RAHASIA ISTRI PENJUAL JAMU part4~

    Sesampainya di depan rumah, aku mendapati pintu terkunci rapat. Ini aneh, karena biasanya pintu selalu terbuka ketika aku pulang dari pasar. Aku merogoh dompet, mencari kunci. Dengan cepat, kunci itu kutemukan dan kumasukkan ke lubang pintu. Begitu terbuka, aku melangkah masuk. Di dalam, suasana begitu sepi. Tidak ada tanda-tanda kehadiran siapa pun. Tidak ada suara dari televisi atau suara langkah di dalam rumah. Jelas sekali Mas Tio sudah tidak ada di sini. Dia sudah pergi. Ke mana pun dia pergi, aku tidak peduli. Bahkan, aku merasa lega. Tidak melihatnya di rumah justru membuatku merasa lebih tenang.

    Aku langsung menuju dapur. Kegiatan pertama yang kulakukan adalah meracik jamu untuk jualan. Tanganku bergerak cepat, mencampur bahan-bahan segar. Saat meracik, pikiranku melayang pada kehidupan baru yang kini kujalani. Kehadiran Mas Sandy menjadi titik balik dalam hidupku. Ia memberiku kenikmatan seks yang selama ini kurindukan. Sekarang, sosok Bayu juga mulai mengisi lamunanku. Senyumnya yang tampan dan tatapan matanya yang penuh rasa ingin tahu memberikan warna baru dalam hidupku. Aku merasa senang dan tidak menyangka hidupku bisa semenyenangkan ini. Senyuman tersungging di bibirku tanpa bisa kuhentikan. Kebahagiaan yang kurasakan begitu nyata. Hidupku kini dipenuhi dengan harapan dan kegembiraan yang selama ini hilang.

    Dengan semangat tinggi, aku melanjutkan pembuatan jamu daganganku. Setiap campuran bahan terasa begitu menyenangkan. Tiba-tiba, ponselku berdering, memecah konsentrasi. Aku melihat layar dan melihat nama Mas Sandy tertera di sana. Jantungku berdebar. Dengan cepat, aku mengangkat telepon itu.

    “Hallo …” sapaku semesra mungkin.

    “Halo, Asti. Lagi sibuk ya?” Suara Mas Sandy menggema di telinga. Ada kehangatan dalam nada bicaranya.

    “Tidak begitu Mas … Aku baru saja pulang dari pasar. Sedang meracik jamu untuk jualan,” jawabku, merasakan semangat membara saat menyebutkan aktivitasku.

    “Oh, jamu. Itu salah satu keahlianmu. Aku yakin itu enak,” katanya. Suaranya menggugah rasa percaya diri dalam diriku.

    “Terima kasih, Mas. Aku berharap bisa membuat orang-orang merasakan manfaatnya,” balasku, merasakan keinginan untuk berbagi lebih banyak.

    “Bagus. Aku harap jualanmu lancar. Aku yakin kamu sangat bersemangat hari ini. Semangatmu adalah modal utama untuk meraih kesuksesan. Ketika kamu melakukan sesuatu dengan sepenuh hati, hasilnya pasti akan mengikuti,” ujar Mas Sandy, suaranya penuh keyakinan dan dukungan.

    Aku terdiam sejenak. Ucapannya membuatku merasa ada ruang untuk berbagi. “Sebenarnya, aku memang sedang bersemangat, Mas,” kataku, mengumpulkan keberanian.

    “Aku bisa merasakannya Asti … Boleh tahu dong, apa yang membuatmu sangat bersemangat,” kata Mas Sandy dengan nada menggoda.

    “Aku malu Mas … Tapi aku ingin bicara sama Mas Sandy …” ucapku dengan sedikit bergetar.

    “Tak perlu malu. Kita sudah saling mengenal, kan? Cerita saja, aku di sini untuk mendengarkan,” jawabnya, penuh pengertian.

    “Aku merasa hidupku mulai berubah, Mas. Sejak mengenalmu, banyak hal yang berbeda. Aku merasa lebih percaya diri dan berani mengambil langkah baru,” kataku, perlahan mengungkapkan perasaanku.

    “Oh ya? Langkah baru apa itu, Asti?” tanya Mas Sandy yang ternyata mengerti arah pembicaraanku.

    “Aku baru saja didekati oleh seorang pemuda. Dia menyatakan cintanya padaku,” ujarku, jantungku berdebar saat mengungkapkan hal ini.

    “Oh ya? Siapa dia?” tanya Mas Sandy, penasaran.

    “Namanya Bayu. Dia tampan dan sangat perhatian. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana menanggapi perasaannya,” aku menjelaskan, perasaan campur aduk menyelimuti hatiku.

    “Kalau begitu, apa yang menghalangimu? Jika kamu merasakan sesuatu untuknya, terima saja,” sarannya terdengar santai, seolah itu adalah hal yang biasa.

    “Apakah itu benar, Mas? Aku merasa ragu. Apa yang akan orang lain katakan?” tanyaku, bingung.

    “Jangan pikirkan orang lain, Asti. Yang terpenting adalah kamu bahagia. Hidup ini milikmu. Jika kamu merasa nyaman dan menyukainya, jalani saja. Cinta itu seharusnya membuatmu merasa hidup,” ucap Mas Sandy, memberi perspektif baru.

