Dari Kami untuk Bersama part~4

Part IV: Perangkap Kenikmatan (bag 3)

PoV Catherine
“Mba Katy, maaf ya kalau aku lancang. Aku kok berani-beraninya jadi penasaran begini?
Jangan marah ya, Mba Katy,” Mba eno berujar lirih sambil tertunduk lemah.
Pahanya pun tak henti-hentinya dia elus saat berbicara.
Ya, dia masih merasa malu dan pikirannya penuh kecamuk.

“Mba Eno yang baik. Si Lina udah cerita semua kok.
Ya rezekinya Mba Eno bisa nonton adegan si Lina dikeroyok Ben sama Isal.
Memang dasar ini Lisa. Bisanya ena-ena pakai acara buka gorden segala. Hehehehe,” balasku santai.

“Tapi Mba Eno bener sudah bicara dengan Mas Soni kan?
Kita perlu pastiin saja biar rencana malam ini bisa selesai dengan nyaman dan penuh kepuasan,” tanyaku memastikan.

Sabtu sore ini aku dan Ben memang jadwal bertandang ke rumah Lina dan Isal.
Kami berempat akhirnya sepakat. Buka kesempatan untuk pasangan Mba eno dan Mas Soni.
Aku pribadi kenal keluarga ini. Terlebih Lina. Ia menjamin mereka bisa dipercaya.
Entah nanti mereka seterbuka apa. Semoga kami gak salah langkah dan gak salah pilih.

Sudah ada skenario yang disiapkan Lina. Lebih terdengar seperti perangkap sih.
Tapi ini perangkap syahwat menuju nikmat. Aku dan lainnya percaya saja. Siap melakukan peran masing-masing.
Ada sedikit rasa deg-degan juga sih. Belum terbayang hasilnya nanti.
Namanya tukar pasangan, modal pertamanya ya saling percaya.

Mba Eno kini sedang duduk gelisah di hadapanku dan Lina.
Kami bertiga sedang bersiap-siap di teras rumah Lina. Sementara Ben dan Isal ada di dalam.
Mereka punya peran masing-masing. Tak kalah penting dibanding peran kami para perempuan.

Aku tahu sehari-hari Mba Eno berbusana religius. Sikapnya pun sungguh santun dan bersahabat.
Sulit membayangkan kelak ia menjadi sosok petualang seks. Layaknya aku dan Lina.
Oh iya, sore ini Mba Eno berpenampilan beda. Ia memadukan rok jeans sedikit di bawah lutut dengan kaos berkerah.

Busananya masih terlalu santun dibandingkan aku dan Lina.
Kami hanya bercelana pendek gemes dengan tanktop rumahan berbelahan dada rendah.
Belahan dadaku lumayan terlihat menantang. Jangan tanya si Lina. Tokednya seperti mau tumpah.

“Mba Eno. Aku telepon Mas Soni sekarang ya? Tanya Lina memotong pertanyaanku tadi.

“Mba Eno masuk aja dulu. Ntar ditemenin Katy kok. Rileks aja. Kan mau ena-ena.
Aku sih ngarepnya Mba Eno malam ini bisa ngentot dengan Isal atau Beni ya.
Kalau sanggup dua-duanya malah lebih bagus. Hehehehe,” Lina menggoda Mba Eno.

“Mba Lina memang suka nggodain teman sendiri begini ya, Mba Katy?” Tanya Mba Eno padaku.
“Aku tuh sudah kok berkali-kali diskusi dengan Mas Soni soal fantasi ini.
Dia sih ngomongnya terserah aku saja. Nanti dia yang menyesuaikan.
Ada tiga bulanan kok aku diskusi ini sama Mas Soni. Makanya ya malam ini aku ke sini.
Mba Lina telepon aja wis. Aku siap!” Ujar dia meyakinkan.

“Baiklah, Mba Eno. Bagus kalau sudah ada kesepahaman. Itu dulu yang penting.
Kalo soal Lina, dia emang cabul dan mesum, Mba. Hehehehe,” balasku yang langsung direspons sambitan kulit kuaci dari Lina.

“Tapi, Mba. Pas aku di dalam, Mas Soni bagaimana?
Tanya Mba Eno sambil bergantian menoleh padaku dan Lina.
Meski siap, dia masih bingung juga.

