Di malam hari, kedai jamuku selalu ramai dengan pelanggan yang datang silih berganti. Suara tawa, obrolan, dan nyanyian khas dari para pelanggan memenuhi udara, memberikan kehidupan pada kedai yang aku rintis dengan sepenuh hati ini. Lampu-lampu kuning yang digantung di setiap sudut ruangan menciptakan suasana hangat, mengundang orang-orang untuk singgah, menikmati segelas jamu hangat yang aku buat dengan resep tradisional dan rahasia.
Aku berdiri di belakang meja kayu panjang, menyajikan gelas-gelas jamu yang baru saja aku seduh dengan hati-hati. Di dapur terbuka, Anita sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk jamu baru yang sedang aku coba. Rambutnya yang diikat rapi bergerak cepat saat ia mengiris jahe dan memeras rempah-rempah. Bayu, anak buah yang selalu setia dan gesit, tampak melayani pelanggan yang datang. Senyum lebar dan sikap ramahnya membuat setiap orang merasa nyaman dan ingin kembali lagi.
Sintia sedang membawa pesanan untuk sebuah meja di sudut kedai. Wajahnya cerah, meskipun aku bisa melihat sedikit kelelahan di matanya setelah seharian melayani pelanggan. Namun, meski begitu, ia selalu menunjukkan sikap yang profesional dan tidak pernah mengeluh. Sintia memang sudah terbiasa dengan kesibukan di kedai ini, dan aku tahu ia sangat handal dalam pekerjaannya, seperti halnya Bayu dan Anita. Setiap kali aku membutuhkan bantuan, ia selalu siap, bahkan dengan senyuman yang tak pernah hilang dari wajahnya.
Kedai ini memang milikku, tetapi aku merasa seperti rumah yang penuh dengan kehidupan. Bayu, Anita, dan Sintia adalah bagian dari tim yang aku banggakan. Kami seperti keluarga kecil yang bekerja keras di bawah satu atap. Kami memiliki peran masing-masing, tapi kami semua memiliki tujuan yang sama, membuat kedai ini tempat yang istimewa, di mana orang bisa datang bukan hanya untuk secangkir jamu, tetapi untuk merasakan kehangatan dan kenyamanan.
Seorang pelanggan datang mendekat, tampak seperti pria muda yang baru pertama kali datang ke kedai. Senyumannya cukup ramah, meskipun matanya tak lepas dari aku sejenak.
Aku menoleh dan memberikan sapaan, “Selamat malam, Pak. Ada yang bisa aku bantu?”
Bayu menghampiri dan langsung melayani, sementara aku melanjutkan pekerjaanku. Sambil memandangi keramaian di sekitar, pikiranku melayang sejenak. Kehidupan aku yang dulu begitu penuh dengan ketegangan, kini seolah terangkat sedikit dengan hadirnya kedai ini. Di sini, aku merasa bebas, aku merasa hidup. Bayu dan Anita adalah dua orang yang mungkin bisa aku percayai, meskipun tidak bisa aku katakan semuanya. Beberapa kali, aku bertemu dengan mereka di luar kedai, di tempat yang lebih gelap dan lebih pribadi, tapi itu adalah bagian lain dari aku yang aku simpan rapat-rapat.
Sementara itu, Anita memanggil aku dari dapur. “Bu, jamu untuk meja tiga sudah siap!” teriaknya.
Aku tersenyum dan mengangguk, membalas dengan cepat, “Terima kasih, Anita. Segera aku bawa ke meja.”
Bayu terlihat sedang bercanda dengan pelanggan yang datang lebih awal, dan suasana kedai semakin hidup. Pelanggan datang dan pergi, dan aku merasa kebahagiaan itu terasa nyata malam ini. Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan hidup aku setelah semua yang aku lalui, tapi untuk saat ini, kedai jamu ini adalah tempat di mana aku bisa benar-benar merasakan kebebasan. Seperti malam ini, di tengah keramaian dan kehangatan, aku menemukan kedamaian dalam hiruk-pikuk kehidupan yang aku ciptakan sendiri.
Suasana di kedai mulai terasa sedikit sepi, meskipun beberapa pelanggan masih terlihat asyik mengobrol di meja-meja sudut. Aku melirik ke arah jam dinding yang menggantung di atas pintu masuk. Pukul 10 malam adalah batas waktu yang kutetapkan untuk kedai ini. Setelah itu, kami harus berbenah dan bersiap untuk besok.
“Bayu, Anita, Sintia, sudah waktunya tutup,” kataku sambil mengangkat gelas jamu terakhir yang sudah habis dipesan.
Bayu yang sedang berbicara dengan seorang pelanggan langsung tersenyum dan mengangguk. “Baik, Bu,” jawabnya, lalu dengan cepat mengingatkan pelanggan yang tersisa, “Mohon maaf, kedai sudah tutup. Terima kasih banyak sudah mampir.”
Anita, yang sedang menyapu bagian dapur, sudah mulai mematikan kompor dan merapikan bahan-bahan yang terpakai. “Aku sudah bersih-bersih, Bu,” katanya sambil menatapku, menunggu instruksi selanjutnya.
Sintia, meskipun masih terlihat sedikit lelah, sudah mulai mengumpulkan cangkir-cangkir kosong dari meja-meja yang tersisa. Aku bisa melihat betapa cepatnya dia bergerak, tanpa banyak bicara, semuanya dilakukan dengan cekatan. Dia tahu apa yang harus dilakukan, dan sudah terlatih dengan baik.
Aku berjalan ke belakang kedai, menutup tirai dan memastikan pintu depan terkunci dengan rapat. Suasana yang tadinya ramai dan penuh energi kini berubah menjadi tenang. Hanya suara kami bertiga yang terdengar saat mulai merapikan meja, mengelap permukaan kayu, dan menyusun kursi untuk keesokan harinya.
