RAHASIA ISTRI PENJUAL JAMU part3~

Pagi itu terasa sangat panas. Aku berdiri di dapur, meracik jamu untuk dijual. Aroma rempah menguar, mencampur dengan bau nasi goreng yang sudah aku buat. Saat itu, pintu dapur terbuka, dan Mas Tio masuk. Dia memandang sarapan di meja dengan ekspresi datar, tanpa senyuman.

“Nasi goreng dan ceplok telur lagi?” ujarnya dengan nada sinis. “Kenapa tidak ada variasi lain? Aku bosan dengan sarapan ini.”

“Mas, aku tidak punya banyak waktu untuk membuat sarapan yang aneh-aneh. Aku harus bangun jam tiga subuh, pergi ke pasar, dan meracik jamu sampai siang. Tolong maklum dengan kesibukanku,” balasku, suaraku lebih tegas.

“Kalau begitu, harusnya kamu ganti profesi saja. Waktu banyak terbuang, tapi penghasilan tidak seberapa. Ini pekerjaan yang tidak jelas,” jawab Mas Tio, suaranya dingin.

“Kalau gitu, mending kamu ganti profesi saja. Kerja di kantor, waktu terbuang banyak, tapi penghasilan juga nggak seberapa. Itu juga kerjaan yang nggak jelas!” balasku, nada suaraku penuh penekanan.

“Jadi, kamu pikir pekerjaan aku lebih mudah? Kamu tidak tahu betapa kerasnya aku bekerja! Jangan sekali-sekali meremehkan apa yang aku lakukan!” teriak Mas Tio penuh kemarahan.

Aku terdiam sambil tersenyum sinis. Senyuman ini hanya untuk diriku sendiri; tidak ada gunanya berurusan dengan suami yang tak berguna itu. Untung saja dia tidak melihat ekspresiku karena aku membelakanginya. Tak lama, suara keras menggema di rumah. Pintu depan dibanting kasar, menunjukkan kemarahan Mas Tio yang tak ada artinya bagiku. Suara itu mengguncang dinding rumah, tetapi aku sama sekali tidak merasa terpengaruh. Jadi, Mas Tio pergi tanpa menyentuh sarapannya. Nasi goreng dan ceplok telur yang aku buat teronggok begitu saja di meja. Itu hanya simbol dari semua yang tidak terpenuhi dalam pernikahan ini, dan sekarang aku sudah tidak peduli. Dengan tenang, aku menghela napas, membiarkan keheningan mengisi ruangan, menyisakan suasana rumah tanggaku yang lebih hampa dari sebelumnya.

Ketidakpedulian ini datang dari hubunganku dengan Mas Sandy yang semakin mesra. Dalam seminggu terakhir, kami berbagi cerita, tawa, dan sentuhan yang membangkitkan gairah. Aku mulai membalas ciumannya. Tangannya menjelajahi tubuhku, membelai payudaraku. Setiap sentuhan itu membuatku merasa hidup. Semua yang ada pada diri Mas Sandy memberiku kebahagiaan yang tidak pernah aku peroleh dari Mas Tio. Mas Sandy membuatku merasa diperhatikan. Rasa nyaman itu mengisi kekosongan di hatiku. Dia tahu cara membuatku merasa berarti.

Saat aku sedang meracik jamu di depan kompor, wajah Mas Sandy terbayang jelas di pikiranku. Tiba-tiba, tubuhku terangsang hebat. Bayangan hubungan intim bersamanya melintas. Aku membayangkan kehangatan tubuhnya, tatapannya, dan semua itu membuatku berdebar. Jantungku berdegup cepat. Tak pernah aku merasakan hal ini sebelumnya. Aku menutup mata sejenak, membayangkan apa yang bisa terjadi jika kami melangkah lebih jauh. Rasa ingin itu meluap, sulit kutahan. Keinginan terlarang ini menyelimuti pikiranku.

Aku menyelesaikan pekerjaanku meracik jamu. Semua bahan telah kuukur dan kuaduk dengan baik. Aku menuangkan jamu ke dalam botol kaca dan kendi satu per satu, memastikan setiap botol dan kendi terisi penuh. Tak lama suara tetesan jamu terakhir menggema di dapur. Setelah selesai, aku melangkah menuju kamar mandi. Aku mengisi bak mandi dengan air dingin, lalu melangkah ke dalamnya. Dingin air menyentuh kulitku, memberi kesegaran yang sangat dibutuhkan setelah bekerja. Setelah mandi, aku mengenakan daster tipis yang nyaman, membuatku merasa lebih rileks. Kini saatnya beristirahat. Aku berbaring di tempat tidur, menutup mata, dan membayangkan hubungan intim dengan Mas Sandy, menggugah keinginan yang semakin membara dalam diriku.

Aku baru beberapa detik memejamkan mata ketika ponselku berbunyi. Suara nada dering memecah suasana. Aku membuka mata dan melihat ponselku tergeletak di meja kecil samping tempat tidur. Ketika melihat nama Mas Sandy muncul di layar, hatiku berdegup kencang. Rasa terkejut dan senang bercampur aduk. Segera, aku meraih ponsel itu dengan cepat dan menyambungkan telepon.

“Hallo …” Suara Mas Sandy terdengar di telingaku, membuatku tersenyum.

“Hai, Mas Sandy!” jawabku, merasa bersemangat.

