Ada saatnya dalam hidup ketika aku berhenti mendengarkan suara di luar, berhenti mengikuti langkah-langkah yang ditentukan oleh orang lain. Saat itulah aku mulai bertanya pada diriku sendiri, apa yang sebenarnya aku inginkan? Siapa aku, tanpa bayang-bayang ekspektasi yang membebani setiap gerak langkahku? Selama bertahun-tahun, aku berjalan di jalan yang ditentukan oleh harapan orang lain, orang tua, teman-teman, bahkan masyarakat. Aku berusaha memenuhi standar-standar yang seolah-olah diukir dalam batu, tak dapat diubah. Aku menjalani hidup dengan rasa takut, takut mengecewakan, takut dianggap gagal, dan takut tersesat. Namun, setiap kali aku mengikuti tuntutan-tuntutan itu, hatiku semakin jauh dari kedamaian yang sesungguhnya.
Lalu, datanglah suatu pagi yang hening. Aku berdiri di depan cermin, menatap diriku sendiri. Wajah yang aku lihat di sana terasa asing, wajah yang telah begitu lama mengabaikan bisikan jiwanya sendiri. Aku sadar, aku telah hidup untuk orang lain selama ini, melupakan apa yang sebenarnya kuinginkan, melupakan apa yang membuatku bahagia. Hari itu, aku memutuskan. Hidupku adalah untuk diriku sendiri. Bukan berarti aku berhenti peduli pada orang lain, bukan pula bahwa aku menjadi egois. Sebaliknya, aku menyadari bahwa untuk benar-benar hadir bagi orang lain, aku harus terlebih dahulu hadir untuk diriku sendiri. Aku harus mengenal diriku, memahami apa yang membuat hatiku bergetar, apa yang membuatku merasa utuh.
Perjalanan ini bukanlah jalan yang mudah. Aku harus berani menghadapi ketidakpastian, berani berjalan sendiri ketika orang lain tidak mengerti pilihanku. Aku belajar menolak ketika sesuatu tidak sesuai dengan nuraniku, belajar mendengarkan kata hati meski orang lain menentang. Namun, di setiap langkah yang aku ambil untuk diriku sendiri, aku merasakan kebebasan yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Kini, aku berjalan di jalanku sendiri. Bukan tanpa ragu, bukan tanpa tantangan, tapi dengan keyakinan bahwa aku layak bahagia dengan caraku sendiri. Hidup ini, singkat dan tak terduga, terlalu berharga untuk dijalani dalam bayang-bayang orang lain. Aku memilih untuk hidup dengan tulus, menjadi diriku yang sejati.
Sudah satu minggu Mas Tio meninggalkan rumah. Ia pergi bersama orangtuanya ke Yogyakarta. Kepergiannya seolah membawa angin segar dalam hidupku. Bukannya merasa sedih, aku malah merasakan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku lebih bebas bergerak. Tidak ada lagi kekangan yang membuatku merasa terbatasi. Langkahku terasa ringan. Aku bisa menentukan arah hidupku sendiri, tanpa harus memikirkan orang lain. Setiap harinya, aku merasa punya ruang lebih untuk menjelajahi siapa diriku sebenarnya. Kebebasan ini memberiku kesempatan untuk lebih mengenal diriku. Aku tak lagi terpaku pada rutinitas yang melelahkan. Aku mulai mencari tahu hal-hal yang selama ini terabaikan. Aku ingin menemukan apa yang membuatku merasa utuh. Inilah momen di mana aku benar-benar merasakan kebebasan dalam hidupku.
Dalam tiga hari terakhir, aku menyerahkan pengelolaan kedai jamu kepada Bayu. Anita dan Sintia mendukung keputusanku. Meskipun demikian, aku tetap yang membuat semua produk jamu. Kini, aku memiliki banyak waktu luang dan bisa mengatur waktu kerjaku dengan lebih fleksibel. Aku dapat membuat jamu kapan saja, asalkan stok di kedai selalu tercukupi. Kehadiran Bayu memberikan kelegaan. Ia mampu mengelola kedai dengan baik dan tahu cara menjalankan operasional harian. Dengan pembagian tugas seperti ini, kebebasanku semakin terasa. Aku semakin merasakan arti kebebasan. Waktu luang ini memberiku kesempatan untuk menjelajahi hal-hal baru dan menikmati hidup dengan cara yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.
Hari ini adalah hari Minggu, dan aku bisa menikmati waktu luang tanpa harus memikirkan urusan kedai jamu yang biasa menyita perhatian. Tidak ada beban pekerjaan, dan aku merasa lebih santai dari biasanya. Di tengah suasana yang tenang ini, Mas Sandy datang ke rumah. Kami merasa nyaman berada di sini, tanpa tekanan atau kekhawatiran. Segala kegiatan yang kami lakukan terasa bebas dan menyenangkan. Kami pun melakukan seks beberapa ronde di ranjang, menikmati setiap momennya tanpa tergesa. Dan setelah itu, kami memutuskan untuk keluar makan siang. Kami memilih sebuah restoran yang cukup tenang dan nyaman. Di sana, kami menikmati hidangan dengan damai. Obrolan ringan pun mengalir, membahas hal-hal sederhana yang membuat suasana menjadi lebih santai dan menyenangkan.