Setelah semuanya hampir beres, aku kembali ke meja panjang di dekat dapur. Bayu dan Anita sudah selesai membersihkan area belakang, dan Sintia sedang menata kembali peralatan. Aku menghela napas panjang, merasakan betapa lelahnya tubuh ini, tetapi juga ada rasa puas yang tak bisa dipungkiri. Kedai ini adalah tempat di mana aku bisa merasa hidup, bisa melupakan sejenak semua beban yang ada dalam hidupku.
“Sudah selesai semuanya?” tanyaku, memastikan.
“Sudah, Bu,” jawab Bayu, seraya memandangi jam yang kini menunjukkan pukul 10:30 malam. “Kedai sudah siap untuk besok.”
Aku mengangguk, senang melihat bagaimana mereka bekerja sama dengan begitu baik. “Terima kasih, kalian semua luar biasa.”
Sambil mengedarkan pandangan ke kedai yang sudah sepi, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Dulu, aku mungkin merasa kesepian, terperangkap dalam rutinitas yang membosankan. Namun malam ini, di tengah kesibukan dan keramaian yang berakhir dengan kebersamaan ini, aku merasakan kedamaian. Di sini, di kedai jamu ini, aku merasa bebas. Aku merasa seperti aku bisa menjadi diriku sendiri.
Setelah semua beres, aku menatap anak buahku. “Besok, kita buka lagi jam lima sore saja. Semoga besok juga penuh pelanggan,” kataku, memberikan semangat.
Mereka mengangguk serentak. Bayu dan Anita sudah siap untuk pulang, sementara Sintia tampak siap membantu jika ada yang perlu diselesaikan. Aku tersenyum, kemudian melangkah menuju pintu belakang untuk mengunci kedai dengan kunci terakhir.
Anita dan Sintia mengucapkan selamat malam sambil membawa tas mereka, siap untuk pulang setelah seharian bekerja. “Selamat malam, Bu, Bayu,” kata Anita dengan senyum lebar, lalu diikuti oleh Sintia yang mengangguk dan melambaikan tangan.
Aku mengangguk kembali dan membalas senyum mereka, “Hati-hati di jalan. Sampai besok!”
Begitu mereka keluar dan kedai mulai terasa lebih sepi, hanya aku dan Bayu yang tersisa di dalam. Bayu masih terlihat sibuk menyusun beberapa gelas yang tertinggal di meja, sementara aku duduk di belakang meja panjang, menikmati sejenak ketenangan setelah seluruh kesibukan hari ini.
Bayu menatapku sejenak, lalu berjalan mendekat dengan sebuah senyum. “Jadi, Bu, bagaimana menurut Ibu hari ini? Sepertinya kedai kita semakin ramai setiap malam,” ujarnya dengan nada ringan.
Aku mengangguk pelan, menatap kedai yang kini lebih tenang. “Iya, Bayu. Semakin lama, semakin banyak yang datang. Aku rasa orang-orang mulai menikmati suasana di sini.” Aku menghela napas panjang, merasa sedikit lelah tetapi juga puas. “Tapi, aku merasa kita harus lebih banyak berinovasi lagi. Kadang aku merasa kita sudah terlalu terbiasa dengan rutinitas.”
Setelah beberapa detik hening, Bayu akhirnya membuka mulut. “Bu … Aku pikir kita perlu mempertimbangkan untuk memperbesar kedai ini.”
Aku menatapnya, sedikit terkejut. “Memperbesar kedai?” ulangku dengan hati-hati, mencoba memahami maksudnya.
Bayu mengangguk pelan, lalu melanjutkan, “Iya, kedai ini memang selalu ramai, aku perhatikan banyak pelanggan yang harus menunggu di luar. Mereka kadang-kadang harus menunggu lama sampai meja kosong. Aku rasa kita bisa memperluas tempat ini. Dengan kapasitas yang lebih besar, pasti kita bisa menampung lebih banyak orang, dan tentunya pendapatan juga akan lebih besar.”
Aku merenung sejenak, membayangkan kedai yang lebih besar, lebih luas dari sekarang. Memang, sering kali ada pelanggan yang datang dan terpaksa harus duduk di luar, menunggu giliran. Kadang aku merasa tidak enak, tapi tak bisa berbuat banyak karena keterbatasan ruang yang ada.
“Bagaimana menurut Ibu?” Bayu bertanya lagi, kali ini dengan nada lebih yakin.
“Aku tahu apa yang kamu maksud, Bayu. Kedai ini memang semakin ramai. Tapi, memperbesar kedai… itu bukan hal yang mudah. Kita harus membeli ruko di sebelah, dan masalahnya, pemilik ruko itu belum tentu mau menjualnya. Belum lagi, kalau dia mau jual, harga pasti tidak murah. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan,” kataku sambil mengusap wajah, merasa terbebani dengan kemungkinan besar yang harus diputuskan.
Bayu mendekat dengan serius, matanya tetap menatapku dengan penuh perhatian. “Bu, aku sudah bicara dengan pemilik ruko sebelah.” Dia berhenti sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Dia memang mau jual, Bu. Tapi… harganya sangat mahal. Aku sudah tanya langsung, dan harga yang dia tawarkan lebih tinggi dari yang aku perkirakan.”
Aku terdiam, perasaan campur aduk. “Jadi, dia memang ingin menjualnya, tapi… apakah kita bisa mencapainya? Harganya berapa, Bayu?”
Bayu menghela napas, sedikit ragu. “Dia meminta harga yang jauh lebih tinggi dari pasaran, Bu. Untuk harga yang diminta, kita harus siap mengeluarkan dana yang cukup besar. Tapi, aku rasa itu bisa jadi kesempatan besar buat kita, meskipun risikonya memang tinggi.”