“Aku sudah ada di depan rumahmu,” kata Mas Sandy dengan nada yang serius.

“Serius?!” aku terkejut. Tanpa membuang waktu, aku segera turun dari tempat tidur dan bergegas menuju pintu depan.

“Ya, aku di luar,” ucapnya lagi.

Saat aku membuka pintu, mataku langsung tertuju pada mobil Mas Sandy yang terparkir di pinggir jalan depan rumahku. Jantungku berdebar. Kebahagiaan mengalir dalam diriku. “Aku lihat mobilmu!” teriakku sambil tersenyum lebar.

“Baguslah, berarti aku tidak salah alamat,” jawabnya sambil tertawa kecil.

Aku melihat Mas Sandy keluar dari mobilnya. Ia menutup pintu mobil dengan lembut dan melangkah menuju teras rumahku. Ia terlihat percaya diri dengan senyum yang tidak pernah pudar. Langkahnya mantap dan berenergi. Tak lama, Mas Sandy sudah berdiri di hadapanku. Aku merasakan jantungku berdegup kencang saat tatapan kami bertemu.

Mas Sandy tersenyum lebar sambil menatapku. “Asti, kamu cantik dan seksi sekali hari ini,” katanya, matanya meneliti penampilanku yang berdaster tipis. Aku pun merasa pipiku merona.

“Terima kasih, Mas,” balasku sambil tersenyum bahagia. Suara dan tatapan Mas Sandy membuatku merasa lebih percaya diri. “Ayo, Mas. Masuklah ke dalam rumah,” ajakku sambil melangkah ke arah pintu.

Aku mengajak Mas Sandy masuk ke dalam rumah. Dia mengikuti langkahku dengan senyum yang tak pernah pudar. Kami melangkah ke ruang tamu dan duduk di sofa yang nyaman. Suasana di ruangan itu terasa hangat, namun aku merasakan ada sensasi yang tidak bisa kuabaikan. Tatapan Mas Sandy penuh keinginan, seolah menelusuri setiap lekuk tubuhku yang terbalut daster tipis. Gairahku melonjak saat melihat tatapan nakal itu. Hatiku berdebar kencang, dan aku merasa gejolak di dalam diri semakin menguat.

“Mas Sandy, kenapa nggak kerja hari ini?” tanyaku sambil tersenyum kecil, meski dalam hati aku tahu jawabannya.

Mas Sandy menatapku dengan pandangan serius, tapi tetap lembut. “Aku nggak bisa konsen, Asti. Aku cuma kepikiran kamu. Pengen banget ketemu,” jawabnya jujur, suaranya pelan tapi terdengar penuh keinginan.

Aku tersipu mendengar ucapannya. Rasa malu bercampur senang memenuhi pikiranku. “Masak sampai segitunya, Mas?” balasku sambil tersenyum kecil. “Kok bisa-bisanya kepikiran aku terus?” Aku tahu pertanyaan itu hanya basa-basi, karena jauh di dalam, aku juga merasa senang dengan jawabannya.

“Kangen banget, Asti. Beneran,” katanya sambil terus menatapku. Tatapan itu tidak berubah, penuh dengan rasa yang sulit dijelaskan. Tatapan yang membuatku merasa terhanyut dalam suasana yang makin intim.

Aku tersenyum, mencoba mengalihkan rasa gugup yang tiba-tiba menyergap. “Mas Tio kangen kok nggak tahu waktu, sih?” ucapku bercanda. “Ini waktunya aku istirahat, loh, Mas.” Tapi dalam hati aku tahu, candaan itu lebih untuk menutupi perasaanku yang semakin bergejolak.

Mas Sandy tersenyum, kali ini senyumnya lebih nakal dari sebelumnya. “Kalau gitu, aku temani kamu istirahat,” jawabnya sambil bersandar sedikit lebih dekat ke arahku. Suaranya rendah, tapi terasa hangat.

Aku merasakan detak jantungku semakin cepat saat mendengar kata-kata Mas Sandy. “Temani aku istirahat?” tanyaku, sambil menatapnya dengan senyum yang penuh arti. Aku bisa merasakan suasana di antara kami semakin panas, meskipun masih penuh canda.

Aku bangkit dari sofa dan melangkah perlahan menuju kamar tidur, berhenti sejenak di depan pintu, lalu menoleh ke belakang. “Kalau benar mau temani aku istirahat, Mas… tempat tidurku ada di sini,” kataku pelan, namun sengaja menantang. Aku tahu apa yang sedang kulakukan, dan aku bisa melihat reaksi Mas Sandy yang semakin tergoda.

Tatapan Mas Sandy mengikuti gerakanku, dan aku tahu, godaanku mulai membuatnya sulit menahan diri. “Jadi, kamu mau aku benar-benar menemani?” tanya Mas Sandy dengan nada yang sedikit serak.

Aku tersenyum lagi, lebih lebar kali ini. “Ya, Mas. Kalau memang kangen, kenapa nggak sekalian aja nemenin sampai aku benar-benar istirahat?” Suaraku terdengar main-main, tapi aku tidak bisa menyembunyikan rasa bergejolak dalam diriku. Aku berdiri di depan pintu kamar, seakan menantangnya untuk mendekat.

