Rahasia Pertemuan Singkat Teh Ine

Mbak Ine adalah seorang perempuan Sunda yang ramah. Wajahnya lumayan cantik, kulitnya berwarna hitam manis, badannya agak pendek dan bertubuh montok. Ukuran buah d*d*nya besar. Jauh lebih besar dari Tata dan senantiasa berdandan agak menor.

Wanita yang berumur hampir 40 tahun itu mengaku belum pernah menikah karena merasa bahwa tak ada laki-laki yang bisa cocok dengan sifatnya yang avonturir. Saat ini ia bekerja secara freelance di sebuah stasiun televisi sebagai penulis naskah.

Kemampuan bergaulku dan keramahannya membuat kami cepat sekali akrab. Lagi-lagi, kamarku itu kini menjadi markas curhatnya Mbak Ine.
“Panggil saya teh Ine aja deh..”, katanya suatu kali dengan logat Bandungnya yang kental.

“Kalau gitu panggil saya Rafi aja ya teh.., ngga usah pake pak pak-an segala..”, balasku sambil tertawa.
Baru 5 hari kami bergaul, namun sepertinya kami sudah lama saling mengenal. Kami seperti dua orang yang kasmaran, saling memperhatikan dan saling bersimpati.

Persis seperti cinta monyet ketika kita remaja. Saat itu seperti biasa, kami sedang ngobrol santai dari hati ke hati sambil duduk di atas ranjangku. Aku memakai baju kaos dan celana pendek yang ketat sehingga tanpa kusadari tekstur pen*s dan testisku tercetak dengan jelas.

Bila kuperhatikan, beberapa kali tampak teh Ine mencuri-curi melirik selangk*nganku yang dengan mudah dilihatnya karena aku duduk bersila. Aku sengaja membiarkan keadaan itu berlangsung. Malah kadang-kadang dengan sengaja aku meluruskan kedua kakiku dengan posisi agak meng*ngk*ng sehingga cetakan pen*sku makin nyata saja di celanaku.

Sesekali, ditengah obrolan santai itu, tampak teh Ine melirik selangk*nganku yang diikuti dengan nafasnya yang tertahan. Kenapa aku melakukan hal ini? Karena libidoku yang luar biasa, aku jadi tertantang untuk bisa meniduri teh Ine yang aku yakini sudah tak per*wan lagi karena sifatnya yang avonturir itu.

Dan lagi, dari sifatnya yang ramah, ceria, cerewet dan petualang itu, aku yakin di balik tubuh montok perempuan setengah baya tersimpan potensi libido yang tak kalah besar dengan Tata. Juga, gayanya dalam bergaul yang mudah bersentuhan dan saling memegang lengan sering membuat darahku berdesir.

Apalagi kalau aku sedang dalam keadaan lib*do tinggi. Saat ini, teh Ine mengenakan daster berwarna putih tipis sehingga tampak kontras dengan warna kulitnya yang hitam manis itu. Belahan buah d*d*nya yang besar itu menyembul di balik lingkaran leher yang berpotongan rendah di bagian d*d*.

Dasternya sendiri berpola terusan hingga sebatas lutut sehingga ketika duduk, p*hanya yang montok itu terlihat dengan jelas. Aku selalu berusaha untuk bisa mengintip sesuatu yang terletak di antara kedua p*ha teh Ine.

Namun karena posisi duduknya yang selalu sopan, aku tak dapat melihat apa-apa. Bukan main! Ternyata seorang wanita berusia 40-an masih mempunyai daya tarik s*xual yang tinggi. Terus terang, baru kali ini aku berani berfantasi mengenai hubungan s*ks dengan teh Ine.

Sementara ia bercerita tentang masa mudanya, pikiranku malah melayang dan membayangkan tubuh teh Ine sedang duduk di hadapanku tanpa selembar benangpun. Alangkah mengga*rahkannya. Aku seperti bisa melihat dengan jelas seluruh lekuk tubuhnya yang mulus tanpa cacat.

