Matahari sudah merangkak tinggi, sinarnya menerobos lewat celah-celah ventilasi dapur, membentuk pola-poa cahaya di lantai yang sedikit berdebu. Aroma khas rempah-rempah memenuhi udara, bercampur dengan suara gemericik air dari wastafel tempat Mas Sandy sibuk mencuci botol-botol kaca. Aku mengaduk-aduk adonan jamu di dalam panci besar dengan semangat, sambil sesekali mencuri pandang ke arah Mas Sandy yang sedang bersenandung riang mengikuti alunan musik dangdut dari radio tua di sudut ruangan. Tawa kami pecah ketika ia salah lirik, mengubah suasana dapur kecil itu menjadi hangat dan penuh kehidupan.
“Eh, aku baru tahu, Mas Sandy ternyata penggemar dangdut!” seruku sambil tertawa kecil, tanganku tetap sibuk mengaduk jamu dalam panci.
Dia menoleh dengan ekspresi pura-pura tersinggung, tapi bibirnya tak bisa menahan senyum. “Lho, siapa bilang? Ini kebetulan aja pas radionya muter lagu bagus,” balasnya, tapi suaranya terdengar lebih seperti pembelaan setengah hati.
Aku terkikik, menggeleng sambil mengambil sendok kayu untuk mencicipi adonan. “Iya, iya. Jangan-jangan di rumah, Mas Sandy hafal semua lagu dangdut koplo,” godaku lagi, membuatnya tertawa lepas.
Mas Sandy menyandarkan pinggangnya di meja dapur, tangan masih basah oleh air dari wastafel. “Sebenarnya, ya, akhir-akhir ini entah kenapa di mana-mana aku denger dangdut,” katanya, nada suaranya seperti orang yang menyerah pada nasib. “Di warung dekat rumah, di kantor, bahkan tetangga sebelah tiap pagi muter lagu koplo. Mau nggak mau, aku jadi hapal!” Ia tertawa, mengangkat tangan seolah meminta ampun pada keadaan.
Aku tak bisa menahan senyum melihat ekspresi lucunya, seperti orang yang dipaksa masuk ke dunia yang tak pernah ia rencanakan. “Wah, berarti alam semesta memang mau Mas Sandy jadi raja dangdut!” balasku, memancing tawa kami berdua.
Aku masih sibuk memastikan api kompor tetap stabil, mengaduk adonan jamu yang mulai mengeluarkan buih tipis di permukaan. Suara langkah Mas Sandy yang mendekat tidak terlalu kuhiraukan, aku pikir dia hanya ingin mengambil sesuatu di meja sebelah. Namun, tiba-tiba kedua lengannya melingkar lembut di pinggangku, membuatku terkejut sesaat. Pelukan hangatnya dari belakang membuatku kaku sejenak, sebelum rasa nyaman menyusup di antara hiruk pikuk aroma dapur dan suara radio yang samar-samar. Dadaku terasa berdebar, tapi aku tetap berpura-pura sibuk dengan panci, meski sebenarnya pikiranku sudah berantakan.
“Hati-hati, Mas, nanti kena cipratan jamu panas,” ucapku sambil tetap mengaduk adonan dalam panci. Aku memastikan setiap racikan tercampur sempurna, berusaha tetap fokus meskipun pelukan Mas Sandy masih terasa hangat di pinggangku. Ia hanya terkekeh pelan di belakangku, tampaknya tak terlalu peduli pada peringatanku.
Mas Sandy mengeratkan pelukannya sedikit, lalu berkata dengan nada lembut, nyaris berbisik, “Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih, Asti. Kamu sudah membuatku bahagia.” Ucapannya membuatku terdiam sejenak, sendok kayu di tanganku pun berhenti bergerak. Kata-kata itu sederhana, namun terasa begitu tulus hingga membuatku kehilangan kata-kata. “Aku nggak tahu caranya menjelaskan,” lanjutnya pelan, “tapi setiap bersamamu selalu terasa istimewa.” Suaranya terdengar hangat, menyalurkan perasaan yang sulit dijabarkan dengan kata-kata.
Aku tersenyum kecil, masih memandang ke arah panci di depanku. “Kalau Mas Sandy bahagia, aku juga senang, kok,” ucapku pelan tapi tulus, tanpa menoleh. Rasanya cukup menyampaikan perasaan itu tanpa banyak kata, karena aku tahu dia pasti mengerti.
Tiba-tiba ponselku berdering di atas meja, memecah keheningan dapur yang penuh kehangatan. Mas Sandy melepaskan pelukannya, memberi ruang agar aku bisa bergerak. Aku melangkah menuju meja dan meraih ponsel yang terus berdering. Begitu melihat nama yang tertera di layar, mataku sedikit membesar. “Bayu.” Nama itu membuatku terhenti sejenak, pikiran langsung terfokus pada kedai. Tanpa banyak berpikir, aku mengangkat panggilan itu, berharap tidak ada hal yang terlalu mendesak.
“Hallo, Bayu,” ujarku sedikit ragu, mencoba menenangkan diri meski perasaan mulai tak menentu.
Di ujung sana, Bayu langsung menjawab dengan nada cepat, “Iya, Bu, saya sudah di teras rumah, ini ada yang perlu dibawa ke kedai.”