Aku berjalan perlahan menuju kamar tidur, sesekali menoleh ke arah Mas Sandy yang masih duduk di sofa. Tanpa suara, dia bangkit dan mengikuti langkahku dengan pandangan yang semakin intens. Jarak di antara kami semakin dekat, meskipun tidak ada kata-kata yang terucap. Setiap langkah yang diambil terasa berat, penuh makna, dan membuat suasana semakin tegang.

Sampai di ambang pintu kamar, aku berhenti sejenak. Tubuhku seakan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tatapanku terarah ke kamar yang remang-remang, cahaya lampu dari luar menyorot masuk melalui jendela kecil. Tanpa menoleh, aku bisa merasakan kehadiran Mas Sandy di belakangku, napasnya yang teratur kini terdengar jelas di telingaku. Dia sudah sangat dekat.

Aku melangkah masuk ke dalam kamar. Mas Sandy mengikuti dengan langkah yang tenang. Pintu kamar perlahan tertutup di belakang kami. Mas Sandy berdiri di belakangku, begitu dekat hingga aku bisa merasakan hangat napasnya menyentuh tengkuk leherku. Tangannya perlahan naik, menyentuh pinggangku. Ada keheningan yang tegang di antara kami. Aku tidak bergerak, tapi bisa merasakan jantungku berdetak kencang, perasaan yang tak bisa aku kendalikan.

Perlahan, aku membalikkan tubuhku, hingga kami saling berhadapan. Tatapan matanya langsung menusuk ke dalam perasaanku. Aku melihat keinginannya jelas terpancar dari sana. Sejenak, aku terdiam, lalu tersenyum tipis. Tanganku terangkat, menyentuh dadanya. “Mas …” bisikku, sambil menggigit bibirku perlahan.

Mas Sandy tersenyum tipis, mendekatkan wajahnya ke arahku. “Aku gak bisa menahan diri,” ucapnya, suaranya terdengar berat dan dalam.

Aku menunduk, merasa pipiku memanas. “Kok sampai segitunya?” tanyaku, sambil sedikit menggodanya.

Dia hanya tersenyum, lalu tangannya kembali menyentuh pinggangku, menarikku lebih dekat. Aku tidak menolak. Napasnya semakin mendekat, dan saat itu juga, aku bisa merasakan bibirnya mendekat ke wajahku. Tanpa berpikir panjang, aku mendongakkan kepala dan, dalam hitungan detik, bibir kami bersentuhan.

Rasa hangat itu merayap di seluruh tubuhku. Ciuman itu lembut, tapi penuh perasaan. Aku merasakan tangannya menekan punggungku, dan perlahan, kami bergerak menuju tepi tempat tidur. Aku bisa merasakan sisi tempat tidur di belakang kakiku. Mas Sandy sedikit menunduk, memperdalam ciumannya, dan aku pun membiarkan tubuhku terhanyut.

Sambil berciuman tangan kami saling melucuti pakaian masing-masing. Setelah menyingkirkan pakaian kami ke lantai, kini hanya tinggal tubuh telanjang kami berdua yang saling bercumbu di atas ranjang saling menaikan gairah. Tangan-tangannya yang lembut tapi pasti menjelajahi setiap lekuk tubuhku, mengirimkan gelombang gairah yang perlahan menyebar. Setiap ciuman membuat darahku semakin berdesir, seakan setiap saraf dalam tubuhku hidup dan merasakan semua dengan lebih mendalam.

Tak lama kemudian saat vaginaku semakin banjir, aku mulai merasakan belahan vaginaku terkuak sedikit demi sedikit. Ada sebuah benda yang sedang berusaha menerobos masuk, agak sulit masuk karena liangku sempit, atau mungkin benda itu terlalu besar untuk ukuran liangku.

“Uhhhgghhhggg… hsshhhhshhh…” desahku.

Blessssshhhhhh …

“Aawwwwwwwwwhhhhh…!” pekikku merasakan agak perih dan nikmat secara bersamaan.

Benda besar panjang berurat itu masuk dengan paksa ke dalam vaginaku. Liang vaginaku terasa sangat penuh, tak ada celah sedikit pun yang ada, sesak, mentok. Mas Sandy mendiamkan penisnya. Wow! luar biasa sensasi nikmat yang ditimbulkan oleh penisnya yang berdenyut-denyut dalam liang vaginaku.

Dengan cepat otot-otot vaginaku beradaptasi dengan benda asing yang sedang menggeseknya. Reaksi baliknya adalah cairan pelumas yang mulai mengolesi penis Mas Sandy keluar dari dinding-dinding rahimku. Ada sedikit rasa asing dan aneh, dan tak pernah aku rasakan selama ini. Liang vaginaku seperti sedang berkontraksi dan penis yang diam tak bergerak itu seperti sedang mengaduk-aduk liangku, vaginaku seakan merespon sendiri denyutan itu tanpa perintah otakku. Ada seperti rasa yang tak bisa aku jelaskan, namun perlahan menciptakan getaran birahi yang sangat dahsyat, menjalar dari ujung kakiku menyebar ke seluruh tubuh.

Rasa perih berangsur hilang, berganti rasa nikmat yang tak bisa dilukiskan. Getaran yang semula kecil itu mulai berubah menjadi sebuah gelombang dahsyat yang menggetarkan seluruh tubuhku, lalu semburan cairan vaginaku keluar dengan dahsyatnya.

“Arrrgggghhhh…….” aku orgasme.

