Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Aku menyiapkan sarapan untuk Mas Sandy, seperti biasa. Telur orak-arik, roti panggang, dan secangkir kopi hitam, semuanya kupersiapkan dengan hati-hati. Mas Sandy duduk di meja makan, mengambil piring sarapan yang kuhidangkan. Kami mulai makan sambil berbicara ringan, bercanda seperti biasanya. Dia tidak banyak bicara soal perasaannya, namun aku bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya. Tapi dia tetap berbicara denganku, tertawa ringan saat aku membuat lelucon kecil. Kami pun menikmati sarapan itu dengan santai.
Aku menatap Mas Sandy, mencoba menangkap sesuatu yang tersembunyi di matanya. “Mas,” kataku pelan, “apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa Mas Sandy sama Siska bisa sampai seperti ini?” Aku menunggu beberapa detik, sebelum melanjutkan, “Bukankah kalian sudah sepakat untuk punya pasangan di luar pernikahan? Kalau begitu, kenapa ada keraguan seperti ini? Aku tahu kalian punya aturan yang jelas, jadi kenapa sekarang terlihat begitu… berbeda?”
Mas Sandy meletakkan sendoknya perlahan, tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengeluarkan kata-kata. Wajahnya terlihat serius, meskipun ia berusaha tetap tenang.
“Sejujurnya, Asti,” jawabnya dengan suara yang lebih rendah, “aku nggak nyangka kalau Siska bisa melibatkan hati dalam hubungan ini. Kita memang sepakat untuk menjalani hubungan terbuka, tapi aku nggak pernah menduga kalau itu bakal berkembang jadi sesuatu yang lebih dari sekadar kesenangan fisik. Aku kira, itu cuma hal yang bisa dipisahkan dari perasaan, tapi sekarang aku merasa ada yang berubah, dan itu bukan cuma soal fisik, melainkan lebih ke perasaan yang terlibat.” Mas Sandy menarik napas dalam-dalam, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku nggak tahu harus bagaimana. Aku mulai merasa bahwa Siska benar-benar jatuh cinta sama pasangannya, dan itu… bikin semuanya jadi lebih rumit. Aku nggak paham kenapa dia harus bawa perasaan dalam kesepakatan yang sebenarnya sudah jelas antara kita.”
“Mas,” kataku lembut, “mungkin ini hanya perasaan Mas saja. Terkadang, ketika kita merasa cemas atau ragu, perasaan kita bisa membesar dan membuat semuanya terasa lebih rumit dari yang sebenarnya.” Aku menyentuh tangannya dengan lembut, mencoba memberi rasa nyaman. “Aku tahu, hubungan terbuka itu tidak mudah, dan mungkin Mas merasa ada yang hilang. Tapi jangan langsung berpikir buruk tentang Siska.”
Mas Sandy mengangkat pandangannya, matanya sedikit penuh dengan kekesalan. “Aku tidak paham, Asti. Siska itu aku cuma minta tinggal seminggu saja di Bali dengan pasangan bulenya, cuma seminggu. Tapi dia malah memutuskan untuk tinggal sebulan penuh. Aku tidak mengerti kenapa dia tidak bisa menghargai permintaanku yang sederhana itu.” Dia menggeleng pelan, ekspresinya menunjukkan kebingungan dan kekesalan. “Menurutku, kalau dia masih peduli sama aku, dia harusnya bisa mengerti dan mematuhi permintaanku. Tapi dia tidak lakukan itu. Itu yang membuat aku yakin, dia mulai melibatkan perasaan pada pasangannya. Kalau tidak, dia tidak akan nekat begini.” Mas Sandy terlihat ragu sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan. “Aku merasa, Siska sudah mulai lebih memilih dia daripada aku. Dan itu yang membuat semua ini jadi semakin rumit.”
Aku tersenyum lembut, berusaha menenangkan Mas Sandy yang tampak terpukul. “Mas, jangan terlalu membiarkan pikiran itu menguasai. Aku yakin, Siska masih sayang sama Mas. Mungkin dia hanya merasa nyaman dengan situasinya sekarang, tapi itu bukan berarti dia lebih memilih orang lain.” Aku mencondongkan tubuh sedikit, memastikan dia memperhatikanku. “Mas, jangan buru-buru mengambil kesimpulan yang bikin hati tambah berat. Hubungan kalian sudah terbangun sekian lama, dan aku yakin, cinta Siska ke Mas itu tidak akan hilang begitu saja. Kadang perempuan butuh waktu sendiri untuk memahami apa yang dia rasakan. Jadi, buang jauh-jauh pemikiran seperti itu, ya.” Aku berusaha membangun suasana yang lebih ringan. “Daripada terus-terusan mikirin hal yang bikin kepala penuh, gimana kalau kita rencanakan sesuatu yang seru hari ini? Mungkin jalan-jalan, coba tempat makan baru, atau apa saja yang bikin pikiran lebih tenang. Aku yakin, itu bakal lebih baik daripada terus-terusan terpaku pada pikiran negatif.”
Mas Sandy mengusap dagunya dengan tangan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. “Apa ya?” gumamnya pelan.