    “Tapi, Mas. Aku masih merasa terikat dengan statusku,” jawabku, mencoba berpikir jernih.

    “Status hanyalah label. Tidak ada yang salah jika kamu ingin merasakan cinta dan kebahagiaan. Terkadang kita harus memberi diri kita izin untuk mengeksplorasi perasaan kita. Selama kamu saling menghargai dan tahu batasanmu, semua itu bisa membawa kebahagiaan baru,” jelas Mas Sandy, suaranya penuh keyakinan.

    “Jadi, menurut Mas, aku harus mencobanya?” tanyaku, merasa semakin yakin.

    “Cobalah, Asti. Selama kamu nyaman, semua itu bisa menjadi pengalaman berharga. Hidup ini singkat, jadi nikmati setiap kesempatan yang ada,” ucapnya, memberi semangat yang aku butuhkan.

    “Baik, Mas. Aku akan terima sarannya. Aku akan membuka hati dan menjalani ini,” kataku, penuh tekad.

    “Selalu, Asti. Aku di sini untuk mendukungmu,” jawabnya, membuatku merasa diperhatikan dan dihargai.

    Aku merasa sangat senang saat berbincang dengan Mas Sandy. Suaranya yang hangat membuatku merasa diperhatikan. Kami berbincang untuk beberapa menit, dan aku mengungkapkan perasaanku yang semakin berkembang. Aku menjelaskan bagaimana hidupku berubah sejak mengenalnya. Topik percakapan mengalir dengan mudah, dan Mas Sandy mendengarkan setiap kata yang kuucapkan. Rasanya, seperti ada ikatan khusus di antara kami. Aku merasa nyaman dan bebas untuk berbagi. Setiap detik yang berlalu membuatku semakin yakin akan langkah yang akan diambil. Mas Sandy memberikan dukungan dan pengertian yang sangat berarti bagiku. Saat ia menandakan bahwa percakapan harus disudahi, hatiku sedikit berat. Dia mengucapkan selamat tinggal dengan nada lembut. Aku menutup telepon sambil tersenyum, merasakan hangatnya perbincangan yang baru saja terjadi.

    Saat pikiranku melayang, bayangan Mas Sandy dan Bayu mengisi ruang dalam diriku dengan keinginan yang membara. Aku membayangkan tangan-tangan mereka menggerayangi tubuhku, menjelajahi setiap lekuk yang membuatku bergetar. Imajinasi itu menggetarkan jiwaku, membuat birahiku bergelora. Dalam pikiranku, aku merasakan sentuhan lembut mereka di payudaraku, jari-jari mereka mengelus lembut vaginaku, menciptakan aliran energi yang membuatku semakin terangsang. Aku membayangkan kedua pria itu menyetubuhiku secara bergantian, semakin menambah hasratku. Birahiku membara, dan setiap detak jantungku seolah berpadu dengan desahan yang tak tertahan. Fantasi ini semakin dalam, menuntunku untuk merasakan kenikmatan yang lebih menggoda.

    Aku memasukkan tanganku ke dalam celana dalam dan mulai melakukan masturbasi, meraba vaginaku sendiri. Jempol tangan kiriku berputar di klitorisku yang semakin keras dan membesar, sementara tangan kananku meremas payudaraku sebelah kiri. Seiring dengan rangsangan di klitoris, vaginaku mulai basah dengan cairan tubuhku sendiri.

    “Aahhhh…” aku mendesah ketika jariku menari di atas klitoris. Mulutku terbuka, dan mataku terpejam, menikmati setiap sentuhan yang kuberikan pada vaginaku.

    “Ahhh… emhhh… ahhh… ahhhh… ahhh…”

    Aku terus mendesah dengan jariku yang menari di klitoris, sementara tangan yang lain meremas payudara besarku. Tak puas hanya dengan menggesekkan jariku, aku mulai memasukkan jari tengahku ke dalam lubang sempitku, lalu mengocoknya perlahan. Semakin lama, semakin basah, dan semakin cepat pula jari tengahku mengocok vaginaku sendiri, kini tangan kananku berpegangan pada sisi meja agar tidak terjatuh.

    “Emmmhhh… ahhh…” desahku keluar dari bibir mungilku saat jariku bergerak masuk dan keluar di dalam vaginaku.

    “Eunghh…aahhh…aahhh”

    Clok

    Clok

    Clok

    “Ahhh…ahhhh…aahhh…”

    Mataku merem-melek dengan mulut terbuka, desahan demi desahan terus keluar. Entah kenapa, tiba-tiba terlintas di pikiranku bahwa aku sedang digagahi oleh lelaki tampan dan gagah. Kocokan di bawah sana semakin cepat ketika aku membayangkan apa yang baru saja muncul di pikiranku.

    Clok

    Clok

    Clok

    Clok

    “Ahhh..yaa…yaa..ahhh…ahhh…”

    Desahanku semakin menjadi saat aku akan mencapai puncaknya. Aku menambah satu jariku dan mempercepat gerakanku. Aku terus menggerakkan tanganku hingga akhirnya aku mencapai kenikmatan yang tiada tara.