Apa? Aku orgasme? Iya aku orgasme. Dahsyat, nikmat luar biasa. Senikmat inikah penis Mas Sandy? Dan aku tak percaya, tanpa memompa sedikit pun bisa menghasilkan orgasme yang sangat luar biasa padaku? Apa yang terjadi?

Belum selesai aku menikmati orgasme pertamaku, Mas Sandy mulai memompa penisnya keluar masuk. Awalnya perlahan, lama kelamaan semakin cepat. Tubuhku bergoyang seiring hentakan paha dan penis Mas Sandy. Aku mendesah keras dan mengangkat wajahku ke atas karena tak sanggup menahan rasa nikmat yang berlebih. Batang besar milik Mas Sandy yang menyangkut di dalam vaginaku terasa semakin mengasikkan. Mas Sandy semakin erat memeluk tubuhku yang menggelepar dalam dekapannya.

Aku terus menjerit keenakan, meracau tak karuan, mengejan, teriak, terus begitu selama hampir dari satu jam kira-kira, hingga sebuah semprotan keras di liang vaginaku menyempurnakan kenikmatan dahsyat yang tengah aku alami. Mas Sandy mencapai klimaks setelah hampir dari satu jam menghajarku dengan penis gagahnya. Banyak dan lama cairan spermanya menyemprot. Mas Sandy mendiamkan penisya dalam vaginaku. Tubuhnya mengejan, namun tidak roboh di atas tubuhku. Dia masih saja dalam posisi menelungkupi tubuhku. Penis itu masih menancap sempurna dan masih keras. Tak ada sedikit pun cairan spermanya yang kurasa mengalir keluar dari belahan vaginaku, saking besarnya hingga tak ada celah sedikit pun untuk menjadi jalan keluar cairan spermanya. Sungguh permainan yang sangat luar biasa, dan aku yakin tak satu pun wanita diluar sana yang pernah merasakan kenikmatan orgasme seperti ini.

“Oohhh… Mas… Sekali lagi bikin aku lemas Mas… Bikin tulangku lepas dengan hentakanmu, penuhi memekku dengan spermamu….” ucapku menatap Mas Sandy dengan birahi.

Aku ingin lagi dan lagi. Kenikmatan langka ini tak boleh aku biarkan sedetik pun berhenti. Tak peduli persendianku yang terasa mau copot. Aku ingin dan ingin terus sepanjang hari. Dan Mas Sandy pun seakan tak pernah habis tenaganya terus melesakkan penisnya ke dalam vaginaku. Terus dan terus. Aku orgasme berulang kali, tak sempat kuhitung, lebih dari belasan kali kenikmatan itu menyerangku. Hingga sore hari menjelang barulah kami menghentikan kegiatan dan ritual yang maha nikmat itu.

Tubuhku terasa lemas setelah persetubuhan yang penuh gairah dengan Mas Sandy. Setiap bagian tubuhku seakan membara dengan kenikmatan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Pengalaman indah itu seolah menyatu dengan kenangan, terukir jelas di dalam ingatanku. Kenikmatan yang diberikan Mas Sandy takkan pernah terlupakan. Ia membuatku merasa dihargai dan diinginkan, jauh dari kesepian yang selama ini menyelimutiku. Aku tersenyum saat merasakan pelukannya yang hangat di sampingku. Dalam pelukan itu, aku menemukan kenyamanan dan kebahagiaan yang selama ini aku cari.

“Kamu sangat menggairahkan, Asti …” katanya, suaranya penuh kejujuran.

Mendengar pujian itu, aku tersenyum. “Mas Sandy pandai membahagiakan aku. Aku sangat menikmati semua ini.” Hatiku bergetar saat mengucapkan kata-kata itu. Rasanya semua beban dan keraguan yang selama ini menghimpit jiwaku perlahan-lahan lenyap.

Mas Sandy mengangguk, tampak serius. “Persetubuhan ini adalah yang terpanas yang pernah aku lakukan. Aku belum pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya.”

Aku tertegun. “Tapi Siska lebih cantik dan lebih seksi dariku. Aku tidak percaya kalau ini yang terpanas.”

“Percintaan dengan Siska memang lain,” jawabnya, suara itu terdengar mantap. “Semua itu dilandasi cinta dan kasih sayang. Sedangkan denganmu, kita hanya didorong oleh nafsu semata.”

Pernyataan Mas Sandy itu membuatku terkejut. Tentu saja kebingungan menyelip di hati. Semua yang terjadi di antara kami ini hanya dianggapnya sebagai pelampiasan nafsu? Aku berbaring di samping Mas Sandy, masih terkejut dengan pengakuannya. Rasa bingung itu membuatku ingin bertanya lebih lanjut.

“Aku tidak bisa mengerti, Mas,” kataku perlahan. “Bagaimana bisa hubungan kita hanya berdasarkan nafsu? Apakah kita tidak punya sesuatu yang lebih dari itu?”

Mas Sandy mengambil napas dalam, seolah ingin menyusun kata-kata dengan hati-hati. “Asti, aku mengerti perasaanmu. Persetubuhan ini sangat menggairahkan dan tidak bisa dipungkiri. Namun, aku harus jujur bahwa hubungan aku dan Siska juga berbeda. Aku dan Siska saling mencintai, dan itu memberi kami kedalaman yang berbeda.”

