DESAH BINAL RANI

Seharusnya Rani mendengarkan apa yang dikatakan Siska. Selama tidak tampak ada yang harus dicemaskan, maka memang tidak ada yang harus dicemaskan. Begitulah kata sahabatnya itu. Tidak perlu mencari-cari, termasuk kepo dengan rahasia suami di dalam ponselnya.

“Lumrah aja kali, Ran! Hampir semua laki suka dan pasti pernah nonton bokep,” kata Siska ketika Rani mengadu kepadanya tentang riwayat penelusuran peramban di ponsel Yudi, suaminya.

“Gak lumrah kalau buat Mas Yudi, Ka!” sangkal Rani dengan wajah merah padam mengingat penemuannya itu. Jilbabnya terasa sangat membuat gerah siang itu, padahal sudah lama dia mengenakan jilbab dan bahan jilbab itu tidaklah setebal biasanya.

“Lu aja yang gak tau kalau suamilu begitu saking rapinya dia nyimpen rahasia,” kata Siska masih dengan santai.

“Ah! Tetep aja ini gak lumrah, Ka!” tukas Rani tidak suka. Diseruputnya lemon tea dingin dengan rakus berharap mengurangi panas tubuhnya.

Siska tertawa kecil melihat kesewotan sahabatnya itu. Sebetulnya dia merasa kasihan, tetapi dia bingung juga mengapa rasanya hal sekecil itu harus dibesar-besarkan? Yudi tidak berselingkuh, masih menyayangi Rani dan anak semata wayang mereka yang tinggal bersama orang tua Rani, dan masih juga bertanggung jawab dalam segala hal.

“Coba tenang dulu deh! Diliat dari sisi mana pun, Yudi gak ngerugiin siapa-siapa. Bisa jadi pas lu lagi mens, dia kepingin banget ngewe ….”

“Siska! Jorok, ih!” tukas Rani. Tangannya membekap mulut Siska yang tertawa-tawa geli.

“Yaelah! Kan emang bener ngewe, secara gue orang Sunda. Lah mau ikut bahasa Jawa, ngentu, atau biar dibilang nasionalis sekalian gue sebut ngentot aja?” cecar Siska menggoda Rani yang malah menutupi kedua telinganya dengan tangan.

“Bodo amaaat! Lanjutin aja!” tukas Rani pasrah.

Percakapan itu pada akhirnya membuka wawasan Rani bahwa seharusnya dia bersyukur Yudi hanya suka menonton bokep, tidak sampai jajan menyewa pelacur atau bahkan sampai memelihara simpanan. Toh pada kenyatannya setelah dia memeriksa rekening bank Yudi, tidak ada pengeluaran yang aneh-aneh di luar yang telah diberitahu suaminya itu.

“Lu harusnya kasih reward sama lakilu,” kata Siska menutup orasinya.

“Gitu, ya? Reward apaan bagusnya, Ka?” tanya Rani. Diam-diam dia menyetujui orasi Siska dan bersyukur Yudi begitu setia kepadanya. Sebuah hal yang tidak bisa dia jaga, meski dia tetap beralasan darurat.

“Ya lu yang taulah! Yudi lakilu, kok lu malah nanya gue! Gelo!” maki Siska membuat Rani tertawa terpingkal-pingkal. Beberapa lama kemudian keduanya berpisah.

Di sepanjang perjalanan pulang, Rani sibuk memikirkan apa yang harus dia berikan sebagai reward kepada suaminya. Sedetik kemudian sebuah ide muncul, membuatnya membelokkan motor ke arah pusat perbelanjaan fashion wanita sebelum melanjutkan perjalanan pulang.

Sesampainya di rumah, segera dipakainya apa yang tadi dia beli. Sebuah lingerie seksi merah darah dengan jubah sutra putih tipis transparan. Lingerie dua potong itu hanya menutupi kedua puting payudaranya dan bibir vaginanya, sisanya hanyalah tali.

Rani mematut-matut dirinya di hadapan cermin. Tanpa jilbab, rambut sepunggungnya dia biarkan tergerai bebas. Bahkan Rani terkesan dengan kesempurnaan fisiknya sendiri. Payudaranya yang berukuran 34D masih mampu melawan gravitasi, membulat indah. Pantatnya pun tidak mau tunduk dengan gravitasi, masih kencang membulat. Perutnya rata kencang hasil seringnya dia berolahraga. Penampakannya mirip sekali dengan seorang tokoh wanita yang ada di salah satu bokep yang ditonton Yudi. Dia ingin memuaskan fantasi Yudi sebagai reward.