Aku duduk sejenak, merenung dengan pikiran yang penuh pertimbangan. Membeli ruko sebelah untuk memperluas kedai ini bisa menjadi peluang besar, tetapi juga penuh risiko. Jika aku berhasil mendapatkannya, kedai ini akan bisa menampung lebih banyak pelanggan, memberi ruang untuk inovasi dan kemungkinan-kemungkinan baru, seperti menambah menu atau mengadakan acara khusus. Namun, harga yang diminta oleh pemilik ruko itu terlalu tinggi, dan aku harus memastikan keuangan kami cukup untuk menanggung biaya tersebut, belum lagi biaya renovasi yang pasti akan sangat besar.
Aku duduk lebih tegak dan mengalihkan pembicaraan ke hal yang lebih praktis. “Bayu, sudahkah kamu menghitung perkiraan biaya untuk memperluas kedai ini? Aku perlu tahu berapa banyak dana yang harus kita siapkan sebelum kita benar-benar melangkah lebih jauh.”
Bayu menghela napas sejenak sebelum memberikan jawabannya. “Aku perkirakan total biaya yang diperlukan sekitar satu milyar. Ruko di sebelah itu harganya sekitar 600 juta, dan untuk renovasi agar sesuai dengan konsep kedai kita, bisa memakan biaya sekitar 400 juta. Jadi, totalnya sekitar satu milyar, kalau semuanya berjalan lancar.”
Aku menarik napas dalam-dalam, merasa berat dengan kenyataan yang ada. “Bayu, uang sebanyak itu tidak mungkin bisa terkumpul secepat mungkin. Bahkan, aku meragukan bisa mengumpulkan uang sebanyak itu.” Suaraku mulai terdengar lebih rendah, penuh keraguan. “Mungkin ini cuma mimpi besar yang sulit tercapai. Aku rasa, kita harus melupakan mimpi itu, karena sepertinya itu tidak akan pernah menjadi kenyataan.”
Bayu tersenyum tipis, mengangguk pelan seolah mengerti apa yang aku rasakan. Meskipun dia mungkin berharap untuk melihat kedai ini berkembang lebih besar, dia tahu bahwa keputusan itu tidak bisa diambil sembarangan. Kami berdua duduk dalam keheningan sejenak, saling memahami tanpa perlu banyak kata. Setelah beberapa saat, kami mulai merapikan barang-barang, menyiapkan kedai untuk ditutup malam ini. Keputusan sudah diambil, dan meskipun perasaan kecewa sedikit menggelayuti, kami tahu bahwa ada waktu lain untuk merencanakan masa depan. Dengan langkah yang lebih ringan, kami pun bersiap pulang, meninggalkan kedai.
Bayu berdiri dengan sikap penuh perhatian, dan menawarkan bantuannya lagi. “Bu, izinkan aku mengantarkan Ibu pulang. Aku khawatir kalau Ibu pulang sendirian, apalagi malam seperti ini.”
Aku tersenyum tipis, mencoba meyakinkannya. “Terima kasih, Bayu, tapi aku lebih memilih pulang sendiri malam ini. Aku merasa kurang enak badan, dan aku nggak kuat kena angin malam.” Aku mengangguk pelan, berharap dia mengerti. “Aku akan naik taksi online saja. Kamu tidak perlu khawatir.”
Bayu akhirnya meninggalkan kedai dengan motor kesayangannya, melaju ke arah rumahnya setelah memastikan aku baik-baik saja. Aku tetap berdiri di teras kedai, menikmati sepi malam yang semakin terasa dingin. Di kejauhan, suara mesin motor Bayu semakin memudar, meninggalkan kedai yang kini hampir sepenuhnya gelap. Aku menunggu dengan sabar, tak terburu-buru, sambil memikirkan segala yang telah terjadi hari ini. Tak lama kemudian, kendaraan yang kutunggu akhirnya muncul di ujung jalan, siap menjemputku pulang. Dengan langkah pelan, aku melangkah menuju mobil yang menunggu.
Pria yang duduk di kursi pengemudi keluar dari mobil dan membuka pintu untukku dengan sopan. “Maafkan aku, Asti, karena kamu harus menunggu,” ujarnya dengan nada lembut, terlihat sedikit cemas.
Aku tersenyum tipis, “Aku tidak menunggu lama kok, Mas Sandy,” balasku sambil melangkah masuk ke dalam mobil dan aku pun duduk dengan rileks.
Mas Sandy kembali ke tempat duduknya dan menyalakan mesin mobil, lalu kami melaju meninggalkan kedai. Sepanjang perjalanan, obrolan kami mengalir ringan, menghindari topik berat dan lebih banyak berbicara tentang hal-hal sederhana, seperti cuaca, makanan yang enak, dan rencana-rencana kecil. Suasana di dalam mobil terasa santai, seolah-olah hari yang penuh kegiatan ini sedikit mengendur. Tak lama kemudian, kami tiba di sebuah restoran yang tampak nyaman, dengan pencahayaan hangat yang menyambut kami di pintu masuk.
Kami masuk ke dalam restoran yang suasananya tenang dan nyaman. Setelah diantar ke meja di sudut, kami duduk dan memesan hidangan yang sudah biasa kami nikmati. Kami berbincang ringan selama menunggu pesanan datang, saling berbagi cerita tanpa terburu-buru. Begitu makanan tiba, kami mulai makan, menikmati rasa yang enak dan suasana yang santai. Obrolan kami mengalir begitu saja, membahas hal-hal sederhana tanpa tekanan, membuat waktu terasa begitu menyenangkan dan tanpa beban.