Aku terdiam, mencoba mencerna semuanya. Mungkin aku terlalu naif dalam memikirkan apa yang terjadi di antara kami. “Jadi, semua ini hanya sebuah pelampiasan? Tidak lebih dari itu?” tanyaku, suara bergetar karena rasa sakit yang mendalam.

“Bukan begitu, Asti. Aku merasa terhubung denganmu,” jawab Mas Sandy dengan serius. “Namun, hubungan ini juga didorong oleh hasrat dan ketertarikan yang mendalam. Dengan Siska, ada cinta yang melatarbelakangi segalanya.”

Kata-katanya membuatku terdiam lagi. Ada kebenaran dalam penjelasannya, tapi hatiku masih penasaran. “Mas, aku merasa seperti bayangan, Mas. Apakah aku hanya pelampiasan semata?” tanyaku, merasa semakin bingung.

Mas Sandy menatapku dengan serius. “Asti, aku paham perasaanmu. Kita memang memiliki hubungan yang berbeda. Ini bukan tentang menganggapmu sebagai pelampiasan. Kamu harus sadar, kita bebas mengekspresikan diri tanpa terikat oleh norma-norma yang mengikat. Kita saling menikmati satu sama lain, berbagi kenikmatan dan kepuasan, tetapi juga tahu bahwa kita memiliki komitmen berbeda di luar itu. Kamu bukan sekadar bayangan, tetapi seseorang yang memberikan warna dan pengalaman baru dalam hidupku. Hubungan ini berdasarkan kesepakatan kita, dan kita tidak terikat oleh ekspektasi yang sering kali membebani. Ini semua tentang kebebasan untuk menjelajahi apa yang kita inginkan, selagi kita saling menghormati. Cinta dan hasrat dapat berjalan berdampingan, dan kita bisa menikmati satu sama lain tanpa harus mengorbankan perasaan satu sama lain.”

“Aku mengerti, Mas,” ucapku, berusaha mencerna semua penjelasannya. “Tapi, bagaimana dengan perasaan? Apakah tidak ada risiko jika kita menjalani hubungan seperti ini? Bagaimana jika suatu saat kita merasa sakit hati atau cemburu?” Aku berhenti sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Apa sebenarnya manfaat dari paham ini bagi kita? Apakah ini benar-benar akan membuat kita lebih bahagia? Apakah kita bisa terus saling menghargai, meski kita menjalani hubungan yang bebas ini?” Pertanyaanku muncul dari rasa ingin tahuku yang mendalam. Ada banyak pertimbangan di benakku. Aku ingin memahami sepenuhnya apa yang dimaksud Mas Sandy tentang kebebasan ini. “Aku ingin tahu, Mas, apa yang membuatmu yakin bahwa kita bisa menjalani ini tanpa merusak hubungan yang telah kita bangun?”

Mas Sandy mendengarkan setiap kata yang kuucapkan, lalu mengangguk perlahan. “Asti, aku memahami kekhawatiranmu. Kita hidup di dunia yang sering kali menilai hubungan dari sudut pandang yang sempit. Namun, hubungan kita ini bukan hanya tentang seks. Ini tentang saling menghormati dan memahami satu sama lain. Ketika kita berbagi kenikmatan, kita juga belajar lebih banyak tentang diri kita sendiri dan satu sama lain.”

Dia berhenti sejenak, menatapku dengan serius. “Risiko ada di mana-mana, tapi kita bisa menghadapinya dengan terbuka. Kita harus saling berkomunikasi dan berbagi perasaan. Jika ada rasa sakit atau cemburu, kita bisa mendiskusikannya. Yang terpenting, kita tidak terikat pada ekspektasi yang sering kali membuat kita merasa tertekan. Dalam hubungan ini, kita bebas mengeksplorasi keinginan tanpa mengorbankan rasa hormat dan kejujuran satu sama lain.”

Mas Sandy melanjutkan, “Manfaat dari paham ini adalah kebebasan untuk menemukan diri kita sendiri. Ini bukan sekadar pelampiasan, tetapi perjalanan untuk mengenali hasrat dan keinginan kita. Dengan saling menghargai, kita bisa menjalin hubungan yang lebih dalam, bahkan dalam kebebasan. Kamu bukan sekadar bagian dari hidupku, tetapi juga partner dalam perjalanan ini. Dan itu, Asti, adalah sesuatu yang sangat berharga.”

Dia tersenyum, dan aku merasakan kehangatan dalam kata-katanya. “Ketika kita menjalani hubungan ini, kita memiliki kesempatan untuk tumbuh bersama. Kita bisa saling mendukung dan membangun rasa percaya yang kuat. Aku ingin kita menjalani ini dengan bahagia, dan aku percaya kita bisa melakukannya.”

Aku terdiam, mencerna semua penjelasannya. Rasa ragu mulai memudar, dan aku merasakan keyakinan baru. Dalam kebebasan ini, aku bisa menemukan diriku dan berbagi pengalaman yang berharga dengan Mas Sandy atau bahkan dengan orang lain. Hal itu terasa seperti jalan yang benar bagiku.

Aku menatap Mas Sandy dan merasakan kejelasan baru. “Aku mengerti, Mas. Hubungan ini memberi kita kebebasan untuk saling menikmati tanpa terikat oleh norma-norma yang mengikat. Aku siap menjelajahi pengalaman baru, termasuk menjalin hubungan dengan orang lain. Selama kita saling menghormati, aku yakin kita bisa menemukan kebahagiaan dalam kebebasan ini.”