Aku terkejut hebat mendengarnya. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya, dan aku sama sekali tidak menyangka Bayu sudah sampai. “Hah? Di teras?” jawabku terkejut, lalu buru-buru berkata, “Ya sudah, aku keluar sekarang.”
Aku segera meletakkan ponsel di meja, merasakan kecemasan yang menggelayuti. Bayu sudah ada di teras, dan aku tahu apa artinya itu. Beberapa waktu lalu, dia pernah mengungkapkan perasaannya padaku, tapi aku memilih untuk tidak memberikan jawaban yang pasti. Sekarang, dengan Mas Sandy ada di dapur, aku takut mereka akan bertemu. Langkahku terasa berat saat aku bergegas menuju teras untuk menemui Bayu.
Aku menghela napas sejenak sebelum akhirnya melangkah menuju teras. Begitu sampai di pintu, aku melihat Bayu sudah berdiri menunggu di sana, tampak sedikit cemas namun berusaha terlihat biasa. Dia mengenakan baju casual dan celana jeans, dengan tangan yang terlipat di depan tubuhnya, seolah menunggu untuk diberi perintah. Aku mencoba tetap tenang meski rasa canggung menggelayuti hati.
“Bayu, ada apa?” tanyaku sambil menghampirinya, berusaha menyembunyikan rasa gelisah yang muncul begitu melihatnya.
Bayu menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca, meski ada sedikit keraguan yang terlihat jelas di matanya. Perlahan, dia membuka mulut, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. “Bu,” katanya, hampir ragu. “Aku… ingin mengajak Ibu keluar sebentar. Kalau Ibu tidak terlalu sibuk, aku ingin kita jalan-jalan.”
Aku terdiam sejenak, terkejut oleh ajakan itu. Ada sesuatu dalam cara Bayu mengatakannya yang membuat hatiku sedikit berdebar. Namun, dalam hati aku tahu, sekarang bukan saat yang tepat. Mas Sandy masih ada di dalam, dan aku tidak bisa membiarkan keadaan semakin rumit.
Aku menghela napas perlahan, mencoba mengendalikan perasaan yang mendesak. “Bayu,” jawabku dengan lembut, berusaha menjaga ketenangan. “Aku benar-benar ingin, tapi… saat ini aku sedang ada teman. Mungkin lain kali saja.”
Bayu terdiam. Sekilas, ekspresinya menunjukkan kekecewaan, meskipun dia berusaha menutupi dengan senyum tipis. “Oh? Maaf,” jawabnya dengan suara yang lebih pelan dari sebelumnya. “Kalau begitu, kita bisa atur waktu lain.”
Aku tersenyum kecil, meski perasaan di dalam hatiku terasa berat. “Terima kasih, Bayu. Aku janji, nanti kita cari waktu yang tepat,” jawabku dengan suara yang lembut namun penuh pengertian.
Bayu mengangguk pelan, dan sebelum berbalik pergi, dia memberikan senyum yang tulus, meski ada sedikit kepedihan di sana. “Aku pamit.”
Aku hanya mengangguk, dan melihat Bayu melangkah pergi, hati terasa kosong. Rasanya, percakapan ini belum selesai, tetapi aku tahu bahwa ada banyak hal yang harus aku urus sekarang. Langkahku kembali menuju dapur, penuh dengan perasaan yang sulit untuk kuterjemahkan. Begitu aku memasuki dapur, aku melihat Mas Sandy sedang mengaduk racikan jamu di panci besar. Tangannya bergerak dengan teratur, menggerakkan sendok kayu seakan sudah terbiasa dengan tugas itu. Wajahnya tampak serius, namun aku bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal di antara kami. Aku berdiri sejenak di ambang pintu, memperhatikan aktivitasnya, berusaha menenangkan diri sebelum melangkah lebih dekat.
Mas Sandy berhenti sejenak, meletakkan sendok kayu di samping panci dan menoleh ke arahku. “Siapa yang datang tadi?” tanyanya, suaranya terdengar biasa, meski aku bisa merasakan ada kekhawatiran samar di baliknya.
Aku mencoba tetap tenang. “Itu, Bayu. Karyawanku. Ada sedikit barang yang harus dibawa ke kedai,” jawabku singkat, berharap percakapan ini segera berakhir.
Namun, tanpa diduga, Mas Sandy melanjutkan, “Kenapa kamu menolak ajakannya?” Suaranya lebih dalam, dan kali ini aku bisa melihat raut wajahnya yang tidak sepenuhnya puas.
Aku terkejut mendengarnya. Bagaimana dia bisa tahu? Aku hanya bisa diam sejenak, lalu dengan canggung menjawab, “Karena… tidak mungkin aku menerima ajakannya, Mas. Kamu… sedang bersamaku sekarang.”
Mas Sandy mendekat, tubuhnya semakin dekat denganku. Aku merasakan kehadirannya yang begitu nyata, dan tanpa bisa kuhindari, tubuhku sedikit menegang. Tangan kanannya menyentuh pinggangku dengan lembut, memberikan rasa hangat yang familiar. Sentuhan itu membuat hatiku berdegup kencang, namun entah mengapa, aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Tanpa kata, dia mendekatkan wajahnya dan dalam sekejap, bibirnya menyentuh bibirku dengan lembut. Aku pun membalas ciumannya. Bibirku bergerak mengikuti irama lembutnya, seolah tubuhku merespon apa yang dirasakannya. Keheningan di sekitar kami seolah menghilang, digantikan oleh perasaan yang tak terucapkan.
