Malam itu, angin malam yang sejuk menyapu wajah kami, membawa keheningan yang hanya bisa kami nikmati bersama. Kami berdua, Bayu dan aku, melaju dalam keheningan yang menyatu dengan semesta. Setiap ayunan nafas terasa begitu erat, mengalirkan kenikmatan yang tak terucapkan dalam setiap detik yang berlalu, membiarkan tubuh kami bergerak dalam irama yang tercipta, tanpa perlu kata-kata untuk menggambarkan perasaan yang meluap. Bibir kami bertemu, dan seiring waktu berlalu, ciuman itu semakin dalam, seolah dunia di sekitar kami lenyap. Tangan kami saling mencari, meraih kehangatan yang semakin membara, sementara lidah kami saling bertautan, menari dalam irama yang hanya kami mengerti.
“Ooooohhh…” Bayu mengulum lembut bibirku sambil tangan kanannya melingkar di belakang leherku. Aku menyambutnya dengan mengulum balik bibirnya.
Lama kami saling berciuman dengan posisi aku duduk di pangkuannya. Kuluman bibirnya ke bibirku berubah menjadi lumatan. Bibirku disedot pelan, dan lidahnya mulai menyeberang ke mulutku. Aku pun menyambutnya dengan permainan lidahku. Lidahnya terus menjelajah seluruh isi mulutku sepanjang yang bisa dia lakukan. Aku pun tak mau kalah bereaksi. Harus aku akui bahwa aku belum pernah berciuman begini hot, bahkan dengan Mas Sandy sekali pun. Bayu menciumi sisi kiri leherku yang putih jenjang. Rintih kegelian yang keluar dari mulutku dan bau parfum yang harum semakin memompa semangatnya. Ciumannya bergeser ke belakang telingaku, sambil sesekali menggigit lembut cupingnya. Aku semakin menggelinjang penuh kegelian bercampur kenikmatan.
“Aaahhhh … aaaahhhhh …” aku merintih pelan.
Bayu merangkul leherku dengan lengan kanannya. Tangan kanannya mulai menelusup di balik blouse-ku dan merayap pelan menuju puncak payudaraku yang sebelah kanan. Payudaraku memang sangat padat. Bentuknya sempurna, ukurannya cukup besar karena tangan Bayu tak mampu mengangkup seluruhnya. Jari-jari Bayu mulai menari di sekitar pentilku yang sudah tegak menantang. Dengan ibu jari dan telunjuknya memelintir lembut pentilku yang mungil itu. Aku kembali menggelinjang kegelian. Aku menolehkan wajah ke kiri dengan mata yang masih terpejam. Bayu terus melumat bibirku. Kami kembali berciuman dengan panasnya sambil tangannya terus bergerilya di payudara kananku. Ciuman Bayu semakin ganas dan sesekali menggigit lembut bibirku.
Tangan kirinya digerakkan ke paha kiriku yang mulus. Lambat namun pasti, usapan tangan diarahkannya semakin ke atas mendekati pangkal pahaku. Ketika jarinya mulai menyentuh celana dalamku di sekitar vaginaku, Bayu menghentikan gerakannya. Tangan kirinya kembali diturunkan, dia mengusap lembut pahaku mulai dari atas lutut. Gerakan ini diulang beberapa kali sambil tangan kanannya masih memelintir pentil kananku dan mulut kami masih saling berpagutan. Ciumannya semakin mengganas. Dia pun mulai meraba vaginaku yang masih terbalut celana dalam itu. Vaginaku berdenyut lembut . Dengan jari tengah tangan kirinya, dia menekan pelan tepat di tengah vaginaku. Denyutan itu semakin terasa.
“Aaahh … Sayang… Aaahhh .. iya .. iya…” aku melenguh sambil sedikit meronta dan kedua tangan Bayu kini menyingkap blouse yang aku kenakan serta menurunkan celana dalamku sampai ke lutut. Serta merta mata Bayu bisa menatap leluasa vaginaku. Bukitnya menyembul indah, rambut kemaluanku cukup lebat. Di antara kedua gundukan vaginaku itu terlihat celah sempit yang kentara sekali berwarna merah kecoklatan. Kemudian jari-jari tangan kirinya mulai membelai semak-semak yang terasa sangat lembut itu. Aku bereaksi terhadap belaiannya dengan menciumi leher dan telinga kanannya. Aku semakin erat memeluknya.
Tangan kanan Bayu terus meremas-remas payudaraku yang penuh. Jarinya lembut mengusap vaginaku dengan halus. Perlahan, dia menyisipkan jari tengah tangan kirinya di celah vaginaku. Aku merasakan lembab dan agak berlendir di sana. Dia menyusup lebih dalam hingga menemukan klitorisku yang kecil. Dengan gerakan memutar yang lembut, dia mengusapnya.
“Aahhhh … iya … Yu .. ahhhh .. ahhhh.” Jari tengahnya ditekan sedikit lebih kuat ke itilku, sambil digosokkan naik turun.
Aku merespons dengan membuka lebar kedua pahaku, namun gerakanku terhambat oleh celana dalam yang masih bertengger di lutut. Bayu sejenak menghentikan usapan jarinya, lalu menggunakan tangan kirinya untuk menurunkan celana dalamku. Aku membantu dengan mengangkat kaki kiriku, hingga celana dalam itu terlepas dan hanya menggantung di lutut kananku. Kini gerakanku tak lagi terhambat. Dengan leluasa aku membuka lebar kedua pahaku. Jarinya kini dapat menjelajahi seluruh vaginaku yang sudah sangat licin dan berlendir. Dia menggosok-gosok klitoris semakin kuat, sesekali mengusap ujung vaginaku dan menggerakkannya menuju klitoris. Aku pun semakin bergejolak.
