“Bun. Ini gimana sih ceritanya, kok semua langsung pada tahu?” begitu bisikku pada istriku, yang rupanya di dengar oleh yang lain. “Bukannya tadi bunda bilang, kalo Azizah gak sempet liat. Piye toh?”
“Hahaha, jadi gini kak………………………..” Azizah yang mendengar, langsung nyahut.
Dan di mulailah cerita si Azizah
Jadi sore tadi, mereka bertiga tuh lagi ngumpul di ruang santai sembari mengobrol dan bergosip ria khas para wanita yang jika sudah berkumpul, pasti hal ini tak dapat di elakkan lagi.
Karena istriku baru saja mengganti HP iphone 14 terbaru, setelah yang sebelumnya ia jual, dan aku hanya menambahkannya sedikit saja hasil dari THR 1,5 gajiku di dua minggu sebelum lebaran, alhasil, kak Nira pun tergoda untuk sekedar mencobanya. Apalagi iphonenya sudah cukup jadul. Hanya Iphone x promax yang keluarannya 3 or 4 tahun yang lalu. Sedangkan Azizah, iphonenya cukup baru, iphone 11.
“Dek, liat donk hp kamu” begitu ujar Nira saat meminjam ponsel istriku.
“Oh nih kak” istriku pun lantas memberikan ponselnya pada kakaknya itu. Tentu saja, setelah ia membuka lock screennya dengan menggunakan sensor muka.
Sembari mengobrol, sembari jari-jari Nira sibuk ngutak-ngatik ponsel istriku. Begitulah cerita dari Azizah yang semakin mengalir, semakin membuatku agak penasaran.
Tak begitu lama, masuk notifikasi pesan di ponsel istriku. Pasti paham kan notifikasi pada iphone saat adanya pesan whatsapp masuk? Dan itu adalah pesan pertama dariku yang menyuruh istriku segera ke kamar. Pantas saja ia tak membalas pesanku yang pertama, karena ponselnya sedang di pegang Nira, yang juga langsung mengatakan pada istriku, “Dek, kayaknya si Ar WA tuh”
Tak ada yang tahu pasti, apakah pesanku sudah di baca atau belum oleh Nira. Kerana pas kejadian itu, aku juga tak melihat adanya tanda centang 2 biru pesanku.
Karena yang tahu hanya Nira dan sang maha pencipta, tapi seharusnya sih, istriku bisa tahu karena kalo dia sudah buka maka notifikasi pada layar screen saat terclose bakal menghilang. Kalo belum di baca, begitu screen di lock maka notifnya masih terus muncul pada layar di depan. Tapi, karena istriku masih sibuk ngobrol dan membiarkan ponselnya masih di pegang kakaknya alhasil ia pun tak menyadari detailnya tersebut. Toh! Pesan pertama juga bukanlah pesan yang aneh-aneh menurutku. Hanya menyuruh istriku untuk segera ke kamar saja, karena aku lagi gak tahan. that’s it!
Dan setelah beberapa jenak lamanya, di saat Nira yang masih sibuk meliat-liat ponsel istriku, akhirnya pesan kedua dariku beserta 3 gambar sekaligus, yang juga menjadi satu-satunya penyebab aku kini harus menerima bullyan dari mereka, terkirim.
Entah apakah Nira memang sengaja membuka atau tidak sengaja membuka pesan dariku itu yang terakhir. Dan juga, penasaranku kini semakin menjadi-jadi.
Muncul sebuah pertanyaan, apakah saat Nira melihat jeroanku, dia langsung spontan memberikan ponsel itu ke istriku, ataukah beberapa jenak ia sempat menikmati dan meresapi serta mengagumi bentuk dan kekokohan pentungan bertopi bajaku itu, mana secara close up banget lagi aku ambil gambarnya. Hahahaha!