Aku menyendukkan tubuh sedikit, lalu menatap Mas Sandy dengan penasaran. “Mas … Kenapa Mas Sandy nggak bawa Siska?” tanyaku, sambil menyendok sedikit makananku.
Sambil tersenyum, Mas Sandy menjawab, “Siska punya acara sendiri malam ini.”
Aku pun merasa heran, lalu bertanya, “Acara apa?”
Mas Sandy tersenyum sedikit nakal dan menjawab, “Acara seperti kita ini.”
Aku mengangguk pelan, mengerti maksudnya, dan berkata, “Jadi, Siska sedang berkencan dengan seseorang, ya?”
Mas Sandy mengangguk pelan, perlahan menjawab, “Ya, seperti itulah.” Namun, aku bisa melihat perubahan pada wajahnya yang tampak sedikit mendung, seakan ada sesuatu yang mengganggunya.
Aku pun tak bisa menahan diri untuk bertanya, “Ada apa Mas? Sepertinya ada yang sedang Mas pikirkan?”
Mas Sandy terdiam sejenak, kemudian berkata dengan suara lebih pelan, “Siska… akhir-akhir ini agak berbeda. Aku nggak tahu, mungkin aku cuma khawatir, tapi ada yang terasa aneh.”
Aku memandangi Mas Sandy dengan cemas, “Apa maksud Mas Sandy? Ada masalah di antara kalian?” tanyaku dengan hati-hati, mencoba memahami situasinya.
Mas Sandy menghela napas pelan, lalu berkata dengan suara penuh keraguan, “Aku merasa Siska sudah mulai tertarik dengan pasangannya, Asti. Sekarang, dia lebih mementingkan waktu bersama dia daripada dengan aku. Kadang aku merasa… dia jatuh cinta dengan orang itu.” Mas Sandy mengerutkan dahi, tampak bingung dan tidak yakin dengan perasaannya sendiri. “Aku nggak tahu apa yang harus aku pikirkan atau lakukan. Semua ini membuat aku merasa jauh dari dia.”
Aku mencoba memberikan sedikit ketenangan. “Mungkin itu cuma perasaan Mas saja,” kataku, berusaha menenangkan situasi. “Terkadang kita merasa seperti itu ketika ada hal-hal yang tidak kita pahami.”
Mas Sandy mengangguk pelan, berharap ucapanku benar. “Semoga begitu, Asti,” katanya dengan suara yang sedikit lebih ringan. “Tapi, untuk sekarang, lebih baik kita lupakan dulu hal itu. Kita nikmati saja malam ini, oke?”
Kami melanjutkan makan malam dengan suasana yang lebih tenang. Aku berusaha menenangkan hati Mas Sandy, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekhawatirannya tentang Siska. Pembicaraan kami mengalir lebih ringan, diiringi tawa dan canda yang mulai mewarnai malam itu. Mas Sandy tampak sedikit lebih santai, meskipun aku bisa merasakan ada perasaan yang masih mengendap dalam dirinya. Ketika makanan kami hampir habis, aku tahu sudah saatnya untuk mengakhiri malam ini. Kami berdiri dan menuju keluar restoran, bercanda dan tertawa sepanjang jalan menuju mobil.
Saat kami tiba di mobil, aku berhenti sejenak dan bertanya, “Jadi, apa rencana kita malam ini selanjutnya?”
Mas Sandy tersenyum dan menjawab, “Aku akan membawamu ke villa di pantai utara. Tempat yang tenang, jauh dari keramaian. Kita bisa santai di sana.”
Aku tersenyum tipis dan berkata, “Bagaimana kalau Mas membawaku ke rumah Mas saja? Aku ingin sekali menggantikan peran Siska untuk Mas Sandy.”
Tampak Mas Sandy membulatkan matanya, lalu dengan suara yang agak terkejut dia pun berkata, “Aku sangat menginginkannya, Asti.”
Aku dan Mas Sandy meninggalkan restoran, masuk ke dalam mobil, dan aku duduk di kursi penumpang samping. Mesin mobil menyala, dan kami melaju meninggalkan kawasan restoran, menuju rumah Mas Sandy. Perjalanan malam itu terasa lebih intim, dengan percakapan ringan yang sesekali mengisi keheningan. Tidak lama kemudian, kami tiba di rumah Mas Sandy. Begitu mobil berhenti, aku membuka pintu dan melangkah keluar, disambut oleh suasana rumah yang tenang dengan cahaya lembut yang menyinari halaman. Kami berjalan menuju pintu, dan aku tahu malam ini akan berbeda.
Mas Sandy membuka pintu dan memberi isyarat agar aku masuk lebih dulu. Aku melangkah masuk ke dalam rumahnya yang luas dan terkesan elegan, dengan pencahayaan yang lembut dan dekorasi yang hangat. Suasana di dalam rumah terasa nyaman dan tenang, sangat berbeda dengan hiruk-pikuk di luar. Mas Sandy menutup pintu perlahan setelah kami masuk, dan dengan senyum tipis, dia mempersilakan aku untuk duduk di ruang tamu yang terletak di dekat jendela besar.
Aku duduk di salah satu sofa yang empuk, sementara Mas Sandy menyalakan lampu meja yang memberikan nuansa yang lebih intim. Ruang tamu ini terasa seperti tempat untuk melupakan segala kekhawatiran, dan aku bisa merasakan kenyamanan yang hadir di antara kami. Tanpa banyak bicara, Mas Sandy duduk di sebelahku, dan tanpa bisa menahan diri, aku langsung memeluknya. Pelukan itu terasa hangat dan penuh kepercayaan, seolah-olah aku ingin menenangkan segala kegelisahan yang mungkin ada dalam dirinya. Mas Sandy tidak menahan, malah merespon pelukanku dengan lembut, seolah-olah dia juga membutuhkan kehadiranku di saat seperti ini.