    “Aaaaahhhhh …”

    Seeerrrr

    Seeerrrr

    Seeerrrr

    Dengan mata terpejam, aku menikmati pelepasanku, sambil merasakan tubuhku bergetar.

    “Aahhh… Ini sungguh enak. Pasti akan lebih enak kalau yang menusukku adalah kontol besar milik orang tampan,” ucapku sambil ngelantur.

    Aku mengatur napas sejenak untuk meredakan birahiku. Sensasi yang menggelora perlahan mulai mereda. Fokus kembali hadir saat aku melihat bahan-bahan yang tersusun rapi di atas meja. Dengan cekatan, aku mulai meracik ramuan, mempersiapkan setiap bahan yang diperlukan. Aku mencampurkan bahan-bahan tersebut ke dalam panci, menunggu hingga semua elemen bersatu dan mengeluarkan aroma yang khas.

    Setelah beberapa menit, aku menambahkan sedikit rasa manis untuk memberikan keseimbangan pada ramuan. Dengan perlahan, aku mengaduk campuran itu, mendengarkan suara lembut saat bahan-bahan berinteraksi. Ketika semuanya tercampur dengan baik, aku menuangkan ramuan ke dalam botol-botol bersih. Pekerjaan ini membawa ketenangan dan kepuasan. Setelah selesai, aku melihat hasil kerjaku dengan bangga. Ramuan-ramuan itu siap untuk dijual dan memberi manfaat bagi orang lain.

    Setelah menyelesaikan pekerjaan meracik ramuan, aku merasa lelah dan ingin menyegarkan diri. Aku melangkah ke kamar mandi dan membuka keran air. Tak lama, air dingin mengalir membasahi tubuhku, memberikan sensasi nyaman yang menenangkan. Dengan sabun, aku membersihkan diri, merasakan kesegaran saat busa wangi menyelimuti kulit. Setelah selesai, aku mengeringkan tubuh dengan handuk lembut, lalu memilih pakaian bersih yang nyaman. Aku berjalan menuju kamar tidur dan membaringkan tubuh di kasur. Permukaan kasur yang empuk menyambutku dengan hangat. Kelelahan yang terasa seakan menguap, dan aku menutup mata, membiarkan ketenangan menyelimutiku.

    Alarm ponsel berbunyi kencang, membangunkan aku dari tidur yang tidak begitu lelap. Suara itu memaksa mataku terbuka, meski kepala masih terasa berat. Aku mematikan alarm, lalu bangkit dari tempat tidur. Tubuhku terasa kaku setelah berbaring terlalu lama. Dengan sedikit usaha, aku bergerak menuju kamar mandi. Kaki melangkah pelan, namun aku tahu harus segera bersiap. Di kamar mandi, air dingin menyentuh kulit, membuatku terjaga sepenuhnya. Aku membersihkan diri dengan cepat. Setelah selesai mandi, aku mengambil pakaian yang sudah kusiapkan sejak tadi pagi. Aku mengenakan pakaian itu tanpa banyak berpikir. Sekarang waktunya bergegas, karena aku tidak mau terlambat. Setelah siap, aku memesan ojeg online melalui aplikasi di ponselku. Aku menunggu beberapa saat sambil memeriksa ulang barang-barang yang harus kubawa. Tak lama kemudian, notifikasi ponsel memberitahukan bahwa ojek sudah tiba di dekat rumah. Aku segera keluar dan berjalan menuju tempat ojek menunggu, lalu bersiap untuk berangkat ke kedai jamu yang sudah menjadi tujuan rutinku.

    Sekitar pukul 15.45 sore, aku tiba di depan kedai jamu. Matahari belum sepenuhnya tenggelam, tapi suasana sudah mulai terasa sejuk. Kedai ini selalu menyambutku dengan keheningan di awal, sebelum aktivitas mulai ramai. Aku datang lebih awal untuk memastikan semua persiapan berjalan lancar, dan sudah menjadi kebiasaanku untuk tiba lebih dulu sebelum para karyawan mulai bekerja. Aku meraih gagang pintu dan mendorongnya perlahan. Ruangan di dalam tampak tenang, meja-meja masih kosong, dan bau jamu belum memenuhi udara. Aku menyalakan beberapa lampu, lalu berjalan ke belakang meja. Peralatanku tertata rapi seperti biasa, dan aku mulai menyiapkan beberapa bahan jamu untuk sore ini. Ada beberapa hal yang perlu kuperiksa sebelum kedai buka.

    Tak lama kemudian, para karyawan mulai berdatangan. Satu per satu mereka masuk dan langsung menuju tempat masing-masing. Suara obrolan ringan mulai terdengar, mencairkan suasana yang sebelumnya sunyi. Di antara mereka, aku melihat Bayu melangkah masuk. Bayu kemarin malam menyatakan perasaannya padaku. Aku masih teringat kejadian itu, meski aku belum memberikan jawaban apapun. Saat Bayu menatapku, aku memberikan senyum kecil. Wajahnya tampak sedikit gugup, namun ia membalas senyumku dengan tenang. Aku tidak bisa menahan senyum yang lebih lebar melihat kegugupan Bayu seperti itu.