Aku mencondongkan tubuh sedikit, menatapnya dengan antusias. “Pokoknya sesuatu yang seru, Mas … Sesuatu yang bikin pikiran Mas lebih ringan.”
Tiba-tiba, senyuman tipis muncul di wajah Mas Sandy. Dia menatapku dengan tatapan yang lebih hangat, membuat suasana jadi terasa berbeda. “Kamu tahu, Asti,” katanya sambil menyandarkan diri di kursinya, “aku ingin motret kamu.”
Aku terkejut mendengar ucapannya. “Motret aku? Serius, Mas?” tanyaku sambil tersenyum kecil.
Dia mengangguk dengan semangat yang mulai terlihat di wajahnya. “Iya, motret kamu di rumah saja. Aku rasa suasana di sini cukup bagus untuk itu. Ada beberapa sudut yang kayaknya cocok banget, dan kamu… kamu pasti jadi model yang sempurna.” Matanya bersinar sedikit lebih ceria. “Sudah lama aku nggak ambil kamera dan melakukan sesuatu yang benar-benar aku suka. Jadi, gimana? Aku rasa ini bakal seru.”
Aku tertawa kecil mendengar ide itu, lalu berkata dengan nada menggoda, “Model? Aku? Mas yakin aku pantas jadi model? Aku kan cuma wanita biasa, nggak seperti artis atau model profesional.” Sambil bercanda, aku melanjutkan, “Kalau nanti hasilnya nggak bagus, jangan-jangan Mas malah menyesal sudah buang-buang waktu motret aku.”
Mas Sandy tersenyum lebih lebar, matanya tampak berbinar penuh keyakinan. “Asti, kamu itu nggak cuma cantik, tapi juga punya pesona yang jarang dimiliki banyak orang. Kamu itu natural, nggak dibuat-buat, dan itu jauh lebih menarik dibanding model profesional mana pun.” Dia berhenti sejenak, seolah ingin memastikan aku benar-benar mendengarkan. “Dan soal seksi? Jangan diragukan lagi. Kamu punya aura yang bisa bikin siapa saja terpesona, bahkan tanpa kamu menyadarinya. Itulah kenapa aku yakin, hasil fotonya nanti bakal luar biasa. Justru karena kamu adalah dirimu sendiri.”
Hati ini terasa hangat, seperti ada bunga-bunga bermekaran di dalamnya setelah mendengar kata-kata Mas Sandy. Pujian darinya, yang terucap dengan begitu tulus, membuatku merasa dihargai dengan cara yang selama ini jarang aku rasakan. Ada sesuatu yang menyentuh di balik caranya melihat diriku, bukan hanya sebagai sosok biasa, tapi sebagai seseorang yang memiliki keistimewaan. Aku hampir lupa kapan terakhir kali merasa secantik dan sespesial ini. Bukan karena gaun mahal atau riasan sempurna, melainkan karena caranya menggambarkan diriku dengan begitu indah. Rasanya seperti ia menghidupkan kembali sisi diriku yang sudah lama terpendam, seolah aku adalah lukisan berharga yang layak untuk dipandang.
Mas Sandy berdiri dan mengisyaratkan agar aku mengikutinya. Kami berjalan menuju sebuah ruangan di sisi rumah, ruangan yang jarang aku perhatikan sebelumnya. Setelah masuk, aku melihat Mas Sandy menuju sebuah lemari kayu besar di sudut. Dengan gerakan tenang, ia membuka pintu lemarinya, lalu mengeluarkan sebuah kamera yang terlihat masih terawat dengan baik meskipun usianya mungkin tidak lagi muda. Ia memeriksa kamera itu dengan teliti, mengutak-atik beberapa tombol dan lensa, seolah memastikan semuanya berfungsi dengan sempurna. Sesekali ia mengerutkan dahi, fokus pada detail kecil, sebelum akhirnya tersenyum puas, siap untuk memulai rencananya.
Mas Sandy mulai berjalan perlahan, matanya menyisir setiap sudut rumah seperti seorang seniman yang mencari inspirasi. Aku mengikutinya tanpa banyak berkata, penasaran dengan apa yang ada di pikirannya. Dia berhenti sejenak di dekat jendela, memeriksa pencahayaan, lalu melangkah ke ruang tamu dan memandangi dinding dengan penuh pertimbangan. Setelah beberapa saat, akhirnya ia memutuskan ruang tengah sebagai tempat yang tepat. Ruang itu memiliki pencahayaan alami dari jendela besar dan suasana yang hangat, dengan furnitur minimalis yang terlihat bersih dan teratur.
“Di sini,” ucapnya singkat, meski tak perlu dijelaskan, aku sudah bisa merasakan rencananya mulai terbayang dengan jelas.
Mas Sandy mulai mengatur posisi kamera dan mencari sudut yang menurutnya paling pas. Aku berdiri di tengah ruangan, merasa sedikit canggung, tetapi juga bersemangat. Perasaanku bercampur aduk—antara rasa ingin tampil sempurna dan keinginan untuk mengikuti arahannya dengan baik.
“Mulai saja dengan berdiri santai,” katanya sambil mengangkat kamera, pandangannya fokus melalui lensa. Aku mencoba rileks, membiarkan tubuhku bergerak alami seperti biasanya. Tangan kananku kugerakkan ke pinggang, sementara tangan kiri menggantung santai di samping.