“Eh, aku ingin mengajakmu menjadi member sebuah klub yang menurutku menarik untuk kita jelajahi,” kata Mas Sandy sambil menyunggingkan senyum tipis.
Aku menoleh dengan rasa penasaran. “Klub apa?”
“Namanya ‘Slut Wives Club’.”
Aku mengerutkan kening, merasa aneh mendengar nama itu. “Apa maksudnya?”
Mas Sandy tertawa kecil, seolah merasa santai dengan topik ini. “Klub ini isinya istri-istri, seperti kamu,” katanya, nada bicaranya lebih tenang. “Bedanya, mereka terlibat dalam kegiatan seksual di luar pernikahan mereka.”
Aku terdiam, mencoba memahami maksudnya lebih dalam. “Maksudnya, mereka selingkuh?”
Mas Sandy tersenyum tipis mendengar pertanyaanku, lalu menggeleng pelan. “Bukan selingkuh,” katanya dengan nada santai. “Ini lebih seperti klub swinger, tapi dengan aturan yang lebih ketat. Para istri di klub ini bisa bebas memilih siapa yang mereka inginkan, tanpa harus terikat dengan satu pasangan saja. Tapi hanya para istri yang bisa memilih, sementara para suami tidak. Para suami hanya bisa menerima saja ajakan seorang istri di sana.”
Aku masih merasa sedikit bingung, dan Mas Sandy tampak menyadari itu. Dia pun melanjutkan penjelasannya. “Swinger itu sebenarnya istilah untuk pasangan, biasanya suami-istri, yang secara sukarela bertukar pasangan untuk urusan seks. Biasanya, mereka melakukannya bersama-sama atau di acara yang sudah diatur. Jadi, ini bukan perselingkuhan diam-diam, karena masing-masing pihak tahu dan setuju dengan aktivitas itu.”
Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, meski konsepnya masih terasa asing bagiku. Mas Sandy melanjutkan, “Di klub itu, para istri bisa menjalin hubungan dengan orang lain, tapi semuanya dilakukan dengan kesadaran dan izin dari pihak-pihak yang terlibat. Jadi, lebih terbuka dan tidak ada unsur sembunyi-sembunyi. Semua jelas dan tanpa drama.”
Aku mencerna kata-katanya, perlahan mulai memahami apa yang sebenarnya ia maksud. Ide ini masih terdengar tak biasa, tapi penjelasannya membuat konsepnya terasa lebih jelas.
Aku mendengarkan dengan seksama penjelasan Mas Sandy, dan semakin lama, aku mulai merasa tertarik. “Hmm… jadi semua dilakukan dengan kesadaran dan terbuka, ya?” Aku mengangguk pelan, mencoba membayangkan situasinya. “Sepertinya ini menarik.” Aku menatap Mas Sandy, rasa penasaran makin besar. “Kalau begitu, ada persyaratan khusus nggak untuk jadi anggota klub itu? Maksudku, nggak semua orang kan bisa masuk ke klub semacam ini?” tanyaku kemudian.
Mas Sandy mengangguk, senyumnya tetap tipis. “Benar sekali, untuk menjadi anggota klub ini, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Mereka sangat selektif dan tidak sembarangan orang bisa masuk.”
Aku merasa semakin tertarik dan menunggu penjelasan lebih lanjut. “Apa saja syaratnya?” tanyaku, berusaha menelan rasa penasaran yang membara.
“Yang paling umum adalah penampilan fisik,” jawab Mas Sandy, mengedipkan mata. “Suami harus tampan, dan istri harus cantik. Itu adalah salah satu syarat utama. Mereka ingin memastikan bahwa para anggota klub memiliki daya tarik fisik yang memadai.”
Aku mengangguk, mencoba mencerna informasi itu. “Jadi, sepertinya harus terlihat baik agar diterima, ya?”
“Betul,” jawabnya. “Mereka juga memiliki standar tertentu dalam penampilan, jadi bukan sembarang orang bisa menjadi anggota. Hal ini penting agar semua anggota merasa nyaman dan cocok satu sama lain.”
Aku membayangkan betapa ketatnya proses seleksi itu. “Hmm, jadi penampilan memang sangat penting di klub ini.”
“Ya, sangat!” Mas Sandy menambahkan. “Jadi, jika kita tertarik untuk bergabung, kita harus siap untuk memenuhi syarat itu.”
Aku memikirkan semua syarat yang dijelaskan Mas Sandy dan merasa sedikit berdebar. “Jadi, apakah aku memenuhi syarat untuk menjadi anggota klub itu?” tanyaku, penasaran dengan jawabannya.
Mas Sandy menatapku dengan senyum lebar. “Oh, kamu sangat memenuhi syarat!” katanya, mengangguk penuh keyakinan. “Kamu cantik dan seksi! Tidak ada keraguan sama sekali.”
Rasa percaya diriku meningkat seketika, tapi aku tetap ingin memastikan. “Kamu serius? Aku nggak tahu, mungkin ada standar yang lebih tinggi.”
Mas Sandy tertawa kecil, seolah menyemangatiku. “Percaya deh, kamu jelas termasuk kategori yang diinginkan. Penampilanmu sudah lebih dari cukup. Selain itu, sikapmu yang terbuka dan penasaran ini juga sangat menarik.”