“Ehem…!” Suara deheman itu memecah keheningan, membuatku terkejut dan seketika tubuhku menegang.
Aku menarik diri dengan cepat, menatap Mas Sandy yang kini tampak pucat. Mataku beralih ke arah sumber suara, dan di sana, di ambang pintu dapur, berdiri seseorang yang terlihat terkejut, dan dia juga tak bisa menutupi ekspresi wajahnya yang sulit kutebak. Suasana berubah seketika, jantungku berdegup cepat, dan aku merasa seolah-olah dunia ini sempit.
“Mbah?!” pekikku dengan suara tercekat, tubuhku terasa kaku dan kepalaku berputar, tidak tahu harus berbuat apa.
Si Mbah tersenyum canggung, matanya memandangku dengan lembut. “Maaf, Nduk,” ujarnya pelan, “Si Mbah nggak bermaksud mengganggu. Tapi, racikan jamunya di kompor, bisa jadi pecah kalau nggak segera diaduk.” Suaranya masih terdengar bijak, namun ada sedikit kekhawatiran yang tersirat di kata-katanya.
“Oh …” lirihku sambil bergerak ke kompor.
Wajahku memanas seketika, rasa malu menjalar cepat hingga membuatku sulit menatap Si Mbah. Dia memergokiku saat aku dan Mas Sandy berciuman, dan itu membuatku kehilangan kata-kata. Namun, rasa malu itu bercampur dengan ketakutan yang tak kalah besar. Aku tahu betul sifat Si Mbah yang blak-blakan, tak pernah ragu menegur siapa pun ketika menurutnya ada yang salah. Dalam hatiku, aku sudah membayangkan kalimat-kalimat tegas yang mungkin akan keluar dari mulutnya.
Dari arah belakangku, aku mendengar suara Si Mbah yang tetap lembut dan sopan. “Maaf, Nak, kalau boleh tahu, sampeyan ini siapa?” tanyanya kepada Mas Sandy. Nada bicaranya terdengar tenang, meski aku bisa merasakan bahwa pertanyaan itu membawa suasana menjadi lebih serius. Aku terus mengaduk jamu di panci, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang kian menguasai diriku.
“Perkenalkan, Mbah, nama saya Sandy,” katanya dengan sopan. “Saya teman Asti.” Nada bicaranya terdengar tenang, tetapi ada keraguan halus yang sulit disembunyikan.
Suara lembut Si Mbah terdengar lagi, “Nak Sandy,” ucapnya pelan, “sampeyan sudah tahu belum kalau Asti ini sebenarnya sudah punya suami?” Kalimatnya terdengar sangat sopan, tetapi membawa beban yang tak bisa diabaikan.
Mas Sandy terdiam sejenak, dan aku bisa mendengar helaan napasnya dari belakang. “T-tahu, Mbah,” jawabnya dengan nada gugup yang jelas terasa. “Asti sudah cerita sebelumnya.”
Si Mbah kemudian berbicara dengan nada lembut,
“Nak Sandy … Nduk …” katanya perlahan, “tidak ada yang salah dengan berteman. Tapi kalian harus paham batasannya, apalagi Asti ini sudah punya tanggung jawab sebagai seorang istri.”
Aku tetap memunggungi mereka, berusaha fokus pada panci di depanku, walau setiap kata yang diucapkan Si Mbah terasa begitu menekan.
“Hubungan yang baik itu harus dijaga dengan rasa hormat. Kalau sesuatu melampaui batas, meskipun awalnya terlihat kecil, lama-lama bisa membawa masalah besar, bukan hanya untuk kalian, tapi juga untuk orang-orang di sekitar.” Si Mbah berhenti sejenak sebelum melanjutkan dengan suara yang lebih tenang, “Kalian masih muda, perjalanan hidup ini panjang. Jangan sampai nanti ada penyesalan karena tidak bisa menjaga batas yang seharusnya dijaga.”
Mas Sandy pun akhirnya membuka suara, “Maaf, Mbah,” ujarnya pelan, “saya tidak bermaksud membuat keadaan jadi seperti ini. Saya hanya ingin menjadi teman yang baik bagi Asti.”
Si Mbah berbicara dengan tegas, “Jagalah selalu perasaan dan kehormatan satu sama lain. Jangan sampai melakukan hal-hal yang di luar batas, meskipun terlihat kecil atau sepele. Kadang, hal-hal yang tidak terlihat langsung bisa menimbulkan masalah besar di kemudian hari. Ingat, batasan itu penting untuk menjaga diri kalian dan hubungan kalian dengan orang lain. Hormati komitmen yang sudah ada, jangan sampai terjebak dalam hal-hal yang bisa merusak semuanya.”
“Baik, Mbah… Terima kasih atas nasihatnya. Saya akan lebih berhati-hati,” kata Mas Sandy perlu hormat.