Klik. Suara rana kamera terdengar. Mas Sandy tersenyum kecil, lalu mendekat untuk memperbaiki arah tubuhku sedikit. “Coba miringkan kepala sedikit ke kiri, terus lihat ke arah jendela,” katanya dengan nada lembut. Aku menurut, mencoba membayangkan diriku sebagai model sungguhan.
Setelah beberapa kali mengambil foto, ia memintaku untuk duduk di sofa. “Santai saja, posisikan kaki seperti yang kamu rasa nyaman,” ujarnya sambil terus mengamati setiap detail. Aku melipat kakiku dengan anggun, lalu meletakkan tangan di pahaku. Dia mengabadikan momen itu dengan penuh konsentrasi, seolah berusaha menangkap sisi terbaikku di setiap sudut.
Mas Sandy tampak menikmati prosesnya. Sesekali, ia berhenti untuk melihat hasil fotonya, lalu tersenyum puas. Aku mulai merasa lebih percaya diri, membiarkan diriku berekspresi lebih leluasa. “Coba tersenyum, tapi jangan terlalu lebar,” katanya, dan aku pun memberikan senyum yang lebih lembut.
Kami terus melanjutkan sesi foto itu, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku merasa seperti seseorang yang benar-benar spesial. Ruang tengah rumah itu berubah menjadi studio dadakan, dengan Mas Sandy sebagai fotografer berbakat dan aku sebagai modelnya.
Setelah beberapa waktu, Mas Sandy akhirnya menurunkan kameranya, tanda sesi foto selesai. “Coba kita lihat hasilnya,” katanya dengan nada puas. Ia mengisyaratkan aku untuk duduk di sebelahnya di sofa, sementara ia mulai membuka galeri di kameranya.
Aku mendekat, rasa penasaran bercampur sedikit gugup. Ia memutar-mutar tombol pada kamera, lalu mulai memperlihatkan foto-foto yang baru saja diambil. Ketika gambar pertama muncul di layar kecil itu, aku langsung terkejut. “Itu aku?” pikirku dalam hati.
Foto-foto itu menangkap diriku dengan cara yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Ada kehangatan di sorot mataku, kelembutan di senyumku, dan pesona yang selama ini tak pernah aku sadari. Mas Sandy telah berhasil menangkap sisi diriku yang terasa begitu alami dan memukau.
“Ini cantik sekali,” ucapku akhirnya, tanpa bisa menyembunyikan rasa kagum. Aku merasa seperti melihat versi terbaik diriku sendiri.
Mas Sandy hanya tersenyum kecil, matanya penuh dengan kepuasan. “Aku sudah bilang, kamu itu luar biasa. Ini semua cuma soal menangkap momen yang tepat.”
Aku terus memperhatikan setiap foto yang ia tunjukkan, mulai dari potret sederhana ketika aku berdiri di tengah ruangan hingga foto candid ketika aku duduk santai di sofa. Hasilnya tak hanya bagus, tapi terasa seperti seni yang hidup. Aku hampir tak percaya, semua ini terjadi hanya di ruang tengah rumahnya.
Mas Sandy tersenyum puas setelah melihat hasil foto-fotonya. Namun, matanya terlihat masih penuh ide, seolah ada sesuatu yang lebih ia inginkan dari sesi ini. Setelah beberapa detik, ia menatapku dengan penuh antusiasme. “Gimana kalau kita coba spot lain?” katanya, sambil mengangkat kamera. “Aku rasa kamar tidur bisa jadi latar yang lebih intim, lebih personal.”
Aku terkejut mendengar usulnya, tapi juga penasaran. Kamar tidur? Memang ruangan itu lebih pribadi, dan aku merasa sedikit canggung, tapi ada sesuatu dalam cara Mas Sandy menyarankan hal itu yang membuatku ingin melanjutkan. “Apa di kamar tidur juga?” tanyaku, sedikit bingung.
Mas Sandy mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Ya, kenapa tidak? Cahaya di sana juga cukup bagus, dan suasananya lebih lembut. Aku rasa itu bisa memberi nuansa berbeda di foto-foto ini.”
Tanpa banyak berpikir, aku setuju. Kami berdua bangkit dari sofa, berjalan menuju kamar tidur. Ketika memasuki ruangan itu, aku merasa sedikit gugup, tapi Mas Sandy sudah siap dengan kameranya, mempersiapkan diri untuk menangkap setiap momen.
“Tenang saja,” katanya dengan lembut, membaca ekspresiku yang mulai canggung. “Ini cuma foto, Asti. Nikmati aja.”
Aku mengangguk, berusaha rileks, dan membiarkan dirinya menuntunku untuk menjelajahi sudut-sudut kamar tidur sebagai latar belakang baru untuk pemotretan yang tak terduga ini.
“Asti… aku mau foto kamu tanpa busana. Apakah kamu mau difoto tanpa pakai baju?” tanya Mas Sandy sambil tersenyum.