Aku merasa hangat mendengar pujian itu. “Tapi kalau cuma penampilan, apa itu cukup untuk membuat orang lain nyaman?” tanyaku, meski sudah merasa senang dengan responnya.
“Di klub ini, penampilan memang jadi hal utama,” jelas Mas Sandy. “Namun, mereka juga menghargai kehadiran orang-orang yang menarik dan percaya diri. Dan aku yakin, kamu punya itu.”
“Jadi, aku bisa jadi anggota jika aku mau?” tanyaku, mengerutkan kening, berusaha membayangkan diriku di sana.
“Ya, jika kamu mau. Semua tergantung keputusanmu,” jawabnya. “Tapi dari apa yang aku lihat, kamu pasti akan jadi salah satu yang paling dicari di sana.”
“Hi hi hi … Mas bisa aja …” aku terkikik sekaligus senang mendengar pujian Mas Sandy.
“Jadi bagaimana? Apakah kamu tertarik?” tanya Mas Sandy agak serius.
“Hmm, aku merasa tertarik,” jawabku sambil menggigit bibir, meski ada keraguan yang mengganggu pikiranku. “Tapi bukankah anggota klub itu harus suami istri? Aku dan kamu… kita bukan pasangan.”
Mas Sandy tersenyum, seolah sudah mempersiapkan jawaban untuk pertanyaanku. “Sebenarnya, kita bisa pura-pura menjadi suami istri saat mendaftar. Selama proses pendaftaran, mereka tidak terlalu mempermasalahkan status hubungan kita yang sebenarnya. Yang penting, kita bisa meyakinkan mereka bahwa kita adalah pasangan yang cocok.”
Aku merasa terkejut dengan ide itu, tapi entah mengapa, rasanya menarik. “Oh, jadi kita bisa berpura-pura? Itu terdengar seperti rencana yang cukup sederhana.”
“Betul! Dan itu bisa jadi pengalaman yang menyenangkan bagi kita berdua,” jawab Mas Sandy dengan semangat. “Kita hanya perlu mempersiapkan diri dan datang dengan penampilan terbaik. Lagi pula, jika kamu sudah merasa tertarik, kenapa tidak mencoba?”
Aku mengangguk, merasa bersemangat dengan usulannya. “Oke, aku setuju! Mari kita lakukan! Ini pasti jadi pengalaman baru yang seru.”
“Bagus!” Mas Sandy tersenyum lebar, seolah mendengar keputusan itu sudah pasti. “Aku yakin kamu akan menikmatinya.”
“Lalu, kapan kita akan mendaftar?” tanyaku, rasa semangat bercampur dengan sedikit kecemasan.
“Sekarang juga,” jawab Mas Sandy dengan mantap, wajahnya tampak antusias.
Aku terkejut mendengar jawabannya. “Sekarang? Tapi… aku kurang siap! Aku belum mempersiapkan apa-apa,” kataku, merasa gugup.
Mas Sandy tertawa kecil, mencoba menenangkanku. “Tenang saja. Penampilanmu sudah sempurna untuk saat ini. Kamu sudah terlihat cantik dan seksi. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Maksud Mas, aku sudah cukup baik untuk mendaftar sekarang?” tanyaku, masih merasa sedikit ragu.
“Persis! Justru semakin lama kita menunggu, semakin banyak yang harus kita pikirkan. Lagipula, yang terpenting adalah keberanian kita untuk mencoba sesuatu yang baru,” ujarnya, matanya berbinar dengan semangat.
Aku mencerna kata-katanya, mulai merasa lebih percaya diri. “Baiklah, kalau kamu bilang begitu, aku akan ikut. Ayo, kita lakukan!”
“Ya! Ini akan jadi awal yang menarik untuk petualangan kita,” kata Mas Sandy, senyumnya semakin lebar.
Aku dan Mas Sandy kemudian melangkah keluar dari restoran. Suasana di luar tampak cerah, meski aku merasakan sedikit ketegangan di dalam dada. Mas Sandy memimpin jalan, menuntunku ke arah tempat parkir. Dia terlihat percaya diri dan bersemangat, sementara pikiranku berputar memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Mobil Mas Sandy terparkir tidak jauh dari pintu masuk restoran. Dia membuka pintu untukku, dan aku masuk ke dalam mobil. Dalam perjalanan menuju lokasi klub, suara mesin mobil mengisi keheningan di antara kami. Rute yang kami tempuh mengarah ke perumahan elite yang terletak di tepi pantai. Gedung-gedung tinggi perlahan-lahan berganti dengan rumah-rumah mewah yang berjejer rapi di sepanjang jalan.
Mas Sandy mengemudikan mobil dengan lancar, sesekali melirik ke arahku dengan senyum lebar, seolah ingin meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Pemandangan di luar mobil bergerak cepat, dan aku bisa melihat taman yang indah serta kolam renang pribadi yang terlihat dari balik pagar. Suasana di sini terasa tenang dan eksklusif, jauh dari keramaian kota.
Setelah beberapa menit berkendara, kami memasuki area perumahan yang lebih privat. Jalanan lebar dan terawat, dihiasi pepohonan rindang yang memberikan kesan asri. Mas Sandy memperlambat laju mobilnya dan berbelok ke sebuah jalan kecil yang mengarah ke salah satu rumah besar. Di ujung jalan, terdapat sebuah bangunan yang terlihat anggun, dikelilingi oleh taman yang rimbun dan langsung menghadap ke pantai.