“Sudah. Pokoknya Mba Eno nikmatin saja di dalam kamarku.
Mas Ben itu jago pijet kok. Soal Mas Soni, serahin aja. Aman,”
kata Lina sambil menepuk-nepuk dada kenyalnya sendiri.

Lina terlihat menekan ponselnya lalu bicara. “Mas Soniiii. Ini Mba Eno di rumahku ya. Ada Katy juga.
Kita jadi mau pijet di sini boleh kan? Boleh ya, Mas?
Jarang-jarang kan cewek-cewek bisa ngumpul begini,” terdengar Lina bicara di ponselnya.
Aku tak mendengar respons Mas Soni.
Lina menutup telepon lalu hanya mengacungkan jari jempolnya padaku dan Mba Eno.

Akupun menarik tangan Mba Eno mengajak dia masuk.
Sambil berdiri dia masih sempat berujar.
“Mba Katy, gapapa ya aku dipijet sama Mas Ben? Malu, Mba. Gimana kalo Mas ben gak suka? Tanya Mba Eno.

“Iiiiih. Mba Eno kayak anak perawan mau dijodohin aja siiiih? Xixixixixi. Yuk ah,” ujarku gemas.

Di dalam ruang tamu kami sudah disambut Ben dan Isal.
Meski tersenyum, raut mereka juga masih terlihat takjub dan terkesiap.
Terlebih Isal yang bertetangga depan rumah dengan Mba Eno.
Setelah malam ini, pasti akan banyak hal yang berubah dari hubungan mereka.

“Mas Isal. Mas Ben,” Sapa Mba Eno kepada mereka.

“Yuk, Ben. Langsung aja ya. Keburu malam,” ajakku pada suamiku.
“Semuanya sudah disiapin kan, Sal?” Tanyaku pada Isal.
Suami Lina hanya membalas dengan acungan dua jempolnya padaku.
Aku dan Mba Eno pun masuk ke kamar yang biasa kupakai ngentot di rumah Lina.

Tercium bau lavender menyeruak ketika aku memasuki kamar.
Instrumen lagu lirih mengalun. Seakan siap mengiringi apa pun yang akan terjadi malam ini.
“Mba Lina gak mau pijet pakai baju begini kan.
Dah, dibuka dulu terus tengkurap di sini deh,” ujarku menunjuk pada tempat tidur yang sudah dialas dengan handuk.

“Malu aku, Mba. Badanku begini. Sudah tua lagi,” ungkap dia pelan sambil membuka kaos dan roknya.

“Mba Eno itu masih cantik, singset juga. Aku kalo jadi laki-laki, udah kuterkam Mba Eno sekarang. Xixixixxi,” ujarku meyakinkannya.
Itu bra-nya sekalian dibuka donk. Kayak gak pernah pijet aja nih Mba Eno.
Hasutanku ia amini. Bahkan bukan hanya bra, celana dalamnya pun turut ia buka.

Sambil menutupi toked dan memeknya dengan tangan, ia tengkurap.
Kepalanya ia letakkan di atas bantal merah yang sudah tersedia.
“Gitu donk, cakeeeep. Nih aku tutupin dulu pakai handuk. Biar Mba Eno rileks dulu.”
“Beeeeeeeeen. Ayooooo,” teriakku memanggil Ben.

Tanpa terlihat Mba Eno, Ben sudah membuka celana panjang dan menyisakan boxer tempurnya.
Kok boxer tempur? Boxer model begitu memang biasa dia pakai sebelum ngentot.
Kaosnya pun sudah ia buka. Kini Ben bertelanjang dada dan hanya menyisakan boxernya.
Fix ini sih lebih mirip terapis plus-plus deh.

“Mba Eno. Ini aku mulai pijet ya. Rileks aja, Mba. Ini ditemenin si Katy kok,” tutur Ben pelan.
Ben menarik turun handuk yang menutupi tubuh bagian belakang Mba Eno.
Ia berhenti saat handuk mencapai pangkal pantat Mba Eno. Ben pun memulai pijatan menggunakan minyak pijat.