Tanpa ragu aku berkata, “Tentu,” jawabku dan perlahan-lahan melepaskan semua pakaian. Aku berdiri dan berpose bugil di depan kamera. Payudara besarku bergoyang setiap kali aku bergerak. Puting payudaraku tak butuh waktu lama menjadi tegak karena udara dingin AC.
Aku mulai berpose, memamerkan tubuhku yang menurut Mas Sandy seksi. Walaupun agak malu dan sungkan, ide itu juga membuatku bergairah. Perlahan-lahan aku menanggalkan semua pakaianku, hingga aku berdiri telanjang bulat di depan kamera. Payudaraku yang besar dan pantatku yang kencang bergoyang-goyang saat aku bergerak. Udara dingin membuat putingku mengeras. Aku berpose di depan kamera, memastikan setiap bagian tubuhku terlihat jelas. Mas Sandy tampaknya menikmati pengambilan gambar, meskipun aku merasa sedikit malu. Namun, aku tidak bisa menahan gairah dan terus berpose untuknya, mencoba berpose seksi.
Secara perlahan, gairahku meningkat. Payudaraku mengeras dan vaginaku terasa gatal, karena Mas Sandy sering menggoda payudara dan vaginaku dengan sentuhan-sentuhan yang merangsang. Putingku tegak dan bibir kemaluanku membengkak. Tak lama, Mas Sandy menyuruhku berpose dengan posisi menungging di atas kasur dengan pantatku terangkat tinggi. Kamera diarahkan langsung ke selangkanganku, menangkap setiap gerakanku saat aku menggeliat dan mengerang di bawah godaannya. Jari-jari Mas Sandy menelusuri sisi payudaraku, sebelum meluncur ke tengah. Saat dia mencapai putingku yang tegak, getaran kenikmatan pun melesat melalui tubuhku.
Aku yang sudah sangat terangsang kemudian mengerang dan menyandarkan tubuhku padanya. Dia meremas payudaraku di tangannya, dan menjepit tonjolan daging yang mengeras di antara ujung-ujung jarinya. Aku mengerang dan mendesah karena kenikmatan. Bibirnya bertemu dengan bibirku, dan kami berciuman dalam gairah. Sensasi dari sentuhannya terasa luar biasa. Mas Sandy menelusurkan tangannya ke tubuh bawahku dan turun, melewati perutku. Ketika ia melepaskan ciumannya, jarinya bergerak ke dalam diriku. Ia membuka bibir kemaluanku dan menyelipkan dua jari ke dalamku. Meskipun sadar, aku menyerahkan diri pada kenikmatan yang ia hadirkan. Perlahan, ia meraba-raba dan memijat payudaraku. Aku memejamkan mata, membiarkan diriku hanyut dalam kenikmatan itu.
“Mas … Aku sudah tidak kuat lagi … Aku ingin ngentot, Mas …” kataku dengan mendesah.
“Baiklah. Kamu terlentang …” suruh Mas Sandy sambil melepaskan tangan-tangannya dari tubuhku.
Aku pun berbaring terlentang di tempat tidur, membuka lebar-lebar pahaku untuk memamerkan vaginaku yang lapar. Kulihat Mas Sandy membuka celananya, dan ternyata ia pun sudah terangsang, terbukti dengan penisnya yang sudah ereksi maksimal. Beberapa detik kemudian, aku menyambut tubuhnya yang menindihku, dengan penisnya menyentuh vaginaku. Aku dapat merasakan kehangatan Mas Sandy saat ia perlahan-lahan memasukkan penisnya ke dalam vaginaku, lalu ia segera mendorongnya masuk, membuatku terkesiap. Aku bisa merasakan vaginaku dipenuhi oleh Mas Sandy. Aku mengerang dan memejamkan mata, menikmati momen vaginaku yang dipenuhi oleh penisnya. Kemudian, Mas Sandy menggerakkan tubuh bawahnya naik turun, penisnya pun perlahan-lahan keluar dan masuk di vaginaku.
Awalnya Mas Sandy bergerak dengan lembut, namun beberapa saat kemudian, ia mulai bergerak lebih cepat dan kasar. Kudengar suara kulit bersentuhan, mungkin itu adalah suara pahaku yang menepuk selangkangannya, diiringi dengan suara panggulnya yang menghantamku. Saat Mas Sandy bergerak semakin kasar, penisnya juga mulai memasukiku lebih dalam, mencapai tempat yang belum pernah tersentuh sebelumnya. Dan ketika penisnya menyentuh titik itu, aku mengeluarkan erangan keras, lalu Mas Sandy berhenti bergerak sejenak.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Mas Sandy.
“Ya, aku baik-baik saja,” jawabku. “Lanjutkan, Mas … Enak …”
Setelah mendengar perkataanku, Mas Sandy kembali melanjutkan gerakannya, kali ini lebih bertenaga dari sebelumnya. Penisnya menembus vaginaku semakin dalam, dan setiap kali masuk, penisnya menyentuh bagian sensitif tertentu. Dorongan penisnya yang menghujam keluar masuk ke dalam vaginaku membuatku tak berdaya. Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya erangan dan desahan yang keluar dari mulutku.