Aku mendengar langkah Si Mbah yang semakin menjauh, dan itu memberi sedikit ruang untuk bernapas. Tanpa berpikir panjang, aku segera menyudahi memasak racikan jamu, mengangkat panci dari atas kompor dan meletakkannya dengan hati-hati di lantai. Tubuhku terasa kaku, namun aku tahu aku harus segera mengalihkan perhatian dari situasi canggung ini. Aku menoleh ke arah Mas Sandy, yang masih berdiri terpaku, tampak begitu diam dan kehilangan kata-kata. Dengan hati yang berdebar, aku mendekatinya dan perlahan menggenggam tangannya.
“Ayo, kita ke ruang depan,” bisikku, berusaha mengalihkan suasana, meski hati masih terasa berat.
Kami meninggalkan dapur, melewati ruang sempit yang terasa semakin sesak, menuju ruang depan yang lebih tenang. Begitu kami duduk di sofa panjang, aku merasa perasaan cemas itu belum hilang. Mas Sandy duduk di sampingku, cukup dekat, namun ada jarak yang terasa di antara kami. Aku menunduk, mencoba meredakan kegelisahan yang menguasai. Mas Sandy tak berkata apa-apa, seakan menunggu aku untuk memulai percakapan.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya berkata, “Mas, jangan terlalu dipikirkan masalah tadi. Mbah hanya ingin mengingatkan kita saja, nggak perlu terlalu dibawa ke hati.”
Mas Sandy tersenyum tipis, wajahnya terlihat sedikit merah, “Aku… aku nggak nyangka Mbah bakal tahu,” ujarnya dengan suara rendah. “Aku cuma… nggak bisa menahan diri, Asti. Maaf kalau aku membuat kamu malu.”
Aku menatapnya sejenak, mencoba memberikan ketenangan dalam tatapanku. “Mas, jangan terlalu dipikirkan,” kataku lembut. “Itu semua bukan hal yang besar.” Aku menggenggam tangannya, memberikan sedikit kehangatan dan rasa aman.
Tiba-tiba, suara dering ponsel terdengar dari saku celana Mas Sandy. Ia terlihat sedikit terkejut, lalu meraih ponselnya dan menatap layar sejenak. Setelah itu, ia menerima panggilan tersebut, “Hallo,” suaranya terdengar lebih serius. Aku hanya diam, menunggu, berusaha tidak terlalu penasaran dengan siapa yang meneleponnya.
Aku memperhatikan Mas Sandy yang mendengarkan lawan bicaranya dengan wajah serius. Ponsel yang ada di tangannya seolah membuatnya terfokus sepenuhnya pada percakapan itu. Aku bisa mendengar samar-samar kata-kata dari lawan bicaranya, meskipun tak cukup jelas untuk kutangkap.
Beberapa saat berlalu, dan akhirnya Mas Sandy berkata, “Baiklah,” sebelum memutuskan sambungan teleponnya.
Mas Sandy menoleh ke arahku, ekspresinya masih terlihat serius. “Aku harus segera ke kantor, Asti,” ujarnya sedikit tergesa-gesa. “Anak buahku butuh bantuanku sekarang.”
Aku mengangguk paham, “Pergilah, Mas. Jangan khawatir tentang aku. Semoga semuanya baik-baik saja di kantor.”
Aku mengantarkan Mas Sandy ke mobilnya yang terparkir di halaman rumah. Setelah pintu mobil tertutup dan mobil itu mulai bergerak menjauh, aku berdiri sejenak, menatapnya hingga akhirnya menghilang dari pandanganku. Kemudian, aku berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah, mengunci pintu dengan hati-hati. Setelah itu, aku melangkah menuju dapur, melihat panci yang masih berisi ramuan jamu yang belum selesai. Tanpa menunggu lebih lama, aku mulai menuangkan ramuan itu ke dalam botol-botol yang sudah disiapkan.
Setelah sekitar setengah jam, pekerjaan Asti selesai. Ia merasa lega karena akhirnya bisa menyelesaikan semua tugasnya. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk menyegarkan diri. Asti melangkah ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya dengan air yang dingin, berusaha melepaskan segala kecemasan yang masih menggelayuti. Setelah selesai, ia mengganti pakaian dengan setelan tidur yang nyaman, memilih untuk beristirahat sejenak. Asti berjalan ke kamar, tempat ia biasanya tidur di waktu pagi menjelang siang. Ini adalah kebiasaannya sejak dulu, saat ia masih mengelola kedainya sepenuhnya. Begitu ia berada di tempat tidur, tubuhnya langsung terbaring, dan dalam beberapa menit, tidur menyambutnya, memberikan sedikit ketenangan di tengah pikiran yang sibuk.
Aku terbangun mendengar bunyi alarm dari ponselku yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Rasa kantuk masih menyelimuti, namun aku tahu sudah saatnya untuk bangun. Tanpa membuang waktu, aku segera ke kamar mandi dan mandi lagi, merasakan air yang segar membangkitkan kembali semangatku. Setelah selesai, aku kembali ke kamar dan memilih pakaian kaos ketat yang menampilkan bentuk tubuhku dengan jelas, dipadu dengan rok yang sedikit di atas lutut. Aku lalu berdandan sebentar, merapikan diri agar merasa lebih siap menghadapi sisa hari. Setelah merasa cukup, aku mengambil ponsel dan menelpon Si Mbah.