Mas Sandy tersenyum, senang mendengar ucapanku dan berkata, “Aku sangat bahagia mendengar itu, Asti.”

Tak lama kemudian, Mas Sandy ingin mandi, dan aku mengantarkannya ke kamar mandi yang terletak di area dapur. Setelah memastikan semua kebutuhan Mas Sandy terpenuhi, aku kembali ke kamar untuk mulai merapikan ruangan ini. Tempat tidur yang semula rapi kini terlihat acak-acakan, dengan selimut kusut dan bantal terlempar setelah kami berdua bercinta. Aku mulai menata bantal-bantal dengan rapi dan melipat selimut yang tidak teratur. Aroma lembap dan panas masih tersisa di udara, membuatku merasa perlu menetralkan suasana. Aku membuka jendela sedikit agar udara segar masuk. Kemudian, aku mengambil pewangi ruangan dan menyemprotkannya ke sudut-sudut kamar. Semerbak aroma bunga menyebar, mengalihkan perhatian dari bau yang tersisa.

Setelah Mas Sandy selesai mandi, aku bersiap untuk membersihkan tubuhku. Aku masuk ke kamar mandi dan membiarkan air mengalir di tubuhku. Sabun dan shampoo mengeluarkan aroma yang segar, membuatku merasa bersih kembali. Setelah beberapa saat, aku keluar dari kamar mandi dan memilih dress simpel yang nyaman untuk dikenakan. Aku melihat penampilanku di cermin, memastikan semuanya rapi sebelum melangkah keluar. Mas Sandy sudah menunggu di ruang tamu dengan senyum hangat di wajahnya. Kami berdua melangkah keluar menuju mobilnya yang terparkir di depan rumahku. Mobil bergerak menuju kedai jamuku, menempuh perjalanan sekitar setengah jam. Dalam perjalanan, kami ngobrol ringan dan tak terasa kami pun sampai di kedai jamuku. Mas Sandy langsung meninggalkan aku, dan mobilnya meluncur pergi, menghilang dari pandanganku.

Aku tiba di kedai jamu lebih awal dari biasanya. Suasana di sekitar kedai terasa sepi. Matahari mulai merendah di ufuk barat, sinarnya memancarkan warna oranye yang hangat di antara gedung-gedung. Aku mengeluarkan kunci dari tas dan memasukkannya ke dalam lubang kunci pintu kedai. Namun, saat aku memutar kunci, terasa ada yang tidak beres. Kunci itu macet di dalam, seolah menolak untuk bergerak. Aku berusaha beberapa kali, tetapi kunci tetap tidak mau berfungsi. Kebingungan melanda pikiranku. Aku melihat ke sekeliling, berharap ada orang yang dapat membantu. Tak lama kemudian, Bang Bolang muncul mendekatiku.

“Eh, Asti! Kenapa lo ngelus kunci kayak gitu?” katanya sambil memperhatikan aku yang berjuang memutar kunci.

“Bang, kunci ini macet. Aku sudah coba beberapa kali, tapi nggak bisa-bisa,” jawabku dengan nada putus asa.

Bang Bolang mencondongkan tubuhnya ke arah pintu. “Tuh, biar gw liat.” Dia meraih kunci itu dan mencoba memutar dengan sedikit kekuatan. “Bandel banget nih kunci!”

“Bisa diperbaiki nggak, Bang?” tanyaku, berharap dia memiliki solusi.

“Bisa, bisa. Cuma butuh sedikit trik aja,” katanya sambil tersenyum. Dia mengeluarkan alat dari saku celananya. “Kunci-kunci gini biasanya ngadat karena debu atau karat. Lo lihat tuh, ada kotoran di dalamnya.”

Dia mulai membersihkan bagian dalam kunci dengan alatnya, “Gini, Asti. Lo harus sabar. Kadang barang-barang ini butuh perhatian ekstra. Kalo lo terburu-buru, malah bisa merusak.”

“Aku coba sabar, Bang. Tapi kadang emosi juga suka naik,” jawabku sambil menatapnya.

“Hidup di sini kadang bikin stress. Tapi, yang penting lo tetap tenang. Nah, kita coba lagi.” Dia memasukkan kunci kembali ke lubang dan memutarnya perlahan. Setelah beberapa kali mencoba, kunci itu akhirnya bergerak. “Tuh kan, bisa! Lo lihat, kan, gampang aja kalo tau triknya.”

Aku merasa lega dan tersenyum. “Terima kasih, Bang Bolang. Lo emang jago!”

“Gak masalah, Asti. Kapan-kapan kalo lo butuh bantuan lagi, jangan sungkan-sungkan. Lo tinggal panggil gw,” katanya sambil memberikan senyuman lebar.

“Pasti, Bang. Sekali lagi, terima kasih banyak!”

Bang Bolang melangkah mundur, “Nah, gw cabut dulu!”

Aku tersenyum senang setelah Bang Bolang berhasil memperbaiki kunci pintu kedai. Perasaanku lega saat pintu akhirnya bisa dibuka. Tanpa kehadirannya, aku mungkin masih berdiri frustrasi di depan pintu. Dia memang terlihat keras, tetapi di balik semua itu, aku merasa ada sisi baik dalam dirinya. Banyak orang mungkin menilai Bang Bolang berdasarkan penampilannya yang dekil dan gaya hidup yang kasar. Namun, aku tahu bahwa di dalam dirinya terdapat kebaikan yang tidak terlihat oleh orang lain.