Tanpa sadar, pen*sku menegang dan cairan madzi di ujungnya pun mulai keluar. Celanaku tampak basah di ujung pen*sku, dan cetakan pen*s serta testisku semakin jelas saja tercetak di selangkangan celanaku. Membesarnya pen*sku ternyata tak lepas dari perhatian teh Ine.

Tampak jelas terlihat matanya terbelalak melihat ukuran pen*sku yang membesar dan tercetak jelas di celana pendekku. Obrolan kami mend*d*k terhenti karena beberapa saat teh Ine masih terpaku pada selangk*nganku.
“Kunaon teh..?”, tanyaku memancing.
“Eh.., enteu.., kamu teh mikirin apa sih?”, katanya sambil tersenyum simpul.
“Mikirin teh Ine teh.., entah kenapa barusan saya membayangkan teh Ine nggak pakai apa-apa.., aduh indahnya teh..”, tiba-tiba saja jawaban itu meluncur dari mulutku.

Aku sendiri terkejut dengan jawabanku yang sangat terus terang itu dan sempat membuatku terpaku memandang wajah teh Ine. Wajah teh Ine tampak memerah mendengar jawabanku itu. Napasnya mend*d*k memburu. Tiba-tiba teh Ine bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu.

Ia menutup pintu kamarku dan menguncinya. Leherku tercekat, dan kurasakan jantungku berdegup semakin kencang. Dengan tersenyum dan sorot mata nakal ia menghampiriku dan duduk tepat di hadapan selangk*nganku.
Aku memang sedang dalam posisi selonjor dengan kedua kaki meng*ngkang. “Fi, kamu pingin sama teteh..? Hmm?”, d*sahnya seraya meraba pen*s tegangku dari luar celana. Aku menelan l*dah sambil mengangguk perlahan dan tersenyum.

Entah mengapa, aku jadi gugup sekali melihat wajah teh Ine yang semakin mendekat ke wajahku. Tanpa sadar aku menyandarkan punggungku ke tembok di ujung ranjang dan teh Ine menggeser duduknya mendekatiku sambil tetap menekan dan membelai selangk*nganku.

Nafas teh Ine yang semakin cepat terasa benar semakin menerpa hidung dan bibirku. Rasa nikmat dari belaian jemari teh Ine di selangk*nganku semakin terasa keujung syaraf-syarafku. Napasku mulai memburu dan tanpa sadar mulutku mulai mengeluarkan suara erangan-erangan.

Dengan lembut teh Ine menempelkan bibirnya di atas bibirku. Ia memulainya dengan mengecup ringan, menggigit bibir bawahku, dan tiba-tiba.., l*dahnya memasuki mulutku dan berputar-putar di dalamnya dengan cepat.

Langit-langit mulutku serasa geli disapu oleh l*dah panjang milik perempuan setengah baya yang sangat mengga*rahkan itu. Aku mulai membalas c*uman, gigitan, dan k*luman teh Ine. Sambil berc*uman, tangan kananku kuletakkan di buah d*d* kiri teh Ine.

Uh.., alangkah besarnya.., walaupun masih ditutupi oleh daster, keempukan dan kekenyalannya sudah sangat terasa di telapak tanganku. Dengan cepat kuremas-remas buah d*d* teh Ine itu, “Emph.., emph..”, r*ntihnya sambil terus meng*lum l*dahku dan menggosok-gosok selangk*nganku.

Mend*d*k teh Ine menghentikan c*umannya. Ia menahan tanganku yang tengah meremas buah d*d*nya dan berkata, “Fi, sekarang kamu diam dulu yah.., biar teteh yang duluan..”. Tiba-tiba dengan cepat teh Ine menarik celana pendekku sekalian dengan cel*na d*lamku.

Saking cepatnya, pen*sku yang menegang melejit keluar. Sejenak teh Ine tertegun menatap pen*sku yang berdiri tegak laksana tugu monas itu. “Gusti Rafi.., ageung pisan..”, bisiknya lirih.