Teleponku ternyata langsung diangkat oleh Si Mbah, “Ya Nduk, ada apa?” tanyanya.
Aku menjawab dengan santai, “Mbah, bisa bantu antar aku ke kedai? Ada beberapa barang yang harus aku bawa ke sana.”
Si Mbah menjawab dengan suara lembut, “Tentu, Nduk. Tunggu sebentar, Si Mbah bersiap dulu.”
“Terima kasih, Mbah …” responku sambil tersenyum.
Aku keluar dari kamar dan menuju dapur untuk membawa barang dagangan yang sudah disiapkan. Dengan hati-hati, aku memindahkannya ke teras dan menatanya di sana, memastikan semuanya siap untuk dibawa. Setelah itu, aku mengunci pintu rumah dan duduk menunggu Si Mbah di teras. Tak lama kemudian, mobil sedan tua milik Si Mbah terlihat melaju perlahan menuju halaman rumah. Aku segera mengangkat barang-barang itu dan membawa semuanya ke mobil, menatanya dengan rapi di jok belakang. Setelah selesai, aku masuk ke dalam mobil dan duduk di jok depan, di samping Si Mbah, siap untuk berangkat.
Si Mbah menoleh sekilas ke arahku dan berkata, “Nduk, pastikan tidak ada yang tertinggal, ya.”
Aku mengangguk sambil memeriksa kembali barang-barang yang ada di mobil. “Semua sudah aku bawa, Mbah,” jawabku, memastikan tidak ada yang terlewat.
Si Mbah mulai menggerakkan mobilnya, keluar dari halaman rumahku, dan melaju di jalan menuju terminal tempat kedaiku berada. Di awal perjalanan, kami terdiam, hanya suara mesin mobil yang terdengar. Beberapa saat kemudian, aku memutuskan untuk memecah keheningan.
“Mbah,” kataku dengan pelan, “aku minta maaf atas kejadian tadi pagi.”
Si Mbah menatap jalan di depan dengan tenang, kemudian suaranya terdengar lembut. “Nduk,” katanya pelan, “seharusnya kamu tidak melakukan itu. Bagaimanapun, kamu sudah punya suami. Perbuatan seperti itu adalah kesalahan besar, bisa membuat malu diri sendiri.”
Aku tersenyum santai, “Iya, Mbah, aku paham kok. Aku nggak akan ngelakuin itu lagi,” jawabku, berusaha terdengar meyakinkan. Padahal, dalam hatiku, aku tahu aku hanya mengatakannya supaya Si Mbah senang, bukan karena aku berniat mengubah apa yang sudah terjadi.
Suara Si Mbah kini terdengar sendu, penuh perhatian dan kekhawatiran. “Nduk,” katanya pelan, “kamu harus berusaha keras untuk meninggalkan perilaku yang menyimpang itu. Kalau sudah terjerembab, itu sangat sulit untuk ditinggalkan. Bukan hanya janji yang Si Mbah butuhkan, tapi bukti. Si Mbah ingin melihat perubahan yang nyata dari dirimu.”
Aku terkejut mendengar ucapan Si Mbah tadi, seakan dia tahu apa yang ada dalam pikiranku. Kata-katanya membuatku terdiam, dan aku merasa seperti tak bisa menghindar dari apa yang baru saja dia katakan. Aku memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan, tak tahu harus mengatakan apa. Keheningan di dalam mobil terasa semakin berat, dan aku lebih memilih untuk tenggelam dalam pikiranku sendiri. Tanpa terasa, kami sampai di kedai jamu.
Aku dan Si Mbah membawa barang-barang dagangan ke dalam kedai. Aku mulai menyusun barang-barang tersebut dengan cepat, memastikan semuanya teratur agar pelanggan yang datang nanti merasa nyaman. Kedai ini memang kecil, tapi selalu ramai dengan pengunjung yang setia. Aku memindahkan beberapa botol jamu ke rak, menyusun kembali beberapa peralatan di meja, dan membersihkan bagian-bagian yang perlu. Sementara itu, Si Mbah duduk di sebuah kursi kayu yang ada di sudut ruangan, hanya memperhatikanku dengan mata yang tenang. Aku bisa merasakan tatapannya yang lembut, meski dia tidak mengatakan apa-apa. Rasanya aneh, ada banyak hal yang ingin dia katakan, tapi dia memilih untuk diam.
Setelah cukup lama membersihkan dan merapikan kedai, aku akhirnya menghampiri Si Mbah dan duduk di dekatnya. Kami duduk bersama, namun tidak ada percakapan yang keluar. Hening. Aku bisa merasakan sesuatu yang sedang mengganggu pikiran Si Mbah, membuatnya tampak lebih diam dari biasanya. Ada sesuatu yang tidak ia ungkapkan, dan yang aku tahu Si Mbah sekarang sedang muram. Setelah beberapa saat dalam keheningan, aku akhirnya tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahuku.
Dengan suara pelan, aku bertanya, “Si Mbah, kenapa?”
Si Mbah hanya tersenyum mendengar pertanyaanku, namun senyumannya itu bukan senyuman yang biasa aku lihat ketika dia bahagia atau merasa bangga padaku. Senyuman kali ini terasa berbeda, seperti ada beban yang tersembunyi di baliknya, yang membuatku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Aku bisa merasakannya, meskipun Si Mbah tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ada sesuatu yang tidak terucap, dan itu membuatku cemas, entah kenapa.