Aku tersenyum dan berkata, “Untuk beberapa hari ke depan, aku akan menjadi istri Mas Sandy, sampai Siska kembali.”
Mas Sandy menarikku ke dalam pelukan dengan lembut, “Aku sangat menghargai keputusanmu, Asti,” ujarnya, suaranya penuh kehangatan. “Selama Siska tidak ada, aku ingin kita menikmati waktu ini bersama. Terima kasih sudah ada di sini.”
Tanpa berkata apa-apa, aku mengangkat tanganku dan dengan lembut mengusap pipinya, sebelum menuntun wajahnya ke arahku. Dalam keheningan malam itu, bibirku bertemu dengan bibirnya. Ciuman itu membawa perasaan yang sulit dijelaskan, sebuah perasaan yang penuh dengan gairah dan keintiman yang mendalam. Aku merasakan sentuhan bibir yang lembut, namun penuh dengan hasrat yang tak bisa disembunyikan. Bibir kami bertemu dengan lembut, lalu bertahan, saling mengejar dan menemukan irama yang cocok.
Masih sambil berciuman, tanganku perlahan bergerak ke selangkangannya. Aku usap-usap lembut tonjolan di celananya dan terasa sekali penisnya mulai bergerak dan ereksi membesar hingga keras dan berdiri. Aku membuka mata dan melihat wajah Mas Sandy sedang memejamkan matanya menikmati permainan tanganku. Aku melepaskan ciumanku dan tak lama aku segera berjongkok di antara dua pahanya. Dengan terampil aku membuka ikat pinggang, kancing, dan resleting celana Mas Sandy. Aku tarik celana panjang dan boxernya hingga penis Mas Sandy muncul di hadapanku.
Tentu saja gairahku membara, dan birahiku semakin tak tertahankan. Namun, aku berusaha mengendalikan diri, menahan keinginan yang semakin menggebu. Perlahan, aku mendekat dan membuka mulut, memasukkan penisnya hingga penisnya memenuhi rongga mulutku. Dengan lembut, aku mulai bergerak, memberikan perhatian pada penis Mas Sandy dengan emutan lembut oleh mulutku, sementara dia membuka mata dan memandang penuh arti ke arahku. Tangannya terulur, membelai rambutku dengan lembut, seolah mengucap terima kasih tanpa kata-kata.
Aku semakin nafsu lalu aku percepat gerakan kepalaku naik-turun. Aku jilat batang dan kedua biji lato-latonya dan terkadang aku hisap kedua biji tersebut. Sekitar 15 menit kemudian, aku merasa penisnya semakin keras dan berdenyut di dalam mulutku maka aku semakin cepat mengocok penis Mas Sandy dengan mulutku, aku yakin dia akan segera menyemprotkan cairan spermanya di dalam mulutku. Beberapa saat berselang, benar dugaanku, cairan sperma Mas Sandy menyembur hingga memenuhi rongga mulutku dan aku hampir tersedak akibat semprotan spermanya. Setelah spermanya berhenti memancar, aku hisap kuat penisnya dan kemudian aku lepas. Sperma Mas Sandy di dalam mulutku aku telan hingga tak bersisa setetes pun.
Aku bangkit dan berkata, “Aku ingin mandi dulu, Mas. Biar agak seger …”
Mas Sandy tersenyum. “Mandi di kamar mandiku saja, biar lebih nyaman,” katanya sambil berdiri lalu membetulkan celananya. Kemudian ia mengantarku ke kamar, membuka pintu kamar mandinya, dan berkata, “Aku tunggu di sini. Santai saja, ambil waktumu.”
Aku tersenyum dan mengangguk pada Mas Sandy sebelum melangkah masuk ke kamar mandi. Begitu berada di dalam, aku menarik napas panjang, menikmati kesunyian yang menenangkan. Dengan hati-hati, aku mulai melepaskan pakaian satu per satu dan menyimpannya di gantungan di sisi kamar mandi, memastikan semuanya tertata dengan baik. Aku pun kemudian menyalakan pancuran dan membiarkan air hangat mengalir deras, menyentuh kulitku dan membawa serta semua lelah yang tersisa. Setiap tetesan air yang menyapu tubuhku membuatku merasa lebih segar, seolah semua beban pikiran ikut menghilang bersama air yang jatuh. Perlahan, aku membersihkan diri dengan saksama, menikmati momen kebebasan dan kelegaan ini. Setelah selesai, aku mematikan pancuran dan mengambil handuk yang tergantung, melilitkannya di tubuhku dengan rapi. Aku mengikat ujung handuk di dadaku, memastikan semuanya tertutup dengan baik. Lalu, dengan perasaan segar, aku melangkah keluar dari kamar mandi, hanya berbalut handuk, siap menemui tatapan Mas Sandy yang menantiku di luar.
Saat keluar dari kamar mandi, aku melihat Mas Sandy sudah selonjoran di atas tempat tidur, tampak santai dengan pakaian yang kini berganti menjadi kimono longgar. Ia menoleh dan tersenyum lembut ke arahku, lalu sedikit bergeser, memberikan ruang di sisinya. Dengan tenang, aku melangkah mendekat dan merasakan kasur yang empuk saat aku berbaring di sampingnya. Aroma lembut dari kain kimono dan kehangatan di dekatku memberikan rasa nyaman yang membuatku rileks, seolah-olah semua hal di sekeliling memudar, menyisakan hanya suasana yang menyenangkan di antara kami berdua.
Aku menatap Mas Sandy yang berbaring di sampingku, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya dengan nada bercanda, “Mas, kira-kira Siska nggak bakal marah, kan, kalau tempat tidurnya aku pakai begini?”