Di tengah lamunannya merencanakan kejutan, suara bel pintu mengagetkannya. Dia memang sengaja mengunci pintu agar Yudi tidak bisa langsung masuk dan memergoki rencananya. Rani segera berlari menuju pintu depan.

“Mah! Kok dikunci sih?” seru Yudi dari luar.

“Kejutan!” serunya setelah membuka pintu lebar-lebar.

Yudi melongo melihat pemandangan di depannya. Istrinya melenggak lenggok dengan gaya menggoda seperti salah satu adegan di bokep yang dia tonton beberapa malam yang lalu. Dengan gemetar Yudi masuk lalu menutup dan mengunci pintu.

“Kenapa, Pah?” tanya Rani sambil meremas selangkangan Yudi yang membesar tanpa terkendali.

“Mamah seksi banget!” puji Yudi. Matanya tidak berkedip menikmati sosok istrinya dari kepala sampai kaki. Tangan kanannya yang hendak meraih payudara Rani ditepis.

“Mandi dulu! Abis mandi, Mamah servis Papah sampai pagi,” bisik Rani di dekat telinga Yudi.

Yudi langsung melangkah ke kamar mandi sambil menarik Rani. Rani yang sudah berniat untuk menyenangkan suaminya itu tidak menolak meskipun tidak mengerti apa yang dikehendaki Yudi. Setibanya di kamar mandi, Yudi menelanjangi dirinya sendiri.

“Papah mandi, tapi maunya sambil nonton Mamah joget koplo!” kata Yudi membuat Rani terperangah. Pria awal tiga puluh tahun itu membuka Youtube dari ponselnya dan menyalakan sebuah video musik dangdut koplo lalu menunjukkannya kepada Rani.

Mata Rani membesar melihat seorang biduan dangdut bernyanyi di panggung sambil bergoyang dengan jogetan paling seronok yang pernah dilihatnya. Di hadapan banyak sekali penonton pria di bawah panggung, biduan itu tanpa malu mengangkangkan roknya yang sudah amat pendek, memperlihatkan celana dalam putihnya. Di benaknya berkecamuk, sejak kapan Yudi yang begitu modern menyukai dangdut koplo seperti itu.

Meskipun menyisakan ketidaksukaan, tetapi Rani masih bertekad menyenangkan Yudi sesuai niat awalnya. Telinganya beradaptasi dengan musik yang sedikit banyak mirip dengan house musics itu sambil matanya menyerap gerakan-gerakan si biduan. Tidak lama tubuh Rani mulai bergerak seirama musik meskipun masih kaku.

“Uuuh!” desah Yudi di bawah kucuran shower. Dia sibuk mengocok penis akibat pesona goyangan istrinya. Penis itu tanpa lama telah berdiri maksimal, menjulang sepanjang lima belas centi dengan diameter hampir empat centi.

Di luar kamar mandi, Rani merasakan kepercayaan diri memenuhi dadanya melihat penis Yudi yang merespon goyangannya. Kepercayaan diri itu membuat goyangannya semakin panas melebihi apa yang dilakukan oleh biduan dangdut di Youtube itu. Wanita dua puluh tujuh tahun itu tidak peduli akibat goyangannya, puting payudaranya tidak lagi tertutup. Bahkan dengan nakalnya dia menyibakkan kain penutup vaginanya sambil melakukan skuat.

“Kyaaa!”

Tiba-tiba saja Yudi meraih tangan Rani dan menariknya ke dalam kamar mandi. Dengan kasar pria itu menekan tubuh istrinya hinga berlutut lalu mengocok penisnya sendiri dengan kuat. Sesekali dia pukulkan penisnya ke pipi, hidung, dan bibir Rani. Rani yang kaget karena belum pernah diperlakukan seperti itu oleh Yudi hanya mampu terpana melihat penis di hadapan wajahnya memuncratkan mani.

“Oooh! Aaah!” desah Yudi lirih.