Mas Sandy memarkir mobilnya di depan pintu masuk, lalu memandangku dengan penuh semangat. Dengan langkah mantap, kami keluar dari mobil dan menuju pintu masuk klub. Suara gemuruh detak jantungku semakin terasa saat kami mendekat. Bangunan itu memberikan aura yang misterius dan menggoda, membuatku semakin penasaran dengan apa yang ada di dalamnya.
Kami berhenti sejenak di depan pintu, dan Mas Sandy menekan bel. Setelah beberapa detik, pintu terbuka, memperlihatkan seorang penjaga yang tampak ramah namun tegas. Mas Sandy memperkenalkan diriku sebagai calon anggota baru, dan penjaga itu mengangguk sebelum mengizinkan kami masuk. Saat kami melangkah masuk, suasana di dalam klub terasa berbeda. Musik lembut mengalun di latar belakang, sementara pencahayaan yang redup memberikan suasana intim. Di dalam, aku melihat beberapa orang yang sedang berbincang dan menikmati minuman. Aku merasakan getaran semangat di dalam diriku, seolah kami baru saja memasuki dunia baru yang penuh dengan kemungkinan.
Mas Sandy menggenggam tanganku, memberikan rasa tenang saat kami melangkah lebih dalam ke dalam klub. “Ayo, kita cari tempat pendaftaran,” katanya sambil tersenyum.
Kami berjalan menyusuri koridor yang dikelilingi oleh lukisan-lukisan cantik dan lampu-lampu lembut. Suasana di dalam klub semakin terasa hangat dan akrab. Mas Sandy melirik ke arahku, seolah ingin memastikan aku baik-baik saja. Di ujung koridor, kami melihat seorang pria berpakaian rapi yang berdiri di belakang sebuah meja informasi. Mas Sandy mendekatinya dan memperkenalkan diriku. “Kami adalah calon anggota baru,” katanya dengan nada penuh percaya diri.
Pria itu tersenyum dan mengangguk, terlihat ramah. “Selamat datang! Saya senang kalian datang. Mari, ikuti saya.”
Dia kemudian memimpin kami menuju sebuah ruangan di sebelah kiri, pintunya terbuat dari kayu gelap dengan ukiran halus. Sebelum memasuki ruangan, pria itu mempersilakan kami untuk mengetuk pintu.
Aku merasakan sedikit ketegangan dalam dada, tetapi juga rasa ingin tahu yang mendalam. “Apakah kamu siap?” tanya Mas Sandy sambil melihatku dengan penuh harapan.
“Siap,” jawabku, berusaha menampilkan keberanian meskipun hati ini berdebar-debar. Dengan satu ketukan lembut, kami menunggu jawaban dari dalam.
“Masuk!” terdengar suara dari balik pintu.
Dengan perasaan campur aduk, aku mendorong pintu dan melangkah masuk bersama Mas Sandy. Begitu melangkah ke dalam, aku terpesona oleh suasana ruangan yang begitu elegan. Dindingnya dihiasi dengan wallpaper mewah berwarna gelap, dan lampu gantung yang berkilauan menambah nuansa glamor.
Di tengah ruangan, ada seorang pria berpakaian formal yang duduk di belakang meja besar. Dia menatap kami dengan mata tajam namun ramah. “Selamat datang,” katanya dengan suara yang tenang. “Silakan duduk.”
Kami pun berjalan ke kursi yang disediakan di depan mejanya, dan aku merasakan tatapan pria itu yang tidak lepas dari kami. Mas Sandy membukakan kursi untukku, dan aku duduk dengan hati-hati, berusaha menjaga ketenangan meskipun suasana semakin terasa formal.
Pria itu tersenyum lebar, lalu mulai berbicara. “Saya senang kalian datang. Saya di sini untuk membantu proses pendaftaran kalian sebagai anggota baru. Apakah kalian sudah siap untuk melanjutkan?”
Aku menatap Mas Sandy, yang tampak yakin, lalu mengangguk. “Kami siap,” kataku, suara sedikit bergetar, tetapi aku berusaha menampilkan keberanian.
“Bagus,” jawab pria itu, mengambil selembar kertas dari tumpukan di atas mejanya. “Mari kita mulai dengan mengisi formulir pendaftaran. Saya akan menjelaskan setiap langkahnya.”
Aku dan Mas Sandy mulai mengisi formulir pendaftaran yang diberikan pria di depan kami. Ruangan yang elegan itu semakin terasa intim saat kami berfokus pada kertas yang terletak di antara kami. Mas Sandy terlihat sangat antusias, sementara aku berusaha menenangkan diri dan berkonsentrasi pada setiap pertanyaan yang ada. Saat mengisi formulir, rasa gugup yang semula memenuhi dadaku perlahan-lahan mulai memudar. Aku menyadari bahwa lingkungan di sekitar kami terasa lebih akrab seiring berjalannya waktu. Suara lembut musik yang mengalun dari latar belakang, aroma wangi dari lilin yang menyala, dan pencahayaan yang lembut membantuku merasa lebih tenang.
Setiap pertanyaan yang kami jawab seakan membawa kami lebih dekat ke tujuan yang telah kami pilih. Mas Sandy duduk di sampingku, memberikan senyuman dan anggukan dukungan yang membuatku merasa lebih nyaman. Ketika pria di depan kami menjelaskan detail-detailnya dengan sabar, ketegangan yang sempat menghimpit terasa semakin berkurang.