Yang terjadi setelahnya, juga dari cerita Azizah yang masih mengalir ini, Nira langsung bereaksi dengan menunjukkan layar ponsel istriku. “Ihhhh apaan ini, dek”
Seketika itu juga, mata istriku langsung membelalak dan segera merampas ponselnya dari tangan kakaknya. “Astagfrullah….. ihhhh maafin suami ku ya kak. Dia memang kayak gini. Astaga… astagaaaa malu maluin banget ih”
Azizah yang penasaran, malah langsung mengambil ponsel dari tangan istriku yang tidak di genggam kuat oleh istriku. “Apaan sih kak?”
Untung saja, istriku dengan sigap segera merampasnya kembali dari tangan Azizah. Tapi aku yakin, toh, juga sudah sesuai kejadiannya, Azizah sempat melihat, wong dia juga lah yang memulai bullyan tadi.
Wajahku semakin memerah mendengar cerita itu.
Bahkan menurut pengakuan Azizah, ia juga sempat membaca kalimat yang tertera di pesanku itu. Wanjir! Dan seperti dugaanku, rupanya Azizahlah yang memberitahukan pada yang lain mengenai kejadian tersebut.
“Jadi begitu ceritanya, kak Ar” Azizah akhirnya menyudahi ceritanya.
Ya sudahlah. Udah kejadian juga, gak mungkin kan aku menghindar sekarang, alhasil aku pun berusaha cuek dan kembali menikmati makan malamku sembari sesekali menimpali bullyan mereka yang kadarnya mulai berkurang. Bahkan, mama mertuaku juga sesekali menegur salah satunya jika bullyannya kelewatan.
Selesai makan….
Selesai menikmati udud di luar, aku kembali masuk ke dalam rumah utama.
Karena bingung mau ngapain, aku pun memutuskan untuk duduk di sofa sambil menatap istriku dan kedua iparku yang tengah bercerita tentang apa saja yang ingin mereka ceritakan.
Tampak Azizah sedang membelai rambut putriku Intan yang sudah tertidur di karpet lembut, dan istriku sedang asyik bercerita. Sedangkan kak Nira duduk secara anggun, seolah menjaga sikapnya apalagi di saat menyadari kehadiranku tak jauh dari mereka saat ini.
Sempat ku sadari sikapnya agak aneh, tiba-tiba menunduk, tiba-tiba matanya agak gimana gitu menatap ke arahku. Entahlah, apa maksudnya, atau hanya imaginasiku saja yang malam ini semakin liar kemana-mana. Sayangnya aku tidak bisa melihat jelas ekspresinya, karena wajahnya masih tertutupkan khimar.
Beberapa jenak berikutnya, aku sempat menguping, saat Nira yang bercerita. Rupanya memang belakangan ini wanita itu sering mengikuti kegiatan di sebuah organisasi islamiyah gitu, dan ia kini mulai konsisten mengenakan khimar. Apalagi ia juga harus menjaga fitnah karena mengingat suaminya yang memiliki pangkat yang lumayan di TNI.
Baru saja aku ingin beranjak, karena bosen dengan keadaan, tiba-tiba istriku mendekatiku dan menyodorkan beberapa uang.
“Ayah, minta tolong beliin martabak ama terang bulan ya. Hehehe, tuh, bumil lagi pengen katanya” sambil berucap, sambil menunjuk ke arah Azizah.
“Ye, kan kakak juga bumil” balas Azizah dari jauh.
“Ya udah…” Ku ambil uang itu dari tangan istri. Dan menyanggupinya.
“Kalian masih mau nitip yang lain gak?” tanya istriku pada kedua saudarinya itu.
Satu persatu pesanan mulai meluncur dari mulut Nira dan Azizah hingga aku bingung saking banyaknya. Mereka ini perempuan tapi pesen makanannya banyak sekali.
“Banyak banget. Ayah cuma mau jalan kaki ke depan buat beli”
“Mana ada di depan kak. Hahaha, harus keluar ke Soekarno Hatta” jawab Azizah sembari senyum gimana gitu.