Dengan cepat teh Ine menundukkan kepalanya, dan seketika tubuhku terasa dialiri oleh aliran listrik yang mengalir cepat ketika mulut teh Ine hampir menelan seluruh pen*sku. Terasa ujung pen*sku itu menyentuh langit-langit belakang mulut teh Ine.

Dengan sigap teh Ine memegang pen*sku sementara l*dahnya memelintir bagian bawahnya. Kepala teh Ine naik turun dengan cepat mengiringi pegangan tangannya dan puntiran l*dahnya. Aku benar-benar merasa melayang di udara ketika teh Ine memperkuat h*sapannya.

Aku melirik ke arah kaca riasku, dan di sana tampak diriku terduduk meng*ngkang sementara teh Ine dengan dasternya yang masih saja rapi merunduk di selangk*nganku dan kepalanya bergerak naik turun. Suara *sapan, j*latan dan kecupan bibir perempuan montok itu terdengar dengan jelas.

Kenikmatan ini semakin menjadi-jadi ketika kurasakan teh Ine mulai meremas-remas kedua bola test*sku secara bergantian. Perutku serasa mulas dan urat-urat di pen*sku serasa hendak putus karena tegangnya.

Teh Ine tampak semakin buas mengh*sapi pen*sku seperti seseorang yang kehausan di padang pasir menemukan air yang segar. Jari-jemarinyapun semakin liar mempermainkan kedua test*sku. “Slurrp.., Cuph.., Mphh..”. Suara kecupan-kecupan di pen*sku semakin keras saja. n*fsuku sudah naik ke kepala.

Aku berontak untuk berusaha meremas kedua buah d*d* montok dan besar milik wanita lajang berusia setengah baya itu, namun tangan teh Ine dengan kuat menghalangi tubuhku dan iapun semakin gila mengh*sapi dan menj*lati pen*sku. Aku mulai bergelinjang-gelinjang tak karuan.

“Teh Ine.., teeeh, gantian dongg.., please.., saya udah ngga kuaat, aahh.., sss..”, erangku seakan memohon. Namun permintaanku tak digubrisnya. Kedua tangan dan mulutnya semakin cepat saja mengoc*k pen*sku.

Terasa seluruh syaraf-syarafku semakin menegang dan menegang, degup jantungku berdetak semakin kencang.. napaskupun makin memburu. “Oohh…, Teh Ine.., Teh Ineee…, aahh.”, Aku berteriak sambil mengangkat pinggulku tinggi-tinggi dan,

“Crat.., craat.., craat”, aku memuncratkan sp*rmaku di dalam mulut teh Ine. Dengan sigap pula teh Ine menelan dan menj*lati sp*rmaku seperti seorang yang menj*lati es krim dengan nikmatnya. Setiap j*latan teh Ine terasa seperti setruman-setruman kecil di pen*sku.

Aku benar-benar menikmati permainan ini.., luar biasa teh Ine, “Enak Fi..? Hmm?”, teh Ine mengangkat kepalanya dari selangk*nganku dan menatapku dengan senyum manisnya, tampak di seputar mulutnya banyak menempel bekas-bekas sp*rmaku.

“Fuhh nikmatnya sp*rma kamu Fi..” Bisiknya mesra seraya menj*lat sisa-sisa sp*rmaku di bibirnya. “Obat awet muda ya teh..”, kataku bercanda. “Yaa gitulah…, Antonsan sekedap nya? Biar teteh ambilkan minum buat kamu”.

Oh my God.., benar-benar seorang wanita yang penuh pengabdian, dia belum mengalami org*sme apa-apa tapi perhatiannya pada pasangan lelakinya luar biasa besar, sungguh pasangan s*ks yang ideal! Kenyataan itu saja membuat rasa simpati dan b*rahiku pada teh Ine kembali bergejolak.

Teh Ine kembali dari luar membawa segelas air.
“Minum deh.., biar kamu segeran..”.
“Nuhun teh.., tapi janji ya abis ini giliran saya muasin teteh..”.