Dengan setiap kolom yang kuisi, rasa percaya diriku mulai bangkit. Aku mulai membayangkan bagaimana rasanya menjadi bagian dari klub ini, bertemu dengan orang-orang baru, menjalani pengalaman yang berbeda, dan menjelajahi sisi-sisi diri yang mungkin belum pernah aku ketahui sebelumnya.
Saat kami hampir menyelesaikan formulir, aku merasakan semangat baru membara di dalam diri. Gairah untuk menjelajahi dunia ini menggantikan keraguan yang pernah ada. Dengan satu tarikan napas dalam, aku menegaskan niatku di dalam hati. Ketika formulir itu selesai, aku merasa siap untuk langkah selanjutnya, bersemangat menjadi anggota klub ini, dan merangkul petualangan baru yang menanti di depan.
Setelah kami menyelesaikan pengisian formulir, pria di depan kami menatap kami dengan senyum yang meyakinkan. “Baik, kalian telah menyelesaikan langkah pertama. Sekarang, kami perlu membawa kalian ke ruangan berikutnya,” katanya dengan nada serius namun ramah.
Kami saling memandang dengan penuh semangat. “Apa yang akan terjadi di ruangan itu?” tanyaku, rasa penasaran menguasai diri.
“Di ruangan itu, kalian akan dinilai oleh tim penilai kami. Mereka akan mempertimbangkan apakah kalian layak menjadi anggota klub ini,” pria itu menjelaskan. “Ini adalah tahap penting, jadi bersiaplah.”
Mas Sandy mengangguk penuh percaya diri. “Kami siap!” jawabnya tegas.
“Bagus! Silakan ikuti saya,” pria itu melanjutkan, berdiri dan menggerakkan tangannya untuk menunjukkan jalan. Kami berdua berdiri dan mengikuti langkahnya ke pintu lain di sisi ruangan.
Dengan langkah mantap, kami mendekati pintu yang mengarah ke ruangan penilaian. Suara rendah dari dalam menunjukkan ada beberapa orang yang sedang berbincang. Pria itu mengetuk pintu sebelum membukanya. Begitu pintu terbuka, salah satu dari mereka yang duduk di dalam menyambut kami dengan ramah, “Selamat datang di ruangan penilaian. Silakan masuk dan ambil tempat duduk,” katanya sambil menunjuk kursi yang disediakan.
Aku dan Mas Sandy melangkah masuk dengan percaya diri, siap untuk menghadapi langkah berikutnya dalam petualangan ini. Kami duduk di kursi yang ditunjukkan dan bersiap mendengarkan penjelasan dari tim penilai, merasakan semangat yang membara dalam diri.
Begitu kami melangkah masuk ke dalam ruangan, aku melihat tiga orang pria tampan yang menjadi tim penilai. Salah satu di antara mereka segera bangkit dari kursinya dan menerima berkas formulir pendaftaran dari pria yang mengantar kami. Dengan penuh perhatian, ia membuka berkas tersebut dan mulai membaca isinya. Dua anggota tim penilai lainnya juga memusatkan perhatian pada kami, beberapa di antaranya mengangguk-anggukkan kepala seolah memahami dan menyetujui informasi yang tertulis di dalam formulir. Ada suasana profesional namun ramah di antara mereka, yang membuatku merasa sangat nyaman.
Begitu salah satu pria tampan dari tim penilai selesai membaca formulir kami, dia menatap kami dengan senyum yang percaya diri. “Sebelum kita melanjutkan, ada satu hal yang perlu kami sampaikan,” katanya, suaranya tegas namun santai. “Di tempat ini, kami tidak ingin kalian merasa sungkan. Pada praktik sesungguhnya nanti, semua anggota diharuskan untuk telanjang.” Dia menatap kami bergantian, lalu melanjutkan, “Oleh karena itu, kami meminta kalian untuk telanjang di hadapan kami agar kami bisa menilai fisik kalian dengan lebih baik.”
Kata-katanya membuatku terkejut, dan aku merasakan jantungku berdegup kencang. Namun, Mas Sandy tampak tenang dan mengangguk, seolah sudah mengantisipasi hal ini. Dengan rasa ingin tahu yang melampaui rasa gugupku, aku menatap Mas Sandy, mencoba mencari dukungan dan kepastian dari dirinya sebelum mengambil langkah ini. Meskipun situasinya terasa baru dan tidak biasa, keinginan untuk menjadi bagian dari klub ini menguatkan tekadku. Aku menghela napas dalam-dalam, bersiap untuk melepas seluruh pakaianku di hadapan tim penilai.
Dengan hati yang berdegup kencang, aku dan Mas Sandy saling berpandangan sebelum mulai melepas pakaian kami. Satu per satu, kami melepaskan lapisan-lapisan yang menghalangi, merasakan angin sejuk menyentuh kulit kami yang telanjang. Tak disangka, aku merasakan kesenangan dan kebebasan, setiap helai kain yang jatuh ke lantai seakan membawa pergi keraguan yang ada.