Sejak kami bereksplorasi seks bersama Lina dan Isal, pijet jadi salah satu role play kami.
Jadi aku dan Ben, kayaknya Lina juga deh, suka menyaksikan video tentang pijat sensual.
Ya tentunya tidak jadi ahli. Tapi cukup untuk role play. Toh ini dengan Mba Eno lebih ke foreplay daripada pijat.
Aku yakin Ben bisa membuat nyaman Mba Eno. Kalau sudah nyaman, gairah terdalam mesti keluar di suasana seperti ini.

Aku duduk di sofa kamar menyaksikan Ben yang sudah nyaris 20 menit memijat, leher, punggung dan lengan Mba Eno.
Sesekali terdengar desahan Mba Eno. Dia nyaman.
Artinya tak lama lagi Ben akan menyingkap sepotong handuk yang tersisa menutupi pantat Mba Eno.

Duuuh. Aku jadi berasa pengen dijamah juga deh.
Kalau tidak ingat skenario si Lina, sudah kutarik tuh si Isal.
Bisa kali minta jilatin memekku. Kalau sudah jilat memek, ya minta dientot sekalian. Hehehee.

“Ennnnggghhh, Mas Ben kok pijetnya di situuuuu?” Tiba-tiba terdengar suara Mba Eno menahan geli.
Pijatan Ben sudah sampai di selangkangan saja.
Aku tahu banget kalau jari naik turun di lipatan selangkan, rasanya memang geli-geli nikmat.
Belum lagi kalau kesenggol bibir memek. Sensasinya dijamin bikin nagih.

Tetiba pintu kamar terbuka sedikit. Lina memunculkan kepalanya.
“Setengah jam lagi susulin ke depan ya,” bisiknya sambil mengedipkan mata.
Aku jadi ikut deg-degan membayangkan rencana Lina berikutnya.

“Mba Eno balik badan ya,” pinta Ben.

“Heeeeh… Heeeeh. Eh. Balik badan ya, Mas Ben?
Handuknya yang tadi mana ya, Mas?” Tanya Mba Eno kebingungan dengan nafas tersengal.
Jelas sekali nafsunya sudah membuatnya sulit berpikir.

“Udah. Gitu aja, Mba Eno. Lagian dari tadi Mba Eno udah ga pakai apa-apa kan?
Udah dipegang-pegang Ben juga lho,” tuturku meyakinkannya.

“Lho! Mas Ben kok gak pakai baju?” tanya Mba Eno.
Entah dia terkejut, terpana, atau malah terangsang melihat Ben saat berbalik badan.
Ben pun hanya membalasnya dengan senyuman sambil berkata,
“Rileks aja, Mba. Ini mau dilanjutin pijetnya,” kata Ben singkat.
Ben pun mengambil handuk kecil dari dalam mangkok. Dilipatnya. Lalu diletakkan menutupi mata Mba Eno.

Aku sudah gak sabar. Kudekati Ben. Kuturunkan boxernya. “Ini. Biar kamu nyaman juga,” Bisikku pada Ben.
Kukocok pelan kontolnya sambil menjilati putingnya. Kontan kontol Ben mengeras dan terdengar suara Ben seperti kepedesan. “Ssshhhhh”

“Mas Ben kenapa?” Tanya Mba Eno.

Pertanyaan Mba Eno dijawab Ben dengan pijatan pada tangan dan lengannya.
Pikirku, tak lama lagi toked Mba Eno akan jadi sasaran Ben.
Kalau jamahan di toked sudah dinikmai Mba Eno, Ben siap menjamah memek Mba Eno.
Memek sudah dijajah, ya tidak akan ada yang menghalangi penetrasi kontol Ben.

“Duuuuh. Kok susuku, Mas Ben? Errrrrrgggghhhhh. Ennnnngggghhhhhh,” Protes yang tak serius dilontarkan Mba Eno.

“Kalau gak nyaman, ngomong ya, Mba Eno. Nikmatin aja, Mba,” jawab Ben sambil isapanku pada kontolnya.

Dua tangan Ben mulai meremas toked Mba Eno.
Sesekali Ben memainkan juga puting gelap milik istri Mas Soni ini.
Rintihan Mba Eno pun tidak terbendung. “Ennnnnngggghhhh… Uuuuuuuuhhhh…”

“Siap-siap jilatin memeknya, Ben. Awas kalau dia gak sampe orgasme!
Tapi pelan-pelan ya. Masih newbie tuh. Ini aku susulin Lina dulu,” kembali kuberbisik pada suamiku.