“Aaaaaahhhhh …. Bayu .. Yu ….. Aahhhhh .. terus … Aahhhhh,” pintaku sambil merintih. Intensitas gosokannya semakin dia tingkatkan. Dia mulai mengorek bagian luar lubang vaginaku . “Iya … ahhh … iya .. Yu …”
Aku hanya tergolek bersandar di sofa yang empuk itu. Kepalaku terdongak ke belakang, mataku tertutup rapat. Mulutku terbuka lebar sambil tak henti mengeluarkan erangan penuh kenikmatan. Tanganku terkulai lemas tak lagi memeluknya. Tangan kanannya pun sudah berhenti bekerja karena merangkul aku dengan erat agar aku tidak melorot ke bawah. Blouse-ku sudah terbuka sampai ke perut, menyingkap kulit yang sangat putih mulus tak bercacat. Celana dalamku masih menggantung di lutut kananku. Pahaku mengangkang maksimal. Jarinya masih menari-nari di seluruh bagian luar vaginaku. Dia sengaja belum menyentuh bagian dalam vaginaku. Aku sekarang menggeleng-geleng kepala ke kiri kanan dengan liar. Rambutku tergerai acak-acakan.
“Oh … Bayu …. Aahhhhh …. enak …. ahhhh nggak tahaaann .. Aahhhh.” Aku sudah hampir mencapai puncak kenikmatan birahiku. Dengan lembut Bayu mulai menusukkan jari tengahnya ke dalam vaginaku yang sudah sangat basah itu. Dia menyorongkan sampai seluruh jarinya tertelan vaginaku.
Dia tarik perlahan sambil sedikit dibengkokkan ke atas sehingga ujung jarinya menggesek lembut dinding atas vaginaku. Gerakan ini dilakukannya berulang kali, masuk lurus keluar bengkok, masuk lurus keluar bengkok, begitu seterusnya. Tak sampai sepuluh kali gerakan ini, tubuhku menjadi kaku, kedua tanganku mencengkeram erat pinggiran sofa. Kepalaku semakin mendongak ke belakang. Mulutku terbuka lebar. Gerakannya dipercepat dan ditekan lebih dalam lagi.
“Aaaaaahhhhhhhhhh…!” Aku melenguh dalam satu tarikan nafas yang panjang. Tubuhku sedikit menggigil. Aku bisa merasakan jari tangannya makin terjepit kontraksi otot vaginaku, dan bersamaan dengan itu cairan vaginaku menyiram jarinya. Aku telah sampai. Dia tidak menghentikan gerakan jarinya, hanya sedikit mengurangi kecepatannya. Tubuhku masih menggigil dan menegang. Mulutku terbuka tapi tak ada suara yang keluar sepatah pun, hanya hembusan nafas kuat dan pendek-pendek yang keluar lewat mulutku. Kondisi demikian berlangsung selama beberapa saat. Kemudian tubuhku berangsur melemas, dia pun memperlambat gerakan jarinya sampai akhirnya dengan sangat perlahan dia cabut dari vaginaku.
Mataku masih terpejam rapat, bibirku masih sedikit ternganga, dengan lembut dan pelan Bayu mendekatkan bibirnya ke mulutku. Dia mencium mesra bibirku yang sensual itu. Aku pun menyambut dengan tak kalah mesranya. Kami berciuman bak sepasang kekasih yang saling jatuh cinta. Agak berbeda dengan ciuman yang menggelora seperti sebelumnya.
“Nikmat ya?” dengan lembut dia berbisik di telingaku.
“Ternyata kamu sangat pinter … Makasih ya Bayu …” kataku yang disambut oleh senyum manisnya.
Akhirnya aku sadar akan kondisiku saat itu. Pakaianku awut-awutan, pahaku masih terbuka lebar, dan celana dalamku tersangkut di lutut. Aku segera duduk tegak, menurunkan blouse-ku sehingga menutup pangkal pahaku dan melepaslan celana dalamku hingga tergeletak di lantai. Akhirnya aku bangkit berdiri.
“Bagaimana kalau kamu menginap saja di rumahku. Temani aku tidur,” kataku dengan sedikit rayuan.
Bayu tiba-tiba bangkit dari duduknya, membuatku tersentak. Aku bahkan belum sempat berkata apa-apa ketika tubuhku mendadak terangkat dari lantai. Dengan cekatan, dia menggendongku dalam gaya pengantin, membuat wajahku memanas seketika. Sosoknya yang tegap dan tampan terlihat begitu percaya diri, seolah-olah semua ini adalah hal yang wajar. Langkahnya mantap saat ia membawaku menuju kamar, meninggalkan ruang tamu dalam keheningan yang ganjil. Sesampainya di kamar, Bayu menurunkanku dengan lembut di atas kasur.
Bayu tersenyum dan melepaskan semua pakaiannya, hingga tubuhnya telanjang. Kemudian, dia melepaskan seluruh pakaianku, sehingga kami sama-sama telanjang bulat. Bayu kemudian menindihku dengan penuh semangat. Kami berpelukan dan berciuman, saling menjelajahi tubuh kami yang indah. Tak bosan-bosannya dia meremas dan mengusap payudaraku yang sangat segar. Perlahan, dia mulai menciumi leher dan pundakku. Selanjutnya, mulutnya mengarah ke dadaku, mencium dan menggigit-gigit payudaraku yang tegak dengan lembut. Aku sangat menikmati apa yang dia lakukan.