Tim penilai mulai mendekat, memeriksa kami dengan tatapan serius namun penuh keinginan. Aku bisa merasakan mereka mengamati setiap detail, dari postur hingga ekspresi wajah kami. Mas Sandy tetap tenang di sampingku, seolah kehadirannya memberi kekuatan tambahan. Namun, di balik perasaan itu, ada rasa percaya diri yang mulai tumbuh. Aku mengingat niatku untuk menjadi bagian dari klub ini, dan itu memberi aku dorongan untuk tetap kuat. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, tim penilai akhirnya berhenti dan saling berbisik.
“Selamat,” ujar salah satu dari mereka, senyumnya lebar. “Kalian berdua diterima sebagai anggota klub ini.”
Aku dan Mas Sandy saling berpelukan, merasakan rasa lega yang luar biasa. Keputusan itu menandai awal perjalanan baru bagi kami, satu langkah lebih dekat untuk mengeksplorasi apa yang selama ini kami impikan.
Setelah mendengar keputusan itu, rasa lega kami langsung disusul oleh instruksi dari salah satu anggota tim penilai. “Baiklah, sekarang silakan kalian mengenakan pakaian kembali,” ujarnya dengan nada tegas namun ramah.
Aku menatap Mas Sandy, dan kami berdua mengangguk sebelum mulai mengambil pakaian yang sebelumnya kami lepaskan. Dalam proses itu, aku merasakan kembali kehangatan kain yang menyelimuti tubuhku, seolah mengembalikan rasa nyaman yang sempat hilang.
“Jangan khawatir, ini semua bagian dari proses,” tambah salah satu penilai sambil tersenyum, seakan ingin menenangkan kami.
Setelah kami berpakaian kembali, tim penilai memberi beberapa arahan mengenai kegiatan klub dan harapan mereka terhadap kami sebagai anggota baru. Suasana semakin santai saat kami mendengar penjelasan mereka.
“Selamat datang di klub ini. Kami yakin kalian akan merasa betah di sini,” kata salah satu penilai dengan nada hangat.
Setelah arahan dan ucapan selamat dari tim penilai, mereka menyerahkan kartu anggota kepada kami. Kartu itu berkilau dengan lambang klub yang diukir rapi, terasa berat dan elegan di tanganku. Rasanya hampir tidak percaya bahwa kami sekarang adalah anggota resmi.
Kami mengucapkan terima kasih, lalu berjalan keluar dari ruangan penilai, melewati lorong menuju pintu ruang pendaftaran. Begitu berada di luar, aku menarik napas dalam-dalam, merasakan kelegaan yang sangat berbeda dari sebelumnya.
“Bagaimana kalau kita lihat-lihat sekitar sini?” tanyaku pada Mas Sandy sambil tersenyum kecil.
Ia mengangguk setuju. “Setuju, sayang. Rumah ini luar biasa megah, pasti ada banyak yang menarik.”
Kami melangkah ke koridor yang luas dengan lantai marmer yang bersih dan dinding dihiasi karya seni klasik. Setiap sudut tampak dirancang dengan detail yang elegan, mencerminkan kemegahan rumah besar ini. Cahaya lampu kristal di langit-langit menyinari ruangan dengan lembut, menciptakan suasana hangat dan mengundang rasa penasaran.
Kami menemukan sebuah ruang baca dengan rak-rak tinggi yang dipenuhi buku dari berbagai genre, serta kursi-kursi empuk yang mengundang untuk diduduki. Di sebelahnya, ada ruangan yang tampak seperti ruang musik, lengkap dengan piano antik dan beberapa alat musik lain yang disusun rapi.
“Aku tak menyangka klub ini begitu luas dan penuh fasilitas,” ujar Mas Sandy sambil mengamati sekeliling dengan kagum.
Kami terus berjalan, menikmati setiap ruangan yang menakjubkan, merasakan diri kami semakin menyatu dengan lingkungan baru ini. Kami terus berjalan melewati lorong-lorong besar hingga tiba di sebuah ruangan terbuka yang mengarah ke kolam renang. Pemandangan di depanku membuatku terdiam sejenak, bahkan tanpa sadar menahan napas. Di sekitar kolam renang, banyak pasangan tengah bercengkerama dengan santai, dan semuanya tampak tak mengenakan sehelai benang pun. Mereka berbicara dengan leluasa, seakan rasa malu tidak ada di antara mereka.
Mas Sandy tampak sedikit terkejut juga, namun ia segera menatapku dengan senyum tenang, memberikan isyarat bahwa tidak apa-apa untuk merasa takjub di tengah suasana ini. Kami saling berpegangan tangan, berjalan perlahan mendekati tepi kolam. Suasana di sini begitu bebas dan hangat, dan para anggota tampak sangat akrab satu sama lain.
“Sepertinya inilah yang membuat tempat ini begitu unik,” bisikku pada Mas Sandy, yang mengangguk setuju.
Aku merasa perasaan canggungku perlahan mulai berkurang, digantikan oleh rasa penasaran yang kuat akan kebebasan yang dirasakan oleh semua orang di sini. Kami berdiri di tepi kolam, mengamati para anggota yang tertawa dan bercanda satu sama lain dengan akrab.
“Apakah kita juga harus mengikuti aturan mereka di sini?” tanyaku sambil melirik Mas Sandy.
Ia tersenyum kecil. “Kita ikuti saja arusnya, dan nikmati pengalaman baru ini.”