PoV Lina
“Mas Soni… Eh Mas Soni lagi apa?” aku nyelonong masuk ke rumah Mba Eno.
Mas Soni terlihat hanya duduk diam.
Kakinya ia goyang-goyangkan. Tangannya erat menggenggam ponsel. Ini sih jelas tegang.

“Eh, Mba Lina. Ke sini juga akhirnya,” katanya sedikit terkejut.
Matanya bergantian antara menatapku dan melirik ke luar jendela.
“Ini anu, Mba. Gak lagi gak ngapa-ngapain kok,” jawab dia kebingungan.

Kuhempaskan pantatku duduk di samping dia. Paha mulus eksotisku terekspos jelas.
Belahan tokedku seakan menantang laki-laki mana pun yang ada di dekatku.
Rambut panjangku kuikat di atas leher.
Laki-laki pada umumnya tentu terperangah merasakan aura bispak yang terpancar dari gayaku sekarang.

“Rileks, Mas. Keliatan tegang banget nih, Mas Soni,” kataku sambil menepuk pahanya yang ditutupi celana pendek berbahan lembut.
Kutaksir celana pendek ini sekali ditarik langsung jatuh tak berdaya. Asyik.

“Nganu, Mba. Memang bingung. Istri saya bilang, Mba Lina mau ke sini.
Tapi tadi Mba Lina telepon kan mau pijet bertiga bareng Eno sama Mba Katy,” jelas Mas Soni.
“Saya yo bingung. Aslinya ya pengen susulin ke depan.
Tapi istri saya wanti-wanti gak boleh ke depan sendirian kecuali diajak sama Mba Lina. Yo wis. Saya nunggu di sini saja,” terusnya.

“Ya maaf, Mas Soniiii. Jadi salah pengertian.
Maksudku ya Mba Eno dipijet ada aku sama Katy. Biar tenang gitu.
Itu masih dipijet Ben ditemenin Katy kok. Mas Soni gapapa kan?” Tanyaku.

“Eh iya. Gapapa, Mba. Gapapa kok. Santai aja. Si eno suka dipijet kok,” ujarnya mencoba rileks.

“Santai gimana, Mas? Ini Mas Soni tuh kok aku liat tegang banget.
Sini deh biar rileks. Aku naik berlutut di sofa.
Kuarahkan badan Mas Soni membelakangiku. Kupijat-pijat pundak dan lehernya.

“Eh… Eh.. Mba Lina ternyata pintar mijet. Ntar gantian saya pijetin juga,” katanya spontan.
“Anu, Mba. Maksudnya kalau Mba Lina mau sih. Terus kalau diizinin Mas Isal juga,” ia coba menerangkan.

“Xixixixi. Kalem donk, Mas Soni. Udah dipijetin aku juga kan.
Bener lho ya? Abis ini ganti mijetin aku. Isal boleh kok aku dipijetin Mas Soni.
Perlu aku telepon Isalnya sekarang? Tanyaku menggodanya.

“Eh Gimana, Mba? Mau telepon Mas Isal? Aduh. Jadi gak enak.
Emang gapapa sama Mas Isal ya? Tanya Mas Soni gelagapan.

Kuhentikan pijatanku di pundak Mas Soni. Kuraih ponselku. Kutelepon Isal, suamiku sambil kuaktifkan pelantang suaranya.
“Saaaaal. Ini aku di tempat Mas Soni dulu ya,” kataku tegas. “Oke, Lin,” jawab Isal singkat.
“Sini, Mas, gantian pijet aku ya,” Aku membuka kaosku sekalian dengan braku di hadapan Mas Soni.
Ia pun terperanjat membelalakkan matanya. Suguhan toked besarku tentu sulit untuk dinafikan.
Aku tahu yang ada di benaknya. Bukan sekadar kaget.

“Mba… Mba… Kok bajunya dibuka? Tanyanya malu-malu. “Ini pintunya belum ditutup lho, Mba,” tambah dia.

Sudah kuduga bukan penolakan yang akan muncul dari Mas Soni. Ia berupaya keras menguasai keadaan saja.

“Mau pijet di sini atau di kamar Mas aja? Mas Soni tutup pintu dulu deh. Gak usah dikunci ya,” perintahku.
Aku memang menghendaki pintu tak dikunci. Biar nanti dia rasain kejutan lagi.
Aku sih yakin tak ada tetangga yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah begitu saja.