“Ahhhh … iya Yu …. di situ … Aahhhhh.” Lidahnya menjilati pentilku yang mungil dan keras itu. Aku semakin menggelinjang.
Tanganku bergerak turun menjangkau selangkangannya. Aku menggenggam penisnya yang sudah sangat keras. Jari-jariku yang lentik dengan lembut memainkan penisnya. Aku perlahan mengocok penisnya. Tubuh Bayu menegang, ia meredam desahannya. Aku mempercepat gerakan tanganku, membuatnya semakin bergairah. Aku terus mengocok penisnya, membuat cairan precum mulai meleleh keluar.
Sementara itu, Bayu terus mengulum pentilku sementara tangan kanannya meraba-raba daerah kewanitaanku. Jarinya dirapatkan dan ditekan ke area sensitif itu, lalu digerakkan dengan gerakan memutar. Aku pun membalas gerakan Bayu dengan menggoyang panggulku sesuai irama putaran jarinya. Ia kemudian menyentuh-nyentuh klitorisku dengan kuat dan memainkan jarinya di sana, membuat tubuhku menegang dan emosi yang tertahan meluap-luap.
“Bayu …. Saaahhhh …. enak Yu … Aahhh terus … iya …” desahku menahan nikmat.
Sambil menghela napas, aku menarik pantatnya mendekat ke kepalaku. Akhirnya, Bayu terpaksa melepaskan hisapannya pada putingku dan duduk berlutut di sampingku. Aku terus menekan pantatnya hingga akhirnya mulutku mencapai penisnya yang sudah menegak. Tangan kiri Bayu kemudian ditempatkan di belakang kepalaku untuk menopangnya yang sedikit terangkat. Penisnya kumasukkan ke dalam mulutku dan kulilati.
“Oooh … enak Asti … aku suka …” Dia pun menggerakkan pantatnya maju mundur. Aku membuka lebar mulutku dan menjulurkan lidahku sehingga penisnya meluncur masuk keluar mulutku tergesek lidahku. Sementara itu tangan kanannya terus menekan dan memutari vaginaku. Kadang jarinya diselipkan ke celah vaginaku dan mengusap kelentitku.
“Aahhh Bayu … Aku nggak tahan Yu … Aahhhhh .. iya …aaahhhh …” rintihku.
Bayu segera mengubah posisi. Kedua tanganku diletakkan di belakang lututku dan membuka kedua lututku. Dia mengangkat pahaku sehingga vaginaku terbuka lebar menghadap ke atas. Aku menahan posisi itu dengan kedua tangan di belakang lututku. Dia duduk bersimpuh di hadapan vaginaku, dan mengarahkan penisnya ke vaginaku yang sudah terbuka itu. Dia memasukkan kepala penisnya ke dalam vaginaku dan menahan sejenak. Kemudian, dengan tangan kanannya, dia menggerakkan penisnya memutari mulut vaginaku.
“Yuuu … Aahhhhh … nggak tahan … ayo … ahhhhhh …”
Bayu sengaja tidak mau terlalu cepat menusukkan penisnya ke vaginaku . Dia menggesek-gesekan kepala penisnya ke kelentitku. Aku semakin menggelinjang menahan nikmat. Akhirnya tanggulku bobol juga. Tak heran, dengan gosokan jari saja aku tadi bisa mencapai orgasme apalagi ini dengan kepala penisnya, tentu rangsangannya lebih dahsyat.
“Aaaahhhhhhhhhhhhhh..ahhhhhhhhhhhhh …” Rintihan itu sekaligus menandai melelehnya cairan bening dari vaginaku. Aku kembali mengalami puncak orgasme hanya dengan gosokan di itilku.
Kali ini Bayu memasukkan batang penisnya ke dalam vaginaku. Dia berbaring telungkup di atas tubuhku sambil menumpukan berat badannya di kedua sikunya. Dia mencium lembut mulutku yang masih terbuka sedikit. Aku membalas ciumannya dan mengulum bibirnya. Dia membiarkan penisnya terbenam dalam vaginaku. Beberapa detik kemudian, dengan gerakan yang sangat lembut Bayu mulai memompa batang penisnya ke dalam vaginaku yang sudah basah kuyup. Dia tahu aku pasti bisa orgasme lagi dan kali ini dia ingin merasakan semburan lumpur panas di batang penisnya.
Bayu begitu bersemangat menghujam-hujamkan batang penisnya yang besar dan panjang di vaginaku. Batang ereksinya itu menggesek-gesek di sepanjang liang vaginaku yang sudah merekah, serta menganga lebar sehingga aku pun mendesah semakin kencang sambil kupejamkan mataku ini sembari kunikmati pergesekan antara kedua kelamin kami berdua, yang menyebabkan vaginaku semakin basah dan banjir dengan lendir cairan kewanitaanku serta menjadi amat sangat licin sehingga menyebabkan penis Bayu pun terkadang kepala penisnya menerobos ke dalam lubang pembukaan vaginaku yang berbentuk setengah lingkaran seperti cincin.
“Aaaahh… Aaaahh… Aaaahh… Enak sayang …” desahku.