    Aku melihat Sintia dan Anita masih mengenakan pakaian sehari-hari mereka. Tanpa banyak bicara, aku menghampiri mereka. “Sintia, Anita, kalian ganti pakaian kerja dulu,” ucapku tegas. Mereka saling pandang sejenak, lalu mengangguk dan segera menuju ruang ganti di lantai dua.

    Setelah Anita dan Sintia menghilang di lantai dua, aku segera melangkah mendekati Bayu yang sedang sibuk menyapu lantai. Suasana di kedai terasa sedikit lengang, memberi ruang bagi pikiranku yang sudah lama ingin bicara dengannya. Aku memegang lengan Bayu, menghentikan gerakan sapunya, lalu menariknya ke arah meja terdekat. Aku menunjuk kursi di depan meja itu, memintanya duduk. Bayu menurut tanpa banyak bicara, dan aku segera duduk di sebelahnya. Aku memandang Bayu yang duduk di depanku. Wajahnya tampak tenang, tapi aku tahu dia pasti menunggu dengan perasaan campur aduk. Aku menarik napas sejenak sebelum akhirnya membuka suara.

    “Bayu, aku jujur terkejut saat kamu menyatakan perasaanmu tadi malam,” ucapku, mencoba menjaga nada suaraku tetap lembut. “Aku tidak menyangka kamu memiliki perasaan seperti itu. Tapi setelah berpikir semalaman, aku ingin memberikan jawaban sekarang, supaya kamu merasa tenang.”

    Bayu menatapku dengan penuh perhatian. “Apapun yang akan Ibu katakan, aku siap menerimanya,” katanya dengan suara yang terdengar tulus. “Aku tidak ingin memaksakan apa-apa. Aku hanya ingin tahu bagaimana perasaan Ibu, dan aku siap menerima keputusan Ibu, apapun itu.”

    Aku mengangguk pelan, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Bayu, kamu tahu sendiri kan, aku sudah bersuami. Dan bagiku, itu adalah sesuatu yang harus selalu diingat. Tapi aku juga tidak bisa memungkiri, ada kebanggaan tersendiri ketika tahu kamu menyukai aku. Kamu seorang pria yang baik, dan aku sungguh menghargai perasaanmu.”

    Bayu menghela napas panjang sebelum berkata, “Bu, aku tahu Ibu sudah bersuami. Aku mengerti itu. Tapi perasaanku pada Ibu datang dari hati, bukan sesuatu yang bisa aku kendalikan. Aku tidak bisa menahan perasaan ini, meskipun aku tahu posisi Ibu.” Ia berhenti sejenak, menatap mataku dengan dalam. “Aku tidak berpikir ini harus jadi halangan. Aku mencintai Ibu, apapun keadaan Ibu.”

    Aku menghela napas, mencoba menjaga pikiranku tetap jernih. “Bayu, aku mengerti perasaanmu, tapi kamu harus berpikir ulang,” kataku dengan nada tegas tapi tetap lembut. “Perasaan seperti ini tidak bisa dianggap enteng. Aku menghargai kejujuranmu, tapi kamu perlu sadar, ini bukan hanya tentang perasaan. Aku punya suami, dan itu kenyataan yang tidak bisa diabaikan. Kamu harus benar-benar memikirkan apa yang sedang kamu rasakan. Apakah ini benar yang kamu inginkan, dengan semua konsekuensinya?” Aku menatap Bayu, berharap dia mengerti beratnya situasi ini.

    Bayu menatapku dengan sorot mata yang penuh keyakinan. “Bu, aku sudah memikirkan semuanya,” katanya, suaranya sedikit bergetar namun tetap tegas. “Aku tahu ada konsekuensi dari perasaan ini. Tapi aku tidak takut. Aku siap menanggung apapun. Perasaanku ini tidak main-main, dan aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Aku mencintai Ibu, dan aku sadar sepenuhnya akan resikonya.” Ia berhenti sejenak, menarik napas, lalu melanjutkan. “Aku tidak berharap apa-apa, tapi aku juga tidak bisa mengubah perasaanku. Aku siap menghadapi apapun, selama aku bisa jujur dengan apa yang kurasakan.”

    Aku memandang Bayu dengan hati yang berat. Tanganku perlahan terulur, menggenggam tangannya dengan lembut. “Bayu,” kataku pelan, memastikan setiap kata terdengar jelas. “Aku akan menerima perasaanmu, dan jika itu yang kamu inginkan, aku akan menerima kamu sebagai kekasihku. Tapi hanya dengan syarat.” Bayu tampak terkejut, matanya tidak berpaling dariku. Aku melanjutkan, “Hubungan ini tidak akan mudah. Kamu harus paham, aku tidak bisa meninggalkan suamiku. Kita akan menjalani ini dengan sangat hati-hati. Kamu harus bisa menyimpan semuanya, tidak ada yang boleh tahu. Jika kamu setuju dengan syarat ini, kita bisa melanjutkannya. Tapi ingat, tidak ada ruang untuk kesalahan.” Aku menguatkan genggaman tanganku, menunggu jawabannya, berharap dia memahami risiko yang akan dihadapinya.