Bagai zombie dengan tatapan kosong, suami Mba Eno ini berdiri. Kakinya melangkah menuju pintu rumah.
Rumahnya sendiri yang sudah kujajah dengan ketelanjanganku malam ini.
Kleteekh. Terdengar suara pintu rumah yang ditutup pelan.

“Di kamar aja ya, Mba. Saya gak enak kalau tiba-tiba ada orang yang bertamu,” terangnya tak berani menatap ke tubuhku.

“Duh. Mas Soni bikin gemes deh. Rasanya ingin kutarik celananya. Kusedot kontolnya.
Tapi sesuai rencana dan feelingku. Aku hanya membuka jalan.
Kubiarkan dia yang berinisiatif mengendalikan permainan.
Kadang ego laki-laki tetap harus dijaga dalam hubungan seksual.

Aku masuk dalam kamar mengikuti Mas Soni. Aku tahu ini kamar dia dan Mba Eno.
Kamar yang sudah bertahun-tahun menjadi saksi hubungan seksual mereka.
Isinya sih seperti kamar utama pada umumnya.
Aku pun berinisiatif berbaring di atas ranjang. “Yuk, Mas. Katanya mau pijetin,” ajakku menggoda.

“Tengkurap dulu donk, Mba. Saya gimana mijetnya kalau Mba Lina begini?” kata Mas Soni gugup memandang tokedku.

Kuikuti arahan dia berbalik tengkurap. Pikirku biar mengalir lewat obrolan saja dulu.
“Katanya Mba Eno, Mas Soni itu baik banget. Suka kasi hadiah ke Mba Eno,” aku coba membuka pancinganku.

“Ah. Itu bisa-bisanya istri saya saja, Mba. Ya namanya suami istri biasa kasi hadiah kan? Jawab dia seformal mungkin.

“Tapi ini hadiahnya beda tuh, Mas.
Aku pasti bakalan suka juga kalau suamiku kasi hadiah seperti yang dikasi Mas Soni,” timpalku.

“Memangnya Eno cerita dikasi hadiah apa ya, Mba? Dia penasaran.

“Baju suster, baju seksi. Malah katanya Mba Eno, Mas Soni pernah kasi sex toys ke dia itu,” kataku.
Kunikmati pijatannya. Ia memijat tanpa minyak, tetapi tetap terasa enak.

“Lho. Kok yang itu diceritain ke Mba Lina sih? Jadi malu,” jawab Mas Soni.

“Mba Eno cerita banyak kok, Mas. Lagian aku kan sudah gede. Kenapa Mas Soni mesti malu?” Balasku.
“Tolong pijetin pantatku bisa kan, Mas? Pantat sama pahaku pegal kemarin seharian nyetir muter-muter sama Katy,” pintaku.

“Mba Lina gapapa nih saya pijetin situnya?” Ia ragu.

“Gapapa, Mas. Sok aja,” aku meyakinkan.

“Tapi ini celananya Mba Lina anu, Mba,” Mas Soni berkata lirih.

Yeeeeeessss. Dia sudah berinisiatif improvisasi. Kalau sudah minta buka celana, jelas dia sudah masuk perangkap.
Tanpa menjawab kuturunkan celana dan dalamannya sekalian. “Sudah tuh, Mas. Tolongin ya,”
Entah seperti apa ekspresi Mas Soni. Pantat sekalku sudah cukup menggodanya.
Belum lagi kaki jenjangku yang sengaja kurenggangkan. Bibir memekku pasti mengintip manja di bawah sana.

“Mba Lina. Saya minta maaf ya. Beberapa bulan ini itu kepikiran Mba Lina.
Ternyata aslinya memang bagus banget,” katanya terbata-bata sambil memijat gundukan pantatku.

“Hayoooo. Mas Soni mikir apa? Mikir aku telanjang? Mikir aku apa Maaaas?” tanyaku penuh selidik.

“Anu, Mba. Anu itu… Habisnya Eno cerita semua apa yang dia lihat waktu Mba Lina sama Mas Isal sama Mas Ben.
Jadinya saya kepikiran gimana rasanya diituin sama Mba Lina. Maaaaf lho, Mba Lina,” ungkap dia.