Rani hanya bisa memejamkan mata dan menahan napas ketika Yudi dengan geraman-geraman yang melemah seiring banyaknya semprotan, meratakan mani di wajahnya dengan batang penis. Wanita itu tidak tahu bagaimana harus bersikap atas perlakuan suaminya itu. Bila mengikuti gengsinya sebagai wanita terhormat, Rani merasa amat terhina mendapat semburan mani di wajahnya. Namun, menyadari bahwa dia dapat membuat seorang pria mencapai puncak kepuasan bahkan tanpa harus melakukan penetrasi membuatnya begitu merasa berkuasa dan dominan. Lagi pula, bukan pertama kali dia mendapatkan semprotan man idi wajah, meski pun bukan Yudi yang melakukan.

Nilan diam-diam menyeka mani yang menempel di bibirnya. Dia yang bukan penggemar masakan gurih berkuah malah cenderung menyukai rasa mani. Tanpa sadar, lidahnya keluar lagi dan menjilati mani yang bisa diraih. Dia teringat betapa dengan rasa mani-mani yang pernah dicecapnya. Rasanya tidak ada yang sama.

“Jilat ini, Sayang!” bisik Yudi sambil menyodorkan penisnya yang masih berselimutkan mani. Pria itu dengan tidak sabar menyodok-nyodokkan lubang pipisnya ke bibir Rani.

Rani yang selalu menolak untuk memberikan pelayanan seperti apa yang diminta Yudi, tanpa berpikir panjang langsung menjilati setiap milimeter kulit penis Yudi. Lidahnya dengan teliti mencecap tanpa sisa mani di penis Yudi. Di ujung pelayanannya, wanita itu mencium mesra lubang pipis penis Yudi.

“Akhirnya bisa juga ngerasain lidah Mamah di kontol Papah,” desis Yudi terengah-engah. Penisnya yang sudah mengeluarkan mani seperti tidak mendapatkan kesempatan untuk melemas akibat pelayanan Rani.

Rani menatap Yudi. Tadi Siska yang bicara jorok, sekarang suaminya. Ada apa dengan kata-kata jorok itu sampai semua orang yang dia kenal tampaknya begitu suka mengucapkannya, pikir Rani. Begitu pula pria-pria selain sang suami yang dia izinkan untuk menikmati legit vaginanya. Mereka begitu senang ketika berhasil membuat Rani juga mengucapkan kata-kata jorok.

“Berdiri, Mah,” ajak Yudi membangunkan Rani dan mengajaknya berdiri di bawah shower. Tangan pria itu tidak usainya menjelajahi setiap milimeter kulit tubuh Rani, membuat Rani tidak hentinya mendesah.

“Mmmh! Papah … enaaak!” desis Rani keenakan dimanja oleh usapan dan remasan kedua tangan Yudi. Kedua payudaranya digilir oleh tangan kanan Yudi, sementara belahan vaginanya dibelai oleh jari-jemari tangan kiri Yudi.

“Enak apanya, Mah?” goda Yudi ketika tangan Rani tanpa sadar meraih penisnya.

“Nenen sama pipis Mamah, Pah … enaaak!” jawab Rani lirih.

“Papah bikin tetek sama memek Mamah lebih enak ya, Mah?” tanya Yudi. Tanpa menunggu jawaban Rani, Yudi memulas ujung puting payudara kiri Rani menggunakan lidah bersamaan dengan jemari tangan kanannya memilin puting payudara kanan Nilan sementara jemari tangan kirinya memilin klitoris Rani.

Mendapat serangan seksual seintens itu membuat kepala Rani terasa kosong. Mulutnya mendesis-desis merespon gelombang kenikmatan yang diberikan suaminya. Tangannya tanpa sadar semakin cepat mengocok batang penis Yudi, terbantu dengan air dari shower. Belum pernah dia mendapatkan kenikmatan seperti itu selama tiga tahun menikah dengan Yudi. Semua serba cepat, datar, dan lurus. Rani menemukan istilah yang tepat setelah pengalamannya bercinta dengan pria-pria selain Yudi: membosankan.

Mengapa Yudi tidak pernah melakukan ini kepadanya sebelumnya, pikir Rani di dalam hati. Andai ini adalah hasil Yudi menonton bokep, Rani memilih untuk bersyukur dan bertekat untuk membiarkan Yudi menekuni hobinya itu. Bahkan Rani pun berpikir untuk diam-diam mencoba untuk mengoleksi bokep dan menikmatinya.

“Pah … aaah …!”

Rani mengerang lirih usai mencapai puncak kenikmatan yang ditandai dengan mengucurnya cairan mirip kencing dari vaginanya. Rani merasa seperti terbang ke awang-awang, apalagi ketika dirasakannya Yudi malah semakin giat merangsang bagian-bagian sensitif tubuhnya ketika dia sedang klimaks.