Belum ada lima menit kami menikmati suasana di tepi kolam, tiba-tiba seorang wanita cantik menghampiri kami. Ia tampak percaya diri dengan senyum ramah di wajahnya. Tanpa sehelai benang pun, ia melangkah mendekat dan menyapa dengan nada yang hangat.
“Hai, kalian anggota baru, ya?” tanyanya, mengulurkan tangan dengan percaya diri. “Nama saya Lina.”
Aku dan Mas Sandy menyambut uluran tangannya dengan sedikit gugup namun berusaha tampak santai. “Iya, benar. Senang berkenalan denganmu, Lina,” jawabku sambil tersenyum.
Lina mengangguk dengan antusias. “Wah, senang sekali ada anggota baru! Biasanya, para anggota sering berkumpul di sini untuk bersantai. Ini tempat favorit banyak orang,” jelasnya sambil menunjuk kolam renang yang ramai dengan tawa dan obrolan hangat.
Aku mengamati sekeliling, masih terpesona dengan suasana yang ada. “Ini benar-benar luar biasa,” ujarku sambil menggeleng kecil, seolah tidak percaya dengan apa yang kulihat. “Aku tak pernah membayangkan ada tempat yang seberbeda ini, di mana orang-orang bisa begitu santai dan bebas.”
Lina tersenyum mendengar kekagumanku. “Ya, memang begitu,” katanya dengan nada memahami. “Di sini, semua orang bisa merasa nyaman menjadi diri mereka sendiri tanpa takut dihakimi. Kebebasan dan kenyamanan adalah hal utama.”
Mas Sandy mengangguk setuju, tampak terkesan dengan keterbukaan yang kami saksikan. “Suasananya benar-benar mendukung, ya. Semuanya tampak begitu alami,” tambahnya, tatapannya masih mengarah ke kolam renang yang penuh keceriaan.
Lina tertawa kecil. “Itulah kenapa kami semua sangat mencintai tempat ini. Klub ini lebih dari sekadar tempat biasa; ini seperti rumah kedua bagi kami,” katanya sambil menepuk pundakku dengan ramah. “Aku yakin kalian akan merasa betah seiring waktu.”
Aku tersenyum, merasakan perasaan hangat di dalam hati. Rasanya baru pertama kali kami merasakan lingkungan seperti ini, di mana kebebasan pribadi begitu dihargai. Aku semakin yakin bahwa keputusan bergabung dengan klub ini adalah pilihan yang tepat.
Lina tersenyum hangat sambil berkata, “Kalau kalian mau, aku bisa mengenalkan kalian kepada beberapa teman di sini. Mereka pasti senang bertemu anggota baru!”
Aku pun mengangguk antusias. “Tentu saja, Lina. Kami sangat senang bisa berkenalan dengan mereka,” jawabku dengan penuh semangat.
Dengan riang, Lina mengajak kami berjalan di sekitar kolam, menghampiri beberapa kelompok yang sedang bercakap-cakap. Ia mulai memperkenalkan kami pada orang-orang di sana dengan penuh keakraban. “Ini Ivan dan Katie,” katanya memperkenalkan pasangan yang tampak ramah, masing-masing menyambut kami dengan senyum lebar. Mereka bercerita bahwa mereka telah menjadi anggota klub ini selama bertahun-tahun, dan merasakan tempat ini sebagai ruang bebas untuk diri mereka.
Setelah beberapa obrolan hangat, Lina membawa kami ke sekelompok orang lainnya. “Ini Rina dan Andre,” kata Lina. Mereka berdua menyapa kami dengan hangat, lalu mulai berbagi cerita tentang acara-acara rutin yang diadakan klub, mulai dari kegiatan santai hingga sesi diskusi dan kegiatan seni.
“Kalian pasti akan menikmati waktu di sini. Klub ini penuh dengan orang-orang yang menghargai kebebasan dan kebersamaan,” kata Rina sambil tersenyum ramah.
Aku merasa semakin nyaman. Setiap orang yang diperkenalkan Lina begitu ramah dan terbuka, membuat kami merasa benar-benar diterima di lingkungan ini. Bahkan, mereka seolah menyambut kami seperti teman lama. Mas Sandy tampak sama terkesannya, ikut larut dalam obrolan yang mengalir dengan mudah.
“Terima kasih banyak, Lina. Kami benar-benar merasa diterima,” kataku tulus sambil tersenyum.
Lina mengangguk dengan senang. “Senang bisa berbagi kehangatan klub ini dengan kalian. Aku yakin kalian akan cepat merasa menjadi bagian dari keluarga ini,” jawabnya. Lina tersenyum manis dan melanjutkan, “Kalau kalian butuh waktu untuk bersantai dan bersenang-senang, jangan ragu untuk menghubungiku. Kita bisa menjelajahi tempat-tempat baru, atau mungkin melakukan sesuatu yang lebih… pribadi. Maksudku seks …” Dia memberi tatapan menggoda yang membuatku merasa berdebar.
Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala sedikit, “Mungkin lain kali saja, Lina. Sekarang aku dan Mas Sandy baru ingin mempelajari situasi ini lebih dalam. Kita masih butuh waktu untuk merasa nyaman dan mengenal satu sama lain lebih baik. Tapi terima kasih atas tawaranmu, aku benar-benar menghargainya.”