“Ooooohhh … Aaahh … Aaahh … Aaahh …” Mulutku terus merintih-rintih tak terkendali. “Mas, kontolmu enaaak…!!!” kataku setengah menjerit.
Mas Sandy tidak menjawab, melainkan terus memaju mundurkan rudalnya. Gerakannya cepat dan kuat, bahkan cenderung kasar. Tentu saja aku semakin menjerit-jerit dibuatnya. Batang penisnya yang besar itu seperti hendak membongkar liang vaginaku sampai ke dasar.
“Ooohh… toloongg… gustii…!!!” Mas Sandy malah semakin bersemangat mendengar jerit dan rintihanku. Aku semakin erotis. “Aaahh, penismu… oohh, aarrghh… penismuu… oohh…!!!”
Mas Sandy terus menggecak-gecak. Tenaganya kuat sekali, apalagi dengan batang penis yang luar biasa keras dan kaku. Rasa nikmat yang kurasakan begitu luar biasa, rasa nikmat yang tercipta dari kocokan penis Mas Sandy ditambah remasan tangannya di payudaraku seperti racikan yang pas membuat aku lupa diri, dan membuatku tak dapat membendung jeritan kenikmatanku. Akibat semua itu, orgasmeku cepat sekali terasa akan meledak.
“Aku mau keluar! Aku mau keluaaar!!” aku menjerit-jerit. “Sodok terus, Aaasss!!! Yaa, ooohhh, yaaahh, ugghh!!! Teruuss… Aarrgghh… sshh… ohh… sodok terus kontolmuuu…!” racauku sudah tak terkendali untuk menahan gelombang nikmat yang semakin membesar di tubuhku.
Pada detik-detik terakhir, tangan kananku meraih pantat Mas Sandy, kuremas bongkahan pantatnya, sementara paha kananku mengangkat lurus tinggi-tinggi. Terasa vaginaku berdenyut-denyut kencang sekali. Aku orgasme! Sesaat aku seperti melayang, tidak ingat apa-apa kecuali nikmat yang tidak terkatakan. Mas Sandy mengecup-ngecup pipi serta daun telingaku. Sejenak dia membiarkan aku mengatur nafas, sebelum kemudian dia memintaku menungging.
Aku baru sadar bahwa ternyata Mas Sandy belum mencapai orgasme. Aku turuti permintaan Mas Sandy. Dengan agak lunglai akibat orgasme yang luar biasa, kuatur posisi tubuhku hingga menungging. Mas Sandy mengikuti gerakanku, batang kemaluannya yang besar dan panjang itu tetap menancap dalam vaginaku. Lalu perlahan terasa dia mulai mengayun pinggulnya. Ternyata dia luar biasa sabar. Dia memaju mundurkan gerak pinggulnya satu-dua secara teratur, seakan-akan kami baru saja memulai permainan, padahal tentu perjalanan birahinya sudah cukup tinggi tadi. Aku menikmati gerakan maju-mundur penis Mas Sandy dengan diam. Kepalaku tertunduk, kuatur kembali nafasku. Tidak berapa lama, vaginaku mulai terasa enak kembali. Kuangkat kepalaku, menoleh ke belakang. Mas Sandy segera menunduk, dikecupnya pipiku.
“Mas … Kamu hebat banget … Mas tahan lama,” kataku terus terang.
“Emangnya kamu suka kalau aku cepet keluar?” jawabnya lembut di telingaku.
Aku tersenyum, kupalingkan mukaku lebih ke belakang. Mas Sandy mengerti, diciumnya bibirku. Lalu dia menggenjot lebih cepat. Dia seperti mengetahui bahwa aku mulai keenakan lagi. Maka kugoyang-goyang pinggulku perlahan, ke kiri dan ke kanan. Mas Sandy melenguh. Diremasnya kedua bongkah pantatku, lalu gerakannya jadi lebih kuat dan cepat. Batang kemaluannya yang luar biasa keras menghunjam-hunjam vaginaku. Aku pun mulai mengerang-erang lagi.
“Oorrgghh… Aaahh… ennaak… Kontol Mas enak bangeett…!!” kataku sembari menikmati genjotannya.
Mas Sandy tidak bersuara, melainkan menggecak-gecak semakin kuat. Tubuhku sampai terguncang-guncang. Aku menjerit-jerit. Cepat sekali, birahiku merambat naik semakin tinggi. Kurasakan Mas Sandy pun kali ini segera akan mencapai klimaks. Maka kuimbangi gerakannya dengan menggoyangkan pinggulku cepat-cepat. Kuputar-putar pantatku, sesekali kumaju-mundurkan berlawanan dengan gerakan Mas Sandy. Pria itu mulai mengerang-erang pertanda dia pun segera akan orgasme.
Tiba-tiba Mas Sandy menyuruhku berbalik. Dicabutnya penisnya dari kemaluanku. Aku berbalik cepat. Lalu kukangkangkan kedua kakiku dengan setengah mengangkatnya. Mas Sandy langsung menyodokkan kedua dengkulnya hingga merapat pada pahaku. Kedua kakiku menekuk mengangkang. Mas Sandy memegang kedua kakiku di bawah lutut, lalu batang penisnya yang keras menghunjam mulut vaginaku yang menganga.