    Bayu menatapku dengan penuh keyakinan. Tanpa ragu, ia membalas genggamanku, mempererat cengkeramannya. “Aku sangat menerima syarat itu, Bu,” ucapnya dengan nada mantap. “Apapun syarat yang Ibu berikan, aku siap menjalani. Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku sudah siap. Aku akan menjaga semuanya seperti yang Ibu minta, dan tidak ada yang akan tahu soal kita. Aku berjanji.” Sorot matanya menunjukkan kesungguhan, dan aku tahu dia sudah memutuskan jalannya.

    Aku melepaskan genggaman tangan Bayu perlahan dan menarik napas dalam. “Baik, Bayu,” kataku sambil menatapnya serius. “Kita sudahi dulu pembicaraan ini. Mulai sekarang, kita jalani sesuai kesepakatan. Tapi, untuk saat ini, aku minta kamu fokus kembali ke pekerjaanmu. Jangan sampai hal ini mengganggu kinerja kita di kedai.”

    Bayu mengangguk patuh, berdiri dari kursinya dengan tenang. Aku melihatnya kembali mengambil sapu, lalu mulai bekerja lagi seolah tidak ada yang terjadi. Aku pun bangkit dan melanjutkan aktivitasku di kedai, menjaga agar semuanya tetap berjalan seperti biasa.

    Tak lama berselang, tiba-tiba Bang Bolang masuk ke dalam kedai. Wajahnya tampak kurang bersemangat, tidak seperti biasanya. Ia melangkah pelan, seolah kehilangan motivasi. Setelah menatap sekeliling sejenak, ia langsung mencari kursi dan duduk dengan lesu. Tidak ada sapaan atau senyum yang biasanya menyertainya saat datang.

    Aku menghampirinya dan bertanya, “Ada yang bisa aku bantu, Bang?”

    Dia mengangkat wajahnya, terlihat sedikit lebih hidup. “Bikin jamu tolak angin buat gw, Asti,” katanya dengan nada pelan.

    Dengan nada bercanda, aku menjawab, “Masa preman masuk angin, Bang?”

    Ekspresi wajahnya berubah sejenak. Ia tampak agak tersinggung. “Asti, gw ini manusia, bukan robot,” balasnya dengan suara sedikit meninggi.

    Melihat reaksi Bang Bolang, aku hanya bisa tersenyum. “Iya, aku buatin,” kataku sambil bergerak menuju bahan-bahan jamu.

    Aku mulai membuat jamu tolak angin untuk Bang Bolang. Aku menyiapkan semua bahan dengan cepat. Setelah campuran mendidih, aroma segar menyebar di kedai. Setelah beberapa saat, aku menuangkan jamu ke dalam gelas. Aku membawanya ke Bang Bolang yang masih duduk di kursi. Dengan hati-hati, aku menyodorkan gelas jamu padanya.

    “Ini Bang …” kataku

    Bang Bolang memegang gelas berisi jamu tolak angin. Dia menatapnya sejenak sebelum membawa gelas itu ke bibirnya. Dengan hati-hati, ia meneguk jamu yang aku buat. Ekspresi wajahnya perlahan berubah. Setelah meminum, ia mengangguk kecil, menunjukkan bahwa jamu itu enak. Setelah selesai, Bang Bolang meletakkan gelas kosong di atas meja. Ia mengeluarkan uang dari saku celananya. Dengan cepat, ia meletakkan uang di atas meja. Dia tidak berlama-lama dan langsung berdiri dari kursi.

    Dengan cepat, aku berkata, “Bang, tidak usah bayar. Jamu itu buat Abang.”

    Dia menatapku dengan serius, lalu menjawab, “Gw beli bukan minta!”

    Setelah meminum jamu, Bang Bolang beranjak pergi tanpa menunggu lebih lama. Dia melangkah keluar dari kedai dengan cepat, tidak memedulikan sekelilingnya. Meskipun dia preman, dia membayar untuk jamu yang dia pesan dengan uang yang diletakkan di atas meja. Dia menunjukkan sikap yang menghargai profesi aku sebagai pedagang. Aku merasa kagum dengan sikap tegasnya. Dia pergi dengan percaya diri, meninggalkan kesan yang mendalam bahwa meskipun dalam dunia yang keras, dia tetap memiliki prinsip yang kuat.

    Setelah Anita dan Sintia turun, aku dan Bayu berjalan bersama menuju lantai dua. Kami menaiki tangga tanpa berbicara, suasana di antara kami terasa berbeda namun tak terucapkan. Begitu sampai di lantai dua, tiba-tiba Bayu menarik lenganku, membuatku terhenti. Aku berbalik, dan kini kami saling berhadapan. Tatapan kami bertemu, ada sesuatu yang tak terjelaskan di dalamnya. Tanpa berpikir lebih lama, Bayu mendekat, dan ciuman pun terjadi, seakan itu adalah hal yang tak bisa lagi dihindari.

    Ciuman kami semakin dalam, seolah ada dorongan yang tak terbendung. Tangan Bayu mulai bergerak, perlahan menelusuri punggungku. Sentuhannya terasa tegas namun lembut, menciptakan sensasi yang membuat napasku semakin tak teratur. Jemarinya terus bergerak, menyusuri pinggangku, lalu naik ke buah dadaku. Tanpa ragu, Bayu meremasnya dengan lembut, dan pada saat itu, seluruh sel tubuhku meremang oleh kenikmatan yang menyeruak tanpa bisa kucegah.

