagaimana temannya sedang merasakan kenikmatan tubuhku sambil meremas-remas buah dadaku, aku mendesah makin bergairah seirama gerakan mengocokku di atasnya. Berulang kali Ricky mengulum putingku di saat aku mengocoknya, penonton tercekat diam menikmati permainan kami, beberapa mulai meremas-remas selangkangannya sendiri, mengocok dan menonton kami, aku tertawa puas dalam hati bisa mempermainkan mereka, membuat mereka terbakar api birahinya sendiri.
Melihat kondisi birahi para penonton, aku semakin bergairah mengocoknya, justru membuat Ricky semakin mendesis melayang kenikmatan, diremasnya buah dadaku semakin gemas, aku pun terbawa suasana panasnya nafsu di sekelilingku. Gerakanku semakin liar, berputar dan naik turun di atas Ricky, untung dia bisa tahan lebih lama sehingga aku semakin menikmati permainan ini, bukannya menikmati kocokan Ricky tapi menikmati sensasi yang terjadi.
Kami berganti posisi dogie, aku posisikan tubuhku tetap menghadap para penonton meskipun dengan posisi nungging, justru semakin menambah erotisme saat buah dadaku berayun-ayun bebas ketika Ricky mengocok dari belakang. Sodokan Ricky langsung keras menerjang segala rintangan yang ada, dikocoknya vaginaku dengan kerasnya, tentu saja buah dadaku bergoyang semakin hebat, beberapa penonton terlihat menelan ludah menahan napas tanpa bisa berbuat apa apa, terjebak permainannya sendiri. Aku semakin menikmati wajah wajah mereka yang menahan nafsu tinggi, dua orang sudah orgasme tanpa bisa berbuat banyak, kecuali minta bantuan keterampilan tangannya sendiri, mungkin lainnya menyusul tak lama lagi.
Tak ada yang bersuara kecuali kami berdua, semua menahan nafas dan gejolak nafsunya sendiri sendiri, kuimbangi gerakan Ricky dengan gerakan pantat yang berlawanan sambil memutar-mutar pantat. Ricky semakin liar mengocokku, keringat mulai membawahi tubuhnya, dinginnya AC tak mampu meredam panasnya nafsu yang menggelora.
Aku merasa Ricky sudah dekat ke puncak kenikmatan, tapi aku tak mau secepat itu meski kami sudah bercinta lebih 15 menit. Kuminta berganti posisi, sekedar menurunkan tegangannya, tanpa minta persetujuan kucabut penis dari vaginaku dan aku langsung telentang di atas karpet di dekat kaki para penonton. Spontan mereka melongo sejenak melihat tubuh telanjangku telentang di kaki kaki mereka, tapi tak lama, Ricky sudah menutupi tubuhku dengan tubuh gendutnya. Aku kembali mendesah nikmat menerima kocokan Ricky, mereka melihat expresi desahanku dari celah pundak Ricky.
Kuangkat kakiku ke pundaknya, dengan posisi agak jongkok Ricky mengocokku, penisnya serasa semakin dalam mengisi liang vaginaku, para penonton semakin mendekat, bahkan Indra sudah dalam jarak jangkauan tanganku, kalau aku mau bisa saja kuraih dan kumainkan penisnya, tetapi itu tidak aku lakukan. Aku bisa menikmati wajah wajah yang terbakar birahi tinggi, wajah-wajah putih terlihat kemerahan seperti udang rebus.
Ricky sudah tak mempedulikan lagi teman temannya yang bergerak semakin dekat, dia terlalu berkonsentrasi padaku, dan tak lama kemudian dia pun menjerit seiring kurasakan denyutan kuat pada vaginaku, tubuhnya mengejang sambil meremas buah dadaku, aku pun menjerit kaget dan nikmat, denyutan demi denyutan menghantam dinding dinding vagina dan akhirnya Ricky terkulai lemas di atas tubuhku dengan keringat yang deras membasahi tubuh kami berdua.
Riuh tepuk tangan kembali bergema di ruangan itu, aku masih memejamkan mata saat Ricky meninggalkan tubuh telanjangku yang masih telentang di atas karpet lantai, ketika kubuka mataku, ternyata aku tengah dikelilingi para penonton yang berdiri dengan penis yang teracung keluar, sungguh pemandangan unik.
Belum satu menit berlalu, kini Andre menggantikan posisi Ricky. Ia berlutut di antara kedua pahaku yang terbuka. Tak lama kemudian, aku merasakan penisnya menerobos vaginaku dan menyatu denganku. Pada posisi ini aku menerima hujaman penisnya. Aku merasakan nikmat yang tidak dapat kukatakan. Saat aku masih menikmati kenikmatan itu, tiba-tiba sebuah tangan meremasi buah dadaku. Seorang pria kini duduk dengan melipat lututnya di samping kepalaku sambil mempermainkan gunung kembarku. Tubuhku terasa hangat menggelenyar dan dialiri oleh sesuatu yang berdesir-desir nikmat, nafasku memburu bersahutan dengan dengus nafas Andre yang sedang menggagahiku.