“Diituin apa sih, Maaasssss? Yang jelas donk.
Sama aja ini sama Mba Eno kalo cerita. Anu lah. Itu lah.
Kan yang dengar jadi gak jelas, Mas Soniiiii,” kataku pura-pura kesal.

“Itu, Mba… Diisepin sama Mba Lina. Kayak Mas Ben waktu diceritain Eno,” katanya lirih.

Kubalikkan badanku tanpa berkata apa-apa. “Mas Soni mau kontolnya aku isep? “Sini deh,” panggilku.
Alih-alih mencari kontolnya, aku malah mengangkangkan kedua pahaku.

“Mas Soni jilatin memek aku dulu. Ntar pasti aku isepin kontolnya. Sampai muncrat juga boleh.
Mau muncrat di tete aku boleh. Mau muncrat di mulut juga boleh.
Mba Eno cerita lho kalo Mas Soni jago jilatin memek Mba Eno,” rayuku.

“Wah boleh, Mba,” tuturnya dengan wajah berbinar nafsu.
Kedua pahaku ia pegang dan renggangkan. Wajahnya diturunkan lalu menciumi selangkanganku.
Belum sempat lidahnya menjilati memeku, terdengar pintu kamar dibuka.
Aku dan Mas Soni serempak menoleh.

Katy. Sesuai dugaanku.

“Hayoooo, ternyata udah sampe jilat-jilatan aja nih Mas Soni sama Lina.
Kok Lina doank yang dijilatin? Mas Soni juga kok masih pake baju lengkap sih?” cerocos Katy.

“Eh. Kok Mba Katy ke sini juga?
Ada apa, Mba? Ini anu kok, Mba. Tadi mijetin Mba Lina. Terus anu, Mba,” jawab Mas Soni gugup.

“Tenang, Mas Soni. Boleh donk aku ke sini?” Tanya Katy santai.

“Mas Shoniiiiiiih… Pehhngheeenh… Khontholnyah… akooooh hizepiin, Kheeeeth,” racauku tak jelas.
Memang begini akibat memek yang mulai basah menjemput nikmat.

“Kalo sudah horny mesti begitu deeeeeh. Apaan sih, Lin, gak jelas? Aku isepin kontol Mas Soni gitu? Tanya Katy pura-pura bingung.

“Eh… Eh… Anu, Mba. Maksud saya anu, Mba,” jawab Mas Soni kikuk.

Aku berusaha duduk. Ku arahkan Mas Soni ganti berbaring.
Dia pasrah. Kuberi kode ke Katy. Sahabatku satu itu pasti paham maksudku.

“Mas. Lanjut dulu jilatin akunya, please… Yang tadi tuh henaaaaakh,” perintahku sambil mengangkangi kepala Mas Soni.
Aku berharap naluri Mas Soni mampu menyesuaikan.

Belum sempat menjilat memekku, Mas Soni malah terkejut. “Eh, Mba.. Eh… Kok anu?”
Dia terkaget. Aku tahu, di belakang sana Katy mulai memainkan perannya.
Sejenak kutolehkan pandanganku, kontol Mas Soni sudah ada dalam genggaman istri kesayangan Ben.

Sheeeeeph… Sheeph… Sluuurrphh. Sluuurph.
Suara jilatan kontol terdengar merdu…

“Usssssshhhh. Geli, Mba,” komentar Mas Soni.

“Mas Soniii. Kok memek aku dilupain siiiih?” tanyaku setengah kesal.

“Eh, iya. Maaf, Mba,” respons Mas Soni dilanjutkan dengan jilatannya di memekku.

Sambil menikmati jilatan khas bapak-bapak, aku membatin semoga si Katy ingat bawa boks kondom ya.
Malam ini biar jadi kenangan tak terlupakan buat Mas Soni.
Dia bisa merasakan dua memek sekaligus malam ini.
Kalau belum memek tingkat nasional, minimal memekku dan Katy itu termasuk level provinsi lah.

Istri Mas Soni pun dijamin dapat kenangan manis malam ini.
Memeknya akan digempur sekaligus dua kontol grade corporate. Entah bagaimana dia diperlakukan Isal dan Ben.
Aku aja gempor kalo di-tag team mereka. Gak kebayang donk Mba Eno jadi apa.

bersambung….