Mas Sandy tertawa pelan dan mengangguk. “Siska nggak akan marah kalau dia tahu tempatnya diganti sama kamu,” jawabnya dengan santai. “Lagi pula, aku juga udah nggak peduli lagi sama itu semua.”
Aku terkejut mendengar ucapan Mas Sandy. Tak disangka, kata-katanya begitu tegas dan penuh keyakinan. Aku menahan napas sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dia katakan. “Mas Sandy…” ujarku, sedikit tergagap, merasa heran dengan sikapnya yang begitu pasrah.
Mas Sandy bergerak menyamping dan memelukku, lalu berkata, “Siska memang sudah nggak peduli lagi sama aku. Dia sudah terpikat sama pasangan bulenya itu.” Aku terdiam sejenak, merasakan pelukannya yang kuat dan hangat. Mas Sandy melanjutkan, “Baru saja, dia kirim pesan WA, bilang kalau dia bakal di Bali bareng pasangannya selama sebulan.” Suaranya terdengar kesal, “Itu udah keterlaluan, Asti. Tega-teganya dia ninggalin aku selama itu. Tapi, aku udah nggak peduli lagi sama dia.”
Aku menarik napas sejenak, mencoba meredakan kegelisahan yang tiba-tiba muncul. Dengan suara lembut, aku berkata, “Mas Sandy, jangan begitu. Kalau Mas Sandy tidak setuju, katakan saja langsung pada Siska bahwa Mas Sandy tidak ingin dia tinggal di Bali selama sebulan.”
Mas Sandy menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata dengan tegas, “Asti, aku sudah tidak ingin lagi memikirkan Siska. Aku merasa sudah cukup, dan sejujurnya, aku lebih merasa nyaman dan tenang bersamamu. Mengenai Siska, biarlah dia mengurus urusannya sendiri. Aku tidak ingin ada lagi masalah yang mengganggu. Saat ini, aku hanya ingin fokus pada hubungan kita.”
Aku hendak membuka mulut untuk membantah, namun kata-kataku tak sempat keluar. Sebelum aku bisa mengucapkan apapun, Mas Sandy sudah lebih dulu mendekat dan menempelkan bibirnya di bibirku, menghentikan segala protes yang ingin aku ucapkan. Ciumannya seperti menghapus semua kecemasan yang sempat terlintas dalam pikiranku, membuatku terdiam dan hanya bisa meresapi momen itu tanpa kata.
Tak lama berselang, kurasakan bibir Mas Sandy sudah menyentuh leherku, terus menyusur ke pipiku. Dia bergeser merapatkan tubuhnya, bibirku dilumatnya dengan lembut. Nikmat sekali diperlukan seperti ini olehnya, aku bisa mengulum bibirnya lebih kuat dan ketebalan bibirnya memenuhi mulutku. Rasanya begitu dalam, lembut, sekaligus menggugah. Ada gelombang kecil yang menggeliat di ujung-ujung sarafku, menelusuri tiap inci tubuh, membuat jantungku berdegup tak karuan. Saat sedang kunikmati lidah Mas Sandy yang melumat bibir dan mulutku, kurasakan tangan besarnya melepas ikatan handukku lalu ia meremas lembut buah dadaku.
“Ooccchhhh…” desisku. Buah dadaku tercakup seluruhnya dalam tangannya, dan aku rasanya sudah tidak kuat menahan gejolak birahiku, padahal baru awal pemanasan.
Mas Sandy mulai mengecup dan melumat wajah, leher, dan telingaku. Aku memejamkan mata, menikmati setiap sentuhannya. Tangannya dengan perlahan menarik lepas handukku, lalu bibirnya melanjutkan menelusuri leherku, mengecup, menjilat, sesekali menggigitnya lembut. Tangannya kini meremas buah dadaku, sementara tubuhnya perlahan merapat di atas tubuhku, dan bibirnya tak henti menelusuri permukaan kulitku. Kemudian, puting kiriku terasa tersentuh lidahnya, dihisapnya perlahan, membuatku terbuai. Kadang-kadang, seluruh buah dadaku ia hisap dengan mulutnya yang besar, menciptakan gelombang birahi yang menjalar ke seluruh tubuhku. Dan tangan satunya mulai menjamah vaginaku yang pasti sudah basah sekali. Dibelainya buluku yang lebat. Sesekali jarinya menyentuh klitorisku.
Tubuhku bergetar semua rasanya, dan jarinya mulai memainkan klitorisku dengan sengaja. Lalu, jari besar itu masuk ke dalam vaginaku. Oh, nikmatnya! Bibirnya bergantian menjilati puting kiri dan kanan, sesekali dihisap, dan terus menjalar ke perutku. Sampailah ke vaginaku, lalu diciuminya, dijilat, dan dihisap sampai aku kegelian nikmat. Kali ini, diciumnya bulu lebat vaginaku, dan aku rasakan nikmat luar biasa ketika bibir vaginaku dibuka dengan dua jarinya yang besar. Vaginaku kini menjadi bulan-bulanan oleh bibir Mas Sandy – kadang dijilat, kadang dihisap, kadang lidahnya menyapu vaginaku, demikian pula perlakuannya pada klitorisku.
Semakin lama, aku semakin tak tahan. Vaginaku terasa gatal, dan saat lidahnya menyusuri kedua bibir vaginaku juga menghisap klitorisku, aku benar-benar tak kuasa. Mas Sandy sangat ahli dalam memanjakan vaginaku. Hanya dalam beberapa menit, aku sudah tak sanggup lagi. Aku mengejang dan berteriak sekuat tenaga, mengangkat pantatku agar klitorisku semakin merapat ke mulutnya. Aku meremas kepalanya dengan erat. Hanya dengan bibir dan lidah Mas Sandy, aku mencapai orgasme. Dia terus menjamah vaginaku, seolah belum puas memberi kepuasan hingga hasratku kembali bangkit dengan cepat.