Lina mengangguk dengan pengertian, “Tidak masalah, aku mengerti. Semoga kalian cepat beradaptasi dan merasa nyaman.” Dia tersenyum lebar, menyiratkan dukungannya. “Aku akan menunggu kabar dari kalian,” tambahnya sebelum berdiri.
“Baiklah, aku pamit dulu. Aku ingin bergabung dengan teman-temanku lagi. Semoga kalian bersenang-senang!” Lina melambaikan tangan sambil berjalan menjauh, meninggalkan kami.
Aku dan Mas Sandy melanjutkan tur kami ke bagian lain rumah megah ini. Kali ini kami menaiki tangga, lalu berjalan menyusuri koridor ke arah depan. Suasana di sekitar kami semakin terasa mewah dengan lampu-lampu kristal yang berkilau dan lukisan-lukisan indah di dinding.
Beberapa saat kemudian, aku melihat seorang wanita berpakaian lengkap layaknya security berdiri di depan sebuah pintu. Wajahnya serius, tetapi ada sesuatu yang ramah di tatapannya.
“Selamat siang,” sapa kami saat mendekatinya.
Wanita itu tersenyum sekilas, “Selamat siang. Apa kalian ada keperluan di sini?”
Mas Sandy menjawab, “Kami adalah anggota baru. Kami sedang menjelajahi rumah ini. Apa ada yang menarik di balik pintu ini?”
Wanita itu menatap kami sejenak sebelum menjelaskan, “Ruangan ini adalah tempat para anggota yang sedang bersenang-senang. Di sini, mereka bisa menikmati waktu dengan cara yang lebih intim. Jika kalian ingin bergabung, tunjukkan kartu anggota kalian terlebih dahulu,” lanjutnya dengan nada sopan, meskipun tetap tegas.
Mas Sandy mengangguk, lalu menjawab, “Kami sebenarnya sudah memiliki kartu anggota, tapi saat ini kami belum tertarik untuk memasuki ruangan ini.”
Aku menambahkan, “Kami baru ingin mempelajari situasi yang ada di sini untuk mengenal lebih jauh tentang klub ini sebelum mengambil langkah selanjutnya.”
Wanita itu mengangguk, memahami keputusan kami. “Itu sangat wajar. Banyak anggota baru yang ingin melakukan hal yang sama. Jika kalian berubah pikiran atau ada pertanyaan lain, jangan ragu untuk menghubungiku.”
Kami mengucapkan terima kasih atas penjelasannya dan melanjutkan perjalanan kami sambil tetap berusaha memahami suasana dan dinamika klub ini. Setelah merasa puas dengan tur ini, kami pun memutuskan untuk meninggalkan klub. Kami berjalan keluar dari rumah megah ini, melewati koridor yang dihiasi dengan berbagai karya seni yang mengesankan. Ketika kami akhirnya tiba di pintu keluar, aku merasakan angin sejuk yang menyambut kami, seolah memberikan kesegaran setelah berada di dalam suasana yang begitu mewah.
“Ke mana kita pergi selanjutnya?” tanya Mas Sandy sambil mencari-cari mobilnya.
“Yang penting kita bisa istirahat sejenak,” jawabku, merasa senang bisa menikmati pengalaman baru ini.
Akhirnya, kami menemukan mobil Mas Sandy dan melangkah masuk. Dengan satu tarikan napas dalam, kami meninggalkan rumah megah itu, membawa kenangan dan rasa ingin tahu tentang apa yang akan datang berikutnya. Sebenarnya, lobidoku sejak tadi terus bergejolak, ingin dilepaskan, tetapi aku masih merasa belum siap. Mungkin saatnya nanti aku akan benar-benar menikmati suasana klub itu. Saat mobil melaju menjauh dari rumah megah, pikiranku melayang kembali ke semua yang kami lihat. Momen-momen berharga dan interaksi yang penuh teka-teki membuatku merasa sangat penasaran. Di satu sisi, rasa ingin tahuku semakin membara; di sisi lain, aku merasa perlu untuk lebih siap sebelum terjun ke dalamnya.
Mas Sandy mengemudikan mobil sambil sesekali melirik ke arahku. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, mencoba membaca pikiranku.
“Ya, aku hanya berpikir tentang apa yang kita alami di klub tadi,” jawabku. “Ada banyak hal menarik di sana, tapi aku juga merasa perlu untuk lebih siap sebelum mengambil langkah selanjutnya.”
Mas Sandy mengangguk, tampak memahami. “Itu wajar. Kita bisa kembali kapan saja. Tidak ada tekanan untuk segera terlibat dalam semua itu.”
Kata-katanya membuatku merasa lebih tenang. Kami berdua menyusuri jalanan sambil merencanakan langkah selanjutnya, kemudian membiarkan pikiran kami berkelana pada kemungkinan-kemungkinan yang akan datang. Mungkin, dengan waktu, aku akan menemukan keberanian untuk benar-benar merasakan pengalaman yang ditawarkan klub itu. Aku benar-benar ingin merasakan kesenangan yang ada di klub itu. Ada sesuatu yang menggoda dan penuh janji di dalamnya, pengalaman yang belum pernah aku alami sebelumnya. Semakin aku memikirkan tentang semua itu, semakin kuat rasa inginku untuk menyelami semua yang ditawarkan. Suatu saat, aku akan mengambil langkah itu dan benar-benar menikmati setiap detiknya.
Bersambung…