Aku pun semakin mendesah juga melenguh merasakan kenikmatan yang tiada taranya saat kepala penis Bayu terjerumus semakin dalam ke dalam liang vaginaku ini, dan dapat kurasakan dinding vaginaku ini berdenyut-denyut mengatup membuka dan menutup menjepit serta meremas-remas kepala penis itu. Bayu tiba-tiba kembali mengeluarkan penisnya yang tadi telah terjerumus, dan tercebur ke dalam liang vaginaku, kemudian Bayu menggesekkan kepala penisnya di daging labia minora (bibir dalam) vaginaku yang basah dengan lendir cairan kewanitaan, sambil sesekali disentuhkannya kepala penis itu pada klitoris atau itilku yang telah menegang yang membuatku sedikit merasakan geli akibat dari pergesekan yang terjadi antara kepala penis Bayu dengan seluruh bagian klitorisku ini.
“Oooohhh Bayuuu … Teruusss … Aaaahhh …” Tubuhku tenggelam dalam hasrat dan gelora, setiap sentuhan menghadirkan alunan kenikmatan yang memabukkan, membuatku lupa akan segalanya.
Aku yang semakin tersiksa dengan perlakuan Bayu itu, lalu dengan tangan kiriku, aku menggenggam batang penisnya, dan kuletakkan tepat di celah lubang pembukaan vaginaku yang berbentuk setengah lingkaran yang telah basah, dan becek dengan lendir cairan kewanitaanku ini, kemudian setelah itu kudorongkan pantatku ini ke atas, dan terdengar bunyi bless…bless…slebb… Sehingga penis Bayu dalam sekejap telah memasuki vaginaku, dan berada di dalam diriku ini. Aku merasakan penis Bayu semakin membesar di dalam vaginaku, dengan posisiku yang sedang mengangkang, aku dapat merasakan otot-otot dinding vaginaku makin kencang nan kuat mencengkeram penis Bayu, serta menjepit, dan memijat-mijat saraf-saraf di sepanjang penisnya mulai dari kepala penis sampai dengan batang penisnya, lalu perlahan-lahan kugoyangkan pantatku ini agar otot-otot dinding vaginaku makin sering membuka, dan menutup serta merapat meremas-remas penis Bayu ini.
Bayu mencoba mengimbangi gerakan pantatku dengan menaik-turunkan pantatnya, dan mendorong ke depan juga ke belakang penisnya yang semakin membesar di dalam vaginaku serta menggesek, dan menyodok tiap jengkal demi jengkal rongga vaginaku yang semakin basah serta licin dengan cairan kewanitaan, disertai dengan otot-otot dinding vaginaku yang terus-menerus menjepit, dan meremas-remas penisnya.
“Aaaahh … “Aaaahh … “Aaaahh … Bayuuu … Aaaahh …” Eranganku mengalun tak tertahan, menjadi saksi betapa tubuh dan jiwaku larut dalam gelombang nikmat yang tak terlukiskan.
Bayu masih asyik terus menaik-turunkan pantatnya, dan mendorong masuk serta menarik keluar penisnya, menggeseki juga menusuk-nusuk otot-otot dinding vaginaku ini, sambil kedua tangan Bayu meremas-remas buah dadaku yang bergoyang-goyang seirama dengan setiap sodokan, dan tumbukan yang terjadi antara kedua kelamin kami sehingga menimbulkan bunyi saat tumbukan yang terjadi antara kedua selangkangan kami semakin sering serta bertambah cepat juga kencang. Di samping itu juga menimbulkan bunyi gemericik air di dalam vaginaku seiring dengan tusukan demi tusukan juga genjotan demi genjotan penis Bayu pada vaginaku yang membuatku semakin merasakan kenikmatan yang tiada taranya, sehingga kucoba untuk mengencangkan jepitan otot dinding vaginaku dengan kugoyang-goyangkan pinggulku ini dengan sedikit cepat yang membuat penis Bayu masuk semakin dalam, dan kini telah menerobos mulut rahimku ini.
Tak terasa sudah hampir setengah jam persetubuhanku dengan Bayu dan kurasakan bahwa aku sudah hampir mengalami klimaks, yang ditandai dengan berkedutnya otot-otot dinding vaginaku ini, namun ternyata tidak demikian dengan yang dirasakan oleh Bayu. Kurasakan penis Bayu masih sangat keras, dan tegang. Hal ini membuat aku merasakan sensasi yang teramat sangat nikmat, akibat dari tusukan penis Bayu yang makin dalam hingga memasuki leher rahimku, dan tembus hingga ujung kepala penis Bayu benar-benar telah berada di dalam kandunganku ini, sehingga mau tidak mau, kembali kugoyangkan pinggulku agar Bayu segera mencapai klimaksnya, sekali pun aku telah merasa lelah, namun tidak demikian dengan dinding rongga bagian dalam vaginaku yang masih terus meremas batang penis Bayu, yang tentu saja hal ini menimbulkan suatu kenikmatan tersendiri bagiku, dan bunyi plok…plok…plok…akibat tumbukan antara selangkangan kami berdua yang semakin sering terjadi, juga suara cpplakk…cpllakk…seperti suara gemericik air setiap kali penis Bayu menusuk-nusuk vaginaku, ditarik sedikit kemudian dibenamakan kembali dengan lebih dalam, yang membuatku semakin kelojotan.
Akhirnya aku melolong terlebih dahulu menjemput orgasmeku, “Ooooorrrggghh …!!! Aku keluaaaarrr…!!!”
Bayu semakin bersemangat, digecak-gecak kemaluannya semakin kuat dan cepat. Tubuhku terguncang-guncang semakin hebat. Sementara kemaluanku berkedut-kedut saat aku mencapai klimaks, kugoyang-goyangkan pinggulku dengan cepat dan kuat untuk mengimbangi gerakan Bayu. Aku tahu pasti, sebentar lagi dia pun akan mencapai puncak kenikmatannya.