Aku meneguk habis air dingin buatan teh Ine dan saat itu pula aku merasakan kejant*nanku kembali. B*rahiku kembali bergejolak melihat tubuh montok teh Ine yang ada di hadapanku. Aku meraih tangan teh Ine dan dengan sekali betot kubaringkan tubuhnya yang molek itu di atas ranjang.

“Eeehh.., pelan-pelan Fi..”, teriak teh Ine dengan geli. “Teteh mau diapain sih “, lanjutnya manja. Tanpa menjawab, aku menindih tubuh montok itu, dan sekejap kurasakan nikmatnya buah d*d* besar itu tergencet oleh d*d*ku.

Juga, syaraf-syaraf sekitar pinggulku merasakan nikmatnya pen*sku yang menempel dengan gundukan v*ginanya walaupun masih ditutupi oleh daster dan c*lana d”lamnya. Kupandangi wajah teh Ine yang bundar dan manis itu.

Kalau diperhatikan, memang sudah terdapat kerut-kerut kecil di daerah mata dan keningnya. Tapi peduli setan! Teh Ine adalah seorang wanita setengah baya yang paling mengga*rahkan yang pernah kulihat. Pancaran aura s*xualnya sungguh kuat menerangi sanubari lelaki yang memandangnya.

“Teteh mau tau apa yang ingin saya lakukan terhadap teteh?”, Kataku sambil tersenyum. “Saya akan memperk*sa teteh sampai teteh ketagihan”. Lalu dengan ganas, aku memulai menc*umi bibir dan leher teh Ine. Teh Inepun dengan tak kalah ganasnya membalas c*uman-c*umanku.

Keganasan kami berdua membuat suasana kamarku menjadi riuh oleh suara-suara kecupan dan r*ntihan-r*ntihan erotis. Dengan tak sabar aku menarik ritsluiting daster teh Ine, kulucuti dasternya, B*-nya, dan yang terakhir.., cel*na d*lamnya.

Wow.., sebuah gundukan daging tanpa bulu sama sekali terlihat sangat menantang terletak di selangk*ngan teh Ine. My God.., alangkah indahnya v*gina teh Ine itu.., tak pernah kubayangkan bahwa ia mencukur habis bulu kem*luannya.

“Kamu juga buka semua dong Fi”, rengeknya sambil menarik baju kaosku ke atas. Dalam sekejap, kami berdua berdua berpelukan dan berc*uman dengan penuh n*fsu dalam keadaan b*gil! Sambil menindih tubuhnya yang montok itu,

Bibirku menyelusuri lekuk tubuh teh Ine mulai dari bibir, kemudian turun ke leher, kemudian turun lagi ke d*d*, dan terus ke arah p*ting s*s* kirinya yang berwarna coklat kemerah-merahan itu. Alangkah kerasnya p*ting susunya, alangkah lancipnnya.., dan mmhh..,

Seketika itu juga kuk*lum, kuh*sap dan kuj*lat p*ting kenyal itu.., karena gemasnya, sesekali kugigit juga p*ting itu. “Auuhh.., Fi.., gellii.., sss.., ahh”, r*ntihnya ketika gigitanku agak kukeraskan.

Badan montoknya mulai mengelinjang-gelinjang ke sana k emari.., dan mukanya menggeleng-geleng ke kiri dan ke kanan. Sambil mengh*sap, tangan kananku merayap turun ke selangk*ngannya. Dengan mudah kudapati v*ginanya yang besar dan sudah sangat becek sekali.

Akupun dengan sigap memain-mainkan jari tanganku di pintu v*ginanya. “Crks.., crks.., crks”, terdengar suara becek v*gina teh Ine yang berwarna lebih putih dari kulit sekitarnya. Ketika jariku mengenai gundukan kecil daging yang mirip dengan sebutir kacang,

Ketika itu pula wanita setengah baya itu menjerit kecil. “Ahh.., geli Fi.., gelli”, Putaran jariku di atas cl*toris teh Ine dan h*sapanku pada kedua p*ting buah d*d*nya makin membuat lajang montok berkulit hitam manis itu semakin bergelinjang dengan liar.