Tanpa bisa menahan lagi, aku bertanya, “Mbah, ada apa? Apa yang sedang terjadi? Kenapa tampak seperti ini?”
Si Mbah hanya menggelengkan kepala pelan, “Tidak ada apa-apa, Nduk. Jangan terlalu dipikirkan,” katanya dengan suara yang jauh dari meyakinkan.
Setelah itu, tanpa berkata lagi, Si Mbah bangkit dari kursinya dan mulai berjalan meninggalkan aku. Aku hanya bisa duduk terdiam, menatap punggungnya yang semakin menjauh. Aku mengamati Si Mbah memasuki mobilnya dengan langkah pelan, lalu mobil sedan tua itu mulai melaju meninggalkan kedai. Aku berdiri di pintu, menatap mobil yang semakin menjauh, dan hatiku dipenuhi kecemasan. Ada perubahan pada diri Si Mbah yang sulit kutangkap, namun terasa begitu nyata.
Saat aku masih berdiri di pintu, termenung dengan perasaan yang tidak menentu, aku mendengar suara mesin motor mendekat. Tanpa menunggu lama, Bayu muncul dari balik jalanan dengan motornya. Senyumku secara otomatis muncul saat melihatnya, meski perasaan dalam hatiku masih kacau. Bayu melepaskan helmnya, lalu dengan cepat turun dari motornya dan berjalan mendekatiku. Pandangannya yang penuh semangat membuatku merasa sedikit lebih tenang, walaupun kegelisahan yang aku rasakan belum sepenuhnya hilang.
Bayu tersenyum, sedikit terkejut melihat aku sudah ada di kedai. “Tumben, Ibu datang lebih awal hari ini,” katanya dengan nada yang penuh keheranan.
Aku tersenyum nakal, sedikit menggoda. “Aku datang lebih awal karena kangen sama kamu.”
“Terima kasih, tapi aku kok kurang percaya,” jawab Bayu sambil tersenyum.
“Oh ya? Apa kamu mau bukti?” ucapku menantang.
“Tentu,” jawabnya singkat.
Aku menarik Bayu masuk ke kedai dan langsung membawanya ke ruang belakang. Begitu kami sampai di sana, tanpa pikir panjang, aku mencium bibirnya. Bayu terkejut, tubuhnya tampak kaku sejenak, namun dalam beberapa detik, ia mulai membalas ciumanku. Ciuman kami begitu panas hingga aku merasa tangan Bayu meremas-remas payudaraku. Aku merasakan tubuhku mulai bergetar halus, mengikuti setiap sentuhan Bayu yang membangkitkan sesuatu di dalam diriku. Sejurus kemudian aku menurunkan tanganku, mengusap penisnya, merasakan betapa tegangnya dia dibalik celana yang ia kenakan.
Aku harus mengakui, Bayu adalah pria yang sulit untuk tidak disukai. Selain wajahnya yang tampan, dia memiliki daya tarik fisik yang tak terbantahkan, penis miliknya gagah, besar, dan panjang, sesuatu yang tak mungkin luput dari perhatianku. Tapi di balik semua daya tarik itu, aku tetap merasa ragu. Aku sadar, hatiku adalah labirin yang rumit, dan aku adalah tipe wanita yang sulit berkomitmen, selalu mendambakan perhatian dari banyak pria. Bayu mungkin sempurna, tapi aku belum yakin bisa menyerahkan seluruh hatiku padanya.
Aku dan Bayu langsung menghentikan semua yang kami lakukan begitu terdengar suara langkah dan tawa kecil Anita dan Sintia dari luar ruangan. Kedua karyawanku itu rupanya sudah datang lebih awal dari yang aku duga. Dengan cepat, aku merapikan penampilanku, menyisir rambut dengan jari dan memastikan bajuku kembali rapi, sementara Bayu mengambil jarak, menatapku dengan senyum kecil. Tanpa membuang waktu, aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, lalu melangkah ke depan dengan tenang seolah tidak ada yang terjadi.
Aku baru saja memasuki ruang depan kedai dan seketika itu juga, aku mendengar suara Anita yang mendekat. Wajahnya terlihat ceria, dan aku bisa merasakan rasa senangnya. “Ibu, senang sekali melihatmu di sini,” ucapnya dengan tulus. “Kedai ini jadi terasa lebih hidup kalau Ibu ada.” Mendengar ucapannya, aku hanya tersenyum kecil.
“Hari ini kebetulan aku punya banyak waktu, jadi aku memutuskan untuk datang ke kedai dan membantu kalian,” kataku sambil memandang Anita dan Sintia bergantian.
“Ibu, jujur saja, kalau Ibu tidak datang ke kedai, rasanya sepi sekali,” kata Sintia dengan senyum malu-malu.
“Aku akan berusaha lebih sering menyempatkan diri untuk datang ke kedai,” kataku. “Kalau kalian merasa lebih nyaman dengan kehadiranku, aku pasti akan meluangkan lebih banyak waktu untuk ada di sini bersama kalian.”