Aku yang keenakan terus mendesah dan mendesah. Remasan-remasan tangan pria yang tidak kukenal itu, jarinya yang nakal mencubit dan menarik-narik puting susuku yang mengeras, membuat tubuhku panas dingin sementara rintihan-rintihan kecilku disambut oleh suara kekehan mesum pria itu yang dibarengi dengan remasan-remasan kuat tangannya pada dadaku. Rasanya begitu nyaman dan nikmat sekali saat ia memainkan buah ranum yang memadat.
Tubuhku digenjot Andre dan vaginaku menerima penisnya yang bergerak keluar-masuk yang menggeram keenakan. Membanjirnya cairan vaginaku membuat batang Andre bergerak semakin lancar keluar-masuk, menusuki belahan liang nikmatku. Rasa aneh dikejar oleh rasa nikmat yang membuatku mendesah. Tanpa kusadari pinggulku ikut bergoyang.
“Aaahh … Aaahh … Aaahh …” aku tak bisa menahan desahanku sambil terus menggoyangkan pinggulku.
“Hajar terus, Dre …” ucap salah seorang penonton.
Aku tidak tahu kenapa, yang jelas aku semakin lincah menggoyang pinggulku, bergoyang, memutar-mutar vaginaku dan mendesakkannya pada tusukan-tusukan liar batang penis Andre yang merojoki belahan vaginaku. Gairahku memuncak semakin tinggi dan vaginaku disengat oleh kenikmatan yang membuat tubuhku mengerjat dengan spontan.
“Aaaaaaaaaaaaah…!!”
Crettt..
Cretttt..
Cretttt..
Aku mendesah keras sambil mengangkat wajahku ke atas karena tak sanggup menahan rasa nikmat yang berlebih. Batang milik Andre yang menyangkut di dalam vaginaku terasa semakin mengasikkan. Tanganku mencoba menggapai ke bawah, kuraba benda yang mengait vaginaku. Andre semakin erat memeluk pinggangku yang menggelepar lemah dalam dekapannya. Tak lama berselang, Andre melenguh, penisnya berkedut, kemudian spermanya yang hangat menyemprot berulang-ulang dalam liang vaginaku.
Setelah beberapa detik aku menikmati sisa-sisa orgasmeku, segera aku berdiri, tak bisa dihindari lagi ketika tubuh telanjangku bersinggungan dengan mereka, bahkan kurasakan beberapa menepuk atau meremas pantatku saat aku melewatinya, kubalas dengan senyum menggoda.
“Kamar mandi dimana?” tanyaku, serentak mereka menunjuk ke sudut ruangan seakan terlupa kalau penis mereka masih mengacung tegang.
Saat sampai kamar mandi aku langsung duduk di toilet berusaha untuk mengeluarkan sperma Ricky dan Andre yang masih ada di dalam vaginaku. Setelah rasanya sudah tidak ada lagi aku membilas vaginaku dengan air sambil jari tengahku aku masukan ke lubang vaginaku.
“Aaahh…” Desahku saat jari tengahku masuk membelah lubang vaginaku. ‘Basah sekali..’ kataku dalam hati.
Hanya dengan berbalut handuk yang ada di kamar mandi, aku kembali ke ruangan dan langsung duduk kembali di pangkuan Andre. Aku puas melihat mata-mata liar yang takluk dalam permainanku, seakan aku berhasil menaklukan enam orang sekaligus tanpa harus bersetubuh. Entah berapa orang yang sudah orgasme hanya dengan melihat permainanku dengan Ricky dan Andre.
“Nyonya hot sekali … Aku ingin sekali meniduri Nyonya,” ucap salah seorang disambut tawa dari lainnya. Responku hanya tersenyum pada mereka.
Sambil beristirahat, kami bersantai, mereka saling meledek. Botol-botol kosong bir hitam sudah berserakan di meja. Aku pun berputar dari satu pangkuan ke pangkuan lainnya tanpa mereka boleh menyentuhku kecuali aku mengijinkan mereka, itulah aturannya. Pengalaman baru ini membuatku terlena, memberi rasa kebebasan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Tawa mereka yang riuh dan canda yang terus berlanjut membuat suasana semakin hangat, sementara aku menikmati setiap perhatian yang tercurah padaku. Dengan senyum penuh percaya diri, aku sesekali melirik mereka yang menantikan isyarat dariku. Di tengah sorak tawa dan suasana santai ini, aku merasa seperti pusat dari permainan ini.
“Bagaimana kalau kita lanjutkan?” tanya seorang pria yang sedang memangkuku.
“Baiklah …” jawabku. “Siapa selanjutnya?” tanyaku genit.
“Aku …” jawab pria yang memangkuku sambil menciumi tengkukku sambil tangannya meremas remas buah dadaku.