“Fi.., masukin sekarang Fi.., sekarang.., please.., teteh udah nggak tahan..ahh..”. Kulihat wajah teh Ine sudah meringis seperti orang kesakitan. Ringisan itu untuk menahan gejolak org*smenya yang sudah hampir mencapai puncaknya.

Dengan sigap kuarahkan pen*sku ke v*gina montok milik teh Ine.., kutempelkan kepala pen*sku yang besar tepat di bawah cl*torisnya, kuputar-putarkan sejenak dan teh Ine meresponnya dengan mengangk*ngkan p*hanya selebar-lebarnya untuk memberi kemudahan bagiku untuk melakukan pen*trasi..,

Saat itu pula kusodokkan pant*tku sekuat-kuatnya dan, “Blesss”, masuk semuanya! “Aahh.” Teh Ine menjerit panjang.., “Besar betul Fi.., auhh., besar betuull…, duh gusti enaknya.., aahh..”. Dengan penuh keganasan kupompa pen*sku keluar masuk v*gina teh Ine.

Dan iapun dengan liarnya memutar-mutar pinggulnya di bawah tindihanku. Astaga.., benar-benar pengalaman yang luar biasa! Bahkan keliaran teh Ine melebihi ganasnya Mbak Tata.., luar biasa! Kedua tubuh kami sudah sangat basah oleh keringat yang bercampur liur.

Kasurkupun sudah basah di mana-mana oleh cairan m*ni maupun lendir yang meleleh dari v*gina teh Ine, namun entah kekuatan apa yang ada pada diri kami…, kami masih saling memompa, mer*ntih, melenguh, dan mengerang.
Bunyi ranjangkupun sudah tak karuan.., “Kriet.., kriet.., krieeet”, sesuai irama goyangan pinggul kami berdua. pen*sku yang besar itu masih dengan buasnya menggesek-gesek v*gina teh Ine yang terasa sempit namun becek itu.

Setelah lebih dari 15 menit kami saling memompa, tiba-tiba kurasakan seluruh tubuh teh Ine menegang.
“Fi.., Fi.., Teteh mau keluar..”.
“Iya teh, saya juga.., kita keluar sama-sama teh”,

Goyanganku semakin kupercepat dan pada saat yang bersamaan kami berdua saling berc*uman sambil berpelukan erat.., aku menancapkan pen*sku dalam-dalam dan teh Ine mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi…,

“Crat.., crat.., crat.., crat”, kami berdua mengerang dengan keras sambil menikmati tercapainya org*sme pada saat yang bersamaan. Kami sudah tak peduli bila seisi rumah akan mendengarkan jeritan-jeritan kami,

Karena aku yakin teh Inepun tak pernah merasakan kenikmatan yang luar biasa ini sepanjang hidupnnya. “Ahh.., Fi.., kamu hebaat.., kamu hebaathh.., hh.., Teteh ngga pernah ngerasain kenikmatan seperti ini”. “Saya juga teh.., terima kasih untuk kenikmatan ini..”, Kataku seraya mengecup kening teh Ine dengan mesra.

“Mau tau suatu rahasia Fi?”, tanyanya sambil membelai rambutku, “Teteh sudah lima tahun tidak bersentuhan dengan laki-laki.., tapi entah kenapa, dalam 5 hari bergaul dengan kamu.., teteh tidak bisa menahan gejolak b*rahi teteh..,

Ngga tau kenapa.., kamu itu punya aura s*ks yang luar biasa..”. Teh Ine bangkit dari ranjangku dan mengambil sesuatu dari kAntonng dasternya. Sebutir pil KB. “Seperti punya fitasat, teteh sudah minum pil ini sejak 3 hari yang lalu..”, katanya tersenyum,

“Dan akan teteh minum selama teteh ada di sini..”, Teh Ine mengerdipkan matanya padaku dengan manja sambil memakai dasternya. “Selamat tidur sayang”, Teh Ine melangkah keluar dari kamarku. Teh Ine memang luar biasa.