    Aku perlahan mengurai pelukan Bayu dan melepaskan ciumannya. “Bayu, ini bukan waktunya,” kataku sambil menatap matanya. “Sekarang kita harus bekerja, bukan bermesraan seperti ini.”

    Bayu tersenyum, seolah tak terganggu oleh peringatan itu. “Aku nggak bisa menahan diri,” katanya, masih dengan nada santai, senyumnya tak hilang dari wajahnya.

    Aku menatap Bayu dengan tegas, mencoba mengendalikan situasi. “Sudah, sekarang cepat ganti pakaian. Kita nggak boleh berlama-lama di sini,” ucapku, sambil melepaskan diri sepenuhnya dari dekatnya. Bayu hanya mengangguk, senyum masih tersisa di wajahnya, lalu dia berbalik menuju ruang ganti pria.

    Aku bergerak menuju ruang ganti wanita. Dalam hati, perasaan bahagia masih bergetar setelah kejadian barusan. Saat mengganti pakaian, bayangan ciuman Bayu terus terulang. Rasanya sulit dipercaya bahwa kini dia adalah kekasihku. Setelah selesai mengganti pakaian, aku keluar dari ruang ganti. Di luar, Bayu sudah menanti dengan senyuman. Kami berjalan bersama ke lantai satu, lengan Bayu melingkar di pinggangku. Begitu sampai di lantai satu, tangan Bayu pun lepas dari pinggangku. Kami berdua kembali fokus pada rutinitas, melayani para pembeli jamu dengan semangat yang baru.

    Suasana kedai jamu kami sangat hidup dan ramai. Pelanggan datang silih berganti. Mereka berdiri di depan meja, memesan berbagai jenis jamu. Aku mengawasi semua aktivitas dari belakang meja. Anita dan Sintia melayani pelanggan dengan ramah. Bayu membantu di bagian dapur, meracik jamu dengan cepat. Suara obrolan dan tawa pelanggan memenuhi ruang kedai, menciptakan suasana yang menyenangkan. Kesibukan ini membuat waktu terasa cepat berlalu.

    Ketika jarum jam menunjukkan pukul 22.00 malam, aku mengingatkan semua orang bahwa kedai harus tutup. Suara pelanggannya mulai mereda. Dengan cepat, kami membersihkan meja dan merapikan barang-barang. Anita dan Sintia mengemas sisa jamu, sementara Bayu mencuci peralatan. Kedai yang sebelumnya penuh dengan suara dan tawa kini mulai sunyi. Dalam sekejap, suasana ramai berubah menjadi tenang, menandakan akhir dari hari yang panjang namun menyenangkan.

    Setelah kedai jamu tutup, kami berkumpul di belakang meja untuk mengobrol tentang pengalaman hari ini. Anita mengelus lehernya, “Hari ini benar-benar melelahkan, tapi sangat menyenangkan. Pelanggan datang silih berganti tanpa henti.”

    Sintia mengangguk, “Rasanya seperti tidak ada waktu untuk beristirahat. Tapi melihat senyum pelanggan saat mereka mencoba jamu baru kita itu membuat semua capek terasa ringan.”

    Bayu menambahkan, “Dan banyak yang meminta resep jamu detox itu. Kita harus pertimbangkan untuk menambah stok bahan.”

    Aku tersenyum, “Aku senang mereka menyukainya. Hari ini, kita berhasil memberikan yang terbaik.”

    Setelah menyelesaikan pekerjaan di kedai, kami semua naik ke lantai dua. Aku, Anita, dan Sintia masuk ke ruang ganti wanita. Bayu menuju ruang ganti pria. Di dalam ruang ganti, kami mulai melepaskan seragam kerja kami. Suasana terasa lebih santai setelah seharian sibuk melayani pelanggan. Aku dan kedua karyawanku mengobrol ringan tentang hari ini. Mereka bercerita tentang pelanggan yang mereka temui, sambil tertawa kecil mengingat beberapa kejadian lucu. Saat sedang mengganti pakaian, tiba-tiba Anita berhenti sejenak dan memeriksa ponselnya. Aku melihatnya tersenyum sambil menatap layar, membuatku penasaran. Raut wajahnya berubah, dan senyum kecil itu menambah keingintahuanku.

    “Dari pacar ya?” godaku pada Anita.

    “Em … Bisa dibilang begitu …” jawab Anita dengan nada genit.

    “Kok, gitu jawabnya?” tanyaku heran.

    Sintia menjawab, “Pasti dari selingkuhannya …”

    “Oh ya?” aku pun tersenyum sambil menatap Anita.

    “Hi hi hi … Sintia tuh cemburu aja. Dia kan gak laku-laku …” respon Anita masih dengan nada genit.

    “Sialan lo … Siapa bilang gue gak laku?” Sintia sewot sambil keluar ruang ganti dengan bibir mengerucut.

    “Bu sini …” ucap Anita sambil memanggilku lebih dekat, masih dengan senyuman penuh arti.