“Oh, ah, uuughhh..!!! Memek kamu enak, Sayang…., aku hampir keluar, aku hampir keluar, adduuhhhh…. enak sekalih, enak sekali memek kamuhhhh…. oooorrrgghhh… aaarrgghhh…. uuuuggghhh…. aaaaaaaarrrgghhhhh……..!!!” Racau Bayu di telingaku menyatu dengan desah nafasku.
Dan akhirnya Bayu menyemprotkan spermanya banyak sekali. Terus kugoyang-goyang pinggulku agar dia lebih merasa nikmat. Dia melenguh-lenguh sambil menciumi leherku, sementara air maninya menyemprot-nyemprot di dalam vaginaku. Setelah itu Bayu menghempaskan nafasnya yang berat, ia mengeluarkan penisnya dari dalam vaginaku. Dipeluknya tubuhku. Kami lalu bercium-ciuman sambil berangkulan di ranjang.
“Kamu enak sekali, Asti …” kata Bayu sambil membelai-belai keningku yang berkeringat.
Aku pun tersenyum lalu berkata, “Kamu yang hebat, sayang.”
“Hebat apanya?” tanya Bayu sambil mengangkat wajahnya lalu menatapku lekat-lekat.
Aku tersenyum, kugenggam batang kemaluan Bayu sebagai jawaban. Bayu mengikik, dan penisnya otomatis bergerak membesar kembali. “Tuh kan, baru dibilang paling hebat, dia langsung bangun lagi!” aku menggoda sambil mengelus-elus batang penis Bayu yang kian mengeras.
Kuangkat pahaku, menyilangi paha Bayu, lalu kugesek-gesekkan ujung penisnya ke belahan vaginaku. Bayu menyeringai. Tubuhku dipeluknya lebih erat, lalu kami berciuman bibir. Hangat, tandas, dan lama. Selanjutnya kami memulai permainan ronde kedua. Seperti biasa, Bayu memang kuat dan tahan lama. Entah berapa lama kami bersetubuh untuk yang kedua kali malam itu, yang jelas akhirnya kami mencapai orgasme dalam waktu bersamaan. Setelah itu kembali beristirahat. Buang air, mencuci tubuh di kamar mandi, pesan makan malam, ngobrol-ngobrol, lalu bercinta lagi.
——-
Matahari sudah meninggi ketika aku membuka mata, sinarnya yang hangat menelusup melalui celah tirai jendela. Jam di dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Aku menoleh ke samping dan mendapati Bayu masih terlelap, wajahnya tampak tenang, dengan napas yang teratur. Sebuah senyuman tanpa sadar terukir di wajahku, mengingat kebahagiaan yang ia berikan semalam, momen-momen indah yang begitu berkesan. Pelan-pelan, aku bangkit dari tempat tidur, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkannya. Aku mengenakan daster selutut yang tergantung di sisi tempat tidur, lalu melangkah keluar kamar dengan niat untuk mandi, menyambut hari yang baru dengan suka cita.
Langkahku membawa aku menuju kamar mandi, lantai dingin terasa sejuk di bawah telapak kaki. Aku membuka pintu kamar mandi dengan hati-hati, enggan mengganggu keheningan pagi yang masih menyelimuti rumah. Begitu masuk, aku menyalakan keran, membiarkan air mengalir deras dan membentuk uap tipis di udara. Aku melepas daster perlahan, menggantungnya di belakang pintu, lalu merasakan air hangat menyentuh kulitku, mengalir membasuh lelah yang tersisa. Setiap tetes air seolah membawa kesegaran baru, membuat pikiranku jernih dan tubuhku terasa lebih ringan. Aku menyabuni tubuhku dengan gerakan lembut, menikmati aroma sabun yang menenangkan. Waktu seakan melambat di sini, membiarkanku menikmati momen sunyi yang sepenuhnya milikku.
Setelah selesai mandi, aku mematikan keran dan meraih handuk untuk mengeringkan tubuh. Dengan gerakan santai, aku mengenakan kembali daster yang tadi kugantung, kali ini tanpa repot-repot memakai dalaman. Kainnya yang lembut langsung menyentuh kulit, memberikan sensasi nyaman yang sederhana. Aku berjalan keluar kamar mandi, langkahku pelan menuju kamar, niatku ingin kembali masuk dan mungkin membangunkan Bayu. Namun, baru beberapa langkah dari pintu kamar, suara ketukan terdengar dari arah pintu depan. Aku mendadak berhenti, dadaku berdegup lebih cepat. Rasa was-was merayap, membayangkan kemungkinan orang di balik pintu itu tahu bahwa Bayu ada di dalam rumahku. Pikiranku berputar cepat; siapa yang mengetuk pagi-pagi begini? Tanpa sadar, aku berdiri mematung di lorong, mencoba menenangkan diri dan mencari cara menghadapi situasi ini tanpa menimbulkan kecurigaan.
Ketukan di pintu itu terus menggema, memecah keheningan pagi yang sebelumnya damai. Dengan langkah tergesa, aku menuju pintu depan, mencoba menguasai diri meskipun perasaan cemas terus menyelimuti. Tangan gemetar saat aku memutar kunci, lalu perlahan membuka pintu. Namun, alih-alih lega, dadaku justru semakin sesak ketika melihat siapa yang berdiri di sana – Si Mbah. Wajahnya begitu mendung, sorot matanya tajam, dan ekspresi kekecewaan terpancar jelas. Seolah-olah ia telah mengetahui segalanya, bahkan tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dalam sekejap, rasa bersalah mulai menjalari diriku, menciptakan benak penuh kekhawatiran. Bayangan tentang Bayu yang masih ada di kamar membuat pikiranku kalut, sementara Si Mbah hanya berdiri di sana, tak bergerak, tetapi keberadaannya cukup membuatku merasa seperti tengah diadili.