“Mamah seksi banget … mirip lonte!” bisik Yudi setelah puas menjilati kedua payudara Rani. Rani yang sedang terbang tinggi dibuai kenikmatan hanya bisa mendesah mendengar suaminya menyamakan dirinya dengan pelacur. Lagi-lagi hal itu bukan yangpertama kali dia alami. Mengapa semua pria yang menidurinya suka menyamakan dia dengan pelacur?

“Lonte elit, memeknya sempit,” bisik Yudi lagi sambil mencubit klitoris Rani. Rani mengerang kesakitan, tetapi anehnya dia merasakan birahinya kembali memuncak. Squirt-nya kembali memancur meski tidak banyak.

Tubuh Rani bergetar melewati puncak kenikmatan. Kakinya seperti tidak bertulang ketika dia terduduk bersimpuh. Dia sandarkan tubuhnya kepada dinding kamar mandi.

Yudi yang melihat Rani lemas tanpa daya, dengan seringai di bibir menjambak rambut Rani sambil mengocok penisnya tepat di hadapan wajah Rani. Rani hanya sanggup menatap Yudi bahkan tanpa mampu berpikir apa yang akan menimpanya.

“Mangap, Lonte! Melet!” bentak Yudi membuat Rani terkesiap.

Rani yang kaget menuruti perintah Yudi. Dia membuka mulutnya dan mengeluarkan lidahnya. Meski kaget mendengar bentakan Yudi, tetapi entah mengapa Rani justru merasa amat terangsang. Lebih terangsang ketika tiba-tiba lidahnya merasakan cairan yang keluar dari lubang kencing penis Yudi. Cairan itu dengan segera memenuhi rongga mulutnya. Rasanya hangat dan aromanya … pesing!

“Lonte elit emang pinter,” puji Yudi merasakan kepuasan melihat sang istri dengan patuh hanya mangap terdiam menerima air kencingnya.

Kepala Rani kosong melompong menerima perlakuan tidak manusiawi itu. Matanya tidak lepas menatap mata Yudi yang jelas menyiratkan napsu binatang paling buas yang belum pernah dilihatnya. Wanita itu merasa takjub dan terkesima, betapa suaminya ternyata begitu jantan dan buas dalam bercinta. Dia biarkan saja air kencing itu tertelan. Di apun hanya menutup mata dan terseyum manis ketika Yudi mengencingi wajahnya.

Jadilah Jum’at malam itu Rani menemukan sisi paling liar suaminya dalam urusan ranjang. Yudi seperti bertransformasi menjadi pria yang sama sekali asing bagi Rani. Tidak ada lagi Yudi yang polos, lurus, dan sopan.

“Uh! Uh! Uh! Lonte elit! Laku mahal ini sih!” ceracau Yudi sambil menggenjot pinggulnya maju dan mundur. Penisnya bergerak masuk dan keluar dengan kecepatan tinggi di mulut Rani.

Rani hanya bisa pasrah ketika kepalanya dijepit di antara bantal dan pinggul sang suami. Tangannya merengkuh bongkahan pantat Yudi dan membelainya penuh kasih sayang, sesekali menekan membuat penis itu melesak lebih dalam ke tenggorokannya. Rani amat menyukai sensasi tercekik yang dirasakannya.

Entah sudah berapa ratus kali telinga Rani dipaksa mendengar kata-kata cabul dari mulut Yudi. Kontol, memek, ngentot, lonte, peju, dan lainnya memenuhi kepala Rani dan seperti tidak mau lagi keluar. Belum lagi suaminya itu memperlakukannya seperti pelacur dengan segala bentuk gaya paling aneh sampai paling kasar yang belum pernah dialaminya.

Usai memenuhi mulut istrinya dengan mani sebanyak yang dia miliki, Yudi duduk di tepi ranjang. Dia meminum air dari botol lalu meraih gelas berisi air minum. Dia rendam penisnya ke dalam gelas itu lalu membersihkannya. Rani hanya melihat saja perbuatan Yudi.

“Minum!” perintahnya kepada Rani sambil memberikan gelas tadi.

Rani sebetulnya merasa jijik ketika kesadarannya mulai kembali perlahan. Namun, karena kehausan dia memutuskan untuk menghabiskan air itu. Lagipula dia tadi sudah menelan air kencing dan mani Yudi, jadi apa bedanya?

Bersambung…