“Aarrgghhh…!!!” aku menjerit.
“Aku hampir keluar!” Mas Sandy bergumam.
Gerakannya langsung cepat dan kuat. Aku tidak bisa bergoyang dalam posisi seperti itu, maka aku pasrah saja, menikmati gecakan-gecakan keras batang kemaluan Mas Sandy. Kedua tanganku mencengkeram sprei kuat-kuat.
“Terus, Sayang…, teruuusss…!”desahku.
“Ooohhh, enak sekali…!” Erang Mas Sandy
“Aku juga, aku juga, memekku keenakaan…!” Balasku.
“Aku sudah hampir keluar, aaahh…”
“Aku juga mau keluar lagi, tahan dulu! Teruss… yaah, aku juga mau keluar … Yaahh… teruss… Aaarrgghh… Ssshhh… Uuughhh… Aaaarrrghh!!!” Tubuhku mengejang sesaat sementara otot vaginaku terasa berdenyut-denyut kencang. Aku menjerit panjang, tak kuasa menahan nikmatnya orgasme.
Pada saat bersamaan, Mas Sandy menekan kuat-kuat, menghunjamkan batang kemaluannya dalam-dalam di liang vaginaku.
“Ooooohhh…!!!” dia pun menjerit, sementara terasa kemaluannya menyembur-nyemburkan cairan mani di dalam vaginaku.
Nikmatnya tak terkatakan, indah sekali mencapai orgasme dalam waktu persis bersamaan seperti itu. Lalu tubuh kami sama-sama melunglai, tetapi kemaluan kami masih terus bertautan. Mas Sandy memelukku mesra sekali. Sejenak kami sama-sama sibuk mengatur nafas.
“Enak banget,” bisik Mas Sandy beberapa saat kemudian.
“Hmmm…” Aku menggeliat manja. Terasa batang kemaluan Mas Sandy bergerak-gerak di dalam vaginaku.
“Vaginamu enak banget, Asti … Bisa nyedot-nyedot gitu…” ucap Mas Sandy setengah berbisik.
“Apalagi kontol kamu, Mas… Gede, keras, dalemmm…” balasku lalu Mas Sandy bergerak menciumiku lagi.
Setelah beberapa saat berciuman, Mas Sandy turun dari atas tubuhku. Aku terlentang di atas tempat tidur, masih mencoba mengatur napas yang terasa berat. Udara di kamar serasa lebih hangat dari biasanya, bercampur dengan aroma yang begitu akrab. Aku memandang ke langit-langit, membiarkan pandanganku kabur seiring detak jantungku perlahan mulai tenang. Di sebelahku, Mas Sandy juga terdiam, tubuhnya terhampar di sampingku dengan napas yang masih terdengar pelan namun berat.
“Mas …” kataku membuka pembicaraan setelah beberapa menit hening.
“Hhhmm …” balas Mas Sandy dengan gumaman tanpa bergerak.
“Gimana kalau kita ke rumahku?” tanyaku.
Mas Sandy menggeser pandangannya ke arahku, alisnya sedikit terangkat. “Apakah ada sesuatu yang harus kamu lakukan di rumahmu, Asti?” tanyanya dengan nada lembut namun penuh rasa ingin tahu.
Aku tersenyum kecil mendengar pertanyaannya. “Aku harus mempersiapkan barang daganganku buat kedai, Mas,” jawabku sambil memutar tubuh sedikit menghadapnya. “Ada beberapa bahan yang perlu aku sortir dan siapin biar besok nggak terlalu buru-buru.” Aku berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada lebih santai, “Tapi kalau Mas ikut, siapa tahu pekerjaan jadi lebih cepat selesai.” Aku meliriknya sambil tersenyum jahil, berharap dia menangkap maksud tersiratku.
Mas Sandy tersenyum tipis sambil menatapku. “Asti, menurutku, seharusnya kamu tidak perlu terlalu repot lagi mengurus hal-hal seperti itu,” ujarnya dengan nada tenang namun tegas. “Kamu sudah memiliki anak buah yang bisa diandalkan. Serahkan saja pekerjaan tersebut kepada mereka. Tugasmu sekarang adalah mengawasi dan memberikan arahan, bukan menangani semuanya sendiri.”
Aku menghela napas pelan sebelum menjawab, mencoba menjelaskan dengan hati-hati. “Mas, aku nggak bisa menyerahkan semuanya ke anak buahku,” ucapku sambil menatapnya. “Apa yang aku kerjakan ini adalah bagian dari rahasia perusahaan. Meracik jamu itu modal utamaku, dan formulanya nggak boleh diketahui siapa pun, bahkan oleh mereka yang bekerja untukku. Itu warisan keluarga yang harus aku jaga.” Aku berhenti sejenak, memastikan ia memahami maksudku. “Kalau sampai rahasia itu bocor, usaha yang aku bangun bisa kehilangan identitasnya. Jadi, meskipun aku punya anak buah, untuk hal-hal seperti ini, aku tetap harus turun tangan sendiri.”