Si Mbah menghela napas panjang, matanya menatapku tajam, seolah-olah menembus setiap lapisan pertahananku. Suaranya pelan, tetapi penuh tekanan, seperti seseorang yang menahan amarah bercampur kecewa, “Siapa lagi laki-laki yang kau bawa masuk malam ini?” tanyanya dengan nada datar namun menghujam. “Kamu pikir ini rumah apa? Apa kamu tidak memikirkan bagaimana orang-orang akan memandang kita? Aku tak pernah mengajarkanmu seperti ini.”
Aku menatap Si Mbah dengan wajah setenang mungkin, meskipun dalam hati gemuruh rasa takut dan panik tak bisa dibendung. “Mbah, nggak ada siapa-siapa di sini,” ujarku, berusaha menjaga nada suara tetap tenang dan meyakinkan. “Asti nggak bawa siapa-siapa, kok. Mungkin Mbah salah sangka.” Aku mencoba tersenyum, meskipun senyum itu terasa hambar, dan melanjutkan, “Semalam Asti cuma capek, jadi langsung tidur. Nggak ada yang aneh, Mbah.”
Si Mbah mengernyitkan dahi, matanya semakin tajam menatapku. Ia menggeleng pelan, lalu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah halaman. “Nduk, kamu pikir Mbah ini bodoh? Itu motor siapa yang dari semalam ada di halaman? Mbah lihat sendiri waktu Mbah lewat tadi malam,” katanya, suaranya mulai meninggi. “Mbah nggak pernah lihat motor itu sebelumnya. Jangan coba-coba bohong sama Mbah!”
Aku mencoba untuk tetap tenang, meskipun detak jantungku makin cepat. Dengan usaha keras, aku mengalihkan pandangan dari Si Mbah, lalu menjawab, “Itu motor karyawanku, Mbah. Motor itu mogok tadi malam pas dia nganterin aku dari kedai. Dia nggak bisa bawa pulang, jadi aku suruh titipin di sini sebentar. Dia udah pulang ke rumahnya pake ojek.” Aku menatap Si Mbah, berharap dia bisa menerima kebohonganku, “Karyawanku itu, Mbah, bukan siapa-siapa. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Si Mbah menggelengkan kepala pelan, seolah tak tahu lagi harus berkata apa. Wajahnya dipenuhi kekecewaan yang mendalam, dan aku bisa merasakan bagaimana rasa kecewa itu mengalir dalam setiap gerakannya. Tanpa sepatah kata pun, Si Mbah berbalik dan melangkah pergi. Ia menuju pintu gerbang dan keluar dari rumah, meninggalkan aku dengan perasaan penuh rasa bersalah yang sulit kuungkapkan. Sejenak, aku berdiri terdiam di tempatku, menatap punggungnya yang semakin menjauh, sementara kegelisahan menyelimutiku, semakin menyiksa.
Setelah Si Mbah menghilang dari pandangan, aku menutup pintu dengan perlahan dan mengunci rapat-rapat. Tangan yang gemetar memegang kunci, dan perasaan cemas menyelimuti diriku. Tanpa membuang waktu, aku segera menuju kamar. Bayu masih tidur dengan tenang, tidak mengetahui apa yang baru saja terjadi. Aku berdiri sejenak di sisi tempat tidur, memandang wajahnya yang tampak damai. Perlahan, aku menyentuh bahunya untuk membangunkannya. Ketika matanya terbuka, aku langsung tahu aku harus segera menjelaskan apa yang baru saja terjadi.
“Bayu, kamu harus segera pergi,” ujarku dengan suara pelan. “Si Mbah tadi datang, dan dia curiga. Dia bilang dia melihat motor kamu di halaman semalam, dan dia menyangka kalau aku bawa laki-laki ke rumah.” Aku menggigit bibir, khawatir jika Si Mbah benar-benar mengetahui semuanya. “Aku takut kalau dia benar-benar tahu kamu tidur di sini. Cepatlah, jangan sampai dia menemukanmu,” tambahku, mataku mencari-cari reaksi Bayu.
“Oh, baiklah …” jawab Bayu lalu segera turun dari tempat tidur.
Dengan cepat, ia bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaian yang tersebar di sekitar kamar. Aku melihat gerakannya yang sigap, seolah tahu betapa pentingnya untuk segera pergi. Ia melangkah ke luar kamar dan menuju ke halaman, tubuhnya sedikit tergesa. Aku mengikuti dari kejauhan, cemas dan terus mengawasi setiap langkahnya. Bayu membuka pintu depan, kemudian menuju ke motor yang terparkir di halaman. Ia menyalakan mesin dengan cepat, suara motor yang menggelegar seakan mengusir keheningan pagi yang tegang. Setelah memastikan semuanya aman, Bayu memacu motornya keluar dari halaman rumahku, meninggalkan aku dengan perasaan tak menentu. Aku lega karena Bayu sudah pergi, tetapi aku tetap kekhawatiran dengan Si Mbah.