Aku mulai membereskan kedai jamu. Meja-meja disusun rapi, dan alat-alat untuk berjualan disiapkan. Aroma segar rempah-rempah memenuhi udara. Semua harus siap untuk pelanggan yang akan datang. Pikiran tentang kejadian bersama Mas Sandy masih mengisi kepalaku. Kenangan itu membuatku merasakan getaran di tubuh. Sebuah sensasi yang sulit kuhilangkan. Rasanya, hasrat itu datang begitu kuat. Aku merasa energiku mengalir, dan entah kenapa saat ini merasa horny terus. Setiap detik rasanya tubuhku dialiri oleh gelombang birahi yang mengalir dari ujung kepala hingga ke seluruh tubuhku. Aku merasakan detak jantungku semakin cepat. Rasa hangat menyebar di kulitku, membuatku sedikit berkeringat meski udara di dalam kedai terasa sejuk. Awan kenangan intim bersama Mas Sandy menghantui pikiranku. Ingatan tentang persetubuhan itu membuatku merasa bergetar, dan tubuhku merespons dengan cara yang tak terduga.

Beberapa menit berselang, Bayu, Anita, dan Sintia datang dan langsung ikut mempersiapkan kedai. Suara tawa mereka menyelimuti kedai, tetapi aku masih terjebak dalam pikiranku sendiri. Tanpa sadar, aku menyentuh leherku, merasakan detakan yang masih berdengung dari keintiman itu. Namun, ada satu hal yang menarik perhatianku: Bayu. Dia akhir-akhir ini lebih pendiam. Ekspresi wajahnya menunjukkan sesuatu yang berbeda, membuatku khawatir akan perubahan yang terjadi pada dirinya.

Biasanya, Bayu selalu ceria dan penuh semangat saat bekerja di kedai, tetapi kini dia lebih sering menunduk dan menghindari tatapan. Setiap kali aku memanggil namanya, jawabannya hanya terdengar samar dan tidak sepenuh hati. Sorot matanya tampak kehilangan, seolah ada beban yang mengganggu pikirannya. Aku merasakan ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya, tetapi dia tidak pernah berbagi. Ketika rekan-rekannya bercanda, Bayu hanya tersenyum tipis, seolah enggan terlibat dalam keceriaan itu.

Tak lama kedai siap beroperasi. Meja-meja telah dipenuhi aneka jamu yang berwarna-warni. Suasana terasa hidup kembali saat pelanggan mulai berdatangan. Suara tawa dan obrolan mengisi udara, menciptakan kebisingan yang menyenangkan. Aroma jamu yang menyegarkan menyatu dengan suara keramaian. Beberapa pelanggan duduk santai, sementara yang lain berdiri di dekat meja untuk memesan. Aku melihat senyum pelanggan yang puas saat menikmati minuman mereka. Kehangatan suasana ini memberikan energi baru. Karyawanku, Anita dan Sintia, sibuk melayani pesanan dan bercanda di antara mereka. Mereka bergerak lincah, membawa gelas-gelas berisi jamu. Bayu, meskipun masih terlihat pendiam, berusaha ikut membantu dengan mengambil pesanan dari meja. Melihat kedai kembali ramai membuatku merasa lega.

Suasana kedai jamu tetap ramai hingga malam tiba. Pelanggan terus berdatangan, menikmati berbagai jenis jamu yang kami tawarkan. Lampu-lampu di dalam kedai berkilau hangat, menghasilkan suasana yang nyaman. Tawa dan suara obrolan bergema, memenuhi ruang dengan keceriaan. Kami melayani pelanggan dengan cepat, senyum tidak pernah lepas dari wajah. Setiap gelas yang disajikan disambut dengan ucapan terima kasih. Saat jam menunjukkan pukul 22.00, tanda waktu tutup semakin dekat. Perlahan, jumlah pelanggan mulai berkurang. Suara hiruk-pikuk mulai mereda, digantikan oleh bisikan lembut dari percakapan terakhir. Kami mulai membereskan meja-meja, mengumpulkan gelas-gelas kosong dan merapikan sisa-sisa jamu. Meski lelah, rasa puas menyelimuti kami.

Kedai jamu kini benar-benar tutup. Kami sudah merapikan semua meja dan membersihkan sisa-sisa jamu yang tertinggal. Suasana sepi mulai meliputi kedai. Aku mematikan lampu satu per satu, meninggalkan ruang gelap yang hanya diterangi oleh cahaya bulan yang menerobos melalui jendela. Setelah memastikan semuanya sudah siap, kami berkumpul di depan kedai. Saat keluar, hawa malam yang sejuk menyambut kami. Aku menarik napas dalam-dalam, menikmati udara segar yang terasa menenangkan. Para karyawanku melangkah pergi ke arah masing-masing, sementara aku mengunci pintu kedai dengan hati-hati.

“Bu …” aku terkejut ternyata Bayu sudah berada di dekatku. Aku pikir Bayu sudah pulang.

“Bayu, kamu bikin aku kaget saja! Aku pikir kamu sudah pulang,” kataku sambil berusaha mengatur napas.