“Mas … Oooohh Mas … Entot aku Mas … Aku ingin sekali dientot …” kataku tak lagi memilih kata-kata saking hasratku menggelegak sangat kuat sambil melebarkan kedua kakiku lebih lebar dari sebelumnya.
Mas Sandy pun bangkit dan membuka kimononya. Dengan jantung berdebar, aku menunggu dengan penuh harapan. Sepintas kulihat, penisnya sudah maksimal, tegak hampir menempel ke perutnya. Saat Mas Sandy pelan-pelan kembali menindihku, aku menyambut tubuhnya dengan semakin membuka pahaku, rasanya tidak sabar vaginaku menunggu masuknya penis besar itu. Aku pejamkan mata. Mas Sandy mulai mendekapku sambil terus mencium bibirku, kurasakan kepala penisnya yang besar itu mulai menyentuh bibir kemaluanku. Sebentar diusap-usapkan dan digesek ke bibir vaginaku, lalu perlahan-lahan aku mulai merasakan bibir vaginaku terdesak menyamping. Terdesak oleh benda besar itu. Kini benar-benar kurasakan penuh dan sesak lubang vaginaku dimasuki penisnya. Aku menahan napas, merasakan kenikmatan luar biasa. Mili per mili, centi per centi, penisnya perlahan terus masuk, menghunus ke dalam lubang vaginaku.
“Oooocchhh …” Aku mendesah tertahan karena rasa yang luar biasa nikmatnya. Terus dan terus, akhirnya ujung penis itu menyentuh bagian terdalam vaginaku.
Kurapatkan pahaku secara refleks ketika Mas Sandy mengangkat tubuhnya, menopang pada kedua tangannya lalu mulai mendorong pinggulnya naik-turun, memompa vaginaku. Namun, ternyata batang penisnya masih belum masuk seluruhnya di dalam lubang vaginaku. Setelah beberapa kali dia memompa vaginaku dalam posisi seperti sekarang, aku tarik tubuhnya merapat ke tubuhku dan kedua kakiku menekan pinggulnya, menahannya.
Mas Sandy terus menggerakkan pinggulnya, memompa vaginaku. Mataku terpejam sesaat saat dia membenamkan seluruh batang penisnya ke dalam lubang vaginaku. Aku menciumi seluruh wajahnya, lehernya, dan telinganya. Dia pun melakukan hal yang sama, menciumi seluruh wajahku, leherku, dan telingaku, lalu dia menekuk tubuhnya untuk mengulum buah dadaku.
“Ooohh Mas … Aaahh… Aaahh.. Enak Mas … Terus genjot… Lebih cepat Mas …” erangku penuh kenikmatan.
Dia terus menggenjot vaginaku dan memainkan buah dadaku. Setelah sekitar sepuluh menit, Mas Sandy berdiri dan membalikkan tubuhku hingga aku menungging di atas kasur. Perlahan, dia memasukkan penisnya ke dalam vaginaku. Dia terus menggerakkan pinggulnya, menggenjot vaginaku dengan tempo yang semakin cepat lalu melambat, berulang kali. Kedua tangannya meremas dan memainkan buah dadaku sepanjang aktivitas itu.
“Ooccchhhh… Ya… Aaaccchhhh… Terus Mas… Oocchhh…” desahku.
Tubuhku terhentak dengan setiap hentakan penis miliknya. Aku membenamkan wajahku dalam bantal, menggigitnya untuk menahan kenikmatan yang luar biasa. Tubuhku terasa begitu nikmat saat dimasuki penisnya seperti ini. Kepalaku semakin tenggelam ke bantal. Aku merasakan penis Mas Sandy bergerak sangat liar, seakan ingin menghancurkan vaginaku. Semua itu begitu menyiksaku dalam kenikmatan. Perutku kencang dan pinggulnya menegang, namun Mas Sandy tidak menurunkan kecepatannya. Aku mengerang penuh nikmat saat kehangatan menjalar di seluruh tubuhku, berakhir keluar di titik lubang kecil yang menyemprotkan cairan dari dalam tubuhku. Aku mendesah keras. Seluruh tangan dan kakiku mengejang. Punggungku melengkung sempurna dan tertarik ke belakang. Di gelombang orgasme, pantatku menusuk ke udara, menyemprotkan guyuran kecil.
“Aaaaaaaccchhh Maaassss … Keluaaaaarrrrr …!!!” Aku tak lagi bisa menahan heritanku.
Kenikmatan dan keanehan yang tak terlukiskan meledak dalam diriku, hanya dalam waktu singkat rasa nikmat itu membuatku semakin tak tertahan. Mas Sandy menyadari bahwa aku semakin tenggelam dalam sensasi ini. Oleh karena itu, dia semakin gencar menghentakkan tubuhku, memompa penisnya, hingga akhirnya aku kembali orgasme. Cairan wanitaku menyembur memenuhi rongga vaginaku yang dipenuhi oleh penisnya yang besar miliknya.
Mas Sandy tidak memberiku jeda untuk beristirahat. Dia kemudian membalikkan tubuhku hingga terlentang di atas kasur. Ia menekuk kedua kakiku lalu kembali menusukkan penisnya yang kokoh dan besar ke dalam vaginaku. Aku mendesah sambil memejamkan mata, menikmati penisnya yang langsung menghujam vaginaku yang terasa begitu sensitif. Dengan tusukan penis Mas Sandy yang sangat kuat dan stimulasi klitorisku, aku menggelepar dan tubuhku mengejang. Tanganku mencengkeram erat apa saja yang ada di sekitar. Vaginaku terus menegang, berdenyut, dan mencengkeram erat penisnya yang keluar masuk dalam lubang vaginaku. Ini benar-benar kenikmatan.