Aku berdiri di depan jendela, memandangi motor Bayu yang semakin menjauh, tapi pikiranku tidak bisa lepas dari Si Mbah. Perasaan khawatir mulai merayapi hatiku, membayangkan bagaimana Mbah akan menilai aku setelah kejadian tadi. Aku tahu, Si Mbah adalah orang yang sangat menjunjung tinggi tata krama, dan aku takut dia akan menganggapku wanita nakal yang tak tahu malu. Selama ini, aku selalu berusaha menjadi orang yang baik di matanya, tapi sekarang semuanya terasa hancur dalam sekejap. Aku membayangkan betapa kecewanya Si Mbah melihatku, dan perasaan itu membuat dadaku semakin sesak. Kekhawatiran akan apa yang mungkin dipikirkannya menghantuiku, menyelimuti pikiran dan membuatku bertanya-tanya apakah aku masih bisa memperbaiki semuanya atau jika kerusakan ini sudah terlalu dalam untuk diperbaiki.
Tiba-tiba, mataku tertuju pada gerakan di luar jendela. Aku terkejut saat melihat Si Mbah memasuki halaman rumahku. Tubuhku langsung kaku, dan rasa takut serta khawatir langsung menghampiriku. Jantungku berdetak lebih cepat, dan aku bisa merasakan cemas yang semakin menguasai diriku. Aku tidak tahu apa yang membuatnya kembali. Aku merasa panik, berusaha mencari cara untuk menghadapinya, tetapi kekhawatiran itu membuatku kesulitan berpikir dengan jernih. Aku hanya bisa berharap, meskipun rasa khawatirku semakin besar, bahwa Si Mbah tidak akan mengetahui semuanya.
Aku berjalan perlahan menuju pintu depan, tubuhku terasa kaku dan gemetar. Setiap langkah terasa berat, dan jantungku berdetak cepat. Ketika aku membuka pintu, aku bisa merasakan keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku. Si Mbah sudah berdiri di depan pintu, matanya langsung menatapku tajam. Aku berusaha tersenyum, meskipun senyuman itu terasa dipaksakan. Dalam hatiku, aku terus bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku membuka pintu lebar-lebar, memberi jalan bagi Si Mbah untuk masuk. Tanpa berkata apa-apa, Si Mbah melangkah masuk ke dalam rumah, dan aku segera menutup pintu di belakangnya. Aku mempersilakan Si Mbah duduk di sofa ruang tamu, sementara aku berdiri ragu di dekat pintu, mencoba mengatur napas. Si Mbah duduk dengan tenang, matanya menyapu seluruh ruangan seolah sedang mencari sesuatu. Aku bisa merasakan rasa cemas yang terus meningkat di dalam diriku. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Si Mbah, tapi aku bisa merasakan bahwa suasana ini semakin berat.
Tiba-tiba Si Mbah berkata, “Aku tahu semuanya, Nduk… Jangan mencoba membohongi Si Mbah. Si Mbah sudah tahu apa yang terjadi di sini.”
Aku terdiam, darahku seperti membeku mendengar kata-kata itu, dan aku merasa seperti tak ada lagi jalan untuk menghindar dari kenyataan yang semakin mendekat. Perlahan, rasa pasrah mulai menguasai diriku, membuatku merasa tak berdaya menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Si Mbah sudah tahu apa yang kamu lakukan selama ini, Nduk,” katanya dengan suara yang tenang tetapi penuh penekanan. “Si Mbah benar-benar menyayangkan tindakanmu. Si Mbah tidak pernah membayangkan kamu akan berbuat seperti ini. Apa kamu tidak memikirkan nama baik keluarga kita?” Wajahnya tampak penuh dengan kekecewaan, membuatku semakin sulit untuk membalas tatapannya. “Mbah hanya ingin kamu sadar sebelum semuanya terlambat. Hidup seperti ini tidak akan membawa kebahagiaan yang sebenarnya,” tambahnya.
Aku menundukkan kepala, merasa tidak ada lagi alasan yang bisa kubuat untuk menghindar dari kenyataan. Dengan suara pelan, aku akhirnya berkata, “Iya, Mbah… Aku memang melakukannya. Apa yang Mbah tahu itu benar.” Aku menggigit bibir, mencoba menahan rasa malu dan takut yang semakin menghantui. “Aku tahu, Mbah, aku salah… Aku tahu ini tidak seharusnya terjadi,” lanjutku, suaraku bergetar saat aku berusaha mengungkapkan kata-kata itu.
Si Mbah menghela napas panjang, lalu menatapku dengan pandangan yang sarat keheranan dan kekecewaan. “Kenapa kamu melakukan itu, Nduk? Apa yang membuatmu sampai seperti ini?” tanyanya pelan, namun nadanya terdengar menusuk.
Aku mengangkat kepala perlahan, menatap Si Mbah dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Karena aku ingin bahagia, Mbah,” jawabku dengan suara yang nyaris berbisik. “Selama ini aku tidak merasa bahagia. Kehidupan rumah tanggaku dengan Mas Tio kacau balau. Dia tidak pernah memberikan apa yang aku inginkan. Tidak kebutuhan materi, tidak juga kebutuhan batinku…” Aku terdiam sejenak, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku lelah, Mbah. Aku merasa kosong,” lanjutku dengan nada putus asa. “Dan ini… ini satu-satunya cara aku merasa hidup lagi.”
Si Mbah menghela napas panjang lagi sebelum berbicara. “Nduk, kalau kamu memang tidak bahagia dengan Mas Tio, selesaikan saja semuanya baik-baik. Jangan sampai tindakanmu malah melukai hati suamimu. Kalau memang sudah tidak bisa diperbaiki lagi, ajukan cerai kepadanya. Itu lebih baik daripada terus menjalani hidup seperti ini.”