Semua karyawanku segera bergegas ke lantai dua untuk mengganti pakaian mereka dengan seragam kerja. Suara langkah mereka terdengar cepat di tangga, disertai tawa kecil yang sesekali terdengar samar. Tak butuh waktu lama, hanya beberapa menit berselang, mereka kembali turun dengan seragam kerja yang rapi dan semangat yang tampak di wajah mereka, siap memulai hari di kedai.
Sore itu, kami mulai bersiap membuka kedai. Aku bersama Anita dan Sintia memeriksa persediaan di dapur, memastikan bahan-bahan segar sudah siap untuk malam ini. Bayu, seperti biasa, mengurus bagian depan kedai, membersihkan meja dan kursi, serta menata dekorasi kecil agar suasana terasa lebih nyaman. Saat jam menunjukkan pukul empat, pintu kedai kami buka. Pelanggan pertama datang tak lama setelah pintu dibuka. Sepasang muda-mudi masuk dengan senyum ramah, dan aku melihat Bayu segera menyambut mereka dengan hangat. Anita mengambil pesanan mereka dengan cekatan, sementara aku dan Sintia di dapur mulai menyiapkan hidangan. Aroma harum dari masakan pertama yang keluar memenuhi kedai, memberikan kehangatan tersendiri.
Seiring waktu, kedai semakin ramai. Pelanggan datang silih berganti, beberapa memilih duduk di dekat jendela, menikmati pemandangan luar yang mulai gelap. Anita dan Sintia sibuk mondar-mandir mengantarkan pesanan, sementara Bayu membantu menjaga alur kerja tetap lancar dengan sesekali menyapa pelanggan yang baru datang. Aku sendiri lebih sering di dapur, memastikan setiap hidangan tersaji dengan sempurna, tapi sesekali aku keluar untuk menyapa pelanggan tetap yang sudah kukenal.
Ketika malam mulai larut, suasana kedai berubah lebih tenang. Pelanggan terakhir selesai menikmati jamu mereka sekitar pukul 9.30, dan kami mulai bersiap untuk menutup. Anita dan Sintia membersihkan meja, sementara Bayu membantu menyapu lantai. Aku kembali ke dapur untuk memastikan semuanya dalam keadaan rapi, membuang sampah, dan mematikan peralatan. Pukul 10 malam, lampu depan kedai kami matikan. Setelah memastikan pintu terkunci rapat, kami berempat keluar dengan rasa lelah, tetapi juga puas. Hari ini berjalan lancar, dan melihat senyum puas di wajah pelanggan membuat semua kerja keras kami terasa sepadan.
“Ibu, kami pulang duluan, ya,” kata Anita sambil melirik Sintia yang sudah berdiri di sebelahnya.
“Iya, Bu. Terima kasih untuk hari ini,” tambah Sintia dengan senyum sopan.
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Baiklah, hati-hati di jalan. Sampai jumpa besok,” kataku, memastikan mereka tahu aku menghargai kerja keras mereka hari ini.
Aku berdiri di depan kedai, memandang Anita dan Sintia yang berjalan beriringan menyusuri trotoar. Langkah mereka santai, diselingi tawa kecil yang samar terdengar hingga ke tempatku berdiri. Sesekali mereka menoleh ke arahku, melambaikan tangan sebelum kembali melangkah. Lampu jalan memantulkan bayangan mereka yang perlahan memudar, hingga akhirnya menghilang di balik tikungan.
“Bu, aku antar pulang, ya?” ujar Bayu dengan singkat, sambil menatapku.
Aku mengangguk setuju, “Baiklah, terima kasih, Bayu,” jawabku, sambil melangkah menuju motor di samping Bayu yang terparkir di depan kedai.
Perjalanan menuju rumahku terasa cukup hangat, meskipun angin malam sedikit menusuk. Bayu mengendarai motornya dengan tenang, dan aku duduk di belakangnya, menikmati setiap detiknya. Kami mengobrol ringan sepanjang perjalanan, berbicara tentang hal-hal sederhana. Suasana menjadi semakin nyaman, tanpa ada kecanggungan, hanya tawa kecil dan percakapan yang mengalir begitu alami. Setiap kali ada angin yang berhembus, aku merasa sedikit lebih rileks, seolah segala kelelahan hilang begitu saja. Waktu berjalan cepat, dan tak lama kemudian, kami tiba di depan rumahku.
Aku menepuk punggung Bayu pelan, “Makasih udah antar aku,” kataku sambil melepaskan helm.
Bayu berhenti dan menoleh ke arahku, tersenyum. “Nggak masalah,” jawabnya dengan nada ringan.
Aku turun dari motor dan membuka gerbang rumah. “Mau masuk sebentar?” tanyaku sambil tersenyum.
Bayu mengangguk, “Tentu, kalau nggak ganggu.”
“Ayo! Masuklah …” kataku sambil membuka lebar pintu gerbang.
Bayu memarkirkan motornya di halaman depan rumahku, lalu kami berdua berjalan menuju teras. Aku membuka pintu dengan perlahan, dan suasana di dalam rumah terasa sepi dan tenang.
“Silakan duduk,” kataku sambil melepas jaket dan meletakkannya di kursi.
Bayu duduk di ruang tamu, sementara aku menuju dapur untuk menyiapkan minuman. Aku kembali dengan dua cangkir teh hangat dan meletakkannya di meja. Kami duduk bersama, menikmati keheningan malam yang nyaman. Sesekali, aku melirik Bayu, merasakan kedamaian yang langka.
