Oke, anak-anak, semuaya tolong tasnya taruh diatas meja, jangan lupa HP nya juga, terus semuanya tunggu diluar” Kata Pak Dirman wali kelasku.
“Ada apaan sih? Razia yah?” tanya teman sebangkuku Ratna.
“Tau nih, kayak kurang kerjaaan aja” gerutuku.
Setelah melakukan apa yang diperintahkan, kami pun berjalan keluar kelas, menuju lapangan basket yang memang berada tepat ditengah sekolah kami. Disana kulihat murid-murid dari kelas lain sudah bergerombol, tampaknya razia ini meliputi semua kelas di sekolahku. Oh iya, sebelumnya perkenalkan, namaku Dinda Alaina Putri, usiaku baru menginjak 16 tahun, saat ini aku duduk di kelas 1 di sebuah SMU di Jakarta Selatan.
Mamaku asli Jawa, sedangkan papaku keturunan Belanda – Sunda. Bisa dibilang aku ini siswi yang aktif, selain aktif sebagai cheerleader di sekolahku, aku juga pernah terpilih sebagai gadis sampul favorit oleh sebuah majalah terkenal di ibukota.
Secara fisik aku memang menarik, meski tinggiku hanya 164 cm, namun ditunjang oleh wajah yang (kata orang) cantik, kulit putih langsat dan porsi badan yang ideal, membuatku bisa dibilang sebagai “seleb” di sekolahku.”Din, Dinda!” kudengar seseorang memanggil namaku.
Aku pun melihat Ryan, pacarku tampak bergegas menghampiriku dari arah kelasnya. Aku dan Ryan pacaran sudah hampir dua tahun lamanya, kami berasal dari SMP yang sama, bahkan dialah alasan kenapa aku memilih SMU ini, supaya kami bisa tetap melanjutkan hubungan kami.
“Din, sini, gue mau ngomong bentar” katanya terburu-buru sambil menarik tanganku ke arah WC.
Setelah sampai ke WC sekolah, sejenak ia menengok ke kiri dan ke kanan seakan mencari sesuatu.
“Ada apaan sih?” tanyaku yang bingung melihat kelakuannya.
“Din, gawat, HP gue diperiksa trus dibawa ama Pak Dedi” katanya sedikit panik.
“Trus kenapa, emang ada apaan didalemnya?” tanyaku.
“Ehh…itu Din…ada rekaman video, waktu kita..” katanya gugup.
Aku yang sudah melihat arah pembicaraan langsung ikut panik.
“Apaa!…bukannya kamu bilang rekaman itu udah kamu hapus?!” kataku setengah berteriak.
“Ya, emang tadinya mau gue hapus, tapi kan sayang buat kenang-kenangan”
“Ah gila lu…kan kita udah sepakat, dari awal juga gue dah gak suka kamu pake ngerekam- rekam segala, tuh sekarang jadi kejadian deh” sesalku.
“Maaf Din, gue emang salah” kata Ryan dengan wajah memelas.
Karena tak tahu harus bilang apa, aku langsung kembali ke kelasku, nampaknya razia itu telah berakhir, karena hampir semua murid sudah kembali kekelasnya masing-masing. Aku pun langsung masuk ke kelasku dan duduk di bangkuku.
“Ada apaan Din, kok muka lu ditekuk gitu?” tanya Ratna khawatir.
“Gak ada apa-apa kok” jawabku pendek.
Sisa hari itu kujalani dengan pikiran kalang kabut, hingga bel pulang sekolah berbunyi, pikiranku masih berkutat seputar HP Ryan yang disita.
Ketika aku sedang membenahi tasku, dan bersiap untuk pulang, seseorang menepuk bahuku dari belakang.
“Kamu yang namanya Dinda kan? Kamu dipanggil Pak Dedi ke kantornya.” Kata seorang gadis cantik kelas 3 yang namanya aku tidak tahu.
“Eh.. iya kak…makasih kak” jawabku.
Gadis itu hanya melengos pergi tanpa menjawab, namun entah kenapa matanya seperti memancarkan kesedihan dan kekhawatiran, ah mungkin hanya khayalanku saja.
“Ngapain guru killer itu pake manggil kamu segala?”, Ratna bertanya heran.
“Tau nih, kamu pulang duluan aja deh”.
“He-eh deh, sampai nanti!” Ratna pun berlalu pulang.
Aku pun berjalan kearah ruang yang amat ditakuti oleh seluruh siswa di sekolahku. Pak Dedi adalah guru Bahasa Indonesia sekaligus Wakil Kepala Sekolah, yang memang terkenal galak bukan main, usianya mungkin sudah 50 tahun lebih, namun ditunjang oleh wajah yang lebih cocok menjadi preman dari pada guru, dan badan yang tinggi besar, membuatnya ditakuti di sekolah ini. Akupun sampai ke depan kantornya, dan dengan memberanikan diri aku mengetuk pintu.
“Masuk…!” Sebuah suara yang amat menakutkan menyilakan masuk.
“Selamat siang pak!”.
“Selamat siang Dinda, masuk, duduk “, katanya tanpa meninggalkan pekerjaan yang sedang dikerjakannya.
Akupun menuruti perintahnya.
“Kamu tahu kenapa saya panggil ?” tanyanya.
“Eh…nggak tahu Pak” kataku gugup.
“Liat ini” katanya sambil menyodorkan sebuah HP yang kutahu merupakan HP Ryan, di layarnya sedang berputar rekaman video dimana aku sedang menghisap penis Ryan, aku hanya bisa menatap layar HP itu dengan wajah pucat, tak tahu harus berkata apa.