Aku menggeleng pelan, tubuhku terasa berat seakan semua beban tertumpu padaku. “Aku tidak bisa, Mbah,” ujarku lirih. “Aku tidak mau jadi orang yang meminta cerai. Aku merasa malu jika keinginan itu datang dariku. Aku ingin Mas Tio yang menceraikan aku.” Aku kemudian menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. “Kalau aku yang meminta, rasanya seperti aku menyerah sepenuhnya. Aku tidak sanggup melakukannya.”
Si Mbah terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Nduk, sampai kapan kamu akan terus melakukan perbuatan seperti ini? Apa kamu hanya akan menunggu Mas Tio menceraikanmu karena alasan ini?” katanya. “Kalau itu terjadi, apa kamu tidak berpikir bahwa itu akan menjadi aib besar? Orang-orang akan melihatmu sebagai ibu rumah tangga yang tidak baik. Itu bukan hanya akan mencoreng nama baikmu sendiri, tapi juga membawa malu untuk keluarga kita.”
Aku hanya diam, memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Si Mbah. Kepalaku menunduk, berpura-pura mendengarkan, padahal pikiranku sudah melayang jauh. Kata-kata Si Mbah memang menusuk, tapi aku tidak punya keinginan untuk membantah atau membenarkan. Di dalam hati, aku bergumul dengan perasaanku sendiri. Jika benar apa yang dikhawatirkan Si Mbah terjadi, aku sadar bahwa itu bisa saja membawa banyak konsekuensi buruk. Namun, bagian dari diriku merasa tidak peduli. Aku sudah terlalu lelah memikirkan penilaian orang lain atau menjaga citra yang selama ini hanya terasa seperti beban.
Pikiran itu terus menguasai diriku, membuatku yakin bahwa kebahagiaanku lebih penting daripada semua omongan orang. Kalau pun nama baikku rusak atau keluargaku kecewa, aku merasa sudah cukup lama memikul tanggung jawab yang tidak membuatku bahagia. Dalam diam, aku tetap bersikeras bahwa jalan yang aku pilih adalah milikku sendiri, meskipun aku tahu ada harga yang harus dibayar.
Si Mbah akhirnya bersuara lagi setelah hening beberapa saat. “Lalu, bagaimana menurutmu sendiri, Nduk? Apa kamu tidak punya pendapat tentang semua ini?” tanyanya dengan nada yang terdengar lebih lembut, tetapi tetap sarat akan dorongan untuk aku menjawab. “Apa kamu tidak berpikir tentang masa depanmu, tentang apa yang akan terjadi nanti?”
Aku mengangkat kepala sedikit, lalu berkata dengan suara pelan, “Aku tidak peduli.”
Si Mbah akhirnya berkata tegas, “Si Mbah sudah memperingatkanmu, Nduk. Jangan salahkan siapa-siapa kalau nanti kamu terjerembab dalam masalah yang membuatmu malu. Si Mbah hanya bisa mengingatkan, sisanya adalah pilihanmu.” Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Sekarang, Si Mbah serahkan semuanya padamu. Apa yang kamu pilih, itu yang harus kamu hadapi.”
Setelah beberapa saat hening, Si Mbah bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Aku berdiri di tempatku, tidak tahu harus berkata apa lagi. Rasa cemas yang semula menguasai hati mulai berganti dengan keheningan yang tak kalah menyesakkan. Si Mbah melangkah keluar tanpa mengatakan kata-kata lain, dan pintu yang tertutup semakin menambah kesunyian di dalam rumah. Pada saat yang sama aku merasa seakan ada jarak yang semakin lebar antara aku dan Si Mbah.
Aku duduk di sudut ruang tamu, membiarkan pikiranku melayang. Kehidupanku memang jauh dari benar, dan aku tahu itu. Ada banyak hal yang seharusnya tidak kulakukan, banyak pilihan yang mengarah pada jalan yang salah. Namun, dalam hatiku, ada perasaan yang sulit untuk kujelaskan. Aku menikmati kehidupan baruku ini. Setiap detik yang kulalui terasa lebih hidup, dan sulit untuk melepaskan kehidupan baruku yang menyenangkan ini.
Aku menyandarkan tubuhku, membiarkan waktu berjalan tanpa mencoba mengusir pikiran yang memenuhi benak. Kehidupan yang kujalani sekarang memang tidak sempurna, bahkan bisa dibilang salah, tetapi entah kenapa terasa lebih nyata. Ada kebebasan yang selama ini tidak pernah aku rasakan. Aku tahu, banyak yang akan menghakimiku jika mereka tahu kebenarannya. Tapi apakah itu penting? Aku merasa hidup ini akhirnya memberiku sesuatu yang selalu aku rindukan; perasaan dihargai, dimengerti, dan diinginkan.
Aku sadar, pilihan ini bukan tanpa risiko. Nama baikku, hubungan keluargaku, semuanya bisa hancur kapan saja. Tapi hidupku sebelumnya juga tidak membuatku bahagia. Bertahun-tahun aku hanya menjadi bayang-bayang dalam rumahku sendiri, tersenyum palsu untuk menjaga apa yang sebenarnya sudah rapuh. Kini, setidaknya aku merasa memiliki kendali atas hidupku, meski jalan yang kupilih ini penuh duri.
Aku akan tetap di sini, dalam kehidupan baruku ini. Apa pun yang akan terjadi nanti, aku tidak akan menyesali pilihan ini. Hidupku mungkin jauh dari sempurna, tetapi untuk pertama kalinya, aku merasa itu adalah hidup yang benar-benar aku pilih sendiri. Jika ini adalah kebebasan yang aku cari, maka aku akan menjalaninya, apa pun yang harus aku hadapi di kemudian hari.
Tamat…