    Aku mendekat ke arah Anita setelah dia memanggilku. Dengan senyum penuh rahasia, dia memperlihatkan ponselnya. Di sana ada foto dua pria tampan dan elegan, berpenampilan rapi dan berwibawa. Keduanya terlihat mempesona, seperti model majalah. Aku mengerutkan kening dan menatapnya, terkejut.

    “Siapa mereka, Nit?” tanyaku, mencoba menebak siapa dua pria tampan ini.

    Anita tersenyum kecil, lalu menjawab dengan nada ringan, “Mereka pria yang baik hati dan royal, Bu.”

    Aku mengerutkan kening, masih belum paham. “Maksudmu?”

    “Mereka selalu kasih aku uang. Nggak banyak tanya, cuma mau aku senang,” jawabnya santai, seolah hal itu biasa saja.

    Aku menatap Anita dengan pandangan lebih serius, rasa penasaran berubah menjadi sedikit curiga. “Nit, kamu… nggak… menjual diri ke mereka, kan?” tanyaku hati-hati, mencoba menggunakan bahasa sehalus mungkin.

    Anita langsung menggeleng dengan cepat. “Enggak, Bu! Hubungan kami nggak kayak gitu. Ini bukan soal uang, tapi suka sama suka. Mereka cuma kebetulan baik banget dan perhatian. Itu saja,” jawabnya, nada suaranya terdengar meyakinkan, meski tetap terdengar santai.

    Aku tersenyum tipis, menatap Anita. “Kamu benar-benar beruntung, Nit. Tidak semua orang bisa menemukan pria-pria yang tampan dan perhatian seperti mereka. Apalagi, mereka begitu baik tanpa menuntut apapun darimu.”

    Anita tiba-tiba tersenyum nakal, matanya menatapku penuh arti. “Bu, kalau mau, salah satu dari mereka bisa buat Ibu juga,” tawarnya sambil menyeringai.

    Aku terkejut mendengar tawaran Anita. “Kamu pasti bercanda, Nit,” kataku sambil tersenyum ragu, mencoba menebak arah ucapannya.

    Tapi Anita langsung menggeleng, masih dengan senyuman di wajahnya. “Serius, Bu. Dua-duanya bertenaga kuda di ranjang. Mereka nggak pernah capek ngentot, meski udah beberapa ronde. Aku sendiri kadang kewalahan melayani mereka berdua. Makanya, kalau Ibu mau, salah satunya bisa Ibu ambil,” katanya tanpa ragu, seolah itu hal yang biasa saja.

    Aku terdiam sejenak mendengar ucapan Anita. Rasa terkejut langsung menyelimuti pikiranku, tak menyangka ia berbicara begitu terbuka dan blak-blakan tentang pria-pria yang dekat dengannya. Namun, setelah beberapa detik, keheranan itu berubah menjadi rasa penasaran. Ada sesuatu dalam caranya menggambarkan mereka yang membuatku merasa tertarik. Kata-kata Anita terus terngiang, dan tanpa kusadari, pikiranku mulai membayangkan bagaimana rasanya berada dalam situasi yang dia ceritakan. Meskipun semula terkejut, aku kini tidak bisa mengabaikan godaan birahi yang muncul perlahan dalam benakku.

    Anita pun tersenyum dan mulai meyakinkanku untuk ikut bersenang-senang, “Ayo, Bu, kita menginap di hotel bersama mereka. Pasti seru,” ujarnya dengan semangat.

    Mendengar itu, aku langsung menolak. “Aku tidak bisa, Nit. Mas Tio pasti akan menjemputku,” jawabku, berusaha tetap tegas meski ada rasa ingin tahu yang menggoda.

    “Nggak masalah, Bu. Aku bisa bilang sama Mas Tio bahwa Ibu menginap di rumahku. Dia pasti percaya,” jelasnya sambil tersenyum nakal. Dengan kata-kata itu, keraguan dalam diriku mulai memudar, dan tawaran itu semakin menggoda.

    Aku masih merasa ragu. “Nit, aku tidak yakin. Aku gak pede untuk pergi ke hotel dengan mereka,” kataku, suara bergetar karena ketidakpastian.

    Anita menatapku dengan penuh keyakinan. “C’mon, Bu! Ibu itu cantik, dan mereka pasti suka sama Ibu. Jangan meragukan dirimu sendiri. Ini kesempatan untuk bersenang-senang dan melupakan semua beban. Tidak ada salahnya mencoba,” ujarnya dengan semangat, berusaha meyakinkanku.

    Aku menatap Anita, mencoba memahami semua konsekuensi dari keputusan ini. “Tapi, Nit, jika aku menginap di hotel, berarti aku tidak bisa ke pasar. Itu artinya aku tidak bisa membuat jamu, dan kita tidak bisa jualan,” kataku, suara bergetar karena kebimbangan yang masih ada.

    Anita hanya tersenyum menggoda, seolah sudah memikirkan jawabannya. “Ah, itu tidak masalah, Bu. Kenapa tidak libur berjualan besok? Kita bisa kembali bekerja setelah menikmati waktu bersama mereka. Lagipula, semua orang butuh istirahat,” ujarnya dengan nada santai, seolah tidak ada yang lebih penting daripada kesenangan yang akan datang.