Tiba-tiba, Bayu memecah keheningan dengan suara lembut, “Senang bisa habiskan waktu bareng Ibu malam ini.”
Aku menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Bayu,” kataku pelan, “tolong jangan panggil aku Ibu di luar jam kerja, ya. Aku nggak ingin ada formalitas seperti itu kalau kita tidak sedang bekerja.” Suasana terasa lebih santai setelah itu, dan aku bisa merasakan bahwa percakapan kami menjadi lebih nyaman. “Panggil aja Asti,” tambahku, dengan nada yang lebih ramah.
Bayu mengangguk, lalu tersenyum. “Oke, Asti,” jawabnya.
Kami melanjutkan percakapan ringan, berbicara tentang hal-hal kecil yang terasa tak penting, namun entah kenapa, semuanya menjadi menyenangkan. Suasana di antara kami begitu hangat, seperti tidak ada yang perlu dijaga atau dipikirkan terlalu dalam. Aku hanya menikmati saat itu, namun ada sesuatu yang lebih dalam bergetar di dalam diriku. Aku tidak bisa mengabaikan betapa menariknya Bayu, dengan senyumnya yang menenangkan dan tatapan matanya yang penuh makna. Aku merasa kagum, tak hanya pada penampilannya, tetapi juga pada caranya yang begitu santai dan mudah membuat orang merasa nyaman. Hatiku berdebar, sesuatu yang sudah lama tidak aku rasakan. Aku merasa seperti ingin memilikinya, seperti ada dorongan kuat untuk lebih dekat dengannya. Tetapi kemudian, aku sadar, perasaan itu seolah dibatasi oleh keadaan. Aku tidak bisa hanya memiliki satu laki-laki dalam hidupku, keadaan itu sudah lama menjadi batasan yang tak bisa aku hindari.
Aku menatap Bayu dengan serius, sedikit menunduk sejenak sebelum akhirnya membuka mulut. “Bayu,” kataku, suaraku agak berat, “aku harus jujur sama kamu.” Aku menarik napas panjang, merasa sedikit cemas dengan kata-kata yang akan keluar. “Aku… aku menyukai kamu,” lanjutku, mencoba menatap matanya tanpa ragu. “Tapi, aku takut kalau itu malah akan menyakitimu.” Bayu terdiam, seakan menunggu kelanjutannya. Aku meremas tanganku di pangkuan, merasa sedikit gelisah. “Aku tipe wanita yang nggak mudah berkomitmen,” ucapku dengan hati-hati. “Aku masih ingin bebas, masih ingin punya kesempatan untuk mengenal beberapa pria, sebelum akhirnya memilih satu di antara mereka.” Aku menelan ludah, merasakan beban kata-kata itu. “Aku nggak bisa janji untuk jadi satu-satunya untuk kamu, Bayu,” aku menambahkan, merasa sedikit tersiksa dengan kejujuran ini. “Dan aku takut, jika kita terus seperti ini, aku justru akan menyakitimu.”
Bayu terdiam sejenak, seolah mencerna setiap kata yang keluar dari mulutku. Aku bisa melihat ekspresi wajahnya yang serius, namun tidak ada rasa marah atau kecewa. Perlahan, dia memandangku dengan tatapan penuh arti dan akhirnya berkata dengan suara yang lembut, “Asti, aku tidak peduli seperti apa keadaanmu. Aku cuma tahu satu hal, aku sangat mencintaimu. Aku tidak peduli kalau kamu masih ingin bebas, atau punya beberapa pria dalam hidupmu. Itu tidak akan mengubah perasaanku.” Bayu menarik napas dalam-dalam, kemudian melanjutkan dengan penuh ketulusan, “Yang terpenting bagiku, aku ingin menjadi orang yang ada di sisimu, ingin menjadi yang kamu pilih di akhirnya. Aku akan menunggu, Asti, karena aku yakin kamu bisa jadi milikku sepenuhnya, suatu saat nanti.”
Mendengar pengakuan Bayu, aku merasa tergugah. Kata-katanya, begitu tulus dan menyentuh bagian terdalam hatiku yang selama ini tak pernah berani terbuka sepenuhnya. Aku kagum, bukan hanya pada keberaniannya untuk mencintaiku apa adanya, tetapi juga pada ketulusannya menerima segala sisi diriku, termasuk kekuranganku. Perasaan hangat menjalari tubuhku, melampaui segala keraguan yang selama ini membatasiku.
Tanpa berpikir lebih lama, aku bangkit dari tempat dudukku. Hatiku seakan digerakkan oleh dorongan yang tak terbendung. Aku mendekatinya, lalu duduk di pangkuannya dengan posisi menyamping, merasa nyaman dalam dekapan tubuhnya. Tanpa berkata apa-apa, aku mendekatkan wajahku dan mencium bibirnya dengan penuh hasrat, menuangkan segala rasa yang selama ini kusimpan rapi di balik keraguanku. Bayu pun membalas ciumanku, dengan lembut, seakan ingin menyampaikan bahwa cintanya benar-benar tulus. Di tengah keheningan malam, kami larut dalam momen itu, hanya ada kami berdua yang saling menerima sepenuhnya.
Bersambung…