“Maaf, Bu,” jawabnya dengan suara pelan. “Aku ingin bicara sama Ibu.”

Aku mengernyitkan dahi, penasaran dengan apa yang ingin disampaikannya. “Mau bicara tentang apa?”

Dia menundukkan kepala sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku… Aku ingin bicara tentang hatiku,” jawabnya, suaranya hampir bergetar.

Aku bisa merasakan ketegangan, “Langsung saja bicara tentang hatimu. Jangan muter-muter, Bayu,” kataku, menantang.

Dia terlihat semakin ragu dan dengan tergagap, ia akhirnya mengucapkan, “Bu, aku… aku mencintaimu.”

Kata-kata Bayu menggantung di udara, dan aku merasa seolah waktu berhenti sejenak. Rasa tak percaya melanda diriku. “Cinta?” pikirku dalam hati. Bagaimana mungkin? Bayu, yang selama ini kuanggap hanya sebagai karyawan dan teman, ternyata menyimpan perasaan itu. Suara detak jantungku berdegup kencang. Aku mencoba mencari reaksi yang tepat, tetapi semua terasa kacau. Bayu menunggu jawabanku dengan tatapan penuh harapan, dan saat itu, aku tidak tahu harus berkata apa. Pikiran-pikiran berputar di kepalaku, menganalisis setiap detail, tetapi hatiku tak bisa meyakini apa yang baru saja aku dengar. “Apakah ini hanya sebuah lelucon?” batinku bertanya-tanya, tetapi melihat keseriusan di wajahnya, aku tahu ini bukan sebuah permainan.

“Aku… aku tidak percaya dengan apa yang kamu katakan, Bayu. Cinta? Sejak kapan kamu merasakannya? Kita selalu bersikap seperti teman, dan aku tidak pernah melihat tanda-tanda itu. Aku terkejut, bahkan bingung. Kamu serius dengan pernyataan ini? Bagaimana bisa, kita kan… kita kan hanya bekerja sama di kedai. Aku tidak tahu harus berkata apa,” kataku agak bergetar.

Bayu menatapku dalam-dalam, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Bu, aku paham kalau ini semua terasa mengejutkan untukmu. Tapi, perasaanku bukan sesuatu yang bisa aku sembunyikan. Sejak lama, aku merasa lebih dari sekadar teman. Setiap hari bersamamu, senyummu, cara kamu menjalani hidup, semua itu membuatku jatuh hati. Mungkin aku tidak menunjukkan tanda-tanda yang jelas, tapi hatiku selalu tahu. Aku serius dengan apa yang kukatakan. Ini bukan hanya perasaan sesaat, tapi sesuatu yang sudah aku simpan di dalam hati.”

“Bayu … Kamu kan tahu kalau aku menikah dengan Mas Tio. Aku sudah berkomitmen, dan ini semua sangat sulit bagiku. Aku tidak ingin merusak apa yang sudah ada. Mungkin kita bisa tetap bersahabat. Jujur saja, perasaanmu terlalu rumit untukku saat ini,” kataku memohon pengertian Bayu.

Bayu menatap Asti dengan penuh harapan. “Aku mengerti, Bu. Tapi hatiku tetap merasakan cinta padamu. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku yang sebenarnya.”

Asti menundukkan kepala, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Bayu, aku… aku tidak tahu. Aku takut kehidupanku semakin rumit. Rasanya seperti ada dua jalan di depanku, dan aku tidak tahu mana yang harus kuambil. Aku… aku butuh waktu untuk memikirkan ini.”

Bayu menatapku dengan penuh harap. “Bu, aku akan menunggu jawabanmu. Apapun keputusan Ibu nanti, aku akan menerimanya dengan lapang dada.”

Aku berdiri di depan kedai, menatap Bayu yang menjauh. Langkahnya terlihat gontai, hatiku bergetar tidak karuan. Awalnya, aku terkejut dengan pengakuannya. Rasanya sulit untuk percaya bahwa seorang pemuda setampan Bayu bisa memiliki perasaan untukku. Wajahnya yang tampan, dengan mata yang penuh harapan, dan senyum yang menawan, membuatku bingung dan terkesima. Namun, saat ia menjauh, perasaan lain muncul. Ada rasa bangga yang menghampiri, menyadari bahwa Bayu, pemuda yang sangat tampan itu, mencintaiku. Itu adalah sebuah keajaiban dalam hidupku.

Tiba-tiba, lamunanku buyar ketika aku mendengar suara mesin motor. Mas Tio muncul dengan sepeda motornya yang mengkilap. Ia berhenti tepat di depanku, tampak tak sabar untuk mengajakku pulang. Dengan perasaan tak menentu, aku mendekat dan naik ke atas motor. Setelah memastikan posisiku nyaman, motor itu langsung melaju. Suasana malam terasa sepi dan dingin. Selama perjalanan, pikiranku berkutat pada pernyataan Bayu yang mengejutkan. Kata-katanya berputar-putar di kepalaku, sulit untuk diabaikan. Rasa bangga dan keraguan bersaing dalam diriku. Saat kami akhirnya sampai di rumah, aku langsung menuju kamar. Aku berharap bisa tidur dan melupakan semua kejadian yang mengganggu pikiranku. Dengan cepat, aku merebahkan diri di atas kasur, berharap malam ini bisa membawa ketenangan.

Bersambung​….