Memang beberapa bulan yang lalu aku telah menyerahkan kegadisanku kepada Ryan, ketika orang tuanya sedang keluar kota. Dan sejak itu aku beberapa kali berhubungan seks dengannya setiap ada kesempatan. Dalam satu kesempatan itulah Ryan merekam adegan tersebut, namun tak lama kemudan, atas permintaanku ia berjanji akan menghapusnya, karena aku takut rekaman itu akan tersebar.
“Kamu tahu akibatnya kalo video ini sampai tersebar? Bukan hanya kamu dan Ryan dikeluarkan dari sekolah, keluargamu juga akan menanggung malu seumur hidup, video ini bahkan bisa saja mempengaruhi bisnis Papa kamu” kata Pak Dedi dingin.
“Saya mohon Pak, jangan, saya janji tidak akan berbuat hal seperti ini lagi” ibaku memelas.
“Maaf, tapi sebagai pendidik, sudah tugas saya untuk menghukum segala jenis penyelewengan dan kebejatan moral seperti ini.” tandasnya tegas.
“Pak, apa gak ada jalan lain?” pintaku.
Aneh, sekejap kulihat ia tersenyum tipis.
“Ada, kalo kamu mau bapak bisa saja menganggap masalah ini tidak ada, tapii…”
“Tapi apa apa pak?”
“Kamu nanti malam jam 7 harus mengikuti bimbingan belajar di rumah saya, sesudah itu bapak akan kembalikan HP ini, dan melupakan masalah ini”
“Bimbingan belajar? Belajar apa Pak?” tanyaku lagi sedikit kebingungan.
“Udahlah gak usah banyak tanya, mau gak?!” katanya.
“Mau..mau Pak” jawabku, karena memang tidak ada pilihan lagi.
” Oke, nanti kamu datang ke rumah saya, ini alamat saya”, Katanya acuh tak acuh sambil menyerahkan secarik kertas berisikan alamatnya.
“Ada lagi?” tanya Pak Dedi itu.
“Tidak pak, selamat siang!”
“Selamat siang!”.
Dengan lemas aku beranjak keluar dari ruangan itu. Kesal sekali rasanya, terhadap Pak Dedi berengsek itu. Malam itu dengan alasan hendak belajar bersama, aku berangkat dari rumahku, untuk memenuhi janjiku tadi siang. Rupanya rumah Pak Dedi terletak di sebuah perumahan kelas menengah, tidak jauh dari sekolahku.
Tak lama, taksi yang membawaku ke rumah Pak Dedi pun berhenti di alamat yang tertulis di secarik kertas yang diberikan Pak Dedi. Didepan rumahnya kulihat ada sebuah mobil dan sepeda motor, yang kutahu bukan milik Pak Dedi, dan pasti bukan milik keluarganya, karena setahuku, sejak bercerai dengan istrinya 5 tahun yang lalu, pak Dedi tinggal seorang diri karena anak-anaknya pun sudah dewasa dan menikah.
Aku sempat ragu-ragu sejenak, aku bukan orang bodoh, tidak mungkin masalah ini bisa diselesaikan oleh bimbingan belajar saja, Pak Dedi pasti menginginkan sesuatu dariku, kemungkinannya hanyalah uang atau tubuhku, dan karena kemarin ia tidak menyuruhku untuk membawa uang, jadi ia pasti…
Belum sempat memijit bel pintu sudah terbuka, seraut wajah yang sudah mulai tua muncul.
“Ehh…! Dinda, ayo masuk!”, sapa orang itu yang tak lain adalah pak Dedi sendiri.
Tumben ramah, tidak sepeti biasanya ketika mengajar di kelas, guru ini terkenal paling killer.
Interior depan rumah itu sederhana saja, cuma satu stel sofa, meja, beserta sebuah rak perabotan pecah belah. Dindingnya polos kecuali beberapa foto dari anak-anak Pak Dedi dan lukisan yang tergantung di dinding. Demikian juga dengan ruang tengahnya, terasa betapa luas dan kosongnya ruangan tengah itu, yang ada hanya sofa panjang berbentuk melingkar menghadap ke taman samping, meja beserta televisinya dan sebuah stereo set terpasang di ujung bar.
Pak Dedi rupanya memang tidak sendirian dirumah itu. Di ruang tengah itu, telah duduk dua orang lelaki dan seorang gadis, yang jelas-jelas masih menggunakan seragam SMU. Aku pun terkejut setengah mati, aku mengenali orang-orang tersebut.
Pria setengah baya yang bertubuh kurus kering dan bermuka mirip tengkorak adalah guru fisikaku Pak Hendri, sedangkan yang satu lagi adalah Nono, penjaga sekolahku, Bang Nono bertubuh gemuk dan berkulit hitam, meskipun hanya penjaga sekolah, namun ia sering berlagak seperti pemilik sekolah itu, makanya banyak anak-anak yang sebal setengah mati melihatnya.
Sementara gadis SMU itu bernama Sherin, ia kakak kelas satu tahun diatasku. Bahkan ia juga anggota cheerleader sama sepertiku. Ia berperawakan tinggi langsing, berkulit putih dan rambutnya yang hitam lurus dan panjang tergerai sampai ke pinggang, dengan poni tebal menutupi dahinya.
Wajahnya yang oval dan bermata sipit menandakan bahwa ia berdarah Tionghoa. Harus kuakui dia memang cantik, seperti bintang film drama Mandarin. Tidak heran jika diantara anak-anak perempuan kelas 2, ia merupakan siswi yang tercantik dan terpopuler.