Mas Sandy mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan pemahaman yang tulus. “Aku paham, Asti,” ucapnya dengan nada lembut. “Kalau itu memang rahasia penting yang harus kamu jaga sendiri, aku mengerti sepenuhnya.” Ia tersenyum kecil sebelum melanjutkan, “Kalau begitu, aku ikut saja ke rumahmu. Siapa tahu aku bisa membantu sesuatu, meskipun cuma angkat-angkat barang atau sekadar menemani, supaya kamu nggak kerja sendirian.”
Setelah kami selesai mandi bersama, kami segera berpakaian dan berdandan. Aku mengenakan setelan yang cukup santai namun rapi, sementara Mas Sandy memilih kemeja simpel yang tetap membuatnya tampak menarik. Setelah siap, kami turun menuju mobilnya, sebuah sedan hitam yang terparkir di depan rumah. Mas Sandy membukakan pintu untukku sebelum ia duduk di kursi pengemudi, dan kami mulai melaju. Di perjalanan, kami berbincang ringan tentang berbagai hal. Mas Sandy sesekali melontarkan candaan, dan aku membalas dengan tawa kecil.
Aku menoleh ke arah Mas Sandy sambil melanjutkan obrolan kami. “Aku sebenarnya ingin sekali mengembangkan kedai jamuku, Mas,” kataku dengan penuh semangat. “Semakin hari, kedai ini semakin ramai pengunjung, dan tempat yang ada sekarang sudah nggak cukup lagi. Kalau dibiarkan terus begini, bisa jadi nggak nyaman buat para pelanggan. Aku merasa perlu memperbesar kedaiku, yang bisa menampung lebih banyak orang.” Aku menatap ke luar jendela mobil, lalu melanjutkan, “Tapi, jujur saja, aku merasa sangat pesimis bisa memperbesar kedaiku ini. Biaya yang dibutuhkan untuk itu sangat besar, dan aku belum tahu bagaimana cara mencapainya.”
Mas Sandy kemudian bertanya dengan nada serius, “Berapa biaya yang dibutuhkan untuk memperbesar kedai kamu, Asti?” Suaranya terdengar penuh perhatian, seolah ia ingin memahami lebih dalam situasinya. “Aku tahu itu pasti nggak murah, tapi kalau kamu sudah ada perkiraan biayanya, siapa tahu aku bisa bantu cari solusi atau setidaknya membuat prosesnya lebih mudah.”
Aku mencoba menjelaskan dengan berat, “Sebenarnya, aku pernah memperkirakan biaya yang dibutuhkan, Mas. Sekitar satu milyar. Enam ratus juta untuk beli ruko di samping kedai, dan empat ratus juta lagi untuk biaya renovasi.” Aku berhenti sejenak, merasa angka itu terlalu besar. “Tapi… lupakan saja, Mas. Itu semua terlalu sulit dicapai dan rasanya nggak mungkin bisa aku capai sekarang.”
Suasana di dalam mobil tiba-tiba menjadi hening, hanya terdengar suara mesin mobil yang berderu pelan. Aku memandang ke luar jendela, mencoba mengalihkan pikiranku dari rasa pesimis yang mulai menghimpit. Namun, tak lama kemudian aku menoleh ke arah Mas Sandy. Dia tampak merenung, wajahnya serius seperti sedang memikirkan sesuatu yang dalam.
Aku mencoba memecah keheningan dengan nada bercanda, “Mas, nggak perlu dipikirkan banget deh,” kataku sambil tersenyum tipis. “Tadi itu cuma mimpiku, angan-anganku aja. Kadang aku terlalu jauh berkhayal.”
Mas Sandy tersenyum kecil, namun ekspresinya berubah serius saat ia mulai berbicara. “Dulu, ketika usahaku juga stagnan dan nggak berkembang, aku sempat berbicara dengan Siska tentang hal yang hampir sama dengan yang kamu bilang, Asti,” ujarnya, nada suaranya terdengar mengenang. “Siska waktu itu bilang, dia ingin sekali membantu memperluas usahaku supaya bisa lebih maju. Tapi, yang jadi masalah adalah dana. Semua rencana itu terkendala oleh biaya yang sangat besar. Rasanya, sulit sekali untuk mewujudkan semuanya tanpa modal yang cukup.”
Aku sedikit meluruskan tubuh, kemudian bertanya, “Lalu, bagaimana Mas Sandy dan Siska mengatasi masalah itu? Apa yang kalian lakukan untuk mengatasi kendala dana tersebut?” Aku penasaran tentang langkah-langkah yang mereka ambil untuk mencari solusi.
Mas Sandy mulai bercerita, “Pada waktu itu, kebetulan aku mengenal seorang pengusaha yang cukup sukses. Aku mencoba meminta bantuan modal darinya, berharap dia bisa membantu mengembangkan usahaku.” Suaranya sedikit tertahan saat melanjutkan, “Dia mau membantu, tapi ada syarat yang harus aku penuhi.” Mas Sandy menahan ucapannya sejenak, seolah ragu untuk melanjutkan cerita tentang syarat tersebut.
Aku tidak bisa menahan rasa penasaran dan langsung bertanya, “Apa syarat tersebut, Mas?”