Pada akhirnya, satu per satu, mereka datang menghampiriku, menggilirku secara bergantian. Setiap sentuhan, setiap ciuman, membawa kenikmatan yang luar biasa, membuatku melayang dalam euforia. Aku merasakan betapa berbeda setiap orang, masing-masing memiliki cara unik dalam memberikan perasaan yang tak terlukiskan. Ketika satu orang selesai, yang lain segera menggantikan, menciptakan aliran yang tak terputus dari rasa manis dan gairah. Setiap detik berlalu terasa semakin intens, seolah dunia di sekitarku menghilang, dan hanya ada kami di dalam momen indah ini.
Setiap momen terasa seperti gelombang kenikmatan yang menghantamku bertubi-tubi, membawa aku ke dalam pengalaman yang begitu mendalam. Sensasi yang menyelimuti tubuhku membuatku melupakan segalanya; hanya ada suara napas kami yang saling berpadu dan detak jantung yang berdengung kencang. Tiada henti, kelezatan itu mengalir, meresap hingga ke relung terdalam jiwaku. Aku terjebak dalam lautan emosi dan rasa, dan setiap detiknya terukir dalam ingatan. Kini, aku tahu bahwa pengalaman ini adalah sesuatu yang tak akan pernah bisa kulupakan, sebuah perjalanan yang membawa aku ke batas kenikmatan yang tak terbayangkan sebelumnya.
Akhirnya, setelah melewati serangkaian pengalaman nikmat yang tiada tara, aku memutuskan untuk menyudahi semua ini. Dengan perlahan, aku mengambil pakaian yang tercecer di lantai, merasakan kembali kelembutan kainnya di tanganku. Aku melangkah ke kamar mandi, di mana air hangat mengalir dari keran, menenangkan tubuhku yang masih bergetar penuh gairah. Mandi sejenak membuatku merasa segar kembali, dan setelah berdandan seperlunya, aku merasa siap untuk menghadapi dunia luar. Begitu aku melangkah keluar dari ruangan besar tersebut, kesan manis dari pengalaman tadi masih menghiasi ingatanku, seolah mengingatkan bahwa momen-momen itu akan selalu menjadi bagian dari diriku.
Aku melangkah turun ke lantai satu. Suasana di ruangan itu ramai dengan pengunjung yang bercengkerama dan tertawa. Bau asap rokok dan alkohol menyelimuti udara. Aku mengedarkan pandangan, mencari sosok yang sudah lama menunggu. Akhirnya, mataku tertuju pada Mas Sandy yang duduk di sebuah kursi tinggi di depan meja bar. Senyumnya menyambutku, memberikan rasa hangat di hatiku. Dengan langkah pasti, aku segera menghampirinya.
“Bagaimana?” tanya Mas Sandy padaku.
“Sangat menakjubkan,” jawabku sambil tersenyum.
Mas Sandy tersenyum lebar, kemudian berkata, “Kalau begitu, kamu tidak perlu terburu-buru. Nikmati saja suasana di sini sepuas-puasnya. Aku akan menunggu di sini. Ambil waktu untuk merasakan semua yang ada, dan jangan ragu untuk bersenang-senang.” Ucapannya memberikan rasa tenang.
“Aku sudah cukup puas di sini, Mas,” kataku. “Bagaimana dengan pengalamanmu, Mas? Apa yang paling berkesan bagimu di tempat ini?” tanyaku kemudian.
“Aku merasakan kebebasan dan kesenangan yang luar biasa,” jawab Mas Sandy sambil tersenyum. “Tempat ini bikin aku bisa lepas dari semua tekanan. Setiap detik di sini benar-benar asyik. Aku senang bisa menghabiskan waktu di sini.”
“Sebenarnya, aku juga ingin lebih lama di sini,” kataku. “Tapi aku sudah janji dengan karyawan-karyawanku untuk membantu mereka di kedai.”
Mas Sandy mengangguk, lalu berkata, “Kalau begitu, ayo kita pulang. Kita bisa menikmati waktu bersama di lain kesempatan. Masih banyak waktu untuk bersenang-senang di tempat ini.”
Kami keluar dari rumah megah itu, melangkah menyusuri jalan setapak yang dikelilingi taman yang rimbun. Suasana siang terasa cerah, dengan sinar matahari yang hangat menyinari wajah kami. Mas Sandy membuka pintu mobilnya untukku, dan aku masuk ke dalam kendaraan yang nyaman. Suara mesin mobil menyala, dan radio mengalun lembut mengisi keheningan di antara kami. Dalam perjalanan kembali ke rumahku, aku memikirkan semua pengalaman menggairahkan yang baru saja kulalui. Kenikmatan demi kenikmatan yang aku rasakan masih terbayang jelas di pikiranku. Kami melaju di bawah langit biru, meninggalkan kenangan siang yang penuh kesenangan, sambil berharap akan lebih banyak kesempatan untuk mengulangi pengalaman seru itu di masa depan.
Bersambung…