“Aaaahh … Aaaahh … Aaaahh … Aaaahh …” Aku berteriak, mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong energi di bawah sana.
Tiba-tiba Mas Sandy menindihku, dadanya menghimpit payudaraku. Mas Sandy terus menggerakkan penisnya di dalam vaginaku, dan dia terus menggenjot vaginaku dengan cepat dan keras. Bibirnya melumat bibirku kuat dan diteruskan ke leher serta tangannya meremas-remas buah dadaku lebih kuat. Tak ayal, birahiku naik lagi dengan cepat. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Mas Sandy saat ini, tetapi yang jelas dia tidak kehilangan stamina sama sekali. Gerakannya semakin cepat dan kasar, namun justru membuatku semakin bergairah.
“Ooccchhhh… Mas… Enek Mas… Aaaccchhhh…” erangku sambil mengejang hebat membusungkan dada dan sekali lagi aku mencapai orgasme, yang hanya selang beberapa menit, dan kembali aku berteriak lebih keras lagi.
Mas Sandy terus memompakan penisnya dan kali ini dia ikut menggelepar, wajahnya menengadah. Satu tangannya mencengkeram lenganku sementara tangannya yang lain menekan dan meremas buah dadaku. Aku makin meronta-ronta tak karuan. Puncak kenikmatan diikuti semburan sperma yang kuat di dalam vaginaku, menyembur berulang kali, terasa banyak sekali cairan kental dan hangat menyembur dan memenuhi vaginaku, seolah menyembur seperti air yang memancar kuat. Setelah selesai, Mas Sandy memiringkan tubuhnya dan tangannya tetap meremas lembut buah dadaku sambil mencium wajahku. Aku menikmati perlakuannya, kadang lembut dan halus, kadang liar dan sedikit kasar.
“Kamu sungguh menggairahkan, Asti … Aku rasanya sudah lupa, kapan aku begitu bersemangat bercinta sebelum malam ini bersamamu,” ujar Mas Sandy sambil tersenyum dengan usapan tangannya di keningku.
“Hi hi hi … Karena Mas terbawa suasana hati. Aku tahu, Mas ingin melampiaskannya dan kebetulan aku yang menjadi pasangan Mas malam ini,” kataku senang.
“Malam ini… entah kenapa rasanya berat. Mungkin kamu bisa merasakannya, mungkin aku memang terlalu terbawa suasana hati,” Mas Sandy berhenti sejenak, seperti mencari kata-kata yang tepat. “Aku merasa seperti kehilangan Siska… Dia bukan lagi seperti dulu.”
Aku menatapnya, menunggu ia melanjutkan dengan sabar, memahami bahwa ia ingin berbagi, meluapkan apa yang tersimpan di hatinya.
“Sejujurnya… rasanya seperti ada jarak yang terus tumbuh di antara kami. Siska mulai menjauh, sibuk dengan dunianya, dan aku… aku merasa tersisih. Mungkin karena itu aku merasa begitu nyaman di sini, bersama kamu malam ini. Setidaknya, ada seseorang yang masih mau mendengarkan aku, yang peduli,” ucapnya dengan senyum tipis, yang mengisyaratkan rasa kesepian.
Aku menggenggam tangannya dengan lembut, mencoba memberinya sedikit penghiburan. “Mas… aku di sini untuk Mas. Aku senang kalau bisa jadi tempat Mas mencurahkan isi hati.”
Mas Sandy membalas genggamanku, lalu menatapku dengan mata yang kini terlihat sedikit lebih tenang, meskipun kesedihan masih jelas tergambar. “Terima kasih, Asti. Kadang, rasanya aku hanya butuh tempat untuk merasa dihargai… untuk merasa dibutuhkan lagi. Mungkin itu sebabnya malam ini terasa berbeda.”
Aku menggenggam tangannya lebih erat, berusaha menghadirkan kehangatan yang ia butuhkan malam ini. “Mas… sudahlah, lupakan saja Siska, ya? Setidaknya untuk malam ini saja,” bisikku pelan, nada suaraku penuh harap. “Biarkan aku yang ada di sini menemani Mas. Biarkan semua beban itu hilang, biarkan aku yang membantu Mas merasa lebih baik, setidaknya malam ini.” Kusentuhkan jemariku perlahan di pundaknya, memberi tekanan lembut yang kubayangkan bisa mengendurkan sedikit ketegangan di tubuhnya. “Kita ulangi lagi ya, Mas… dari awal, seperti tadi. Aku di sini, dan aku ingin Mas bisa benar-benar menikmati ini, tanpa perlu mengingat yang lain.”
Malam ini begitu sunyi, hanya ada deru napas kami yang bersatu dalam irama yang tak terucap. Tanpa kata, aku merasakan getaran di setiap sentuhan Mas Sandy, lembut namun penuh gairah. Dalam setiap desahan yang terlepas, ada pelukan yang lebih dalam, ada rasa yang menyatu, yang tak bisa diungkapkan selain melalui sentuhan dan kehadiran.
Persetubuhan ini menghubungkan kami lebih dalam. Tidak ada yang terburu-buru, karena malam ini adalah milik kami. Semua yang kami rasakan, keinginan, gairah, kasih, membentuk satu cerita yang hanya kami berdua yang memahami. Dan ketika semuanya selesai, ketika napas kami teratur kembali, aku tahu bahwa kami telah saling memberi lebih dari sekadar seks. Kami memberi satu sama lain kenyamanan dan kedekatan yang tak terucapkan.
Bersambung…