Mas Sandy menghela napas pelan sebelum melanjutkan, “Pengusaha itu menginginkan Siska, Asti. Dia bilang, kalau aku ingin bantuan modalnya, aku harus memenuhi keinginannya dulu.” Ia berhenti sejenak, menatap jalan di depannya. “Kamu pasti tahu maksud dari perkataannya itu, bukan?”
Aku sedikit terkejut mendengar penjelasan Mas Sandy, namun aku tentu tahu maksud dari perkataannya itu. Wajahku langsung berubah serius, dan aku bertanya, “Lalu, bagaimana keputusan kalian saat itu, Mas? Apa yang akhirnya kalian putuskan?”
Mas Sandy tampak serius saat melanjutkan ceritanya. “Waktu itu, aku dan Siska memutuskan untuk memenuhi permintaan si pengusaha demi modal yang kami butuhkan. Siska akhirnya tinggal di rumah pengusaha itu selama tiga bulan sebagai kompensasi atas modal yang dia berikan,” jelas Mas Sandy, nadanya berat. “Selama tiga bulan itu, Siska melayani pengusaha itu layaknya seorang istri. Itu keputusan yang sangat sulit bagi kami, tapi kami merasa itu satu-satunya cara untuk bisa mengembangkan usaha kami.”
Aku mulai merasa ada arah tertentu dalam percakapan ini, seolah Mas Sandy sedang mengarahkan aku untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Siska. Tanpa kusadari, pikiranku mulai melayang pada kemungkinan itu, untuk mengikuti langkah Siska demi mendapatkan dana yang sangat aku butuhkan. Dan entah kenapa, aku merasa tertarik untuk mengikuti langkah itu. Keinginan untuk mengembangkan kedai ini begitu besar, dan mendapatkan dana yang dibutuhkan sepertinya hanya bisa terwujud melalui jalan tersebut.
Aku sedikit ragu, namun berusaha mengarahkan percakapan. “Tapi, Mas, apa hubungannya kisah kalian dengan aku?” Aku berhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada yang lebih hati-hati, “Apakah maksudnya aku juga harus mencari cara seperti yang Siska lakukan untuk mengembangkan usahaku?”
Mas Sandy terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku tidak bermaksud menyuruh, Asti. Ini hanya sebuah masukan berdasarkan pengalamanku. Semua keputusan kembali padamu, karena hanya kamu yang tahu apa yang terbaik untuk dirimu sendiri.”
Aku merespons dengan hati-hati, “Kalau itu memang masih memungkinkan untukku saat ini, sepertinya itu adalah cara yang bisa aku tempuh.”
Mas Sandy tersenyum tipis, lalu berkata, “Aku hanya ingin memastikan, Asti. Kamu benar-benar mempertimbangkan masukan ini?”
Aku mengangguk kecil sambil menjawab, “Aku akan senang melakukannya, Mas, kalau memang itu masih bisa dilakukan untuk saat ini.”
Mas Sandy akhirnya berkata dengan nada penuh keyakinan, “Baiklah, Asti. Aku akan membantumu. Beri aku waktu beberapa hari, nanti aku akan mengabarkan hasilnya.” Wajahnya menunjukkan tekad yang kuat untuk mencari jalan keluar bagi masalahku.
Aku merasa lega sekaligus bahagia. Sebuah harapan baru mulai tumbuh di hatiku, dan beban yang selama ini terasa berat perlahan mulai menghilang. Pikiran tentang memperbesar kedai yang selama ini hanya menjadi angan-angan kini tampak lebih nyata dan mungkin untuk diwujudkan. Dengan bantuan Mas Sandy, aku merasa tidak sendiri lagi dalam menghadapi tantangan besar ini. Impianku untuk melihat kedai ini tumbuh lebih besar dan lebih maju kini terasa semakin dekat.
Aku dan Mas Sandy melanjutkan perjalanan, ditemani obrolan ringan yang membuat suasana terasa santai. Topik pembicaraan kami berpindah-pindah, mulai dari pengalaman sehari-hari hingga rencana-rencana masa depan. Meski siang itu jalanan dipenuhi kendaraan dan kemacetan mulai terasa, semua itu tampak tidak begitu berpengaruh. Keseruan obrolan kami berhasil membuat waktu terasa lebih cepat berlalu. Hingga akhirnya, setelah melewati hiruk-pikuk jalanan, kami tiba di rumahku dengan perasaan yang masih diliputi keceriaan.
Sesampainya di rumah, aku segera menuju dapur untuk memulai meracik jamu. Semua bahan yang sudah kusiapkan sebelumnya mulai kutata di meja, dari rempah-rempah segar hingga berbagai bumbu rahasia yang menjadi ciri khas racikanku. Dengan cekatan, aku mulai mencampur, menggiling, dan merebus bahan-bahan itu hingga menghasilkan aroma harum yang memenuhi ruangan. Sementara itu, Mas Sandy, yang sejak awal menawarkan bantuan, membantuku sebisanya. Kadang ia membantu membersihkan alat, mengambilkan bahan, atau sekadar memastikan semuanya berjalan lancar. Kehadirannya membuat pekerjaan terasa lebih ringan, dan meskipun ia tidak terbiasa dengan proses ini, upayanya untuk membantu benar-benar membuatku merasa dihargai.
Bersambung…