    Ucapannya membuatku semakin bingung, tetapi di saat yang sama, ada daya tarik dalam ide tersebut. Hanya dengan libur sehari, aku bisa merasakan sesuatu yang baru dan menyenangkan.

    Setelah mempertimbangkan semua itu, akhirnya aku mengangguk perlahan. “Baiklah, aku setuju. Aku akan ikut acara kamu, Nit,” kataku, suara ini terdengar lebih percaya diri dari yang aku rasakan.

    Anita tersenyum lebar, matanya bersinar dengan semangat. “Keren! Ini akan jadi pengalaman yang tak terlupakan, Bu!” ujarnya, seolah tidak sabar menunggu saat itu tiba.

    Rasa berdebar muncul di dalam diriku. Meskipun masih ada keraguan, rasa penasaran dan harapan semakin mendominasi pikiranku. Aku ingin melihat apa yang akan terjadi dan merasakan kebebasan yang selama ini aku inginkan.

    Aku dan Anita turun dari lantai dua. Begitu tiba di lantai satu, aku melihat sekeliling dan menyadari bahwa Sintia dan Bayu sudah tidak ada di kedai. Mereka rupanya sudah pulang tanpa menunggu kehadiranku. Dengan tenang, aku mengunci pintu kedai. Tak lama setelah itu, Mas Tio datang menjemput. Jantungku berdebar saat melihat suamiku tiba. Aku tidak mendekatinya, memilih untuk tetap berdiri di depan pintu kedai. Anita segera berbicara dengan Mas Tio. Pembicaraan mereka tidak dapat kudengar dengan jelas, tetapi samar-samar aku mendengar Anita meminta izin agar aku bisa menginap di rumahnya. Tak lama kemudian, Mas Tio mengangguk dan pergi tanpa menyapaku. Perasaanku campur aduk saat melihat suamiku meninggalkan tempat itu tanpa sepatah kata pun.

    “Bagaimana?” tanyaku ingin keyakinan setelah berhadapan dengan Anita.

    “Aman …” jawab Anita sambil mengangkat jempolnya.

    Aku berjalan di samping Anita menuju mini market di pinggir jalan raya. Langkah kami terasa ringan meskipun malam sudah menjelang. Lampu jalan menyinari jalan, menciptakan bayangan kami yang bergerak bersamaan. Suasana di luar ramai dengan suara kendaraan yang melintas dan orang-orang yang berlalu lalang. Anita tampak bersemangat, sesekali ia tersenyum dan melirikku, menandakan betapa gembiranya ia dengan rencana malam ini.

    “Bu … Boleh aku nanya sesuatu?” tanya Anita sambil merangkul bahuku.

    “Nit, sekarang jangan panggil Ibu dong. Kita kan hampir seumuran … Di kedai aja panggil ibu …” kataku.

    “Oke, Mbak … Boleh kan panggil Mbak saja?” respon Anita sambil tersenyum.

    “Iya itu lebih bagus,” jawabku tidak keberatan karena aku lebih tua darinya. “Apa yang mau tanyakan?” tanyaku menyambung pembicaraan di awal.

    Anita menatapku dengan penasaran. Mbak, aku melihat Mas Tio akhir-akhir ini terlihat dingin dan tidak mesra sama Mbak Asti. Apa ada masalah?” tanyanya.

    Aku terkejut dengan pertanyaannya. “Darimana kamu tahu kalau Mas Tio seperti itu?” balasku.

    Anita mengangkat bahu. “Aku sering memperhatikan kalian. Kalian jarang sekali ngobrol. Rasanya seperti kalian sedang bermusuhan.”

    “Anita, sebenarnya Mas Tio itu memang tidak pernah mesra kepadaku,” kataku, menatap jalanan di depan kami. “Dia sering bersikap kasar, walaupun hanya dalam ucapan. Terkadang, kata-katanya benar-benar menusuk hatiku.”

    Anita mendengarkan dengan serius. “Dia kasar sama Mbak?”

    “Iya,” jawabku pelan. “Sikapnya buruk terhadapku. Kadang aku merasa seperti tidak dihargai sama sekali.”

    Anita terlihat prihatin. “Mbak tidak seharusnya merasa seperti itu. Mbak Asti perlu melupakan Mas Tio. Malam ini, Mbak akan mendapatkan pria yang sempurna.” Dia meraih tanganku dan menggenggamnya lembut, memberikan semangat. “Mbak pantas mendapatkan yang lebih baik. Ingat, setiap wanita memiliki hak untuk bahagia. Malam ini adalah kesempatan Mbak untuk bersenang-senang dan melupakan semua beban itu. Nikmati setiap detiknya.”

    Aku tersenyum mendengar kata-kata Anita. Aku merasa ada harapan baru setelah mendengar penghiburan darinya. Keberanianku untuk melupakan Mas Tio semakin kuat. Kami terus berjalan menuju minimarket. Saat kami tiba, pintu minimarket sudah tertutup. Di depan minimarket, aku melihat dua pria tampan yang usianya sekitar awal 40-an berdiri di samping sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam. Mereka tampak elegan dan menarik perhatian. Hatiku berdebar, merasa penasaran dan ketertarikan pada saat yang bersamaan.

    Bersambung….