“Waduh jauh ya”
“Iya emang jauh, yah. Makanya lebih baik naik mobil aja. Atau bunda pinjemin motor bang Muslim?” bang Muslim itu adalah sepupu istri yang tinggal di dekat rumah mertua. Hanya berjarak beberapa rumah saja. Memang sih, di rumah ini tak ada sama sekali kendaraan. Yang juga baru ku ketahui, ternyata si Rafiq suami Azizah tidak mahir mengendarai motor, karena alasannya ia pernah trauma jatuh dan terluka parah. Makanya, setelah itu ia tak mau lagi untuk naik motor. Mau beli mobil, katanya duit belum mencukupi.
Jadi keluarga di sini kalo mau kemana-mana mengandalkan ojek online. Yang juga di jaman canggih sekarang, bukan perkara sulit untuk mencarinya. Cukup dengan sekali klik dari smartphone.
“Gak usah. Ngerepotin aja. Ya udah biar ayah naik mobil aja” cetusku. “Temenin ya bun” lanjutku sembari mengajak istriku untuk ikut.
“Males yah. Pasti kalo bunda ikut, bakal lama belinya. Hahahaha, tau kan kalian apa yang bakal terjadi? Bakal ada kejadian mobil bergoyang tuh nantinya” cetus istriku yang membuat kedua saudarinya itu tertawa.
“Jadi mending ama kak Nira aja” begitu lanjut istriku. Mendengar itu, entah mengapa jantungku berdegub kencang. Apakah akan kejadian sesuatu yang memang ku inginkan?
Jreng!
Jreng!
Aku berdoa, amat sangat berharap, kata ‘Iya’ atau ‘Oke’ terucap dari bibir di balik khimar itu.
Namun, rupanya keinginanku itu harus ku kubur dalam-dalam, di saat mendengar jawaban dari Nira. “Jangan dek. Biar sama Zizah aja.”
Waduh….
Malah jauh lebih berbahaya kalo sama dia. Begitu batinku.
Ku lirik Azizah yang sedang membelai Intan. Ia melirikku sekilas, dan aku rasa ada yang aneh dalam lirikannya. Segaris senyum yang sangat misterius mengembang di bibir mungilnya.
“Gimana, dek?” Tanya istriku ke adiknya itu.
Azizah menghela nafas.
“Hhhh… iya, deh” lalu menjawab, sembari menghela nafasnya, seolah-olah ia agak berat untuk mengikuti keinginan kakaknya itu. Padahal mah, jika boleh ku tebak, ia sengaja kayak gitu, di dalam hatinya pasti sedang bergembira karena memilik waktu berduaan lagi denganku.
“Jangan ngambek ih. Namanya juga bungsu, jadi harus ikut apa kata kakak-kakaknya.” ujar istriku.
“Iya… iya, bawel” balas Azizah kembali.
Tak lupa ia mengenakan khimarnya sebelum ikut bersamaku keluar rumah.
“Jadi gak, kak Ar tadi buat make si bebek di belakang?” tanya Azizah saat kami baru juga meninggalkan rumah, sembari secara perlahan tangannya bergeser ke samping yang kebetulan posisinya duduk di jok sebelahku, dan tangan usilnya itu kini mulai menjalar turun di selangkanganku. Perlahan tangannya turun dan kini telah menggenggam senjataku dari luar. Ini agak mengganggu konsentrasiku.
“Enakan mana, kak Ar… pantat bebek atau memeknya adek?” Tanya Azizah sambil terus meremas senjataku.
“Ahh kamu ini. Nekad amat sih. Bercadar tapi binal banget kamu dek”
“Auw sakit. Woi….” aku lantas menjerit, karena tiba-tiba saja setelah barusan mengatakan padanya jika ia binal, Azizah lantas mencubit senjataku dengan keras.
“Siapa suruh ngaatain adek, binal….”
“Iya iya maaf. Gak pake di cubit juga kali. Ntar gak bisa bangun kan, bisa runyam jadinya”
“Biarin wekkk”
“Adddohhh….” Dicubit lagi.
Aku tidak tahan lagi menerima perlakuan ini. Kali ini harus ada balas dendam. Ku arahkan mobil ke tempat yang agak sepi.
Begitu ku yakin tempat ini agak sepi, akhirnya aku pun mulai meniatkan untuk menjalankan aksi pembalasan dendamku pada akhwat bercadar ini.
Bersambung……